Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ada dua masalah dalam bidang kedikteran atau kesehatan yang berkaitan
dengan aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu,
sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran
yaitu tentang abortus provokatus dan euthanasia. Dlam lafal sumpah dokter yang
disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah
diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan
masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya
kesepakatan yangdapat diteroma oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus
provokatus dan euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan
sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan
hukum, moral dan agama.
Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan
masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak
tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam
situasi demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan
ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain keadaan pada pasien
yang sudah tidak sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien yang
penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak
meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat
kematian. Dari sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan
seseorang agar terbebas dari penderitaan atau mati secara baik.
Masalah makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena
semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat
terutama setelah ditemukannya tindakan didalam dunia pengobatan dengan
mempergunakan tegnologi canggih dalam menghadapi keadaan-keadaan gawat
dan mengancam kelangsungan hidup. Banyak kasus-kasus di pusat pelayanan
kesehatanterurtama di bagian gawat darurat dan di bagian unit perawatan intensif
yang pada masa lalu sudah merupakn kasus yang sudah tidak dapat dibantu
lagi.
1

1.2.RUMUSAN MASALAH
1.2.1. Apa pengertian dari Euthanasia?
1.2.2. Apa saja jenis-jenis Euthanasia?
1.2.3. Bagaimana tinjauan Etis terhadap Euthanasia?
1.2.4. Bagaimana tinjauan Yuridis terhadap Euthanasia?
1.3.TUJUAN
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian dari Euthanasia
1.3.2. Untuk mengetahui jenis-jenis Euthanasia
1.3.3. Untuk mengetahui tinjauan etis tehadap euthanasia
1.3.4. Untuk mengetahui tinjauan yuridis terhadap euthanasia

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN EUTHANASIA
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu
berarti baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati. Dengan demikian
euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang
menerjemahkan mati cepat tanpa derita.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan,
maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk
menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan
orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu
euthanasia

tidaklah

bertentangan

dengan

panggilan

manusia

untuk

mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi


persoalan

dari

segi

kesusilaan.

Artinya

dari

segi

kesusilaan

dapat

dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.


Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih
menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut
pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan
yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan
penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang
menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah
yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena
definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.
Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:
a.

Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan
psikologi, euthanasia diartikan:

Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.

Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup


pasien

Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau
tanpa permintaan pasien.
3

b. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga
arti:

Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk
yang beriman dengan nama Allah dibibir.

Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat


penenang.

Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
euthanasia adalah sebagai berikut:

a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu


b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup
pasien.
c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
d. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
e. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
2.2. JENIS-JENIS EUTHANASIA
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya,
dari mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis
besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk
mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya
dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.
2. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan
atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga
pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.

3. Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat
kematian atas permintaan sendiri.
4. Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam
keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya.
Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian
bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga
mempunyai macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh,
diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi,
mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis
besarnya, yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa
memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan
agar yang bersangkutan dapat mati dengan "baik".
2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan
efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke
dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan
analgetika yang mungkin "de fakto" dapat memperpendek kehidupan walaupun
hal itu tidak disengaja
3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau
permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan
tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.
4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan
pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau
atas keputusan pemerintah.

2.3. TINJAUAN ETIS EUTHANASIA


A. Tinjauan Kedokteran
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi
kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi
medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan.
Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, Saya tidak akan memberikan racun
yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka
yang memintanya. Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter
di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates
sendiri yang membuatnya.
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban
dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa
menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup
seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan
sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang
otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara
keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian
tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang
mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan
setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula
dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik
yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia
adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri
hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang
mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa
euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan
euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah
menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan
radikal dengan hakikat itu.
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan
perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai

penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh
seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di
luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu
tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten
melakukan perawatan medis.
B. Tinjauan Filosofis-Etis
Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan
otonomi dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri
secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan
mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia dapat diringkas sebagai
berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus
mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia
mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi
pengakhiran penderitaan yang tidak berguna.
Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu
argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita
mengizinkan pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa
dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang
dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu
kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita
mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan
sebagai kesucian kehidupan (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah
suci karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.
Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada
secara intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama
dengan berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari
pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masingmasing orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh
karena itu masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu,
manusia tidak pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai
suatu tujuan tertentu oleh orang lain.

Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi


yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka,
jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya
segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan.
Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar mempercepat
kematiannya, sekaligus memungkinkan kematian yang baik, tanpa penderitaan
yang tidak perlu.
2.4. TINJAUAN YURIDIS EUTHANASIA
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada
pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang
euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal
keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau
pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu.
Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang
terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau
dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena
kurang hati-hati. Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan
euthanasia aktif tedapat padapasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat
beberapa alasan kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri
hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus
dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal
dibawah ini perlu diketahui oleh dokter, yaitu:

Pasal 338 KUHP:


Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena
makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan
hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara selamalamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP:
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang
mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus
euthanasia, yaitu:
Pasal 345 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh
diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa
manusia dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya
pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah
menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh
sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan
tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini
dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama,
ras, warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia
Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah
euthanasia ini.

2.5 CONTOH KASUS EUTHANASIA DI INDONESIA DAN DI DUNIA


KasusDoctorDeath

Dr. Jack Kevorkian dijuluki Doctor Death, seperti dilaporkan Lori A. Roscoe .
Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale, California. Diduga
puluhan pasien telah ditolong oleh Kevorkian untuk mengakhiri hidup.
Kevorkian berargumen apa yang dilakukannya semata demi menolong pasienpasiennya. Namun, para penentangnya menyebut apa yang dilakukannya adalah
pembunuhan.
Jakarta-Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004
telah diajukan oleh seorang suami bernama Panca Satria Hasan Kusuma karena
tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun,
tergolek koma selama 3 bulan pasca operasi Caesar dan disamping itu
ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu
alasan pula. Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk euthanasia
yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi
terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan
kesehatannya.
Jakarta-Indonesia
Koma selama 3,5 bulan setelah menjalani operasi di RSUD Pasar Rebo pada
bulan Oktober 2004 dengan diagnosa hamil di luar kandungan. Namun setelah
dioperasi ternyata hanya ada cairan di sekitar rahim. Setelah diangkat, operasi
tersebut mengakibatkan Siti Zulaeha, 23 tahun mengalami koma dengan tingkat
kesadaran di bawah level binatang. Sang suami, Rudi Hartono 25 mengajukan
permohonan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tangggal 21
Februari 2005. Permohonan yang ditandatangani oleh suami, orang tua serta
kakak dan adik Siti Zulaeha.
NewJersey-AmerikaSerikat
Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada

10

tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu
pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat
psikotropika secara berlebihan. Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang
anak, maka orang tuanya meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat
bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kemudian dibawa ke
pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orang tua pasien
ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat
bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan
alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan
koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien
tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).
Korea
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa
menderita penyakit sirosis hati (liver cirrhosis). Tiga bulan setelah dirawat,
seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu
pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada
Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk memeriksa
kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan melakukan
pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien
sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. 1
minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis
hati yang telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun
respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama 24
jam saja.

Swiss
Seorang warga Swiss bunuh diri dibantu medis atau euthanasia. Disaksikan
keluarganya, ia menenggak obat mematikan di satu klinik di Swiss. Proses menuju
kematian itu, disiarkan oleh televisi BBC. Kontroversi pun sontak merebak. Nama
pria itu adalah Peter Smedley berusia 71 tahun dan sedang sakit parah yang tak
mungkin disembuhkan lagi. Pemilik hotel ini pun memutuskan untuk mengakhiri

11

penderitaan itu dengan cara meminum obat mematikan. Niatnya itu bisa
terlaksana karena di negaranya, Swiss, euthanasia tidak terlarang. Ia pun meminta
dokter di satu klik bernama Dignitas memberikan obat mematikan, barbituates.
Entah bagaimana dia memberikan izin kepada Sir Terry Pratchett, pembawa acara
Terry Pratchett: Choosing To Die, untuk merekam momen terakhirnya saat
meminum racun. Itu terjadi sebelum Natal tahun lalu. Dalam gambar yang
ditayangkan di BBC, sang pasien, Smedley, didampingi dokter dari klinik dan
istrinya Christine. Dalam hitungan detik, ia meninggal di kursinya. Segera setelah
tayangan itu, debat panas muncul di Twitter, media sosial lainnya serta media
cetak membuat BBC dijuluki pemandu sorak euthanasia. Warga pun menulis
pengaduannya pada Dirjen Mark Thompson dan Kepala BBC Lord Patten
mengenai acara itu. Warga menganggap acara ini tak pantas. Kelompok amal,
politik dan agama bergabung menyatakan acara ini propaganda euthanasia.
Dalam gugatan, tertulis, Menayangkan kematian pasien di acara demi hiburan,
BBC harus punya alasan kuat. Baroness Campbell of Surbiton, Baroness Finlay
of Llandaff, Lord Alton of Liverpool dan Lord Charlie of Berriew mengatakan,
BBC menayangkan acara ini guna mendukung bunuh diri yang dibantu. Alhasil,
hampir 900 warga membuat pengaduan resmi pada BBC atas program itu. Juru
bicara BBC menambahkan, Terkait acara ini, kami punya 82 apresiasi dan 162
pengaduan, total pengaduan pun menjadi 898. Regulator media Ofcom sendiri
mengakui seperti dikutip Dailymail, BBC mendapat banyak pengaduan.
Inggris
Pada tahun 1992 ketika dr. Nigel Cox mengakhiri hidup Lilian Boyes seorang
pasien sekaligus teman baiknya selama 14 tahun. Caranya dengan memberikan
suntikan potassium chlorice. Dr. Cox mau melakukan itu karena ia sungguhsungguh merasa iba dengan penderitaan sahabatnya itu. Ia mengalami kesakitan
luar biasa. Lima hari sebelum kematiannya ia memohon-mohon kepada saya
untuk mengakhiri penderitaannya dengan mengakhiri hidupnya, demikian
pembelaan dr. Cox. Kedua anak Lilian Boyes menyetujui tindakan dr. Cox.
Mereka malahan memberikan pembelaan dan berpendapat bahwa dr. Cox telah
merawat ibu mereka dengan sungguh-sungguh dan penuh kasih. Tetapi apa pun
bentuk pembelaan, yang pasti kemudian dr. Cox diadili dan dijatuhi hukuman 12

12

bulan, hanya saja ijin prakteknya tidak dicabut. Ia tetap bisa menjalankan
profesinya sebagai dokter.
Florida-USA
Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari
setelah

Mahkamah

Agung Amerika memberi

izin

mencabut pipa

makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini
masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya
dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung.
Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi,
tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang
berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu
disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena
itu, dokternya kemudian dituduh malapraktik dan harus membayar ganti rugi
cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang
membahayakan ini pada pasiennya. Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada
dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama
Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu
makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang,
namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan
keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka
tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi
sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih
tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh
dilepaskan, maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya
guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang
memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim
tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika
Serikat dan

ditandatangani

oleh

Presiden George

Walker

Bush.

Tetapi,

berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang


pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

13

BAB III
PENUTUP
2.1. SIMPULAN

Euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan,


maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan
sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu
kesengsaraan dan penderitaan.

Euthanasia dapat dikelompkkan menjadi euthanasia aktif, euthanasia pasif,


euthanasia volunter, dan uethanasia involunter.

Menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup


seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan
sembuh lagi

Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada


pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang
euthanasia. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum,
adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia.

2.2.SARAN
Dalam makalah ini penulis memberikan saran kepada kepeda para pemberi
layanan kesehatan khususnya para dokter untuk tidak melakukan euthanasia,
karena jika dilihat dari segi hak asasi manusia steiap orang berhak untuk hidup.
Dan jika dilihat dari segi agama, yang mempunyai kuasa atas hidup manusia
adalah Tuhan.

14

DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah Jusuf: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, 2005


http://HukumKesehatan.web.id/AspekHukumdalamPelaksanaanEuthanasiadiIndo
nesiaHukumKesehatan.htm
http:// JohnkoplosWeblog.com/Euthanasia Tinjauan dari Segi Medis, Etis, dan
Moral

15

Anda mungkin juga menyukai