balik kabut yang ia selami. Pohon, tanaman liar, semak belukar, dan jalan setapak tampil di
hadapannya setiap kali ia menerobos kabut. Hutan di sekelilingnya tampak seperti dilihat dari
balik kaca berembun. Rupanya ia menuju mata air. Di sana ia terpana pada kabut yang
meluncur di permukaan air. Namun, tak ada bayangan dirinya yang jatuh di permukaan air.
Hal itu membuat sosok Komar terlihat murung, seolah di hadapan mata air itu ketiadaan
dirinya ditampakan. Ia basuh muka dengan air sedingin es. Di samping air yang membasahi
wajahnya, ada air mata yang dicucurkan. Aku ingin berziarah sebelum tak punya lagi tempat
untuk pulang. Keluh sosok Komar.
Di pondok peristirahatan, dua tukang kebun menemukan sebuah ransel. Entah milik
siapa, dan di luar terdapat abu bekas api unggun, tanda seseorang bermalam di sini. Mereka
saling pandang dan bertanya. Tapi tak ambil pusing sebab harus menyiapkan perkakas untuk
bekerja. Saat kedua tukang kebun hendak turun dari pondok, Komar hadir di hadapan
mereka. Seolah menyembul dari pekat kabut. Sontak keduanya terperanjat, menjatuhkan arit
dan cangkul dari genggaman, berlari tanpa dipikir-pikir. Meninggalkan Komar dengan seribu
tanda tanya.
Dia kembali, dia kembali! kedua tukang kebun itu berteriak histeris.
Warga yang sedang berjalan terpaku. Pun anak-anak yang bermain. Sedang yang
mendengar dari dalam rumah menengok lewat jendela ataupun celah pintu.
Siapa? tanya salah satu warga.
Komar!
Warga terkejut, kabar berantai itu rupanya bukan isapan jempol. Dari mimik wajah
dan sorot mata terlihat kecemasan. Kebetulan saat itu pak Jaja sedang duduk di beranda. Dia
nampak pucat seperti kabut. Ada keringat dingin yang tiba-tiba setelah disusul getar bulu
kuduk.
Apa dia ingin menghantui pak Jaja? Cetus salah seorang warga.
Pak Jaja membela dirinya, Lalu mengapa bukan aku yang pertama melihat
arwahnya?
Warga saling memandang. Beberapa menundukan kepala. Tanpa disadari Ki Oce
hendak melintas. Dia pasti sudah dengar kabar penampakan Komar. Dia tahu apa yang
mereka bicarakan, cukup melihat sisa ketakutan di wajah kedua tukang kebun itu.
Empat puluh hari belum berlalu, kok saya belum bertemu si Komar? Ujar Ki Oce
ringan.
Warga tak heran dengan celetukan Ki Oce. Tak juga menganggapnya lucu. Sebab
sebagai penjaga makam kabarnya Ki Oce sering berjumpa dengan arwah orang mati. Baik
melihat langsung, ataupun lewat mimpi. Saya penasaran bagaimana rupa si Komar yang
kalian lihat. Ujar Ki Oce dengan pandangan menerawang.
Kedua tukang kebun itu saling pandang, dia keluar dari kabut, wajahnya terlihat
segar, dan pakai baju hitam tanpa kerah.
liar. Sosok Komar terlihat gembira. Dengan sigap ia memetik kembang sepatu sampai
memenuhi kantung keresek.
Setelah dirasa cukup sosok Komar kembali berjalan. Ia mengikuti jalan setapak di
lereng yang semakin menurun. Penuh semak serupa rumput raksasa di mana jalan setapak
semakin terputus-putus. Ketika menemui jalan agak menanjak, sosok Komar terlihat yakin
dengan jalan yang pilihnya. Tak di sangka ia tiba di belakang pemakaman. Seluruh area
pemakaman ini dipagari tembok semen. Untung saja ada bagian yang roboh, sehingga tak
perlu mengambil jalan memutar. Hanya saja penuh semak belukar. Semakin dekat samarsamar tercium aroma bunga kamboja.
Matahari tepat di atas kepala. Adzan dzuhur dikumandangkan. Selesai beribadah
warga ramai-ramai berziarah ke makam Komar. Lebih banyak daripada jumlah pelayat yang
pernah ikut menguburkan. Ibu-ibu terlihat membawa keranjang, berisi kelopak bunga untuk
ditabur. Uniknya ada yang membawa sekeranjang kembang sepatu.
Ki Oce membuka gapura pemakaman. Di balik gapura suasana makam yang rindang
tersingkap. Teduh oleh beringin dan kamboja. Lewat aroma bunga kamboja penghuni kubur
seolah menjamu yang masih hidup. Sesampainya di makam Komar yang berdampingan
dengan makam orang tuanya, ada keganjilan di sana. Makam itu terlihat habis di rawat, dan
ada yang menabur bunga serta menyiram air.
Apa Ki Oce sudah Ziarah duluan?
Tidak, saya dari pagi di kebun, dan tak mungkin orang lain karena kunci gapura
selalu saya bawa.
Bila diamati seksama, di makam ibu Komar terdapat taburan kembang sepatu. Selain
itu, pada permukaan tanah kecoklatan yang lembab itu terdapat jejak sepatu. Hal itu membuat
rombongan peziarah diam seperti kuburan di sekitar mereka.
Dari jalan setapak di pinggir hutan, sosok Komar menatap pada pohon besar penanda
area pemakaman. Ia tersenyum, matanya berkaca-kaca, kemudian berkata pada dirinya
sendiri Sekarang aku tak punya lagi tempat untuk pulang.