Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sejak pertama kali penyakit Tuberkulosis (TB) ditemukan lebih seabad yang lalu
hingga saat ini insidensinya terus meningkat. Sepertiga penduduk bumi telah terinfeksi
TB dan 5-10% akan menjadi TB aktif dalam tahun pertama. Ada beberapa hal yang
menjadi penyebab semakin meningkatnya penyakit Tb paru di dunia antara lain karena
kemiskinan, meningkatnya penduduk dunia, perlindungan kesehatan yang tidak
mencukupi, kurangnya biaya untuk berobat, serta adanya epidemi HIV terutama di
Afrika dan Asia (Depkes RI, 2008).
Penyakit TB tidak terkendali disebabkan banyaknya pasien yang tidak bisa
disembuhkan terutama yang menular dengan Basil Tahan asam (BTA) positif. WHO
juga melaporkan angka temuan baru dan kasus kambuh berkisar 89/100.000 populasi
tahun 2006. Tercatat 9,27 juta TB paru kasus baru ditemukan tahun 2007 dengan
proporsi 80% berada di 22 negara berkembang, yang rata-rata telah merenggut nyawa 2
juta orang setiap tahunnya. Diperkirakan 95% penderita TB yang berada di negara
berkembang, 75% nya adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun).
Di Indonesia, berdasarkan survei pada tahun 1979-1982 didapat prevalensi TB
dengan sputum BTA (+) sebesar 0,29 %. Menurut laporan WHO tahun 2007, jumlah
seluruh kasus baru di Indonesia sebesar 528.000 orang per tahun, atau 228/100.000
populasi, sedangkan prevalensi TB dengan BTA (+) 102/100.000 populasi. Separuh dari
kasus TB tidak terdiagnosis dan baru sekitar 20% yang tercakup dalam program
pemberantasan tuberkulosis yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Dalam penanggulangan masalah tuberkulosis di Indonesia strategi Directly
Observed Treatment Short-Course (DOTS) telah dilaksanakan di Puskesmas, Rumah
Sakit Pemerintah, Rumah Sakit Swasta serta Dokter Praktik Swasta (DPS) dengan
melibatkan peran serta masyarakat secara terpadu tetapi hasilnya tahun 2007 WHO
memperkirakan angka cakupan penemuan kasus untuk Indonesia (case detection rate)
51%.
Masalah penyakit TB di Indonesia yang demikian rumit masih belum tuntas
seperti adanya faktor risiko eksternal (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
merokok, kepadatan hunian, status gizi, sosial ekonomi dan perilaku) yang
1 | Page

mempengaruhi penyebaran dan penularan TB, di lain pihak diperberat lagi dengan
tingginya prevalensi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan munculnya resistensi
ganda terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau disebut juga Multidrug Resistance
Tuberculosis (MDR-TB).
Keterlambatan diagnosa dan penatalaksanaan akan berpengaruh terhadap
populasi penderita disekitarnya, dimana kemungkinan orang yang tertular akan semakin
banyak hal ini sesuai dengan penularan TB yang umumnya melalui droplet nukleus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi
2 | Page

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh
manusia melalui udara yang dihirup ke dalam paru, kemudian kuman tersebut dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah, sistem saluran
limfa, melalui saluran pernafasan (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagianbagian tubuh lainnya TB paru pada manusia dapat dijumpai dalam dua bentuk, yaitu:
1. Tuberkulosis primer: bila penyakit terjadi pada infeksi pertama kali.
2. Tuberkulosis pascaprimer: bila penyakit timbul setelah beberapa waktu seseorang
terkena infeksi dan sembuh. TBC ini merupakan bentuk yang paling sering
ditemukan. Penderita merupakan sumber penularan dikarenakan dalam dahaknya
terdapat kuman tersebut (Notoatmodjo, 2011).

2.2. Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TBC (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes, 2011).
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur
lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2010).
2.3. Penularan TB
Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif. Pada waktu batuk dan
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernafasan. Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan,
kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya (Depkes,
2002). Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman),
maka penderita tersebut dianggap tidak menular (Depkes, 2002).
Kuman M. Tuberkulosis pada penderita TB paru dapat terlihat langsung dengan
mikroskop apabila sediaan dahaknya menghasilkan BTA positif (sangat infeksius).
3 | Page

Kuman tidak dapat dilihat langsung dengan mikroskop apabila sediaan dahaknya
menghasilkan BTA negatif (sangat kurang menular). Penderita TB BTA positif
mengeluarkan kuman-kuman di udara dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada
waktu bersin atau batuk. Droplet yang sangat kecil ini mengering dengan cepat dan
menjadi droplet yang mengandung kuman tuberkulosis dan dapat bertahan di udara
selama beberapa jam (Notoatmodjo, 2011).
2.4. Manifestasi Klinis
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
- Batuk 3 minggu
- Batuk darah
- Sesak napas
- Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena
iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
- Demam
- Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
2.5. Penentuan Klasifikasi dan Tipe Tuberkulosis
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB memerlukan suatu definisi
kasus yang meliputi empat hal, yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit (paru atau ekstra paru).
2. Bakteriologi dilihat dari hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis (BTA positif
atau BTA negatif).
3. Tingkat keparahan penyakit (ringan atau berat).
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya (baru atau sudah pernah diobati).
A. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena
1. TB paru adalah TB yang menyerang jaringan paru. Tidak termasuk pleura
(selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

4 | Page

2. TB ekstra paru adalah TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis
1. TB paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran TB.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. TB paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
-

Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB.

Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

C. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa
tipe pasien, yaitu:
1. Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus yang sebelumnya diobati
a) Kambuh (Relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali
dengan BTA positif (apusan atau kultur).
5 | Page

b) Pengobatan setelah putus berobat (Default)


Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
c) Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
3. Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan yang memiliki
register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
4. Lain-lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan. TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru,
dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik
(Kemenkes, 2011).

2.6. Diagnosis
Diagnosis TB paru dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada
pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen
yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau
I.
II.

pemeriksaan dahak SPS diulang.


Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita didiagnosis sebagai penderita
TB BTA positif.
Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak diulang.
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas
(misalnya Kotrimoksasol atau Amoksilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada

I.
II.

perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS.
Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif
Kalau hasil SPS negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung
diagnosis TB.
6 | Page

Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA

negatif rontgen positif.


Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.

Unit Pelayanan Kesehatan yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat
dirujuk untuk foto rontgen dada (Depkes, 2002).

II.7. Penatalaksanaan

7 | Page

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :
Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,

isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan


Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,

isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg


3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam

klavulanat.
Derivat rifampisin dan INH

B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH
Alternatf : 2 RHZE / 4R3H3 atau (program P2TB) 2 RHZE/ 6HE
Paduan ini dianjurkan untuk
- TB paru BTA (+), kasus baru
- TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh
-

paru)
TB di luar paru kasus berat

Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan,


dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada
keadaan:
a. TB dengan lesi luas
b. Disertai penyakit

komorbid

(Diabetes

Melitus,

Pemakaian

obat

imunosupresi / kortikosteroid)
8 | Page

c. TB kasus berat (milier, dll)


Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil
uji resistensi

b. TB Paru (kasus baru), BTA negatif


Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH
Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk :
- TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal
- TB di luar paru kasus ringan
c. TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase
intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai
hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari
pengobatan sebelumnya, sehingga paduan obat yang diberikan: 3 RHZE/ 6 RH.
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan
obat: 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB)
d. TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal
menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif
(seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan lama pengobatan minimal
selama 1 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan dahulu 2
RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi.
- Bila tidak ada/ tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan
-

paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB)


Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil

yang optimal
Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

BAB III
STATUS ORANG SAKIT

9 | Page

3.1. IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Status Kawin
Agama
Pekerjaan
Alamat
Suku

: Nia Mariska
: 19 tahun
: Perempuan
: Menikah
: Islam
: Wiraswasta
: Jl. Kapok Gg. Cempaka Turi Pasar IX Tembung
: Minang

3.2. ANAMNESA
a. Keluhan Utama
: Demam
b. Telaah
Demam dirasakan sejak 2 minggu yang lalu, demam tidak terlalu tinggi.
Os mengeluh batuk berdahak sejak 3 minggu, dahak berwarna

kekuningan.
Sesak napas (+) sejak 1 minggu yang lalu, sesak dirasakan terutama

setelah os batuk-batuk.
Keringat malam (+) sejak 2 minggu ini.
Os mengalami penurunan nafsu makan, dan dalam 3 minggu ini mengalami

penurunan berat badan 3kg.


Nyeri ulu hati (+), mual (+) sejak 1 minggu ini.
Os sudah berobat ke Puskesmas tetapi tidak ada perbaikan sehingga os
berobat ke RSHM.

c. Riwayat Penyakit Terdahulu


d. Riwayat Pemakaian Obat
e. Riwayat Penyakit Keluarga

: DM (-), Hipertensi (-)


: Os lupa nama obat
: Tidak Ada

3.3. STATUS PRESENT

Keadaan Umum
Sens : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 90 x/i
Nafas : 28 x/i
Suhu : 38,1 C

Keadaan Penyakit
Anemia : Tidak
Ikterus : Tidak
Sianosis : Tidak
Dyspnoe : Ya
Edema : Tidak
Eritema : Tidak
Turgor : Baik
Gerakan Aktif : Ya
Sikap Paksa : Tidak

Keadaan Gizi
TB : 150 cm
BB : 43 kg
BB
RBW = TB100
100%
=

43
150100

100%
10 | P a g e

43
50

x 100%

= 86 %
Kesan : Underweight

Pemeriksaan Fisik
a. Kepala
- Mata
Gerakan
Konjungtiva
Sklera
Reaksi pupil
- Telinga
- Hidung
b. Leher
c. Thorax
- Inspeksi
- Palpasi
- Perkusi

: Normal
: Normal
: Normal
: RC +/+, bulat, isokhor, 3mm/3mm
: Normal
: Normal
: Dalam Batas Normal
: Bentuk fusiformis, simetris.
: Fremitus suara sulit dinilai
: Beda di lapangan paru kanan bawah

Auskultasi
Suara pernafasan
: Bronkhial
Suara tambahan
: Ronchi basah dilapangan paru kanan bawah
d. Abdomen
- Inspeksi
: Dalam Batas Normal
- Palpasi
: Nyeri tekan pada regio epigastrium (+)
- Perkusi
: Pekak hati (+)
- Auskultasi
: Peristaltik usus (+) Normal
e. Ekstremitas
- Atas
: Dalam Batas Normal
- Bawah
: Dalam Batas Normal

Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Rutin
Darah Rutin
Hemoglobin
Hitung

Hasil
11,8
4,7

Nilai Rujukan
12-16
3,9-5,6

Satuan
g/dl
106/l

Eritrosit
Hitung

7.800

4.000-11.000

/l
11 | P a g e

Leukosit
Hematokrit
Hitung

30,3
429.000

Trombosit
Hitung jenis leukosit
Eosinofil
Basofil
N. Stab
N. Seg
Limfosit
Monosit
LED

2
0
0
74
18
6
83

36-47
150.000-450.000

%
/l

1-3
0-1
2-6
53-75
20-45
4-8
0-20

%
%
%
%
%
%
mm/jam

b. Radiologi
Sinus kanan terlihat garis pleura biconvex. Diaphragma normal.
Jantung
: Besar dan bentuk dalam batas normal.
Paru
: infiltrat di apex kiri
Kesan
: TB paru + Effusi pleura kanan DD/Tumor pleura kanan.
c. Sputum BTA SPS
Hasil
: POSITIF (+)
3.4. DIAGNOSA
TB Paru + Dyspepsia type like ulcer
3.5. TERAPI
Aktivitas
: Tirah Baring
Diet
: MII
Medikamentosa
O2 2L/i
- IVFD RL 20 gtt/i
- OAT FDC 1x3 tab
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
- Paracetamol 3x500 mg
- Curcuma 2x1

12 | P a g e

BAB IV
DISKUSI KASUS

4.1. Gejala Tuberkulosis


a. Gejala Respiratori
Gejala
Batuk 2 minggu
Batuk darah
Sesak Nafas
Nyeri dada

Teori
Ya
Ya
Ya
Ya

Kasus
Ya
Tidak
Ya
Tidak

b. Gejala Sistemik
Gejala
Demam
Malaise
Keringat malam
Berat badan menurun
Anorexia

Teori
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya

Kasus
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya

4.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan
Perkusi
Auskultasi

Teori
Ditemukan

pekak/beda

Kasus
pada Beda di lapangan paru

bagian paru yang abnormal


kanan bawah
- suara napas yang melemah - Suara napas bronkhial
sampai tidak terdengar pada - Suara napas tambahan
sisi yang terdapat cairan
ronkhi basah.
- suara
napas
bronkhial,
amforik, atau melemah.
Suara nafas tambahan ronki
basah, tanda-tanda penarikan
paru,
diafragma
dan
mediastinum.

4.3. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan

Teori

Kasus
13 | P a g e

Darah Rutin
Sputum BTA SPS
Radiologi TB aktif

LED meningkat
Sedikitnya 2 dari 3 spesimen SPS

LED meningkat
Sewaktu (+), Pagi (-),

BTA hasilnya positif.


Bayangan berawan/ nodular di
segmen apikal dan posterior
lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.
Infiltrat di segmen apikal dan
posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
Kaviti, terutama lebih dari
satu, dikelilingi oleh bayangan
opak berawan atau nodular
Bayangan bercak milier

Sewaktu (+)
Paru tampak gambaran
infiltrat pada apex kiri.

4.4. Kesimpulan
Telah dilaporkan seorang pasien perempuan, usia 19 tahun dengan diagnosa TB
paru + Dyspepsia type like ulcer yang didasarkan dengan adanya keluhan batuk
berdahak 3 minggu, sesak nafas sejak 1 minggu ini, demam sejak 2 minggu,
keringat malam dan penurunan berat badan dijumpai, serta adanya nyeri ulu hati. Pada
pemeriksaan fisik perkusi terdapat beda pada lapangan paru kanan bawah, dan
auskultasi terdapat suara pernafasan bronkhial dan suara tambahan ronchi basah (+)
pada lapangan paru kanan bawah. Serta dijumpai nyeri tekan pada regio epigastrium.
Pada pemeriksaan sputum BTA sewaktu pagi sewaktu (+), pada Foto Thoraks
kesan dijumpai infiltrat pada apex kiri.

DAFTAR PUSTAKA

14 | P a g e

Amin Z dan Asril B. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi
IV. Hal 988-992. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu penyakit Dalam FK UI,
2009.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Konsensus Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika, 2014.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Tuberkulosis Paru. Panduan
Pelayanan Medik. Hal 109-111. Jakarta: BP PAPDI, 2009.
Sylvia A, Loraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. Edisi 6.
Hal 852-860. Jakarta: EGC, 2005.
Abdul A, et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 9. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008.
Mansjoer A, et all. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Hal 472-476. Jakarta: Media
Aesculapius, 2006.
Herchline TE, Bronze MS. Tuberculosis [Updated on December 14 2014, Available at
http://www.emedicine.medscape.com Accessed on May 10, 2016]

15 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai