Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan
mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya (Anonima, 2014). Kesehatan
jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari
hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku yang efektif, konsep diri yang
positif, dan kestabilan emosional (Videbeck, 2008).
Penderita gangguan jiwa di Indonesia semakin bertambah tiap tahunnya,
peningkatan terkait dengan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh
masing-masing individu. Mulai dari kondisi perekonomian yang memburuk,
kondisi keluarga, latar belakang atau pola asuh anak yang tidak baik sampai
bencana alam yang melanda negara kita ini. Masalah-masalah seperti ini dapat
menimbulkan masalah pada psikologis seseorang seperti depresi berat, bipolar
bahkan skizofrenia. Dilihat dari sejarahnya dahulu penanganan pasien gangguan
jiwa dengan cara dipasung, dirantai atau diikat kuat-kuat lalu ditempatkan
tersendiri ditempat yang jauh atau bahkan dihutan bila gangguan jiwanya berat.
Bila pasien tersebut tidak berbahaya dibiarkan berkeliaran di jalan mencari makan
sendiri dan menjadi tontonan serta gunjingan masyarakat umum. Sehingga untuk
memperbaikinya perlu terapi khusus untuk penderita gangguan jiwa (Videbeck,
2008).

Skizofrenia adalah salah satu yang paling kompleks dan menantang dari
penyakit gangguan jiwa. Skizofrenia merupakan suatu sindrom heterogen yang
tidak teratur berupa gangguan perilaku-perilaku aneh, delusi, halusinasi, emosi
yang tidak wajar, dan gangguan fungsi utama psikososial. Skizofrenia juga
merupakan penyakit gangguan otak parah dimana orang menginterpretasikan
realitas secara abnormal. Kemampuan orang dengan skizofrenia untuk berfungsi
normal dan merawat diri mereka sendiri cenderung menurun dari waktu kewaktu.
Penyakit ini merupakan kondisi kronis, yang memerlukan pengobatan seumur
hidup (Dipiro et al, 2005; Ikawati, 2011).
Diperkirakan terdapat 50 juta penderita skizofrenia di dunia, 50% dari
penderia tidak menerima pengobatan yang sesuai, dan 90% dari penderita yang
tidak mendapat pengobatan yang tepat tersebut terjadi di negara berkembang
(Anonim, 2011). Pada tahun 2013 penderita skizofrenia di Indonesia telah
mencapai angka 1.027.763 jiwa, di Indonesia, prevalensi gangguan jiwa
(skizofrenia) sebesar 1,7% dan daerah Istimewa Yogyakarta menempati peringkat
pertama dari provinsi lain yaitu sebesar 2,7%, untuk Riau sendiri prevalensi
gangguan jiwa sebesar 0,8% (Anonim, 2013).
Salah satu penanganan skizofrenia denggan menggunakan pengobatan
antipsikotik. Antipsikotik merupakan terapi obat-obatan pertama yang efektif
mengobati skizofrenia (Irwan et al, 2008). Antipsikotik (major tranquilizer,
neuroleptik) merupakan obat-obat yang dapat menekan fungsi-fungsi psikis
tertentu tanpa mempengaruhi fungsi umum seperti berpikir dan berkelakuan
normal (bekerja pada system saraf pusat). Obat ini dapat meredakan emosi dan

agresi dan dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti
impian dan pikiran khayali (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak
normal. Oleh karena itu antipsikotika terutama digunakan pada psikosis, penyakit
jiwa hebat tanpa kesembuhan oleh pasien, misalnya penyakit skizofrenia dan
psikosis mania-depresi. Gangguan ini dijumpai rata-rata 1-2% dari jumlah seluruh
penduduk di seluruh wilayah pada setiap waktu dan terbanyak mulai timbul
(onset) pada usia 15-35 tahun (Videbeck, 2008).
Hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi
menunjukkan penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia yang paling
banyak adalah kombinasi klorpromazin dan haloperidol sebesar 37,12%,
antipsikotik tunggal yang paling banyak diresepkan adalah risperidon sebesar
35,71% (Natari, 2012). Penggunaan antipsikotik pada penderita skizofrenia di
Rumah Sakit Prof. V. L. Ratumbuysang Manado periode Januari 2013 Maret
2013, untuk antipsikotik pada terapi tunggal yang paling banyak digunakan adalah
risperidon dengan angka persentase sebesar 21,1% dan pada terapi kombinasi
antipsikotik yang paling banyak digunakan adalah kombinasi haloperidol dan
klorpromazin dengan angka persentase sebesar 23,2%. Pengobatan dengan
antipsikotik tipikal merupakan pengobatan terbanyak yang digunakan dengan
angka persentase 41,5% (Jarut et al, 2013). Sedangkan jenis antipsikotik yang
banyak digunakan untuk pasien skizofrenia di RSD Madani Provinsi Sulawesi
Tengah periode Januari April 2014 adalah tipikal yaitu 78% dan paling sedikit
adalah jenis atipikal yaitu 22% (Fahrul et al, 2014).

Provinsi Riau memiliki satu rumah sakit jiwa yaitu RS Jiwa Tampan
Pekanbaru. RS Jiwa Tampan termasuk rumah sakit khusus daerah tipe A. Rumah
sakit ini mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas
oleh pemerintah ditetapkan sebagai rujukan tertinggi atau disebut pula sebagai
rumah sakit pusat. Rumah sakit ini termasuk besar, tempat ini tersedia 161 tempat
tidur inap, lebih banyak dibanding setiap rumah sakit khusus kejiwaan di Riau
yang tersedia rata-rata 70 tempat tidur inap (Anonimb, 2014).
Setelah melihat beberapa penelitian sebelumnya dibeberapa rumah sakit jiwa
yang ada di Indonesia penulis tertarik ingin melakukan penelitian tentang
penggunaan antipsikotik pada penderita skizofrenia yang ada di ruamah sakit jiwa
tampan pekanbaru. Karena rumah sakit jiwa tampan merupakan satu-satunya
rumah sakit khusus kejiwaan yang ada di Provinsi Riau. Oleh sebab itu penulis
melakukan penelitian tentang gambaran pola penggunaan

antipsikosis pada

pasien skizofrenia diruang rawa inap Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru
Periode Januari Juni 2015.
1.2. Rumusan Masalah
Pada karya tulis ilmiah ini yang menjadi rumusan masalah adalah peneliti
ingin tau bagaimana penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di ruang
rawat inap RSJ Tampan pekanbaru periode januari juni 2015?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran pola penggunaan
antipsikotik pada pasien skizofrenia diruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa
Tampan Pekanbaru Periode Januari Juni 2015.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu sebagai berikut untuk mengetahui
demografi umur, jenis kelamin, status perkawinan, kota asal, dan pendidikan
pasien

skizofrenia,

untuk

mengetahui

banyaknya

penderita

skizofrenia

berdasarkan diagnosa jenis penyakit, gejala penyakit, jenis zat aktif antipsikotik
yang digunakan, kategori pengobatan pasien skizofrenia, obat generik dan
branded yang digunakan, dosis antipsikotik yang digunakan pasien skizofrenia,
rute pemberian antipsikotik, dan untuk mengetahui penderita skizofrenia
berdasarkan bentuk sedian antipsikotik pada pasien skizofrenia.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan dan
dapat menjadi sumber informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya
dibidang kesehatan. Diharapkan juga dapat meningkatkan pengetahuan bagi
pembaca serta dapat bermanfaat untuk mengetahui antara teori dan kasus nyata
yang terjadi dilapangan.

1.4.2. Manfaat Aplikatif


Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui jumlah persentase penggunaan
antipsikotik pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru
sehingga bisa digunakan sebagai pertimbangan untuk rumah sakit itu sendiri.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui gambaran pola penggunaan
antipsikotik di ruang rawat inap RS Jiwa Tampan Pekanbaru Periode Januari
Juni 2015 yang meliputi persentase dari segi rentang usia penderita, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, kota asal, status perkawinan, jenis diagnosa, persentase gejala
penyakit dan persentase jenis zat aktif antipsikotik yang digunakan, persentase
antipsikotik berdasarkan kategori pengobatan, dosis, rute pemberian, bentuk
sediaan serta persentase antara penggunaan obat generik dan branded diruang
rawat inap RS Jiwa Tampan Pekanbaru Periode Januari Juni 2015.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Skizofrenia
2.1.1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia bukanlah kepribadian yang terbelah atau kepribadian ganda.
Kata skizofrenia berasal dari kata Yunani yang berarti schizo (pecah belah atau
bercabang) dan phrene (jiwa), untuk menggambarkan adanya pemikiran yang
terfragmentasi dan mengacu pada gangguan keseimbangan emosi dan berpikir.
Pada tahun 1911 psikater Swiss, Eufen Bleuler menganjurkan supaya lebih baik
dipakai istilah Skizofrenia karena nama ini dengan tepat sekali menonjolkan
gejala utama penyakit ini, yaitu jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau
disharmoni antara proses berpikir, perasaan dan perbuatan. Eufen Bleuler juga
orang pertama yang menggambarkan gejala-gejala skizoprenia sebagai gejala
positif atau negatif. Sejak masa Bleuler, definisi skizofrenia terus berubah, karena
ilmuan mencoba untuk lebih akurat melukiskan berbagai jenis penyakit psikiatrik
(Anonima, 2010; Maramis dan Maramis, 2009).
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindroma dengan variasi penyebab
(banyak yang belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis
atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Muslim, 2003).

2.1.2. Epidemiologi Skizofrenia (Dipiro et al, 2005; Ikawati, 2011).


Menurut Epidemiologic Catchment Area Study, The U.S., Prevalensi
skizofrenia seumur hidup berkisar antara 0,6% sampai dengan 1,9%, dengan ratarata sekitar 1%. Pravelensi penderita skizofrenia diseluruh dunia hampir mirip,
skizofrenia onsetnya sering terjadi pada akhir

masa remaja atau awal masa

dewasa dan jarang terjadi sebelum masa remaja atau setelah usia 40 tahun. Angka
kejadian skizofrenia pada wanita sama dengan pria, tetapi onset pada umumnya
lebih awal (pria: 15-24 tahun; wanita; 25-35 tahun). Dengan implikasi lebih
banyak gangguan kognitif dan outcome yang lebih jelek pada pria dari pada
wanita.
Pria lebih banyak mengalami gejala-gejala negatif dan wanita lebih
banyak mengalami gejala afektif walaupun gejala psikotik akut, baik dalam jenis
atau tingkat keparahan, tidak berbeda antara kedua jenis kelamin. Lebih dari 80%
dari pasien skizofrenia memiliki orang tua yang tidak memiliki gangguan, namun
risiko skizofrenia lebih besar pada orang yang orang tuanya memiliki gangguan.
Risiko skizofrenia seumur hidup adalah sebesar 13% untuk anak dengan satu
orang tua dengan skizofrenia dan 35%-40% untuk anak yang kedua orang tuanya
menderita skizofrenia.
2.1.3. Etiologi Skizofrenia
Penyebab skizofrenia telah menjadi subyek perdebatan yang panjang,
meskipun penyebab skizofrenia tidak diketahui, beberapa penelitian telah
menunjukkan berbagai penyebabnya berupa macam-macam kelainan pada
struktur otak dan fungsinya. Namun, perubahan ini tidak konsisten atau sama pada

tiap-tiap individu yang didiagnosis skizofrenia. Penelitian juga menunjukkan


bahwa genetika perkembangan janin dalam kandungan lingkungan awal
neurobiologis, dan proses psikologis dan faktor sosial merupakan penyebab
penting. Meskipun tidak ada penyebab umum skizofrenia yang dapat
diidentifikasi pada semua individu yang didiagnosis dengan kondisi tersebut, saat
ini sebagian besar peneliti dan dokter percaya bahwa skizofrenia dipengaruhi oleh
kerentanan otak (baik yang diwarisi atau diperoleh) dan peristiwa kehidupan
(Dipiro et al, 2005; Ikawati, 2011).
2.1.4. Patofisiologi Skizofrenia (Ikawati, 2011)
Teori neurokimia tentang skizofrenia berkembang dengan menganalisis
efek antipsikotik dan propsikotik obat pada manusia dan hewan percobaan. Teori
ini terutama berpusat pada peran dopamin dan glutamate pada patofisiologi
skizoprenia. Walaupun peran serotonin juga mendapat perhatian, terutama selama
dekade terakhir.
a. Peran Dopamin
Hipotesis dopamin pada skizofrenia pertama kali diusulkan berdasarkan
bukti farmakologis tidak langsung pada manusia dan hewan percobaan. Pada
waktu itu ditemukan bahwa penggunaan amfetamin pada dosis besar, suatu obat
yang meningkat aksi dopamin, ternyata menyebabkan gejala psikotik, yang dapat
diatasi dengan pemberian suatu obat yang memblok reseptor dopamin. Agonis
reseptor dopamin D2, apomorfin, juga menghasilkan efek serupa, sementara obatobat antagonis dopamin ternyata dapat mencegah gejala yang disebabkan oleh
amfetamin.

Dalam hipotesis dopamin, dinyatakan bahwa skizofrenia dipengaruhi oleh


aktivitas dopamin pada jalur mesolimbik dan mesokortis syaraf dopamin.
Overaktivitas syaraf dopamin pada jalur mesolimbik bertanggung jawab
menyebabkan gejala positif, sedangkan kurangnya aktibitas dopamin pada jalur
mesokortis menyebabkan gejala negatif, kognitif, dan afektif.
Diketahui bahwa jalur dopamin syaraf terdiri dari 4 jalur, yaitu:
1) Jalur nifrostrial: dari substantia nigra ke basal ganglia
2) Jalur mesolimbic: dari substantia nigra menuju ke sistem limbic
3) Jalur mesokortikal: dari substantia nigra menuju ke frontal cortex
4) Jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar pituitary.
b. Peranan Serotonin
Pelepasan dopamin tidak bisa dilepaskan dari fungsi serotonin (5-HT)
yang memiliki fungsi regulator, serotonin pertama kali diusulkan untuk terlibat
dalam patofisiologi skizofrenia pada tahun 1950 karena adanya kesamaan
struktural dengan diethylamide asam lisergat (LSD), LSD merupakan obat yang
bersifat sebagai halusinogen. Kesamaan antara efek halusinogen LSD merupakan
antagonis serotonin di jaringan perifrer.
Pengembangan obat antipsikotik klozapin pada saat itu memperbaharui
kajian tentang peran serotonin dalam skizofrenia. Adanya perubahan transmisi 5HT pada otak pasien skizofrenia telah dilaporkan dalam studi postmortem 5-HT;
serta studi metabolit 5-HT pada cairan serebrospinal. Meskipun bukti tentang
perubahan penanda serotonergik dalam skizofrenia relatif sulit ditafsirkan, namun
secara keseluruhan, studi menunjukkan bahwa ada perubahan yang kompleks

10

dalam sistem 5-HT ada pasien skizofrenia. Perubahan ini menunjukkan bahwa
disfungsi serotonergik adalah penting dalam patologi penyakit ini.
Serangkaian bukti yang mendukung peran potensial serotonin dalam
memperantarai efek antipsikotik obat datang dari interaksi anatomi dan fungsional
dopamin dan serotonin. Studi anatomi dan elektrofisiologi menunjukkan bahwa
syaraf serotonergik dari dorsal dan median raphe nuclei terproyeksi ke badanbadan sel dopaminergik dalam Ventral Teegmental Area (VTA) dan Substantia
Nigra (SN) dari otak tengah. Syaraf serotonergik neuron dilaporkan berujung
secara langsung pada sel-sel dopaminergik dan memberikan pengaruh
penghambatan pada aktivitas dopamin di jalur mesolimbik dan nigrostrial melalui
reseptor 5-HT2A.
Secara umum penurunan aktivitas serotonin terkait dengan peningkatan
aktivitas dopamin. Interaksi antara serotonin dengan dopamin, khususnya pada
reseptor 5-HT2A, dapat menjelaskan mekanisme obat anti psikotik atipikal dan
rendahnya potensi untuk menyebabkan efek samping ekstra piramidal. Selain itu,
stimulasi 5-HT1A juga meningkatkan fungsi dopaminergik.
c. Peranan Glutamat
Disfungsi sistem glutamatergik di korteks prefrontal diduga juga terlibat
dalam patofisiologis skizofrenia. Hipotesa peran sistem glutamatergik dalam
skizofrenia datang dari bukti bahwa pemberian antagonis reseptor N-metil-Daspartat (NMDA), seperti phencyclidine (PCP) dan ketamine, pada orang sehat
menghasilkan efek yang mirip dengan spektrum gejala dan gangguan kognitif
yang terkait dengan skizofrenia. Berbeda dengan gejala psikosis yang disebabkan

11

amfetamin yang hanya menggambarkan model gejala positif skizofrenia, efek dari
antagonis NMDA menyerupai baik gejala positif dan negatif serta defisis kognitif
skizofrenia.
2.1.5. Jenis Skizofrenia
Jenis-jenis skizofrenia yang ada antara lain (Anonim, 1993):
a. Skizofrenia simplex, dengan gejala utama kedangkalan emosi dan
kemunduran kemauan (F20.6)
b. Skizofrenia hebefrenik, gejala utama gangguan proses fikir gangguan
kemauan dan depersonalisasi. Banyak terdapat waham dan halusinasi
(F20.1)
c. Skizofrenia katatonik, dengan gejala utama pada psikomotor seperti
stupor maupun gaduh gelisah katatonik (F20.2)
d. Skizofrenia paranoid, dengan gejala utama kecurigaan yang ekstrim
disertai waham kejar atau kebesaran (F20.0)
e. Skizofrenia tak terinci (undifferentiated), ada gejala psikotik namun
tidak memenuhi kriteria untuk jenis paranoid, disorganized, atau
katatonik (F20.3)
f. Depresi pasca-skizofrenia, sebuah episode depresi yang timbul setelah
penyakit skizofrenia dimana beberapa gejala skizofrenia tingkat rendah
mungkin masih ada (F20.4)
g. Skizofrenia residual adalah skizofrenia dengan gejala-gejala primernya
dan muncul setelah beberapa kali serangan skizofrenia (F20.5)
h. Skizofrenia lainnya

12

i. Skizofrenia Yang Tak Tergolong (YTT)


2.1.6. Gejala dan Tanda Skizofrenia (Ikawati, 2011)
Gambaran klinis skizofrenia sangat bervariasi antar individu, dan bahkan
pada waktu ke waktu, tidak ada stereotipe yang pasti. Pada fase normal, pasien
berada dalam kontrol yang baik terhadap pikiran, perasaan, dan tindakannya.
Episode psikotik yang pertama kali mungkin terjadi secara tiba-tiba, atau biasanya
diawali dengan kelakuan yang menarik diri, pencuriga, dan aneh. Pada episode
akut, pasien kehilangan kontak dengan realitas, dalam hal ini otaknya
menciptakan realitas palsu.
Pasien dinyatakan mengalami skizofrenia jika mengalami tanda-tanda dan
gejala karakteristik selama jangka waktu yang signifikan selama periode 1 bulan,
dengan beberapa tanda-tanda gangguan yang bertahan selama minimal 6 bulan.
Gejalanya umumnya tidak bersifat tunggal, namun melibatkan beberapa tandatanda gangguan yang bertahan selama minimal 6 bulan. Gejalanya umumnya
tidak bersifat tunggal, namun melibatkan beberapa gangguan psikologis, seperti
persepsi (halusinasi), ideasi (delusi), proses berpikir (asosiasi longgar), perasaan
(datar, tidak tepat), perilaku (Katatonia, disorganisasi), perhatian, konsentrasi,
motivasi (avolition), dan kemampuan mengambil keputusan. Ciri-ciri psikologis
dan perilaku ini berkaitan dengan berbagai gangguan dalam fungsi pekerjaan atau
sosial.

13

Seorang pasien yang didiagnosa skizofrenia jika memenuhi kriteria


diagnosa menurut Diagnostic and statistical manual of mental disorder edisi ke
empat (DSM-IV) sebagi berikut:
a. Gejala karakteristik (dua atau lebih gejala berikut ini yangmuncul
dalam jangka waktu yang signifikan dalam periode 1 bulan) yaitu:
1) Delusi (waham, keyakinan yang kuat terhadap sesuatu yang
sebenarnya tidak nyata).
2) Halusinasi (seperti mendengar suara-suara atau melihat sesuatu
yang sebenarnya tidak ada).
3) Cara bicara tak teratur (misalnya topiknya sering menyimpang atau
tidak berhubungan).
4) Tingkah laku yang tak terkontrol
5) Gejala negatif, yaitu adanya afek yang datar, alogia atau
avolition/isolasi sosial (tidak adanya kemauan)
Catatan: Jika wahamnya bersifat aneh/ganjil, atau halusinasinya terdiri
dari suara-suara yang mengomentari orang itu atau suara-suara yang
berbicara satu sama lain, maka satu gejala karakteristik saja cukup
untuk mendiagnosa skizofrenia.
b. Disfungsi sosial atau pekerjaan (gangguan terhadap fungsi sosial atau
pekerjaan untuk jangka waktu yang signifikan).
c. Durasi: (gangguan terjadi secara terus menerus selama 6 bulan, yang
merupakan gejala karakteristik seperti poin pertama).

14

d. Gejala psikotik (tidak disebabkan karena gangguan mood seperti pada


bipolar).
e. Gejala bukan karena disebabkan karena penggunaan obat atau kondisi
medik tertentu.
Beberapa contoh pertanyaan untuk menilai penyakit skizofrenia :
a. Khayalan/delusi
a) Apakan anda merasa bahwa orang-orang bekomplot melawan
anda?
b) Apakah anda merasa bahwa anda pernah diamati dan dimatamatai?
c) Apakah anda punya kemampuan khusus?
d) Apakah ada seseorang yang pernah mencoba mengacau atau
mengganggu anda?
e) Apakah orang lain bisa membaca pikiran anda?
b. Halusinasi
a) Apakah TV atau radio pernah menyampaikan sesuatu kepada
anda?
b) Apakah anda mendengar suara yang orang lain tidak dengar?
c) Apa yang dikatakannya? Berapa sering suara-suara itu muncul?
d) Berapa sering suara itu mengganggu anda?
e) Apakah suara tersebut menyuruh anda untuk melukai seseorang
atau diri anda sendiri?

15

f) Pernahkah anda mendengar nama anda dipanggil padahal tidak ada


seorangpun di sekeliling anda?
g) Pernahkah anda melihat sesuatu yang aneh yang tidak dapat anda
jelaskan?
h) Pernahkan anda melihat sesuatu yang mengganggu anda dan bukan
orang lain.
i) Apakah anda ingin melakukan tindakan yang disuruhkan oleh
suara itu?
Gejala karakteristik skizofrenia ini seringkali diklasifikasikan pada dua
kategori besar, yaitu gejala positif dan gejala negatif. Perbedaan gejala positif dan
negatif dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Deskripsi Gejala Positif dan Negatif Skizofrenia Menurut DSM-IV.
Gejala Positf
Delusi (khayalan)

Gejala Negatif
Alogia

(kehilangan

kemampuan

berpikir atau bicara)


Halusi

Perasan/Afek/Emosi menjadi tumpul

Perilaku aneh, tidak terorganisir

Avolition (kehilangna motivasi)

Bicara tidak teratur, topik melompat- Anhedonia/Asosiality/Isolasi

Sosial

lompat tidak saling berhubungan.

untuk

(kurangnya

kemampuan

merasakan kesenangan, mengisolasi


diri dari kehidupan social
Ilusi

Tidak mampu berkonsentrasi

16

Selain itu, dikenal juga gejala kognitif yang terjadi pada pasien
skizofrenia, yang kejadiannya sangat bervariasi antar satu individu dengan
individu lainnya. Gejala yang hampir menyerupai gejala negatif dan kadang sulit
dikenali, kecuali dengan suatu tes khusus. Gejala kognitif ditandai dengan
kurangnya kemampuan untuk memahami informasi dan menggunakannya untuk
membuat keputusan, kesulitan dalam fokus atau perhatian, bermasalah dengan
fungsi memori dan tidak mampu menggunakan informasi. Gejala kognitif sering
membuat penderita sulit untuk menjalani hidup normal dan mencari nafkah.
2.1.7. Tatalaksana Terapi Skizofrenia (Ikawati, 2011)
a. Fase Akut
Pada satu minggu pertama sejak terjadi serangan akut, direkomendasikan
untuk segera memulai terapi dengan obat, karena serangan psikotik akut dapat
menyebabkan gangguan emosi, gangguan terhadap kehidupan pasien dan berisiko
besar untuk berperilaku yang berbahaya untuk diri sendiri dan orang lain.
Pemilihan suatu obat antipsikotik sering didasarkan pada pengalaman pasien
sebelumnya dengan antipsikotik, riwayat efek samping, dan rute pemberian yang
disukai. Dalam memilih antara obat-obat ini, psikiater perlu mempertimbangkan
respon terakhir pasien terhadap pengobatan, profil efek samping obat, ada
tidaknya penyakit penyerta, dan potensi interaksi dengan obat yang diresepkan
lainnya.
Dosis yang dianjutkan adalah efektif dan tidak menyebabkan efek samping
karena pengalaman efek samping yang tidak menyenangkan dapat mempengaruhi
kepatuhan jangka panjang. Dosis dapat dititrasi secepat dapat ditoleransi sampai

17

mencapat dosis target terapetiknya. Selama periode ini, sebaiknya tidak segera
meningkatkan dosis bagi pasien yang lambat memberikan respon. Jika respon
pasien tidak baik, perlu dipastikan apakah itu karena ketidakpatuhan pengobatan,
atau obat terlalu cepat dimetabolisme atau kurang absorpsinya.
Obat-obat ajuvan juga umumnya diresepkan untuk kondisi komorbiditas
pada fase akut. Benzodiazepine dapat digunakan untuk mengobati katatonia serta
mengatasi kecemasan dan agitasi sampai antipsikotik menunjukkan efeknya.
Antidepresan dapat dipertimbangkan untuk mengobati komorbiditas depresi berat
atau gangguan obsesif kompulsif, meskipun perlu kewaspadaan untuk mencegah
risiko terjadinya serangan psikosis pada beberapa antidepresan tertentu. Mood
stabilizer dan beta-bloker juga dapat dipertimbangkan untuk mengurangi tingkah
keparahan agresi dan rasa permusuhan.
b. Fase Stabilisasi
Selama fase stabilisasi, yaitu pada minggu ke 2-3 setelah serangan akut,
tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi stres pada pasien dan meminimalkan
kemungkinan kambuh, meningkatkan adaptasi pasien untuk hidup di masyarakat,
memfasilitasi penurunan gejala, dan meningkatkan proses pemulihan. Jika pasien
membaik dengan rejimen obat tertentu, maka rejimen tadi sebaiknya dilanjutkan
dan dilakukan pemantauan selama minimal 6 bulan. Penuruanan dosis atau
penghentian obat terlalu dini dapat mengakibatkan kekambuhan gejala. Selain itu
perlu juga melakukan pengamatan terhadap efek samping yang mungkin telah
muncul pada fase akut dan untuk menyesuaikan farmakoterapi untuk
meminimalkan efek samping dapat menyebabkan ketidak patuhan pengobatan.

18

Intervensi psikososial tetap mendukung namun mungkin kurang terstruktur


dan terarah dari pada fase akut. Edukasi tentang penyakit dan hasil terapi dan
faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi, termasuk kepatuhan
pengobatan, dapat dimulai pada fase ini untuk pasien dan anggota keluarga.
Adalah penting agar tidak ada kesenjangan dalam penyediaan layanan, karena
pasien sangat rentan kambuh setelah episode akut, dan perlu untuk mendukung
kebutuhan dalam melanjutkan kehidupan normal mereka dan kegiatan
dimasyarakat.
c. Fase Pemeliharaan
Tujuan terapi pemeliharaan selama fase stabil adalah memastikan bahwa
kesembuahan terpelihara, kualitas hidup pasien meningkat, jika ada kekambuhan
segera diobati, dan bahwa pemantauan untuk efek samping pengobatan terus
berlanjut. Bagi sebagian besar pasien pada fase stabil/pemeliharaan, intervensi
psikososial direkomendasikan sebagai terapi tambahan terhadap terapi obat dan
dapat meningkatkan hasil.
Penggunaan obat sangat direkomendasikan dan harus diberikan sedikitnya
sampai setahun sejak sembuh dari episode akut. Bahkan untuk bisa lebih berhasil,
perlu terapi selama sedikitnya 5 tahun, kemudian dosis diturunkan perlahan-lahan
mencapai dosis terendah yang masih bisa memberikan efektivitas terapi. Untuk
sebagian besar pasien yang dirawat dengan antipsikotik tipikal, dosis maksimal
yang dianjuarkan adalah dosis pada ambang batas yang dapat menyebabkan efek
samping ekstra piramidal.

19

Obat-obat antipsikotik yang tersedia pada umumnya terkait dengan


berbagai risiko efek samping, meliputi efek neurologis, metabolisme seksual,
endokrin, dan efek samping kardiovaskular. Selama terapi pemeliharaan, sangat
penting untuk secara rutin memantau pasien terhadap efek ekstrapiramidal dan
terjadinya tardive dyskinesia. Selain itu, karena ada risiko kenaikan berat badan
yang berhubungan dengan pemakaian antipsikotik, pengukuran rutin berat badan
dan indeks massa tubuh (BMI) juga disarankan.
Pengobatan tambahan umumnya diresepkan bagi pasien dengan kondisi
komorbid pada fase akut, misalnya depresi atau obsessive-compulsibe disorder
(OCD), yang dapat diatasi dengan antidepresan. Ketidakstabialan mood dapat
diatasi dengan mood stabilizer, sementara benzodiazepine dapat digunakan untuk
mengatasi kecemasan/ansietas dan insomnia.
Dalam menilai respon yang persial atau resisten terhadap pengobatan,
perlu berhati-hati mengevaluasi apakah pasien telah mendapatkan regimen
antipsikotik yang memadai dan apakah pasien telah minum obat yang diresepkan.
Penggunaan obat umumnya dilakukan selama 4-6 minggu untuk melihat respon
pasien terhadap obat, dan apakah respon ini dapat berlanjut sampai 6 bulan atau
lebih. Jika pasien memberikan respon persial atau bahkan tidak berespon terhadap
pengobatan, atau menunjukkan keinginan bunuh diri yang persisten, maka
direkomendasikan pemberian klozapin. Mereka yang bermasalah dalam
kepatuhan minum obat dapat menggunakan bentuk sedian depot, yang berupa
injeksi intramuskular yang dapat diberikan dalam interval 2-4 minggu, seperti

20

flufenazin dekanoat atau haloperidol dekanoat. Tetapi formulasi depot ini hanya
dapat diberikan jika pasien telah memiliki dosis efektif per oral yang stabil.
Terapi psikososial yang juga dapat diberikan dan telah menunjukan
efektivitas yang baik selama fase stabil, antara lain adalah intervensi keluarga,
dukungan dalam pekerjaan, palatihan keterampilan sosial, dan terapi kognitif
perilaku. Seperti halnya dengan terapi obat yang bersifat individual, terapi
psikososial juga harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien secara personal.
2.2. Antipsikotik
Psikosis adalah gangguan psikiatri yang paling parah, yang tidak hanya
ditandai dengan gangguan perilaku, tetapi juga ketidakmampuan dalam berpikir
secara logis, memahami realita, atau mendapatkan pemahaman diri akan
kehadiran abnormalitas ini. Gangguan umum ini (mempengaruhi mungkin 1%
populasi pada usia tertentu umumnya mencakup gejala kepercayaan palsu (delusi)
dan sensasi abnormal (halusinasi).

Sindrom yang menunjukkan kategori ini

meliputi skizofrenia, psikosis singkat, gangguan delusi. Ciri-ciri psikosis juga


terjadi pada gangguan mood utama, terutama mania dan depresi melankolis yang
parah. Penyakit psikotik dikarakterisasi oleh kekacauan proses berfikir (yang
terlihat dari komunikasi yang tidak logis atau sangat idiosinkratik) dengan
perilaku tidak teratur atau irasional serta berbagai tingkat perubahan mood yang
dapat berupa agitasi tereksitasi hingga penarikan diri secara emosional yang
parah. Psikosis idiopatik dikarakterisasi oleh kekacauan berpikir secara kronis dan
penarikan diri secara emosional, dan sering berkaitan dengan delusi dan halusinasi
pendengaran, yang disebut sebagai skizofrenia atau gangguan efektif utama yang

21

terjadi. Delusi yang agak terisolir atau lebih terisolir merupakan karakteristik
gangguan deluasi atau paranoid (Brunton et al, 2010).
Sejak ditemukannya klorpromazin, suatu neuroleptik golongan fenotiazin
pada tahun 1950, pengobatan untuk psikosis terutama skizofrenia reus
dikembangkan. Istilah neuroleptik sebagai sinonim antipsikotik berkembang dari
kenyataan bahwa obat antipsikotik sering menimbulkan gejala saraf berupa gejala
ekstrapiramidal istilah neuroleptik tidak lagi dapat dianggap sinonim dari istilah
antipsikotik yakni haloperidol, yang penggunaanya cukup luas hingga selama 4
dekade (Anonim, 2007).
Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama
antipsikotik golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (ESP= extrapyramidal symptom) yang
umum terjadi dengan obat antipsikotik tipikal yang ditemukan lebih dahulu. Sejak
ditemukan klozapin, pengembangan obat baru golongan atipikal ini terus
dilakukan. Hal ini terlihat dengan ditemukannya obat baru yaitu risperidon,
olanzapin, zotepin, ziprasidon dan lainnya (Anonim, 2007).
Antipsikotika (major tranquilizer, neuroleptik) merupakan obat-obat yang
dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa memengaruhi fungsi umum
seperti berpikir dan berkelakuan normal. Obat ini dapat meredakan emosi dan
agresi dan dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti
impian dan pikiran khayali (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak
normal (Tjay, 2007).

22

Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam


mengahambat reseptor dopamin II, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan
reaksi ekstrapiramidal yang kuat. Obat golongan atipikal pada umumnya
mempunyai afinitas yang lemah terhadap dopamin II, selain itu juga memiliki
afinitas terhadap reseptor dopamin IV, serotonin, histamin, reseptor muskarinik
dan reseptor alfa adrenergik. Golongan antipsikosis atipikal diduga efektif untuk
gejala positif (seperti bicara kacau, halusinasi, delusi) maupun gejala negatif
(miskin kata-kata, afek yang datar, menarik diri dari lingkungan, inisiatif
menurun) pasien skizofrenia. Golongan antipsikosis tipikal umumnya hanya
merespons untuk gejala positif (Anonim, 2007).
2.2.1. Antipsikotik Tipikal
Antipsikotik

tipikal

merupakan antipsikotik

generasi

lama

yang

mempunyai aksi untuk mengelok reseptor dopamin D2. Antipsikotik jenis ini
lebih efekif untuk mengatasi gejala positif yang muncul. Efek samping
ekstrapiramidal banyak ditemukan pada penggunaan antipsikotik tipikal sehingga
muncul antipsikotik atipikal yang lebih aman (Dipiro et al, 2005).
a. Klorpromazin
Klorpromazin (CPZ) obat ini sampai sekarang masih tetap digunakan
sebagai antipsikosis, karena ketersediaannya dan harganya yang murah. Efek
farmakologik klorpromazin dan antipsikosis lainnya meliputi efek pada susunan
saraf pusat, sistem otonom, dan sistem endokrin. Efek ini terjadi karena
antipsikosis menghambat berbagai reseptor diantaranya dopamin, reseptor
alfaadrenergik, muskarinik, histamin H1 dan reseptor serotonin 5HT2 dengan

23

afinitas yang berbeda. CPZ misalnya selain memiliki afinitas terhadap reseptor
terhadap reseptor dopamin, juga memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor
alfaadrenergik, sedangkan risperidon memiliki afinitas yang tinggi terhadap
reseptor serotonin 5HT2 (Anonim, 2007).
CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh terhadap
rangsang dari lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi terhadap
efek sedasi. Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional pasien
sebelum minum obat (Anonim, 2007).
CPZ tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg. selain itu juga
tersedia dalam bentuk larutan suntuk 25 mg/mL. Larutan CPZ dapat berubah
warna menjadi merah jambu oleh pengauh cahaya. Pada psikosis oral,
intramuskular atau intravena deberikan 3 kali sehari (tiap satu kali pemakaian
sebanyak 25 mg) selama 3-4 hari, bila perlu dinaikkan sampai 1 gram sehari. Pada
sedu: 3-4 kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 25-50 mg), sebagai adjuvans
pada nyeri sedang/hebat 2-4 kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 25 mg)
(Anonim, 2007; Tjay, 2007).
b. Flupenazin (Tjay, 2007).
Flupenazin adalah turunan CH2OH dari trifluoperazin (1959) dengan
sifat hampir sama. Daya antimual dan sedarifnya ringan. Flufenazin terutama
digunakan sebagai injeksi kerja-panjang guna menjamin pengobatan. Plasma t
dari senyawa HCl, -entat dan dekanoatnya masing-masing rata-rata 8 jam, 3,6
hari dan 8 hari. ESP sering terjadi, efek anti-kolinergis dan sedarifnya ringan.
Esternya dapat mengakibatkan depresi serius.

24

Flupenazin tersedia dalam bentuk sediaan 2,5 mg dan 5 mg. biasanya dosis
pada psikotik akut intramuskular 1,25 mg, lalu setiap 4-8 jam 2-5 mg sampai
gejala terkendali, pemeliharaan flupenazine enantat 25 mg setiap 2 minggu, atau
flupenazine dekanoat 25 mg setiap 3-4 minggu.
c. Haloperidol
Haloperidol (HLP) berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien
psikosis yang karena hal tertentu tidak diberi fenotiazin. Reaksi ekstra piramidal
timbul pada 80% pasien yang diobati haloperidol. Struktur haloperidol berbeda
dengan fenotiazin, tetapi butirofenon memperlihatkan banyak sifat fenotiazin.
Pada orang normal, efek haloperidol mirip fenotiazin piperazin. Haloperidol
memperlihatkan antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase mania penyakit
manik depresif dan skizofrenia. Efek fenotiazin piperazin dan butirofenon berbeda
secara kuantitatif karena butirofenon selain menghambat efek dopamin, juga
meningkatkan turnover ratenya (Anonim, 2007).
Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang
mengalami eksitasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat dibanding CPZ,
sedangkan efek haloperidol terhadap elektroensefalogram (EEG) menyerupai CPZ
yakni memperlambat dan menghambat jumlah gelombang teta. Haloperidol dan
CPZ sama kuat menurunkan ambang rangsang konvulsi. Haloperidol menghambat
sistem dopamin dan hipotalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan
oleh apomorfin (Anonim, 2007).
Haloperidol tersedia dalam bentuk tablet 0,5 mg dan 1,5 mg. selain itu
juga tersedia dalam bentuk sirup 5 mg/100 mL dan ampul 5 mg/mL. Psikosis oral

25

2-4 kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 1,5-5 mg), manula (pemeliharaan)
2-4 mg sehari. Pada sedu 5-10 mg sehari, untuk muntah-muntah 2 kali sehari (tiap
kali pemakaian sebanyak 0,5-1 mg), sebagai adjuvan pada nyeri sedang-hebat 2-4
kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 0,5 mg) (Anonim, 2007; Tjay, 2007).
d. Perfenazin(Tjay, 2007).
Derivat-fenotiazin dengan rantai-sisi piperazin ini (1957) berdaya
antipsikotik kuat dengan daya anti-adrenergis dan antiserotonin relatif lemah.
Kerja antikolinergisnya ringan sekali. Obat ini juga berkhasiat antiemetik kuat.
ESP sering timbul. Dalam hati zat ini dirombak menjadi metabolit yang kurang
aktif.
Perfenazin tersedia dalam bentuk tablet 2 mg, 4 mg, dan 8 mg. oral 2-3
kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 2-4 mg), maks 24 mg sehari,
intramuskular 100 mg (dekanoat/enantat, preparat depot) setiap 2-4 minggu.
e. Loksapin (Anonim, 2007).
Obat ini mewakili golongan antipsikosis yang baru dengan rumus kimia
yang berbeda dari fenotiazin, butirofenon, tioksanten dan dihidroiodolon. Namun
sebagian besar efek farmakologinya sama. Loksapin memiliki efek antiemetik,
sedatif, antikolinergik dan antiadrenergik. Obat ini berguna untuk mengobati
skizofrenia dan psikosis lainnya (Anonim, 2007).Loksapin tersedia dalam bentuk
tablet dan suntik, dosis awal 20-50 mg/hari dalam 2 dosis. Dosis pemeliharaan 20100 mg dalam 2 dosis.

26

f. Thioridazin (Tjay, 2007).


Salah satu fenothiazin pertama ini dengan rantai sisi piperidin memiliki
khasiat antipsikotik dan sedatif yang baik, sehingga sering digunakan pada pasien
yang sukar tidur. Obat ini digunakan pula pada neurosis hebat dengan depresi,
rasa takut dan ketergantungan, serta depresi dengan kegelisahan. Kerja antiadrenergisnya lebih kuat, juga efek antihistamin, antikolinergis dan antiserotonin.
Efek samping yang terpenting adalah gejala antikolinerfis kuat dan hipotensi
ortostatis, ESP dan hepatitis yang jarang terjadi.
Thioridazin tersedia dalam bentuk sediaan tablet 50 mg dan 100 mg. oral
2-4 kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 25-75 mg) maksimal 800 mg sehari
sebagai tranquillizer 2-3 kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 15-30 mg).
g. Trifluoperazin (Tjay, 2007).
Trifluoperazin (TFP) adalah derivat atom-Cl digantikan CF3, berdaya
antipsikotik kuat dengan daya anti-adrenergis dan antiserotonin relarif lemah.
Kerja antikolinergisnya ringan sekali. Obat ini juga berkhasiat antiemetis kuat.
Trifluoperazin tersedia dalam bentuk sediaan 1 mg dan 5 mg. dosis
permulaan 5 mg sehari, dinaikkan setiap 2-3 hari dengan 5 mg samapai maksimal
90 mg. sebagai obat antimual dan transquillizer 2 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 1-3 mg).

27

2.2.2. Antipsikotik Atipikal


Antipsikotik atipikal adalah generasi baru yang banyak muncul pada tahun
1990an. Aksi obat ini yaitu mengblok reseptor 5-HT2 dan memiliki efek blockade
pada reseptor dopamin yang rendah. Antipsikotik atipikal merupakan pilihan
pertama dalam terapi skizofrenia karena efek sampingnya yang cenderung lebih
kecil dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Antipsikotik tipikal menunjukkan
penurunan dari munculnya efek samping karena penggunaan obat dan masih
efektif diberikan untuk pasien yang telah resisten terhadap pengobatan.
Antipsikotik ini efektif dalam mengatasi gejala baik positif maupun negatif
(Dipiro et al, 2005).
a. Klozapin
Merupakan antipsikotik atipikal pertama dengan potensi lemah. Disebut
atipikal karena obat ini hampir tidak menimbulkan efek ekstrapiramidal dan kadar
prolaktin serum pada manusia tidak ditingkatkan. Diskinesia tardif belum pernah
dilaporkan terjadi pada pasien yang diberi obat ini, walaupun beberapa pasien
telah diobati hingga 10 tahun. Dibandingkan terhadap psikotropik yang lain,
klozapin menunjukkan efek dopaminrgik lemah, tetapi dapat mempengaruhi
fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal otak, yang
berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang berbeda
dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (daerah gerak) dan tuberoinfundibular
(daerah neuroendokrin) (Anonim, 2007).
Klozapin efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia,
baik yang positif (iritabilitas) maupun yang negatif (sosial disinterest dan

28

incompetence, personal neatness). Efek yangbermanfaat terlihat dalam waktu 2


minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pengobatan pasien yang refrakter
terhadap obat standar. Selain itu, karena risiko efek samping ekstrapiramidal yang
sangat rendah, obat ini cocok untuk pasien yang menunjukkan gejala
ekstrapiramidal berat pada pemberian antipsikosis tipikal. Namun karena klozapin
memiliki risiko timbulnya agranulositosis yang lebih tinggi dibandingkan
antipsikosis yang lain, maka penggunaannya dibatasi hanya pada pasien yang
resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis yang lain (Anonim, 2007).
Klozapin tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg. oral,
intramuskular 25-50 mg sehari, berangsur dinaikkan sampai maksimal. 600 mg
sehari pemeliharaan 1 kali sehari 200 mg pada malam hari (Anonim, 2007; Tjay,
2007).
b. Risperidon
Risperidon yang merupakan derivat dari benzisoksazol mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2), dan aktivitas menengah
terhadap reseptor dopamin (D2), alfa 1 dan alfa 2 adrenergik dan reseptor
histamin. Aktivitas antipsikosis diperkirakan melalui hambatan terhadap reseptor
serotonin dan dopamin. Risperidon diindikasikan untuk terapi skizofrenia baik
untuk gejala negatif maupun gejala positif. Di samping itu diindikasikan pula
untuk gangguan bipolar, depresi dengan ciri psikosis dan Tourette syndrome
(Anonim, 2007).

29

Risperidon tersedia dalam bentuk tablet 1 mg, 2 mg, dan 3 mg. sirup dan
injeksi (long lasting injection) 50 mg/mL. dosis oral 2 kali sehari (tiap kali
pemakaian sebanyak 1 mg), maks 2 kali sehari 5 mg (Anonim, 2007; Tjay, 2007).
c. Olanzapin
Olanzapin merupakan derivat tienobenzodiazepin oral, struktur kimianya
mirip dengan klozapin. Olanzapin memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin
(D2, D3, D4 dan D5), reseptor serotonin (5HT2), muskarinik, histamin (H1) dan
reseptor alfa 1. Olanzapin diindikasikan untuk mengatasi gejala negatif maupun
positif skizofrenia dan sebagai antimania. Obat ini juga menunjukkan efektivitas
pada pasien depresi dengan gejala psikotik (Anonim, 2007).
Olanzapine tersedia dalam bentuk tablet 5 mg, 10 mg dan vial 10 mg.
permulaan 1 kali sehari 10 mg, pemeliharaan 7,5-17,5 mg sehari (Anonim, 2007;
Tjay, 2007).
d. Quetiapin
Obat ini memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin (D2), serotonin
(5HT2), dan bersifat agonis parsial terhadap reseptor serotonin 5HT1A yang
diperkirakan mendasari efektifitas obat ini untuk gejala positif maupun negatif
skizofrenia (Anonim, 2007).
Quetiapin diindikasikan untuk skizofrenia dengan gejala positif maupun
negatif. Obat ini dilaporkan juga meningkatkan kemampuan kognitif pasien
skizofrenia seperti perhatian, kemampuan berpikir, berbicara, dan kemampuan
mengingat membaik. Masih diperlukan penelitian lanjut untuk membuktikan

30

apakah manfaat klinisnya berarti. Di samping itu obat ini diindikasikan pula untuk
gangguan depresi dan mania (Anonim, 2007).
Quetiapin pada hari pertama diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 25 mg), hari kedua diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 50 mg), hari ketiga diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 100 mg), hari keempat diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 150 mg), lalu bila perlu dinaikkan lagi sampai dosis pemeliharaan maks
450 mg sehari (Tjay, 2007).
e. Ziprasidon (Anonim, 2007).
Obat ini dikembangkan dengan harapan memiliki spektrum skizofenia
yang luas, baik gejala positif maupun gejala afektif dengan efek samping yang
minimal terhadap prolaktin, metabolik, gangguan seksual dan efek antikolinergik.
Obat ini memperlihatkan afinitas terhadap reseptor serotonin (5HT2A) dan
dopamin (D2). Obat ini diindikasikan untuk mengatasi keadaan akut (agitasi) dari
skizofrenia dan gangguan skizoafektif, terapi pemeliharaan pada skizofrenia
skizoafektif kronik, serta gangguan bipolar. ziprasidon tersedia dalam bentuk
tablet 20 mg dan ampul 10 mg.
2.2.3. Indikasi Antipsikosis (Anonim, 2007).
a. Indikasi Psikiatri
Antipsikosis sangat bermanfaat mengatasi keadaan Gaduh gelisah.
Efektivitas obat ini sangat membantu orang orang yang memelihara pasien
psikosis. Obat antipsikosis tidak menyembuhkan, bersifat pengobatan simtomatik.

31

Skizofrenia merupakan indikasi utama. Beberapa pasien tidak memperoleh


hasil yang memuaskan hanya dengan pengobatan antipsikotik sehingga diperlukan
kombinasi dengan obat kelompok lain. Indikasi lain adalah gangguan skizoafektif
yang merupakan campuran antara gejala skizofrenia dan gangguan afektif. Pasien
depresi dengan gejala psikosis membutuhkan anti psikosis setelah antidepresi.
Pada episode manik gangguan bipolar, antik psikosis juga merupakan terapi
tambahan selain litium atau asam valproat.
Indikasi lainnya adalah Tourettes's syndrome (termasuk gangguan tik) dan
untuk mengontrol gangguan perilaku pada pasien demensia tipe Alzeimer. Selain
itu juga sering dikombinasi dengan anti depresi untuk mengatasi agitasi pada
pasien depresi. Olanzapin menunjukkan efikasi sebagai anti depresi selain sebagai
anti psikosis. Anti psikosis tidak diindikasikan utuk keadaan withdrawal
syndrome misalnya withdrawal.
b. Indikasi non-psikiatrik
Kebanyakan

antipsikotik

lama,

kecuali

tioridazin

memiliki

efek

antiemetik. Efek ini terjadi berdasarkan hambatan reseptor dopamin baik di


central (kemoreseptor medulla oblongata) dan di parifer (reseptor di lambung).
Golongan butirofenon droperidol diindikasikan sebagai anetesi kombinasi dengan
opioid fentanil. CPZ merupakan obat terpilih untuk menghilangkan cegukan
(hiccup). Obat ini hanya diberikan pada cegukan yang berlangsung berhari-hari.
Penyebab cegukan seringkali tidak dapat ditemukan tetapi nervositas dan kelainan
di Esofagus atau lambung mungkin merupakan kasusnya. Dalam hal yang
terakhir, terapi kausal harus dilakukan.

32

Tabel 2. Klasifikasi dan Dosis Antipsikotik (Dipiro et al, 2005)


Kisaran dosis
Dosis
Nama

Tipikal

biasa yang

Branded

DosisEkivalen(mg)a

digunakan

Nama Generik

maksimum

Bentuk Sediaanb

(mg/hari)
(mg/hari)
Antipsikotik Tipikal (Antipsikotik generasi pertama)
Chlorpromazine

Thorazine

100

100-800

2000

T, L, LC, I, C-ER,SR

Fluphenazine

Prolixin

2-20

40

T, L, LC, I, LAI

Haloperidol

Haldol

2-20

100

T, LC, I, LAI

Loxapine

Loxitane

10

10-80

250

C, LC

Molindone

Moban

10

10-100

225

T, LC

Mesoridazine

Serentil

50

50-400

500

T, LC, I

Perphenazine

Trilafon

10

10-64

64

T, LC, I

Thioridazine

Mellaril

100

100-800

800

T, LC

Thiothixene

Navane

4-40

60

C, LC

Trifluoperazine

Stelazine

5-40

80

T, LC, I

Antipsikotik Atipikal (Antipsikotik generasi kedua)


Aripiprazole

Abilify

NA

15-30

30

Clozapine

Clozaril

NA

5-500

900

Olanzapine

Zyprexa

NA

10-20

20

T, I, O

Quetiapine

Seroquel

NA

250-500

800

Risperidone

Risperdal

NA

2-8

16

T, O, L

Risperidone

Risperdal

25-50
50
NA
(depot)

Every 2

Consta

LAI
Every 2 weeks

weeks
Ziprasidone

Geodon

NA

40-160

200

C, I

NA. Parameter ini tidak berlaku untuk Antipsikotik Atipikal. bT, tablet; C, kapsul; ER or SR, diperpanjang

atau lepas lambat; I, injeksi; L, larutan cair, eliksir, atau suspensi; LC, konsentrat cair; O, oral disintegrasi
tablet; LAI, penyuntikan jangka panjang.

33

2.2.4. Pertimbangan Dalam Pemilihan Obat (Ikawati, 2011)


Obat-obat antipsikotik memiliki efek samping yang cukup signifikan yang
membuat pasien seringkali tidak patuh pada pengobatan, apalagi jika dilakukan
dalam jangka panjang. Efek samping utama yang paling sering membuat pasien
tidak patuh adalah efek samping ekstrapiramidal. Yang termasuk efek samping
ekstrapiramidal adalah distonia akut, pseudoparkinsonisme, dan akatisia. Distonia
akut adalah kejang otot dan postur abnormal dan biasanya terjadi tiga sampai lima
hari

setelah

terapi

antipsikotik

dimulai

atau

jika

dosis

ditingkatkan.

Pseudoparkinsonisme adalah gejala parkinson yang meiliki manifestasi klinis


yang sama seperti parkinson idiopatik. Gejala umumnya muncul dalam tiga bulan
pertama setelah pengobatan. Sedangkan akatisia ditandai oleh perasaan subjektif
berupa

kegelisahan

dan

kecemasan

dan

aktivitas

motorik,

seperti

ketidakmampuan untuk duduk diam. Efek ini muncul beberapa hari sampai
beberapa minggu setelah penggunaan antipsikotik dan umumnya sulit diatasi.
Selain efek samping ekstrapiramidal, obat antipsikotik juga memiliki efek
samping neuromuskular seperti tardive dyskinesia. Tardive dyskinesia adalah
gangguan gerakan abnormal yang tidak terkontrol. Gangguan ini dapat
mempengaruhi fungsi neuromuskular pada berbagai bagian tubuh, namun yang
paling sering terlihat adalah pada daerah wajah dan sekitar mulut.
Efek-efek samping lain obat antipsikotik antara lain adalah neuroleptic
malignant syndrome, sedasi, efek kardiovaskular, efek antikolinergik dan
antiadrenergik, abnormalitas metabolik dan penambahan berat badan, dan
gangguan fungsi seksual.

34

Efek-efek samping ini perlu menjadi pertimbangan dalam pemilihan


antipsikotik yang tepat untuk pasien. Namun jika penggunaan obat antipsikotik
tidak bisa dihindari penggunaannya, dan pasien mengalami efek samping gejala
ekstrapiramidal yang cukup signifikan dan tidak dapat ditoleransi, maka dapat
digunakan obat-obatnya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Obat-obat Terpilih Untuk Pengatasan Efek Samping Ektrapiramidal
Nama Obat
Benztropin

Dosis
(mg/hari)
0,5-6,0

Waktu
paruh
24

Efek ektrapiramidal yang


disasar
Akatisia, distonia,
parkinsonisme

Triheksifenidil

1-15

Akatisia, distonia,
parkinsonisme

Amantadin

100-300

10-14

Akatisia, distonia,
parkinsonisme

Propanolol

30-90

3-4

Akatisia

Lorazepam

1-6

12

Akatisia

25-30

4-8

Akatisia, distonia,

Difenhidramin

parkinsonisme

2.3. Kesehatan Jiwa


2.3.1. Definisi Kesehatan Jiwa & Gangguan Jiwa
Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan
mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya (Anonim a, 2014). Gangguan

35

jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi
(affective), dan tindakan (psychomotor) (Iyus, 2007).
2.3.2. Ciri-ciri Sehat Jiwa
Sehat jiwa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Direja, 2011):
a. Seseorang dapat beradaptasi diri secara konstruktif pada kenyataan
(berani mengadapi kenyataaan).
b. Mendapat kepuasan dari usahanya.
c. Lebih puas memberi dari pada menerima.
d. Bebas (relatif) dari cemas.
e. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan
memuaskan.
f. Dapat menerima kekecewaan sebagai pelajaraan dikemudian hari.
g. Mengarahkan rasa bermusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan
konstruktif.
h. Daya kasih sayang yang besar.
2.3.3. Kriteria Sehat Jiwa
Individu yang sehat jiwa ditandai dengan hal-hal sebagai berikut
(Kusumawati dan Hartono, 2010):
a. Sikap positif terhadap diri sendiri
b. Tumbuh berkembang dan aktualisasi diri
c. Integrasi (keseimbangan/keutuhan)
d. Otonomi
e. Persepsi realitas

36

f. Kecakapan dalam beradaptasi dengan Lingkungan


2.3.4. Sikap yang Penting dalam Menentukan Kesehatan Mental/Jiwa
Hal yang penting dalam memajukan kesehatan mental adalah sejumlah
sikap yang dimiliki individu dan kelompok masyarakat dimana individu itu
sendiri menjadi anggotanya. Pada dasarnya sikap-sikap tersebut yang termasuk
dalam segi pandangan kesehatan mental adalah (Semiun, 2006):
a. Sikap menghargai diri sendiri
b. Sikap memahami dan menerima keterbatasan diri sendiri dan
keterbatasan orang lain
c. Sikap memahami kenyataan bahwa semua tingkah laku ada
penyebabnya
d. Sikap memahami dorongan untuk aktualisasi diri
2.3.5. Proses Terjadinya Gangguan Jiwa (Direja, 2011)
Manusia bereaksi secara keseluruhan, secara holistik, atau dapat dikatakan
juga, secara somato psiko sosial. Dalam mencari penyebab gangguan jiwa, maka
ketiga unsur ini harus diperhatikan. Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol
ialah gejala-gejala yang patologik dari unsur psikis. Hal-hal yang dapat
mempengaruhi perilaku manusia ialah keturunan dan konstitusi, umur dan seks,
keadaan badaniah, keadaan psikologi, keluarga, adat istiadat, kebudayaan dan
kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian
orang yang dicintai, agresi, rasa permusuhan, hubungan antarmanusia, dan
sebagainya Adapun gejala umum atau gejala yang menonjol itu terdapat pada
unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya bisa saja di badan (satogenik),

37

dilingkungan sosial (sosiogenik), ataupun dipsike (psikogenik) tergantung tiap


individu itu sendiri. Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi
beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling pengaruhi atau
secara kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbulah gangguan badan ataupun jiwa.
Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor pada
ketiga unsur itu yang terus menerus saling mempengaruhi, yaitu:
a. Faktor-faktor somatik (somatogenik)
b. Faktor-faktor psikologik (psikogenik)
c. Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik)
d. Faktor keturunan
e. Faktor konstitusi
f. Faktor kongentital
g. Perkembangan psikologik yang salah
h. Deprivasi dini
i. Pola keluarga yang petagenik
j. Masa remaja
k. Faktor sosiologik dalam perkembangan yang salah
l. Genetika
m. Neurobehavioral
n. Stress
o. Penyalah gunaan obat-obatan
p. Psikodinamik
q. Sebab biologik

38

r. Masa tua
s. Sebab sosio cultural
t. Kepincanagan antara keinganan dengan kenyataan yang ada
u. Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi
v. Perpindahan kesatuan keluarga
w. Masalah golongan minoritas
2.3.6. Proses Perjalanan Penyakit
Gejala mulai timbul biasanya pada masa remaja atau dewasa awal sampai
dengan umur pertengahan melalui beberapa fase antara lain (Direja, 2011):
a. Fase Prodomal
b. Fase Aktif
c. Fase Residual
2.3.7. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa
Berikut ini adalah beberapa tanda dan gejala dari gangguan jiwa (Direja,
2011):
a. Gangguan kognitif
b. Gangguan perhatian
c. Gangguan ingatan
d. Gangguan asosiasi
e. Gangguan pertimbangan
f. Gangguan pikiran
g. Gangguan kesadaran
h. Gangguan kemauan

39

i. Gangguan emosi dan afek


j. Gangguan psikomotor
2.4. Rumah sakit
2.4.1. Definisi Rumah Sakit
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Anonim c, 2014). Rumah Sakit adalah
salah satu dari sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan
(Siregar dan Amalia, 2003). Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan

untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat


kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan
dengan pendekatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (promotif),
pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan
kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan
bekesinambungan (Anonima,2009).
Sekarang ini rumah sakit adalah suatu lembaga komunitas yang
merupakan instrumen masyarakat. Ia merupakan titik fokus untuk mengkoordinasi
dan menghantarkan pelayanan penderita pada komunitasnya. Berdasarkan hal
tersebut, rumah sakit dapat dipandang sebagai suatu struktur terorganisasi yang
menggabungkan bersama-sama semua profesi kesehatan, fasilitas diagnostik dan
terapi, alat dan perbekalan serta fasilitas fisik kedalam suatu tempat penderita
ditangani, sekarang ini rumah sakit dianggap sebagai suatu lembaga yang giat
memperluas layanannya kepada penderita di mana pun lokasinya. Misalnya rumah

40

sakit memberikan layanannya kepada penderita rawat tinggal dan ambulatari di


dalam rumah sakit itu sendiri, di klinik, di ruang gawat darurat, sentral palayanan
darurat, praktik dokter di rumah sakit, pelayanan yang diperluas seperti rumah
rawatan (nursing home), baik yang berafiliasi atau pun milik rumah sakit, serta di
rumah penderita yang memerlukan layanan perawatan kesehatan (Siregar dan
Amalia, 2013).
2.4.2. Tugas Rumah Sakit
Pada umumnya tugas rumah sakit ialah menyediakan keperluan untuk
pemeliharaan dan pemulihan kesehatan. Rumah sakit mempunyai tugas
memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna (Anonimb, 2009).
2.4.3. Fungsi Rumah Sakit
Guna melaksanakan tugasnya, rumah sakit mempunyai berbagai fungsi,
yaitu (Anonimb, 2009) :
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
b. Pemeliharaan

dan

peningkatan

kesehatan

perorangan

melalui

pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai


kebutuhan medis.
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia
dalam rangka peningkatan.
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan
teknologi

bidang

kesehatan

41

dalam

rangka

peningkatan

pelayanankesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan


bidang kesehatan.
Setiap rumah sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit (Anonim d, 2014).
2.4.4. Rumah Sakit Jiwa
Rumah

sakit

jiwa

adalah

rumah

sakit

yang

khusus

untuk

perawatan gangguan mental serius. Rumah sakit jiwa sangat bervariasi dalam
tujuan dan metode. Beberapa rumah sakit mungkin mengkhususkan hanya dalam
jangka pendek atau terapi rawat jalan untuk pasien berisiko rendah. Orang lain
mungkin mengkhususkan diri dalam perawatan sementara atau permanen dari
warga yang sebagai akibat dari gangguan psikologis, memerlukan bantuan rutin,
perawatan khusus dan lingkungan yang terkendali. Pasien kadang-kadang dirawat
secara sukarela, tetapi itu akan dipraktikkan ketika seorang individu dapat
menimbulkan bahaya yang signifikan bagi diri mereka sendiri atau orang lain.
Biasanya pasien diberi obat penenang, dan diberi aktivitas sehari-hari
seperti olahraga, membaca, dan rekreasi. Pada masa lalu, pasien yang bertingkah
laku bahaya sering diberi perawatan dengan listrik tegangan tinggi. Sekarang, hal
ini dianggap melanggar hak asasi manusia(Anonime, 2014).

42

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2015 September 2015.
Penelitian dilaksanakan di Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Jiwa Tampan
Pekanbaru.
3.2. Rancangan penelitian
3.2.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional jenis studi deskriptif di
Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru.
3.2.2. Sumber Data
Data dikumpulkan dari rekam medik pasien skizofrenia di Rumah Sakit
Jiwa Tampan Pekanbaru. Data yang diambil yaitu data selama 6 bulan dari
tanggal 1 Januari 30 Juni 2015.
a. Data Primer
Data primer peneliti yaitu berupa catatan rekam medik pasien skizofrenia
yang ada di Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru.
b. Data Sekunder
Data sekunder peneliti yaitu berupa nomor rekam medik dan jumlah
populasi pasien skizofrenia.

43

3.3. Populasi dan Sampel


3.3.1. Populasi
Populasi yang diambil adalah semua data rekam medik pasien skizofrenia
yang mendapatkan terapi antipsikotik di Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru
dari tanggal1 Januari 30 Juni 2015.
3.3.2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang diambil untuk mewakili
populasi secara keseluruhan. Sampel dalam penelitian ini adalah 81 rekam medik
yang telah dihitung sebelumnya dengan rumus Slovin. Pengambilan sampel
dilakukan secara non acak (non random sampling) dengan metode purposive
sampling, sampai jumlah sampel terpenuhi.
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling non
random.
Kriteria inklusi terdiri dari:
a. Data rekam medik pasien yang di rawat inap di RS Jiwa Tampan
Pekanbaru
b. Data rekam medik pasien yang berusia 18 tahun yang menderita
skizofrenia di RS Jiwa Tampan Pekanbaru
c. Data rekam medik pasien yang didiagnosa skizofrenia dan mendapat
antipsikotik di RS Jiwa Tampan Pekanbaru
Kriteria eksklusi terdiri dari:
a. Data rekam medik pasien yang tidak di rawat inap di RS Jiwa Tampan
Pekanbaru

44

b. Data rekam medik pasien yang berusia < 18 tahun yang menderita
skizofrenia di RS Jiwa Tampan Pekanbaru
c. Data rekam medik pasien yang tidak didiagnosa skizofrenia dan tidak
mendapat antipsikotik di RS Jiwa Tampan Pekanbaru
Perhitungan sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan
rumus Slovin (Riduwan, 2005) yaitu sebagai berikut :
NN
n=

N
1+N(d)2

Keterangan:
n

= Besar sampel

= Besar Populasi (428)

= Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan yaitu


10% (0,10).

Pada penelitian ini sampel yang akan diambil adalah rekam medik penderita
skizofrenia yang memenuhi kriteria inklusi, dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
n=

428
1+428(0,1)2

n=

428
1+428(0,01)2

n=

428
5,2

= 81

45

Sehingga hasil yang diperoleh dengan derajat penyimpangan sebesar 10%


yaitu berjumlah 81 dan yang akan peneliti ambil untuk tiap bulannya yaitu
sebanyak

81

rekam

medik,

sehingga

peneliti

harus

mengambil

atau

mengumpulkan data rekam medik yang memenuhi inklusi sebanyak 81 data


rekam medik
3.4. Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang akan dilakukan peneliti selama masa kerja yaitu:
a. Pengurusan izin
a) Pengurusan administrasi di bagian Personalia Rumah Sakit Jiwa
Tampan Pekanbaru.
b) Pengurusan administrasi di bagian Penelitian dan Pengembangan
Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru.
c) Pengurusan administrasi di Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit
Jiwa Tampan Pekanbaru.
b. Pengambilan data
a) Pengambilan dan pengumpulan data rekam medik pasien yang
mengunakan antipsikotik pada pasien skizofrenia dari Tanggal 1
Januari 30 Juni 2015.
b) Data dipindahkan ke tabel pengumpulan data.
c. Analisa data
Data dianalisa secara univariat (deskriptif).
d. Hasil dan kesimpulan

46

3.5. Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan berupa rekam medik pasien skizofrenia yang ada di
rumah sakit jiwa Tampan Pekanbaru. Data rekam medik yang diambil dari tanggal
1 Januari 30 Juni 2015 kemudian dipindahkan ke lembar pengumpulan data.
3.6. Analisis Data
Data yang diperlukan dipindahkan ketabel pengumpulan data, kemudian data
dianalisa secara univariat (deskriptif) dalam bentuk jumlah dan persentase, data
ini meliputi:
a. Jumlah dan persentase (%) penderita skizofrenia berdasarkan jenis
kelamin pasien skizofrenia.
b. Jumlah dan persentase (%) penderita skizofrenia berdasarkan rentang
usia pasien skizofrenia.
c. Jumlah dan persentase (%) penderita skizofrenia berdasarkan status
perkawinan pasien skizofrenia.
d. Jumlah dan persentase (%) penderita skizofrenia berdasarkan kota asal
pasien skizofrenia.
e. Jumlah dan persentase (%) penderita skizofrenia berdasarkan
pendidikan pasien skizofrenia.
f. Jumlah dan persentase (%) penderita skizofrenia berdasarkan diagnosa
jenis penyakit.
g. Jumlah dan persentase (%) penderita skizofrenia berdasarkan gejala
penyakit.

47

h. Jumlah dan persentase (%) penderita skizofrenia berdasarkan


jumlahzat aktif antipsikotik.
i. Jumlah dan persentase (%) penderita skizofrenia berdasarkan kategori
pengobatan pasien skizofrenia.
j. Jumlah dan persentase (%) penderita skizofrenia berdasarkan obat
generik dan branded.
k. Jumlah dan persentase (%) penderita skizofrenia berdasarkan dosis
antipsikotik yang digunakan pasien skizofrenia.
l. Jumlah dan persentase (%) penderita skizofrenia berdasarkan rute
pemberian antipsikotik pasien skizofrenia.
m. Jumlah dan persentase (%) penderita skizofrenia berdasarkan bentuk
sediaan antipsikotik pasien skizofrenia.
3.7. Etika Penelitan
3.7.1. Coding
Peneliti menggunakan coding sebagai pengganti identitas responden,
karena setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi dan
kebebasan invidu dalam memberikan informasi. Setiap orang juga berhak untuk
tidak memberikan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Oleh sebab iu,
peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas dan kerahasiaan
identitas subjek (Notoatmodjo, 2012).
3.7.2. Kerahasiaan
Peneliti menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian baik informasi maupun
masalah lainnya yang telah dikumpulkan selama melakukan penelitian.

48

3.8. Instrumen Penelitian


Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rekam medik
pasien yang menderita skizofrenia di Rumh Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru.
3.9. Definisi Operasional
a. Sampel adalah 81 rekam medik penderita skizofrenia yang termasuk
dalam kriteria inklusi.
b. Penggunaan antipsikotik pada penderita skizofrenia berdasarkan jenis
kelamin adalah laki-laki dan perempuan.
c. Penggunaan antipsikotik pada penderita skizofrenia yang menjalani
rawat inap berdasarkan rentang usia adalah pembagian usia dewasa
menurut Hurlock (2001) yaitu:
a) Dewasa awal

: 18 tahun 40 tahun

b) Dewasa madya

: 41 tahun 60 tahun

c) Dewasa lanjut

: 61 Tahun

d. Penggunaan antipsikotik pada penderita skizofrenia berdasarkan status


perkawinan adalah belum kawin dan kawin
e. Penggunaan antipsikotik pada penderita skizofrenia berdasarkan kota
asal adalah kota/kabupaten yang ada di riau dan sekitarnya.
f. Penggunaan antipsikotik pada penderita skizofrenia berdasarkan tinkat
pendidikan adalah SD, SMP, dan SMA.
g. Penggunaan antipsikotik pada penderita skizofrenia berdasarkan
diagnosa jenis penyakit adalah jenis-jenis skizofrenia : skizofrenia
simpleks, skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia

49

paranoid, skizofrenia tak terinci, skizofrenia pasca-skizofrenia, dan


skizofrenia residual, skizofrenia lainnya dan skizofrenia YTT.
h. Penggunaan antipsikotik pada penderita skizofrenia berdasarkan
gejala penyakit adalah gejala positif (waham, halusinasi, ilusi,
perilaku aneh, dan bicara yang tidak teratur) dan gejala negatif (afek
datar, alogia, dan isolasi sosial, avolition, dan tidak mampu
berkonsentrasi).
i. Penggunaan antipsikotik

pada

pasien skizofrenia

berdasarkan

jumlahzat aktif antipsikotik adalahterapi tunggal dan terapi kombinasi.


j. Penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia berdasarkan kategori
pengobatan adalah berdasarkan golongan antipsikotik tipikal dan
antipsikotik atipikal.
k. Penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia berdasarkan obat
generik dan branded adalah jenis obat yang digunakan menurut nama
generik atau nama branded.
l. Penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia berdasarkan dosis
adalah dosis yang digunakan dalam satu kali pemakaian dan dosis
yang digunakan dalam satu hari pemakaian.
m. Penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia berdasarkan rute
pemberian adalah cara pemakaian antipsikotik baik secara oral
maupun parenteral.
n. Penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia berdasarkan bentuk
sediaan adalah tablet, injeksi, kapsul, dan lain-lain.

50

Anda mungkin juga menyukai