PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan
mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya (Anonima, 2014). Kesehatan
jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari
hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku yang efektif, konsep diri yang
positif, dan kestabilan emosional (Videbeck, 2008).
Penderita gangguan jiwa di Indonesia semakin bertambah tiap tahunnya,
peningkatan terkait dengan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh
masing-masing individu. Mulai dari kondisi perekonomian yang memburuk,
kondisi keluarga, latar belakang atau pola asuh anak yang tidak baik sampai
bencana alam yang melanda negara kita ini. Masalah-masalah seperti ini dapat
menimbulkan masalah pada psikologis seseorang seperti depresi berat, bipolar
bahkan skizofrenia. Dilihat dari sejarahnya dahulu penanganan pasien gangguan
jiwa dengan cara dipasung, dirantai atau diikat kuat-kuat lalu ditempatkan
tersendiri ditempat yang jauh atau bahkan dihutan bila gangguan jiwanya berat.
Bila pasien tersebut tidak berbahaya dibiarkan berkeliaran di jalan mencari makan
sendiri dan menjadi tontonan serta gunjingan masyarakat umum. Sehingga untuk
memperbaikinya perlu terapi khusus untuk penderita gangguan jiwa (Videbeck,
2008).
Skizofrenia adalah salah satu yang paling kompleks dan menantang dari
penyakit gangguan jiwa. Skizofrenia merupakan suatu sindrom heterogen yang
tidak teratur berupa gangguan perilaku-perilaku aneh, delusi, halusinasi, emosi
yang tidak wajar, dan gangguan fungsi utama psikososial. Skizofrenia juga
merupakan penyakit gangguan otak parah dimana orang menginterpretasikan
realitas secara abnormal. Kemampuan orang dengan skizofrenia untuk berfungsi
normal dan merawat diri mereka sendiri cenderung menurun dari waktu kewaktu.
Penyakit ini merupakan kondisi kronis, yang memerlukan pengobatan seumur
hidup (Dipiro et al, 2005; Ikawati, 2011).
Diperkirakan terdapat 50 juta penderita skizofrenia di dunia, 50% dari
penderia tidak menerima pengobatan yang sesuai, dan 90% dari penderita yang
tidak mendapat pengobatan yang tepat tersebut terjadi di negara berkembang
(Anonim, 2011). Pada tahun 2013 penderita skizofrenia di Indonesia telah
mencapai angka 1.027.763 jiwa, di Indonesia, prevalensi gangguan jiwa
(skizofrenia) sebesar 1,7% dan daerah Istimewa Yogyakarta menempati peringkat
pertama dari provinsi lain yaitu sebesar 2,7%, untuk Riau sendiri prevalensi
gangguan jiwa sebesar 0,8% (Anonim, 2013).
Salah satu penanganan skizofrenia denggan menggunakan pengobatan
antipsikotik. Antipsikotik merupakan terapi obat-obatan pertama yang efektif
mengobati skizofrenia (Irwan et al, 2008). Antipsikotik (major tranquilizer,
neuroleptik) merupakan obat-obat yang dapat menekan fungsi-fungsi psikis
tertentu tanpa mempengaruhi fungsi umum seperti berpikir dan berkelakuan
normal (bekerja pada system saraf pusat). Obat ini dapat meredakan emosi dan
agresi dan dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti
impian dan pikiran khayali (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak
normal. Oleh karena itu antipsikotika terutama digunakan pada psikosis, penyakit
jiwa hebat tanpa kesembuhan oleh pasien, misalnya penyakit skizofrenia dan
psikosis mania-depresi. Gangguan ini dijumpai rata-rata 1-2% dari jumlah seluruh
penduduk di seluruh wilayah pada setiap waktu dan terbanyak mulai timbul
(onset) pada usia 15-35 tahun (Videbeck, 2008).
Hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi
menunjukkan penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia yang paling
banyak adalah kombinasi klorpromazin dan haloperidol sebesar 37,12%,
antipsikotik tunggal yang paling banyak diresepkan adalah risperidon sebesar
35,71% (Natari, 2012). Penggunaan antipsikotik pada penderita skizofrenia di
Rumah Sakit Prof. V. L. Ratumbuysang Manado periode Januari 2013 Maret
2013, untuk antipsikotik pada terapi tunggal yang paling banyak digunakan adalah
risperidon dengan angka persentase sebesar 21,1% dan pada terapi kombinasi
antipsikotik yang paling banyak digunakan adalah kombinasi haloperidol dan
klorpromazin dengan angka persentase sebesar 23,2%. Pengobatan dengan
antipsikotik tipikal merupakan pengobatan terbanyak yang digunakan dengan
angka persentase 41,5% (Jarut et al, 2013). Sedangkan jenis antipsikotik yang
banyak digunakan untuk pasien skizofrenia di RSD Madani Provinsi Sulawesi
Tengah periode Januari April 2014 adalah tipikal yaitu 78% dan paling sedikit
adalah jenis atipikal yaitu 22% (Fahrul et al, 2014).
Provinsi Riau memiliki satu rumah sakit jiwa yaitu RS Jiwa Tampan
Pekanbaru. RS Jiwa Tampan termasuk rumah sakit khusus daerah tipe A. Rumah
sakit ini mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas
oleh pemerintah ditetapkan sebagai rujukan tertinggi atau disebut pula sebagai
rumah sakit pusat. Rumah sakit ini termasuk besar, tempat ini tersedia 161 tempat
tidur inap, lebih banyak dibanding setiap rumah sakit khusus kejiwaan di Riau
yang tersedia rata-rata 70 tempat tidur inap (Anonimb, 2014).
Setelah melihat beberapa penelitian sebelumnya dibeberapa rumah sakit jiwa
yang ada di Indonesia penulis tertarik ingin melakukan penelitian tentang
penggunaan antipsikotik pada penderita skizofrenia yang ada di ruamah sakit jiwa
tampan pekanbaru. Karena rumah sakit jiwa tampan merupakan satu-satunya
rumah sakit khusus kejiwaan yang ada di Provinsi Riau. Oleh sebab itu penulis
melakukan penelitian tentang gambaran pola penggunaan
antipsikosis pada
pasien skizofrenia diruang rawa inap Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru
Periode Januari Juni 2015.
1.2. Rumusan Masalah
Pada karya tulis ilmiah ini yang menjadi rumusan masalah adalah peneliti
ingin tau bagaimana penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di ruang
rawat inap RSJ Tampan pekanbaru periode januari juni 2015?
skizofrenia,
untuk
mengetahui
banyaknya
penderita
skizofrenia
berdasarkan diagnosa jenis penyakit, gejala penyakit, jenis zat aktif antipsikotik
yang digunakan, kategori pengobatan pasien skizofrenia, obat generik dan
branded yang digunakan, dosis antipsikotik yang digunakan pasien skizofrenia,
rute pemberian antipsikotik, dan untuk mengetahui penderita skizofrenia
berdasarkan bentuk sedian antipsikotik pada pasien skizofrenia.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan dan
dapat menjadi sumber informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya
dibidang kesehatan. Diharapkan juga dapat meningkatkan pengetahuan bagi
pembaca serta dapat bermanfaat untuk mengetahui antara teori dan kasus nyata
yang terjadi dilapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Skizofrenia
2.1.1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia bukanlah kepribadian yang terbelah atau kepribadian ganda.
Kata skizofrenia berasal dari kata Yunani yang berarti schizo (pecah belah atau
bercabang) dan phrene (jiwa), untuk menggambarkan adanya pemikiran yang
terfragmentasi dan mengacu pada gangguan keseimbangan emosi dan berpikir.
Pada tahun 1911 psikater Swiss, Eufen Bleuler menganjurkan supaya lebih baik
dipakai istilah Skizofrenia karena nama ini dengan tepat sekali menonjolkan
gejala utama penyakit ini, yaitu jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau
disharmoni antara proses berpikir, perasaan dan perbuatan. Eufen Bleuler juga
orang pertama yang menggambarkan gejala-gejala skizoprenia sebagai gejala
positif atau negatif. Sejak masa Bleuler, definisi skizofrenia terus berubah, karena
ilmuan mencoba untuk lebih akurat melukiskan berbagai jenis penyakit psikiatrik
(Anonima, 2010; Maramis dan Maramis, 2009).
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindroma dengan variasi penyebab
(banyak yang belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis
atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Muslim, 2003).
dewasa dan jarang terjadi sebelum masa remaja atau setelah usia 40 tahun. Angka
kejadian skizofrenia pada wanita sama dengan pria, tetapi onset pada umumnya
lebih awal (pria: 15-24 tahun; wanita; 25-35 tahun). Dengan implikasi lebih
banyak gangguan kognitif dan outcome yang lebih jelek pada pria dari pada
wanita.
Pria lebih banyak mengalami gejala-gejala negatif dan wanita lebih
banyak mengalami gejala afektif walaupun gejala psikotik akut, baik dalam jenis
atau tingkat keparahan, tidak berbeda antara kedua jenis kelamin. Lebih dari 80%
dari pasien skizofrenia memiliki orang tua yang tidak memiliki gangguan, namun
risiko skizofrenia lebih besar pada orang yang orang tuanya memiliki gangguan.
Risiko skizofrenia seumur hidup adalah sebesar 13% untuk anak dengan satu
orang tua dengan skizofrenia dan 35%-40% untuk anak yang kedua orang tuanya
menderita skizofrenia.
2.1.3. Etiologi Skizofrenia
Penyebab skizofrenia telah menjadi subyek perdebatan yang panjang,
meskipun penyebab skizofrenia tidak diketahui, beberapa penelitian telah
menunjukkan berbagai penyebabnya berupa macam-macam kelainan pada
struktur otak dan fungsinya. Namun, perubahan ini tidak konsisten atau sama pada
10
dalam sistem 5-HT ada pasien skizofrenia. Perubahan ini menunjukkan bahwa
disfungsi serotonergik adalah penting dalam patologi penyakit ini.
Serangkaian bukti yang mendukung peran potensial serotonin dalam
memperantarai efek antipsikotik obat datang dari interaksi anatomi dan fungsional
dopamin dan serotonin. Studi anatomi dan elektrofisiologi menunjukkan bahwa
syaraf serotonergik dari dorsal dan median raphe nuclei terproyeksi ke badanbadan sel dopaminergik dalam Ventral Teegmental Area (VTA) dan Substantia
Nigra (SN) dari otak tengah. Syaraf serotonergik neuron dilaporkan berujung
secara langsung pada sel-sel dopaminergik dan memberikan pengaruh
penghambatan pada aktivitas dopamin di jalur mesolimbik dan nigrostrial melalui
reseptor 5-HT2A.
Secara umum penurunan aktivitas serotonin terkait dengan peningkatan
aktivitas dopamin. Interaksi antara serotonin dengan dopamin, khususnya pada
reseptor 5-HT2A, dapat menjelaskan mekanisme obat anti psikotik atipikal dan
rendahnya potensi untuk menyebabkan efek samping ekstra piramidal. Selain itu,
stimulasi 5-HT1A juga meningkatkan fungsi dopaminergik.
c. Peranan Glutamat
Disfungsi sistem glutamatergik di korteks prefrontal diduga juga terlibat
dalam patofisiologis skizofrenia. Hipotesa peran sistem glutamatergik dalam
skizofrenia datang dari bukti bahwa pemberian antagonis reseptor N-metil-Daspartat (NMDA), seperti phencyclidine (PCP) dan ketamine, pada orang sehat
menghasilkan efek yang mirip dengan spektrum gejala dan gangguan kognitif
yang terkait dengan skizofrenia. Berbeda dengan gejala psikosis yang disebabkan
11
amfetamin yang hanya menggambarkan model gejala positif skizofrenia, efek dari
antagonis NMDA menyerupai baik gejala positif dan negatif serta defisis kognitif
skizofrenia.
2.1.5. Jenis Skizofrenia
Jenis-jenis skizofrenia yang ada antara lain (Anonim, 1993):
a. Skizofrenia simplex, dengan gejala utama kedangkalan emosi dan
kemunduran kemauan (F20.6)
b. Skizofrenia hebefrenik, gejala utama gangguan proses fikir gangguan
kemauan dan depersonalisasi. Banyak terdapat waham dan halusinasi
(F20.1)
c. Skizofrenia katatonik, dengan gejala utama pada psikomotor seperti
stupor maupun gaduh gelisah katatonik (F20.2)
d. Skizofrenia paranoid, dengan gejala utama kecurigaan yang ekstrim
disertai waham kejar atau kebesaran (F20.0)
e. Skizofrenia tak terinci (undifferentiated), ada gejala psikotik namun
tidak memenuhi kriteria untuk jenis paranoid, disorganized, atau
katatonik (F20.3)
f. Depresi pasca-skizofrenia, sebuah episode depresi yang timbul setelah
penyakit skizofrenia dimana beberapa gejala skizofrenia tingkat rendah
mungkin masih ada (F20.4)
g. Skizofrenia residual adalah skizofrenia dengan gejala-gejala primernya
dan muncul setelah beberapa kali serangan skizofrenia (F20.5)
h. Skizofrenia lainnya
12
13
14
15
Gejala Negatif
Alogia
(kehilangan
kemampuan
Sosial
untuk
(kurangnya
kemampuan
16
Selain itu, dikenal juga gejala kognitif yang terjadi pada pasien
skizofrenia, yang kejadiannya sangat bervariasi antar satu individu dengan
individu lainnya. Gejala yang hampir menyerupai gejala negatif dan kadang sulit
dikenali, kecuali dengan suatu tes khusus. Gejala kognitif ditandai dengan
kurangnya kemampuan untuk memahami informasi dan menggunakannya untuk
membuat keputusan, kesulitan dalam fokus atau perhatian, bermasalah dengan
fungsi memori dan tidak mampu menggunakan informasi. Gejala kognitif sering
membuat penderita sulit untuk menjalani hidup normal dan mencari nafkah.
2.1.7. Tatalaksana Terapi Skizofrenia (Ikawati, 2011)
a. Fase Akut
Pada satu minggu pertama sejak terjadi serangan akut, direkomendasikan
untuk segera memulai terapi dengan obat, karena serangan psikotik akut dapat
menyebabkan gangguan emosi, gangguan terhadap kehidupan pasien dan berisiko
besar untuk berperilaku yang berbahaya untuk diri sendiri dan orang lain.
Pemilihan suatu obat antipsikotik sering didasarkan pada pengalaman pasien
sebelumnya dengan antipsikotik, riwayat efek samping, dan rute pemberian yang
disukai. Dalam memilih antara obat-obat ini, psikiater perlu mempertimbangkan
respon terakhir pasien terhadap pengobatan, profil efek samping obat, ada
tidaknya penyakit penyerta, dan potensi interaksi dengan obat yang diresepkan
lainnya.
Dosis yang dianjutkan adalah efektif dan tidak menyebabkan efek samping
karena pengalaman efek samping yang tidak menyenangkan dapat mempengaruhi
kepatuhan jangka panjang. Dosis dapat dititrasi secepat dapat ditoleransi sampai
17
mencapat dosis target terapetiknya. Selama periode ini, sebaiknya tidak segera
meningkatkan dosis bagi pasien yang lambat memberikan respon. Jika respon
pasien tidak baik, perlu dipastikan apakah itu karena ketidakpatuhan pengobatan,
atau obat terlalu cepat dimetabolisme atau kurang absorpsinya.
Obat-obat ajuvan juga umumnya diresepkan untuk kondisi komorbiditas
pada fase akut. Benzodiazepine dapat digunakan untuk mengobati katatonia serta
mengatasi kecemasan dan agitasi sampai antipsikotik menunjukkan efeknya.
Antidepresan dapat dipertimbangkan untuk mengobati komorbiditas depresi berat
atau gangguan obsesif kompulsif, meskipun perlu kewaspadaan untuk mencegah
risiko terjadinya serangan psikosis pada beberapa antidepresan tertentu. Mood
stabilizer dan beta-bloker juga dapat dipertimbangkan untuk mengurangi tingkah
keparahan agresi dan rasa permusuhan.
b. Fase Stabilisasi
Selama fase stabilisasi, yaitu pada minggu ke 2-3 setelah serangan akut,
tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi stres pada pasien dan meminimalkan
kemungkinan kambuh, meningkatkan adaptasi pasien untuk hidup di masyarakat,
memfasilitasi penurunan gejala, dan meningkatkan proses pemulihan. Jika pasien
membaik dengan rejimen obat tertentu, maka rejimen tadi sebaiknya dilanjutkan
dan dilakukan pemantauan selama minimal 6 bulan. Penuruanan dosis atau
penghentian obat terlalu dini dapat mengakibatkan kekambuhan gejala. Selain itu
perlu juga melakukan pengamatan terhadap efek samping yang mungkin telah
muncul pada fase akut dan untuk menyesuaikan farmakoterapi untuk
meminimalkan efek samping dapat menyebabkan ketidak patuhan pengobatan.
18
19
20
flufenazin dekanoat atau haloperidol dekanoat. Tetapi formulasi depot ini hanya
dapat diberikan jika pasien telah memiliki dosis efektif per oral yang stabil.
Terapi psikososial yang juga dapat diberikan dan telah menunjukan
efektivitas yang baik selama fase stabil, antara lain adalah intervensi keluarga,
dukungan dalam pekerjaan, palatihan keterampilan sosial, dan terapi kognitif
perilaku. Seperti halnya dengan terapi obat yang bersifat individual, terapi
psikososial juga harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien secara personal.
2.2. Antipsikotik
Psikosis adalah gangguan psikiatri yang paling parah, yang tidak hanya
ditandai dengan gangguan perilaku, tetapi juga ketidakmampuan dalam berpikir
secara logis, memahami realita, atau mendapatkan pemahaman diri akan
kehadiran abnormalitas ini. Gangguan umum ini (mempengaruhi mungkin 1%
populasi pada usia tertentu umumnya mencakup gejala kepercayaan palsu (delusi)
dan sensasi abnormal (halusinasi).
21
terjadi. Delusi yang agak terisolir atau lebih terisolir merupakan karakteristik
gangguan deluasi atau paranoid (Brunton et al, 2010).
Sejak ditemukannya klorpromazin, suatu neuroleptik golongan fenotiazin
pada tahun 1950, pengobatan untuk psikosis terutama skizofrenia reus
dikembangkan. Istilah neuroleptik sebagai sinonim antipsikotik berkembang dari
kenyataan bahwa obat antipsikotik sering menimbulkan gejala saraf berupa gejala
ekstrapiramidal istilah neuroleptik tidak lagi dapat dianggap sinonim dari istilah
antipsikotik yakni haloperidol, yang penggunaanya cukup luas hingga selama 4
dekade (Anonim, 2007).
Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama
antipsikotik golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (ESP= extrapyramidal symptom) yang
umum terjadi dengan obat antipsikotik tipikal yang ditemukan lebih dahulu. Sejak
ditemukan klozapin, pengembangan obat baru golongan atipikal ini terus
dilakukan. Hal ini terlihat dengan ditemukannya obat baru yaitu risperidon,
olanzapin, zotepin, ziprasidon dan lainnya (Anonim, 2007).
Antipsikotika (major tranquilizer, neuroleptik) merupakan obat-obat yang
dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa memengaruhi fungsi umum
seperti berpikir dan berkelakuan normal. Obat ini dapat meredakan emosi dan
agresi dan dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti
impian dan pikiran khayali (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak
normal (Tjay, 2007).
22
tipikal
merupakan antipsikotik
generasi
lama
yang
mempunyai aksi untuk mengelok reseptor dopamin D2. Antipsikotik jenis ini
lebih efekif untuk mengatasi gejala positif yang muncul. Efek samping
ekstrapiramidal banyak ditemukan pada penggunaan antipsikotik tipikal sehingga
muncul antipsikotik atipikal yang lebih aman (Dipiro et al, 2005).
a. Klorpromazin
Klorpromazin (CPZ) obat ini sampai sekarang masih tetap digunakan
sebagai antipsikosis, karena ketersediaannya dan harganya yang murah. Efek
farmakologik klorpromazin dan antipsikosis lainnya meliputi efek pada susunan
saraf pusat, sistem otonom, dan sistem endokrin. Efek ini terjadi karena
antipsikosis menghambat berbagai reseptor diantaranya dopamin, reseptor
alfaadrenergik, muskarinik, histamin H1 dan reseptor serotonin 5HT2 dengan
23
afinitas yang berbeda. CPZ misalnya selain memiliki afinitas terhadap reseptor
terhadap reseptor dopamin, juga memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor
alfaadrenergik, sedangkan risperidon memiliki afinitas yang tinggi terhadap
reseptor serotonin 5HT2 (Anonim, 2007).
CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh terhadap
rangsang dari lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi terhadap
efek sedasi. Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional pasien
sebelum minum obat (Anonim, 2007).
CPZ tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg. selain itu juga
tersedia dalam bentuk larutan suntuk 25 mg/mL. Larutan CPZ dapat berubah
warna menjadi merah jambu oleh pengauh cahaya. Pada psikosis oral,
intramuskular atau intravena deberikan 3 kali sehari (tiap satu kali pemakaian
sebanyak 25 mg) selama 3-4 hari, bila perlu dinaikkan sampai 1 gram sehari. Pada
sedu: 3-4 kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 25-50 mg), sebagai adjuvans
pada nyeri sedang/hebat 2-4 kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 25 mg)
(Anonim, 2007; Tjay, 2007).
b. Flupenazin (Tjay, 2007).
Flupenazin adalah turunan CH2OH dari trifluoperazin (1959) dengan
sifat hampir sama. Daya antimual dan sedarifnya ringan. Flufenazin terutama
digunakan sebagai injeksi kerja-panjang guna menjamin pengobatan. Plasma t
dari senyawa HCl, -entat dan dekanoatnya masing-masing rata-rata 8 jam, 3,6
hari dan 8 hari. ESP sering terjadi, efek anti-kolinergis dan sedarifnya ringan.
Esternya dapat mengakibatkan depresi serius.
24
Flupenazin tersedia dalam bentuk sediaan 2,5 mg dan 5 mg. biasanya dosis
pada psikotik akut intramuskular 1,25 mg, lalu setiap 4-8 jam 2-5 mg sampai
gejala terkendali, pemeliharaan flupenazine enantat 25 mg setiap 2 minggu, atau
flupenazine dekanoat 25 mg setiap 3-4 minggu.
c. Haloperidol
Haloperidol (HLP) berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien
psikosis yang karena hal tertentu tidak diberi fenotiazin. Reaksi ekstra piramidal
timbul pada 80% pasien yang diobati haloperidol. Struktur haloperidol berbeda
dengan fenotiazin, tetapi butirofenon memperlihatkan banyak sifat fenotiazin.
Pada orang normal, efek haloperidol mirip fenotiazin piperazin. Haloperidol
memperlihatkan antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase mania penyakit
manik depresif dan skizofrenia. Efek fenotiazin piperazin dan butirofenon berbeda
secara kuantitatif karena butirofenon selain menghambat efek dopamin, juga
meningkatkan turnover ratenya (Anonim, 2007).
Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang
mengalami eksitasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat dibanding CPZ,
sedangkan efek haloperidol terhadap elektroensefalogram (EEG) menyerupai CPZ
yakni memperlambat dan menghambat jumlah gelombang teta. Haloperidol dan
CPZ sama kuat menurunkan ambang rangsang konvulsi. Haloperidol menghambat
sistem dopamin dan hipotalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan
oleh apomorfin (Anonim, 2007).
Haloperidol tersedia dalam bentuk tablet 0,5 mg dan 1,5 mg. selain itu
juga tersedia dalam bentuk sirup 5 mg/100 mL dan ampul 5 mg/mL. Psikosis oral
25
2-4 kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 1,5-5 mg), manula (pemeliharaan)
2-4 mg sehari. Pada sedu 5-10 mg sehari, untuk muntah-muntah 2 kali sehari (tiap
kali pemakaian sebanyak 0,5-1 mg), sebagai adjuvan pada nyeri sedang-hebat 2-4
kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 0,5 mg) (Anonim, 2007; Tjay, 2007).
d. Perfenazin(Tjay, 2007).
Derivat-fenotiazin dengan rantai-sisi piperazin ini (1957) berdaya
antipsikotik kuat dengan daya anti-adrenergis dan antiserotonin relatif lemah.
Kerja antikolinergisnya ringan sekali. Obat ini juga berkhasiat antiemetik kuat.
ESP sering timbul. Dalam hati zat ini dirombak menjadi metabolit yang kurang
aktif.
Perfenazin tersedia dalam bentuk tablet 2 mg, 4 mg, dan 8 mg. oral 2-3
kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 2-4 mg), maks 24 mg sehari,
intramuskular 100 mg (dekanoat/enantat, preparat depot) setiap 2-4 minggu.
e. Loksapin (Anonim, 2007).
Obat ini mewakili golongan antipsikosis yang baru dengan rumus kimia
yang berbeda dari fenotiazin, butirofenon, tioksanten dan dihidroiodolon. Namun
sebagian besar efek farmakologinya sama. Loksapin memiliki efek antiemetik,
sedatif, antikolinergik dan antiadrenergik. Obat ini berguna untuk mengobati
skizofrenia dan psikosis lainnya (Anonim, 2007).Loksapin tersedia dalam bentuk
tablet dan suntik, dosis awal 20-50 mg/hari dalam 2 dosis. Dosis pemeliharaan 20100 mg dalam 2 dosis.
26
27
28
29
Risperidon tersedia dalam bentuk tablet 1 mg, 2 mg, dan 3 mg. sirup dan
injeksi (long lasting injection) 50 mg/mL. dosis oral 2 kali sehari (tiap kali
pemakaian sebanyak 1 mg), maks 2 kali sehari 5 mg (Anonim, 2007; Tjay, 2007).
c. Olanzapin
Olanzapin merupakan derivat tienobenzodiazepin oral, struktur kimianya
mirip dengan klozapin. Olanzapin memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin
(D2, D3, D4 dan D5), reseptor serotonin (5HT2), muskarinik, histamin (H1) dan
reseptor alfa 1. Olanzapin diindikasikan untuk mengatasi gejala negatif maupun
positif skizofrenia dan sebagai antimania. Obat ini juga menunjukkan efektivitas
pada pasien depresi dengan gejala psikotik (Anonim, 2007).
Olanzapine tersedia dalam bentuk tablet 5 mg, 10 mg dan vial 10 mg.
permulaan 1 kali sehari 10 mg, pemeliharaan 7,5-17,5 mg sehari (Anonim, 2007;
Tjay, 2007).
d. Quetiapin
Obat ini memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin (D2), serotonin
(5HT2), dan bersifat agonis parsial terhadap reseptor serotonin 5HT1A yang
diperkirakan mendasari efektifitas obat ini untuk gejala positif maupun negatif
skizofrenia (Anonim, 2007).
Quetiapin diindikasikan untuk skizofrenia dengan gejala positif maupun
negatif. Obat ini dilaporkan juga meningkatkan kemampuan kognitif pasien
skizofrenia seperti perhatian, kemampuan berpikir, berbicara, dan kemampuan
mengingat membaik. Masih diperlukan penelitian lanjut untuk membuktikan
30
apakah manfaat klinisnya berarti. Di samping itu obat ini diindikasikan pula untuk
gangguan depresi dan mania (Anonim, 2007).
Quetiapin pada hari pertama diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 25 mg), hari kedua diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 50 mg), hari ketiga diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 100 mg), hari keempat diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 150 mg), lalu bila perlu dinaikkan lagi sampai dosis pemeliharaan maks
450 mg sehari (Tjay, 2007).
e. Ziprasidon (Anonim, 2007).
Obat ini dikembangkan dengan harapan memiliki spektrum skizofenia
yang luas, baik gejala positif maupun gejala afektif dengan efek samping yang
minimal terhadap prolaktin, metabolik, gangguan seksual dan efek antikolinergik.
Obat ini memperlihatkan afinitas terhadap reseptor serotonin (5HT2A) dan
dopamin (D2). Obat ini diindikasikan untuk mengatasi keadaan akut (agitasi) dari
skizofrenia dan gangguan skizoafektif, terapi pemeliharaan pada skizofrenia
skizoafektif kronik, serta gangguan bipolar. ziprasidon tersedia dalam bentuk
tablet 20 mg dan ampul 10 mg.
2.2.3. Indikasi Antipsikosis (Anonim, 2007).
a. Indikasi Psikiatri
Antipsikosis sangat bermanfaat mengatasi keadaan Gaduh gelisah.
Efektivitas obat ini sangat membantu orang orang yang memelihara pasien
psikosis. Obat antipsikosis tidak menyembuhkan, bersifat pengobatan simtomatik.
31
antipsikotik
lama,
kecuali
tioridazin
memiliki
efek
32
Tipikal
biasa yang
Branded
DosisEkivalen(mg)a
digunakan
Nama Generik
maksimum
Bentuk Sediaanb
(mg/hari)
(mg/hari)
Antipsikotik Tipikal (Antipsikotik generasi pertama)
Chlorpromazine
Thorazine
100
100-800
2000
T, L, LC, I, C-ER,SR
Fluphenazine
Prolixin
2-20
40
T, L, LC, I, LAI
Haloperidol
Haldol
2-20
100
T, LC, I, LAI
Loxapine
Loxitane
10
10-80
250
C, LC
Molindone
Moban
10
10-100
225
T, LC
Mesoridazine
Serentil
50
50-400
500
T, LC, I
Perphenazine
Trilafon
10
10-64
64
T, LC, I
Thioridazine
Mellaril
100
100-800
800
T, LC
Thiothixene
Navane
4-40
60
C, LC
Trifluoperazine
Stelazine
5-40
80
T, LC, I
Abilify
NA
15-30
30
Clozapine
Clozaril
NA
5-500
900
Olanzapine
Zyprexa
NA
10-20
20
T, I, O
Quetiapine
Seroquel
NA
250-500
800
Risperidone
Risperdal
NA
2-8
16
T, O, L
Risperidone
Risperdal
25-50
50
NA
(depot)
Every 2
Consta
LAI
Every 2 weeks
weeks
Ziprasidone
Geodon
NA
40-160
200
C, I
NA. Parameter ini tidak berlaku untuk Antipsikotik Atipikal. bT, tablet; C, kapsul; ER or SR, diperpanjang
atau lepas lambat; I, injeksi; L, larutan cair, eliksir, atau suspensi; LC, konsentrat cair; O, oral disintegrasi
tablet; LAI, penyuntikan jangka panjang.
33
setelah
terapi
antipsikotik
dimulai
atau
jika
dosis
ditingkatkan.
kegelisahan
dan
kecemasan
dan
aktivitas
motorik,
seperti
ketidakmampuan untuk duduk diam. Efek ini muncul beberapa hari sampai
beberapa minggu setelah penggunaan antipsikotik dan umumnya sulit diatasi.
Selain efek samping ekstrapiramidal, obat antipsikotik juga memiliki efek
samping neuromuskular seperti tardive dyskinesia. Tardive dyskinesia adalah
gangguan gerakan abnormal yang tidak terkontrol. Gangguan ini dapat
mempengaruhi fungsi neuromuskular pada berbagai bagian tubuh, namun yang
paling sering terlihat adalah pada daerah wajah dan sekitar mulut.
Efek-efek samping lain obat antipsikotik antara lain adalah neuroleptic
malignant syndrome, sedasi, efek kardiovaskular, efek antikolinergik dan
antiadrenergik, abnormalitas metabolik dan penambahan berat badan, dan
gangguan fungsi seksual.
34
Dosis
(mg/hari)
0,5-6,0
Waktu
paruh
24
Triheksifenidil
1-15
Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Amantadin
100-300
10-14
Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Propanolol
30-90
3-4
Akatisia
Lorazepam
1-6
12
Akatisia
25-30
4-8
Akatisia, distonia,
Difenhidramin
parkinsonisme
35
jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi
(affective), dan tindakan (psychomotor) (Iyus, 2007).
2.3.2. Ciri-ciri Sehat Jiwa
Sehat jiwa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Direja, 2011):
a. Seseorang dapat beradaptasi diri secara konstruktif pada kenyataan
(berani mengadapi kenyataaan).
b. Mendapat kepuasan dari usahanya.
c. Lebih puas memberi dari pada menerima.
d. Bebas (relatif) dari cemas.
e. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan
memuaskan.
f. Dapat menerima kekecewaan sebagai pelajaraan dikemudian hari.
g. Mengarahkan rasa bermusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan
konstruktif.
h. Daya kasih sayang yang besar.
2.3.3. Kriteria Sehat Jiwa
Individu yang sehat jiwa ditandai dengan hal-hal sebagai berikut
(Kusumawati dan Hartono, 2010):
a. Sikap positif terhadap diri sendiri
b. Tumbuh berkembang dan aktualisasi diri
c. Integrasi (keseimbangan/keutuhan)
d. Otonomi
e. Persepsi realitas
36
37
38
r. Masa tua
s. Sebab sosio cultural
t. Kepincanagan antara keinganan dengan kenyataan yang ada
u. Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi
v. Perpindahan kesatuan keluarga
w. Masalah golongan minoritas
2.3.6. Proses Perjalanan Penyakit
Gejala mulai timbul biasanya pada masa remaja atau dewasa awal sampai
dengan umur pertengahan melalui beberapa fase antara lain (Direja, 2011):
a. Fase Prodomal
b. Fase Aktif
c. Fase Residual
2.3.7. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa
Berikut ini adalah beberapa tanda dan gejala dari gangguan jiwa (Direja,
2011):
a. Gangguan kognitif
b. Gangguan perhatian
c. Gangguan ingatan
d. Gangguan asosiasi
e. Gangguan pertimbangan
f. Gangguan pikiran
g. Gangguan kesadaran
h. Gangguan kemauan
39
untuk
40
dan
peningkatan
kesehatan
perorangan
melalui
bidang
kesehatan
41
dalam
rangka
peningkatan
sakit
jiwa
adalah
rumah
sakit
yang
khusus
untuk
perawatan gangguan mental serius. Rumah sakit jiwa sangat bervariasi dalam
tujuan dan metode. Beberapa rumah sakit mungkin mengkhususkan hanya dalam
jangka pendek atau terapi rawat jalan untuk pasien berisiko rendah. Orang lain
mungkin mengkhususkan diri dalam perawatan sementara atau permanen dari
warga yang sebagai akibat dari gangguan psikologis, memerlukan bantuan rutin,
perawatan khusus dan lingkungan yang terkendali. Pasien kadang-kadang dirawat
secara sukarela, tetapi itu akan dipraktikkan ketika seorang individu dapat
menimbulkan bahaya yang signifikan bagi diri mereka sendiri atau orang lain.
Biasanya pasien diberi obat penenang, dan diberi aktivitas sehari-hari
seperti olahraga, membaca, dan rekreasi. Pada masa lalu, pasien yang bertingkah
laku bahaya sering diberi perawatan dengan listrik tegangan tinggi. Sekarang, hal
ini dianggap melanggar hak asasi manusia(Anonime, 2014).
42
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2015 September 2015.
Penelitian dilaksanakan di Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Jiwa Tampan
Pekanbaru.
3.2. Rancangan penelitian
3.2.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional jenis studi deskriptif di
Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru.
3.2.2. Sumber Data
Data dikumpulkan dari rekam medik pasien skizofrenia di Rumah Sakit
Jiwa Tampan Pekanbaru. Data yang diambil yaitu data selama 6 bulan dari
tanggal 1 Januari 30 Juni 2015.
a. Data Primer
Data primer peneliti yaitu berupa catatan rekam medik pasien skizofrenia
yang ada di Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru.
b. Data Sekunder
Data sekunder peneliti yaitu berupa nomor rekam medik dan jumlah
populasi pasien skizofrenia.
43
44
b. Data rekam medik pasien yang berusia < 18 tahun yang menderita
skizofrenia di RS Jiwa Tampan Pekanbaru
c. Data rekam medik pasien yang tidak didiagnosa skizofrenia dan tidak
mendapat antipsikotik di RS Jiwa Tampan Pekanbaru
Perhitungan sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan
rumus Slovin (Riduwan, 2005) yaitu sebagai berikut :
NN
n=
N
1+N(d)2
Keterangan:
n
= Besar sampel
Pada penelitian ini sampel yang akan diambil adalah rekam medik penderita
skizofrenia yang memenuhi kriteria inklusi, dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
n=
428
1+428(0,1)2
n=
428
1+428(0,01)2
n=
428
5,2
= 81
45
81
rekam
medik,
sehingga
peneliti
harus
mengambil
atau
46
47
48
: 18 tahun 40 tahun
b) Dewasa madya
: 41 tahun 60 tahun
c) Dewasa lanjut
: 61 Tahun
49
pada
pasien skizofrenia
berdasarkan
50