Anda di halaman 1dari 4

Tiada Lagi Kampung Halaman

Oleh Mochamad Faris Dzulfiqar,


Anggota Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI
Menjelang tengah malam, dua petugas ronda berpapasan dengan korban kecelakaan
maut. Sontak mereka berdua lari luntang-lantung. Memekik Komar! Ia meninggal karena
ditabrak truk pasir. Tubuhnya remuk dan bersimbah darah.
Sementara itu, sosok Komar hanya terdiam. Sekitar tiga tahun lalu ia diusir karena
dianggap sebagai pembuat onar. Kini kedatangannya kembali seolah membuka luka lama.
Tetapi mengapa sosok Komar itu tampak murung? Ia lalu menghela nafas dan menepuk dada.
Kemudian kembali berjalan menyusuri kegelapan malam. Entah kemana.
Sudah lama tak ia rasakan dinginnya malam desa ini. Nyaringnya bunyi jangkrik.
Sayup-sayup suara daun bambu disapu angin. Serta bau kandang sapi. Menggugah kerinduan
mendalam. Sampai teringat lagi pada masa bocahnya.
Sosok Komar menempuh jalan menuju belakang perkebunan warga. Di mana terdapat
rumah orang tuanya. Tepatnya di pinggir sungai yang memisahkan lembah dengan kaki
gunung. Tetapi kesanakah tujuan sosok Komar? Salah satu tempat terakhir di desa ini di mana
dirinya tak terasing.
Samar-samar terdengar bunyi arus sungai. Bila semakin jelas, maka rumah orang
tuanya semakin dekat. Di jembatan deru aliran sungai lebih meriah. Sungai itu sendiri
kehilangan wujudnya karena diselimuti gelap. Dari jembatan tinggal melewati empat rumah
lagi.
Tak disangka rumah itu terkunci. Sosok Komar kebingungan. Tapi tak ada yang bisa
dia tanyai. Hanya ada lima rumah lain di sekitar sini dan semuanya tak berpenghuni. Sebab
rumah-rumah itu difungsikan untuk kediaman saat berlibur oleh pemiliknya. Untungnya ada
kerabat orang tuanya di desa ini. Namanya Ki Oce. Seorang penjaga kuburan. Sayang
rumahnya terlalu jauh. Ia tinggal di bukit dekat makam. Sosok Komar memandang ke arah
hutan. Ada seberkas keyakinan dan harapan dari sorot matanya. Sekali lagi ia ayunkan
langkahnya. Menuju hutan.
Pagi hari terbit. Kabar Komar bergentayangan sudah tersebar secara berantai. Mulai
dari dua petugas ronda yang bercerita di warung kopi. Pemilik warung menyampaikan
kembali setelah salat subuh. Para jemaah menyampaikan pada keluarga di rumah. Dan ibuibu menyampaikannya pada tukang sayur. Termasuk ke telinga pak Jaja, sopir truk pasir yang
menabrak Komar, meskipun semua itu murni kecelakaan. Semua orang menampakan reaksi
yang sama, terkejut dan merinding.
Panorama pagi diselubungi kabut seputih kain kafan. Sosok Komar tampak menyesal,
ia berjalan dengan payah di dalam hutan. Pupil matanya membesar, seolah ada ketakutan di

balik kabut yang ia selami. Pohon, tanaman liar, semak belukar, dan jalan setapak tampil di
hadapannya setiap kali ia menerobos kabut. Hutan di sekelilingnya tampak seperti dilihat dari
balik kaca berembun. Rupanya ia menuju mata air. Di sana ia terpana pada kabut yang
meluncur di permukaan air. Namun, tak ada bayangan dirinya yang jatuh di permukaan air.
Hal itu membuat sosok Komar terlihat murung, seolah di hadapan mata air itu ketiadaan
dirinya ditampakan. Ia basuh muka dengan air sedingin es. Di samping air yang membasahi
wajahnya, ada air mata yang dicucurkan. Aku ingin berziarah sebelum tak punya lagi tempat
untuk pulang. Keluh sosok Komar.
Di pondok peristirahatan, dua tukang kebun menemukan sebuah ransel. Entah milik
siapa, dan di luar terdapat abu bekas api unggun, tanda seseorang bermalam di sini. Mereka
saling pandang dan bertanya. Tapi tak ambil pusing sebab harus menyiapkan perkakas untuk
bekerja. Saat kedua tukang kebun hendak turun dari pondok, Komar hadir di hadapan
mereka. Seolah menyembul dari pekat kabut. Sontak keduanya terperanjat, menjatuhkan arit
dan cangkul dari genggaman, berlari tanpa dipikir-pikir. Meninggalkan Komar dengan seribu
tanda tanya.
Dia kembali, dia kembali! kedua tukang kebun itu berteriak histeris.
Warga yang sedang berjalan terpaku. Pun anak-anak yang bermain. Sedang yang
mendengar dari dalam rumah menengok lewat jendela ataupun celah pintu.
Siapa? tanya salah satu warga.
Komar!
Warga terkejut, kabar berantai itu rupanya bukan isapan jempol. Dari mimik wajah
dan sorot mata terlihat kecemasan. Kebetulan saat itu pak Jaja sedang duduk di beranda. Dia
nampak pucat seperti kabut. Ada keringat dingin yang tiba-tiba setelah disusul getar bulu
kuduk.
Apa dia ingin menghantui pak Jaja? Cetus salah seorang warga.
Pak Jaja membela dirinya, Lalu mengapa bukan aku yang pertama melihat
arwahnya?
Warga saling memandang. Beberapa menundukan kepala. Tanpa disadari Ki Oce
hendak melintas. Dia pasti sudah dengar kabar penampakan Komar. Dia tahu apa yang
mereka bicarakan, cukup melihat sisa ketakutan di wajah kedua tukang kebun itu.
Empat puluh hari belum berlalu, kok saya belum bertemu si Komar? Ujar Ki Oce
ringan.
Warga tak heran dengan celetukan Ki Oce. Tak juga menganggapnya lucu. Sebab
sebagai penjaga makam kabarnya Ki Oce sering berjumpa dengan arwah orang mati. Baik
melihat langsung, ataupun lewat mimpi. Saya penasaran bagaimana rupa si Komar yang
kalian lihat. Ujar Ki Oce dengan pandangan menerawang.
Kedua tukang kebun itu saling pandang, dia keluar dari kabut, wajahnya terlihat
segar, dan pakai baju hitam tanpa kerah.

Ki Oce menangguk. Dari wajah keriputnya terpancar ketenangan. Biasanya, Ki Oce


menjumpai arwah orang mati dengan rupa menakutkan. Sekalipun bukan korban
pembunuhan, bunuh diri, atau korban kecelakaan.
Ini masih menangganjal buatku, apakah si Komar muncul karena punya dendam
pada kita semua? Cetus salah satu warga.
Pak Jaja memotong Ki Oce yang hendak menjawab, menurut saya, pada masalah
saya pribadi tak mungkin ada dendam. Coba kalian pikir bagaimana si Komar tahu sayalah
yang menabraknya? Toh, kalo saya jadi si Komar kemudian tertabrak truk saat hujan deras,
bagaimana saya tahu dengan jelas si sopir truk lewat jendela basah? Belum terhalangi rintik
hujan dan sorot lampu.
Kalau sudah ditabrak, nyawa keluar dari tubuh. Ia tentunya dapat mengenali seperti
apa orang yang mencelakakannya. Ungkap seorang pria berbaju koko.
Bagaimana bapak bisa membuktikan hal itu, bahwa nyawa keluar dari tubuh dan
mengenal orang yang mencelakakannya? Kata seorang pemuda membela pak Jaja, dirinya
dikenal sebagai seorang mahasiswa.
Melihat masalah dapat berkepanjangan, seorang santri menyela, sudah-sudah, kita
semua beragama bukan? Dan percaya adanya akhirat? Orang meninggal tidak kembali ke
bumi!
Kalau bukan hantu, lalu apa yang kami lihat tadi?
Iya, tadi malam si komar juga menyapaku dengan mengucapkan salam. Kata salah
satu petugas ronda semalam.
Warga kembali bingung. Saling pandang dalam kebisuan. Rokok dilupakan oleh para
bapak. Sinar matahari semakin terang tetapi tak ada yang peduli.
Menurut saya kita kembali berziarah saja. Ki Oce terdengar lebih ringkih.
Pria berbaju koko itu mengangguk, dengan resah dia berkata ya, betul itu. Janganjangan si Komar ingin diberi tahlil. Bukankah kita tak melakukannya? Mengingat tak ada
yang bertanggung jawab lagi setelah ibunya meninggal enam bulan lalu. Dia juga tak
memiliki apa-apa.
Semua mengangguk setuju dan merasa menyesal. Terutama pak Jaja, pria paruh baya
itu tampak murung.
Dengar! Untuk 40 harian dan 100 harian komar saya tanggung! Seru pak Jaja.
Semua orang tampak puas. Dua tukang kebun terlihat lega. Begitu pula dengan Ki
Oce, dia tersenyum dan memamerkan barisan giginya yang seperti kepala garpu.
Matahari semakin meninggi. Dalam perjalanan menuju rumah Ki Oce, sosok Komar
tidak berjumpa dengan siapapun. Keningnya berkerut, dari air mukanya ia tampak linglung.
Setelah tiga tahun tak pulang jalan setapak di pinggir hutan terasa asing baginya. Bukan tanpa
alasan ia memilih rute ini, sebab ada sesuatu yang dicarinya. Dengan penuh keyakinan ia
lanjutkan langkahnya. Sampai akhirnya tiba di lereng yang penuh tanaman kembang sepatu

liar. Sosok Komar terlihat gembira. Dengan sigap ia memetik kembang sepatu sampai
memenuhi kantung keresek.
Setelah dirasa cukup sosok Komar kembali berjalan. Ia mengikuti jalan setapak di
lereng yang semakin menurun. Penuh semak serupa rumput raksasa di mana jalan setapak
semakin terputus-putus. Ketika menemui jalan agak menanjak, sosok Komar terlihat yakin
dengan jalan yang pilihnya. Tak di sangka ia tiba di belakang pemakaman. Seluruh area
pemakaman ini dipagari tembok semen. Untung saja ada bagian yang roboh, sehingga tak
perlu mengambil jalan memutar. Hanya saja penuh semak belukar. Semakin dekat samarsamar tercium aroma bunga kamboja.
Matahari tepat di atas kepala. Adzan dzuhur dikumandangkan. Selesai beribadah
warga ramai-ramai berziarah ke makam Komar. Lebih banyak daripada jumlah pelayat yang
pernah ikut menguburkan. Ibu-ibu terlihat membawa keranjang, berisi kelopak bunga untuk
ditabur. Uniknya ada yang membawa sekeranjang kembang sepatu.
Ki Oce membuka gapura pemakaman. Di balik gapura suasana makam yang rindang
tersingkap. Teduh oleh beringin dan kamboja. Lewat aroma bunga kamboja penghuni kubur
seolah menjamu yang masih hidup. Sesampainya di makam Komar yang berdampingan
dengan makam orang tuanya, ada keganjilan di sana. Makam itu terlihat habis di rawat, dan
ada yang menabur bunga serta menyiram air.
Apa Ki Oce sudah Ziarah duluan?
Tidak, saya dari pagi di kebun, dan tak mungkin orang lain karena kunci gapura
selalu saya bawa.
Bila diamati seksama, di makam ibu Komar terdapat taburan kembang sepatu. Selain
itu, pada permukaan tanah kecoklatan yang lembab itu terdapat jejak sepatu. Hal itu membuat
rombongan peziarah diam seperti kuburan di sekitar mereka.
Dari jalan setapak di pinggir hutan, sosok Komar menatap pada pohon besar penanda
area pemakaman. Ia tersenyum, matanya berkaca-kaca, kemudian berkata pada dirinya
sendiri Sekarang aku tak punya lagi tempat untuk pulang.

Anda mungkin juga menyukai