Anda di halaman 1dari 4

Gang

Oleh Mochamad Faris Dzulfiqar


Di sini, aku hanya terduduk dan menatapi rintik-rintik hujan yang menempel di kaca.
Tiada perbincangan di antara para penumpang angkot. Secara tidak langsung mereka
membuat angkutan orang menjadi angkutan barang. Satu hal yang membuat sore gerimis ini
tidak sepi adalah bunyi klakson di luar sana, yang mewakili suara hati para pengendara. Di
dalam kemacetan dengan bunyi klakson di sana-sini, menjelma suasana demonstrasi, para
pengendara adalah pendemo terhadap lampu merah dan sesamanya. Dan berpikir soal
pendemo, aku merasakan suatu ketidakadilan hari ini, inginku gugat nasib buruk yang di luar
kehendakku, sehingga aku dipandang buruk di minggu pertama bekerja. Kemarahan atasanku
yang meluapkan penyesalan telah berlalu, tetapi catatan buruk kinerja harus ditebus,
sayangnya bukan dengan alasan.
Kulihat jam digital pada layar smartphone menunjukan waktu telah berlalu selama 20
menit, padahal masih cukup jauh dari perempatan. Sedangkan kakiku ingin berlari, tak tahan
lagi duduk, tak tahan lagi menunggu. Dan, aku tidak menyangka bahwa seperti inilah rasanya
menghadapi kemacetan di tanah air. Rasanya aku ingin tinggal saja di negeri orang tempat
aku menimba ilmu. Ada kegetiran dan keresahan ketika kuhadapi susana hidup di ibu kota
yang semraut, dan semua itu di mulai sejak tadi pagi.
Aku bangun lebih awal sebelum alarmku berbunyi, sebelum bunyi adzan
berkumandang. Terpikir olehku untuk pergi lebih dini hari, tetapi aku malas untuk menunggu
tanpa ada hiburan selain melihat kendaaraan melintas di jalan yang lenggang. Kantor
tempatku bekerja sebagai desainer grafis mulai di buka pukul 7 pagi. Meskipun hampir genap
seminggu, aku masih kesulitan untuk menemukan jalan menuju indekosku karena gang di
sini seperti labirin. Namun, terpola dengan buruk, di mana aku dibuat tidak tahan, sebagai
seorang perancang desain aku menyukai pola tertata, simetris, harmonis, dan pokoknya tidak
urakan.
Ketika menemukan pola semacam itu pikiranku seperti langsung menjiplaknya,
sehingga aku mudah mengenal dan mengingatnya. Jadi, maklumlah jika aku masih sukar
menemukan jalan ke indekos ini. Mengingat hal itu aku jadi terdorong untuk menyusuri tiap
gang sampai ke jalan raya. Aku berencana untuk mapping dan berharap menemukan jalan
pintas. Tanpa buang waktu, aku segera mempersiapkan diri.
Bekal ke luar hanya buku catatan saku dan ballpoint. Di luar gelap seperti memasuki
bioskop, dan penerangan terbatas pada beranda-beranda rumah warga. Arah ke jalan raya
berada di sisi kanan dari gerbang indekosku, segera aku melangkah dan menarik garis dalam
buku catatan, yang alurnya mengikuti langkahku. Sesampainya di jalan raya semua itu
berlangsung kurang dari setengah jam. Masih cukup waktu untuk mempersiapkan berbagai
hal. Ujarku dalam benak, kemudian aku segera kembali menyusuri jalan pintas yang baru ku
temukan.
Meskipun pagi belum terang betul, orang-orang yang sepertinya pegawai atau
mahasiswa, dan tentunya anak sekolah segera bergegas ke tempat tujuan masing-masing. Saat
hendak mengambil gang yang mengarah ke jalan pintas, langkahku terhenti beberapa saat
untuk menunggu dua motor melintas dari arah berlawanan, dan ada satu lagi dari belakangku
tak berapa lama kemudian.

Aku memikirkan sesuatu tentang hal tadi dan agak terlarut, ketika ada motor lagi yang
melintas di hadapanku, aku berhenti dan menepi tepat di belakang motor yang diparkirkan.
Namun, rupanya ibu-ibu yang mengendarainya berniat memarkirkan motornya di tempat ku
berdiri. Dia memperlihatkan giginya yang perlu dibehel begitu kuberi ruang.
Merepotkan, padahal tidak bawa belanjaan, dari mana dia? Apa terlalu malas untuk
jalan? Gumamku.
Di saat aku hendak memasuki gang yang jadi jalan pintas, terdengar suara motor dari
arah berlawanan yang segera berbelok menuju gang yang hendakku masuki. Memang belum
ada masalah, sampai begitu aku masuk motor tadi berusaha untuk mundur. Rupanya ada
grobak bubur yang sedang lewat. Gang ini memag terbilang sempit, hanya menyisakan ruang
yang cukup bagi satu motor untuk melintas. Aku pun harus menunggu beberapa saat, dan
kembali bergumam tentang hal itu.
Pengendara motor itu nampaknya agak kesal, terlihat jelas dari bibir manyunnya. Aku
biarkan dia lebih dahulu masuk ke gang. Giliran aku masuk, lagi-lagi ada hambatan, kali ini
ada pengendara motor lain dari arah berlawanan. Masalah sebenarnya sederhana, tinggal
siapa yang mau mengalah, tetapi karena waktu yang mereka buru tak dapat kembali, masingmasing menuntut haknya.
Situ coba mundur lagi.
Lah, ente aja yang mundur, atau coba geser dikit.
Geser matamu! Mana cukup ini, nanti tergores.
Makanya motor tuh yang merakyat aja kalo di tempat begini mas, kan saya juga
yang rugi waktu.
Lho, kok jadi situ yang ngatur? Coba mundur, situ kan yang lebih deket ke jalan
keluar?
Dari ekspresi keduanya aku merasa bahwa sebentar lagi bakal terjadi perkelahian.
Mau tak mau aku ikut campur.
Sudah-sudah, biar semua masalah selesai, bagaimana kalau saya bantu
memundurkan motor bapak.
Kedua pengendara itu memandangku kemudian saling berpandangan, ketika mereka
mengangguk, nampaknya ada pengertian di antara keduanya.
Ku tarik motor bebek yang mesinnya sedang dimatikan itu. Memang perlu sedikit
usaha. Tapi tak lama pengendara motor yang berhadapan dengannya tadi sudah keluar gang.
Pengendara itu berterima kasih padaku, kemudian menawarkan tumpangan. Karena kukira itu
layak kudapatkan, maka aku terima usulnya.
Aku mendengar suara kendaraan bermotor di belakang, di saat yang sama dari arah
berlawanan datang kendaraan bajaj. Suara knalpotnya yang butut itu seperti menertawakan
kesialanku. Dan sekali lagi aku berada di tengah-tengah gangguan. Ketika dua pengendara itu
mengggentikan laju kendaraannya, aku meluapkan semua kekesalanku.
Kalian ini kurang desain! Terhadap tempat dan waktu! Lihat, padahal kosmos itu
harmonis!
Baik si kedua pengendara motor, atau supir bajaj, sama-sama bengong. Tapi tak satu
pun dari mereka terlihat merasa bersalah atau disalahkan, seolah semua ini sudah biasa.
Justru di saat seperti itulah aku merasa dialienkan daripada karena ucapanku.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil jalan labirin serupa usus dua belas jari.
Kukeluarkan catatan mapping yang kubuat dan melangkah sambil memperhatikan antara

desain yang kubuat dengan belokan gang. Sungguh, masyarakat kita sepertinya anti desain.
Komentarku dalam batin ketika melihat kembali mapping yang kubuat.
Dari memori tadi pagi itu, aku merasa semua itu juga tercermin ketika aku
memperhatikan para pengendara di dalam kemacetan saat ini, yang kelihatannya seperti
barisan semut, hanya bila diperhatikan terlihat bahwa campurannya tidak homogen. Motor,
helm, jaket, membawa brand yang berbeda-beda, sampai desain motorpun di custom pula.
Melihat semua hal itu, mengingatkanku pada cast1 dalam background. Sungguh kacau!
Kembali pada mapping gang ala labirin, aku menemukan lagi satu alasan mengapa
masyarakat kita anti desain, atau sekurang-kurangnya tidak terlalu mempedulikan desain.
Letak dan jarak antar rumah, serta wujudnya, membuatku berpikir bahwa di dalam cetak
birunya tidak terdapat Ggrid2, atau malah tidak ada cetak biru sama sekali. Kemudian ketika
aku berjalan, melihat rumah beberapa tingkat, ku perhatikan ada perbedaan antara lantai satu
dengan lantai selanjutnya. Bagiku itu menunjukan adanya berbagai convert3 yang dilakukan
belakangan.
Seharusnya antara kanvas yang masih putih, Ggrid, dan convert terhubung satu sama
lain, tidak sekedar lewat imajinasi saja tapi juga pertimbangan yang matang, begitulah
opiniku sebagai seorang perancang desain. Memikirkan semua itu membuatku teringat
kembali pada kuliah di kampus dulu. Juga pada kondisi jalanan di kota Rotterdam sewaktu
kuliah dulu. Selain kondisi lalu lintas yang baik, juga memiliki pola pemukiman yang tertata.
Di sini rumah penduduk yang didirikan dekat sungai nampak seperti pasar ikan. Sungguh
jauh berbeda dengan kota di negeri kincir angin itu, di pinggir sungai berdiri bangunanbangunan bergaya klasik khas belanda zaman kolonial.
Kesadaranku kembali pada hal di luar diriku, yaitu kemacetan, yang mulai terasa
memberi ruang untuk bernafas lega, wajah-wajah lelah yang saling berdekatan itu terlihat
lebih santai. Begitupun dengan diriku saat angkot terasa melaju, sebelumnya waktu terasa
seperti gerak siput, kemudian kura-kura, dan sekarang seperti aliran air di selokan. Tetapi aku
tidak melihat ke depan, di mana tujuanku akan nampak, aku terus asyik melihat ke kaca
belakang, entah apa yang menyita perhatianku.
Lalu kusadari lubang di jalan mungkin punya berbagai cerita. Tetapi andaikan saja
bahwa suatu jalan di bangun, kemudian setelah seluruh panjang jalan diselesaikan, di saat itu
juga jalan di buka, dan kita anggap seting ini terjadi di negeri ini, yang artinya baru lahir jalan
itu segera diserbu siang dan malam. Kacau! Padahal terdapat aturan dan prosedur bahwa
jalan baru dibangun itu didiamkan terlebih dahulu agar tidak ada retakan. Belum lagi, di
negeri yang curah hujannya tinggi ini, membuat kerusakan itu semakin cepat dan parah
tentunya.
Tiba-tiba aku terdiam, kemudian muncul suatu gagasan yang membuatku membatin
aha erlebnis!. Mengingat masalahku sekarang adalah bagaimana meminimalisir rintangan
1 Cast adalah efek warna yang tidak diinginkan
2 Ggrid adalah garis bantu dalam form yang berfungsi sebagai panduan
mengatur posisi dan ukuran
3 Convert adalah menukar atau mengubah dari bentuk satu ke bentuk yang lain

di gang, lubang di jalan memberiku ide. Seingatku kondisi jalan gang tadi pagi cukup mulus,
dalam arti tidak ada lubang menganga. Apa jadinya kalo diberi lubang yang menyulitkan
pengendara motor untuk menghindarinya, apakah dia akan tetap menerobos karena merasa
jalan itu satu-satunya pilihan? Setelah kurenungi, aku dapat satu jawaban yaitu gunakan
kemampuan desainku sampai ke tingkat maksimum. Apabila lubang di jalan secara tidak
langsung adalah hasil desain pengendara, dengan catatan dilakukan beramai-ramai dan terus
menerus. Sedang yang perlu kulakukan adalah duduk dibelakang layar laptop kemudian
membuka aplikasi untuk desain grafis, dan merancang lubang yang kuperlukan. Ya, sebuah
lubang semu tetapi memerlukan daya artistik yang hiper realis. Lubang itu kemudian akan
kucetak sebagai stiker, lalu tinggal kutempelkan pada permukaan yang tepat. Kalau tak salah
di Amerika hal itu digunakan sebagai pengganti polisi tidur.

Anda mungkin juga menyukai