Segera kuambil kembali dompetku, dan berlari dengan cepat menjauhi mereka yang
kemudian tertawa. Seluruh tubuhku masih gemetar sekalipun tidak bersama dengan mereka
lagi. Rasanya aku ingin menangis, tapi takut kalau mama jadi khawatir dan mengadu, karena
aku taku mereka membalasku.
Aku hanya ingin segera pergi dari sini, pulang ke rumah dan masuk ke kamarku. Di
mana tak ada lagi yang bisa mengancamku, dan segala sesuatunya bisa kukendalikan, seperti
halnya mainan.
Setelah keluar dari gang aku tiba di jalan menuju kompleks perumahan. Aku merasa
cukup nyaman di sini karena sepi. Beberapa saat kemudian, dari arah belakangku sebuah
mobil hitam melesat. Ku lihat bahwa seseorang melemparkan sesuatu keluar, sekilas benda
itu nampak seperti sebuah titik hitam, yang kemudian hilang dimakan tanaman pagar. Entah
mengapa aku tertarik untuk melihat benda apa itu.
Tanaman pagar yang menjadi tempat pembuangan benda itu terdapat di hadapan
sebuah rumah besar. Segera ku perkirakan dimana letak benda itu terjatuh. Selama aku
mencari, aku berusaha untuk memperhatikan lingkungan sekitar, jalanan terlihat lenggang
dan dari kejauhan tak nampak ada orang lewat, serta dari luar tidak ada tanda-tanda penghuni
rumah yang tinggal, gordennya tertutup dan koran masih tergeletak di beranda.
Tak lama kemudian ku temukan benda itu, ternyata itu adalah sebuah pistol.
Pengangannya terasa tidak terlalu dingin, agak berat tapi tidak seberat yang ku kira,
meskipun kehitaman dan mengkilap, aku tidak merasa bahwa pistol ini terbuat dari logam.
Namun, dari modelnya, aku merasa pernah melihat pistol ini di salah satu permainan.
Waw, sebuah Glock! Aku ingat bahwa ini adalah pistol yang digunakan oleh teroris
di permainan Counter Strike.
Aku juga pernah membaca deskripsi dalam permainan tersebut, jika tidak salah
disebutkan bahwa pistol ini berbahan karbon sehingga tak terdeteksi lewat detektor logam.
Mungkin karena itu pulalah pistol ini terasa cukup ringan bagiku, dan mungkin juga tidak ada
pelurunya. Namun, aku tidak bisa memastikannya, aku tidak berani untuk menarik
pelatuknya, dan tidak tahu bagaimana cara mengecek magazinnya.
Segera kumasukan ke dalam tas. Tiba-tiba dari kejauhan aku mendengar bunyi sirine
mobil polisi. Dari arah belakang mobil itu melesat dengan cepat. Mungkin polisi mengejar
pengendara mobil hitam tadi.
Entah mengapa hatiku puas sekali, mobil polisi tadi sepertinya pertanda bahwa pistol
ini asli. Ingin rasanya aku berlari kembali ke dalam gang horror tadi, kemudian meminta
semua uangku kembali. Aku bisa merasakan ada semacam kesenangan, bahwa dengan pistol
di tanganku ini mereka bisa kukendalikan seperti mainan, dan aku bisa menyuruh mereka
menjadi robot-robotan yang saling berkelahi. Aku harap ini asli! Ujar benakku berulangulang.
Namun, aku ingin mengurungkan niatku dulu. Aku ingin cari tahu dulu lewat internet
di rumah. Kali ini aku merasa riang, kejadian buruk beberapa menit lalu seolah terhapus.
Segera kuberjalan ke rumah cepat-cepat.
Sesampainya di rumah aku masuk lalu mengucapkan salam dan melepas sepatu
kemudian diletakan dengan rapi. Kudengar mama menjawab dengan agak keras, mungkin
karena sedang di dapur. Aku segera menuju kamar. Hal pertama yang segera ku lakukan
adalah mengerjakan PR, kemudian diikuti dengan bermain game. Tetapi pistol itu benarbenar menyita perhatianku. Begitu kukeluarkan, ada kekaguman, kepuasan dan rasa tidak
percaya yang bercampur aduk, seperti sewaktu dulu melihat mainan bagus dipajang pada
etalase toko, kemudian dibelikan oleh papa dan ada di tanganku. Aku bisa puas perjam-jam
hanya untuk melihatnya, terus memeganginya dan mengelus setiap bentuk permukaan
mainan maupun pistol yang ada di tanganku saat ini.
Ketika ku perhatikan, aku yakin ini asli jika menilai dari detilnya. Sungguh tidak
seperti mainan yang dicetak, pada pistol ini terlihat garis-garis yang menujukan rangkaian
rakitannya. Kugoyang-goyangkan pistol itu di dekat daun telingaku, tidak terdengar ada
bagian yang berbunyi, mungkin karena rusak sehingga dibuang.
Di saat-saat aku asyik dan berimajinasi dengan pistol tersebut, tiba-tiba mama
memanggilku. Aku segera ke menghampirinya, rupanya benar bahwa dia memang sedang di
dapur.
Lho kok belum ganti baju?
Lagi asyik ma.
Kalo gitu buruan ganti baju dan beliin bumbu-bumbu ini di warung ya.
Siap bos mama!
Oh iya, uang jajan masih ada kan? Boleh mama pinjam dulu? Soalnya mama gak ada
receh.
Aku terkejut mendengarnya.
Lho, masa udah habis lagi?
Eh, anu ma, tadi aku beliin mainan baru, soalnya bagus ma.
Sebenarnya aku tak ingin berbohong, aku tahu bukan itu yang mama dan papa ajarkan
padaku, tapi rasanya lebih baik dari pada harus melihat mama sedih karena tadi aku dipalak
preman di gang.
Kok mainan terus? Beli apa? Pistol air? Kan ade udah punya banyak. Mama tahu
bila aku menyukai mainan yang berbentuk pistol.
Aku hanya mengangguk, sambil berusaha menahan rasa cemas dan bersalahku karena
berbohong. Segera aku pergi ke warung setelah mengganti baju seragam.
Begitu kembali aku tidak menemukan mama di dapur. Saat menuju ke kamarku,
mama keluar dari balik tembok sambil menyapu, begitu melihatku dia sisihkan dulu debu
yang disapu dan segera kembali ke dapur.
Biasanya jika mama menyapu, dia tidak pernah melewatkan kamarku. Terkadang dia
melakukan lebih dari apa yang sedang dikerjakannya. Jika mainan, pakaian, buku pelajaran,
sprei dan selimut berantakan dia segera merapikannya. Dia juga selalu melihat mainan apa
yang ku beli. Meskipun tidak memberi tahu papaku, tetapi hal itu masih saja menggangguku,
terutama hari ini.
Karena internet di rumah kehabisan kuota, aku batal mencari tahu seperti apa pistol
glock yang asli. Sayangnya, karena aku sudah kehabisan jatah uang, mama tak mungkin
mengisikan kuota internetku.
Biarpun asli atau palsunya pistol ini masih teka-teki, setidaknya aku bisa bermain
dengannya. aku bisa menggunakannya untuk bermain dan berimajinasi dengan pistol
tersebut, setelah makan siang dan minum susu. Lalu menyetel film laga favoritku dan
menirukan aksi menembaknya dengan pistolku yang terasa agak berat, sebelum mama
menyuruhku untuk tidur siang. Tetapi aku tak pernah benar-benar menarik pelatuknya.
Sampai malampun pistol itu tidak lepas dari tangan, pandangan mata dan pikiranku.
Sesekali aku berimajinasi jadi polisi yang menembak penjahat, namun sesekali jadi seperti
perampok yang menodongkan pistol pada korbannya. Ada satu hal yang tidak membuatku
puas pada imajinasi jadi perampok, yaitu aku tidak tahu seperti apa wajah para penganggu itu
ketika ketakutan, belum pernah kulihat langsung, dan tidak ada dalam ingatan.
Saat mendengar mama melangkah menuju kamarku, aku segera naik ke kasur,
berbaring dalam selimut, namun sebelum aku dapat menyembunyikan pistol, mama sudah
membuka pintu dan melihatku.
Lho, kamu masih main dengan pistol air itu?
Aku segera menyimpan pistol itu meja sebelah kasurku.
Hayo tidur, jangan sampai besok kesiangan.
Mama lalu mematikan lampu kamar ku.
Aku berusaha tidur, memang mengetahui bahwa pistol yang menyenangkanku sebagai
pistol air memuaskan diriku, tetapi itu malah membuatku ingin segera menarik pelatuknya.
Sungguh ingin sekali kuketahui, tetapi dorongan untuk tidur juga sama kuatnya. Sebab kalau
terlambat bangun, mama sering jahil padaku, awalnya dia senang untuk mengusap wajahku
dengan handuk basah. Tetapi semenjak aku sering membeli pistol air, dia menggunakan salah
satunya untuk membangunkanku.
Semalam mimpiku tak jauh dari pistol itu juga dan keinginan burukku untuk
membalas perbuatan para pengganggu itu. Hanya saja dalam mimpiku pistol itu bukan
menyemburkan air, melainkan menembakan sinar laser seperti di film-film sci-fi favoritku,
dan para pengganggu itu digambarkan dengan tepat oleh mimpiku, bahwa mereka adalah
alien yang harus dibasmi. Kemudian aku dibawa ke sebuah ruangan, yang lama-lama terasa
berputar-putar semakin cepat pula.
Sampai kutemukan diriku bersembunyi di belakang pohon, tersembunyi dari
pandangan orang-orang di lapangan sekolah. Aku mengeluarkan pistol dari saku jaketku,
sekali lagi aku begitu puas ketika menyentuh dan melihat hitam pistol itu. Tembok di
hadapanku seolah-olah menjadi kertas gambar, bersama dengan imajinasi aku seolah bisa
melihat ada orang di hadapanku, kemudian aku pura-pura membidik dan menembaknya.
Sungguh mengasyikan, mula-mula orang-orang itu terlihat seperti tokoh kartun, lama-lama
menjadi semakin jelas dan lebih nyata, seperti menghadirkan tokoh penjahat dari film laga.
Suasana yang terciptapun semakin seru, suara keramaian di lapangan terdengar seperti
kepanikan yang pernah kulihat di berita lewat TV. Terkadang suara anak-anak yang sedang
menjerit dan berteriak di lapangan seolah dihadirkan oleh tokoh-tokoh yang kulihat.
Wah-wah, main kok gak ngajak nih? Tiba-tiba aku mendengar suara dari
sampingku.
Aku terkejut rupanya itu geng pembully. Segera ku sembunyikan pistolku.
Ada mainan baru nih? Mainan apa, pasti boneka barbie ka?
Aku menggelengkan kepala, kedua tanganku masih di belakang punggung bersama
dengan pistolku.
Mereka terus mengejek dan tertawa.
Akhirnya aku memekik dan menunjukan pistol yang kubawa. Kemudian kuarahkan
pada ketua geng mereka. Dengan spontan dia mengangkat tangan dan menunjukan mimik
wajah ketakutan, tetapi kemudian berubah menjadi tawa dan ejekan.
Oh, aku takut, aku takut itu cuma pistol air!
Mau bukti?!
Dia lalu membusungkan dadanya.
Dor!
Kejadian itu berlasung cepat dan sangat mengejutkan. Lalu aku bisa melihat diriku
tertidur, padahal hari sudah pagi, tetapi bersimbah darah. Dan pistol itu ada di tangan mama.