Anda di halaman 1dari 14

Displin, Etika dan Hukum Kedokteran

dalam Hubungan Dokter Pasien


Lydia Gloriani Lethe(102013343)
Franklin Wijaya ( 102013124)
Cenisia (102013040)
Stephanie Maria Embula ( 102012126)
Filemon Nyo Rape (102013299)
Windy Silvia (102013479 )
Mohd Azril Aisha bin Mahalil Aisha (102013497)
Maria Febriany Ndapa (102013140)
F6
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Pendahuluan
Dalam era global yang terjadi waktu ini, profesi kedokteran merupakan salah satu profesi
yang mendapatkan sorotan masyarakat. Masyarakat banyak yang menyoroti profesi dokter, baik
sorotan yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia sebagai induk organisasi
para dokter, maupun yang disiarkan melalui media cetak maupun media elektronik.
Kemajuan teknologi yang semakin pesat membuat akses informasi yang beredar seolah
tak terbendung. Masyarakat semakin cerdas dalam menentukan pilihan, yang salah satunya
adalah pilihan dalam urusan kesehatan. Dengan akses informasi yang tak terbatas inilah,
masyarakat semakin diperdalam pengetahuannya dalam bidang kesehatan, terutama mengenai
hak hak yang wajib mereka dapat dan bahkan mengenai penyakit yang mereka derita.
Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi dokter merupakan satu pertanda bahwa
saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan medis dan pengabdian profesi
dokter di masyarakat. Pada umumnya ketidakpuasan para pasien dan keluarga pasien terhadap
pelayanan dokter karena harapannya yang tidak dapat dipenuhi oleh para dokter, atau dengan
kata lain terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang didapatkan oleh pasien.

Sehingga penerapan kaidah bioetika, dan hukum merupakan sebuah keharusan bagi seorang
dokter yang berkecimpung didalam dunia medis.
Etik merupakan seperangkat perilaku yang benar atau baik dalam suatu profesi. Etika
kedokteran adalah pengetahuan tentang profesional para dokter dan dokter gigi dalam
menjalankan pekerjaannya sebagai tercantum dalam lafal sumpah dokter dan kode etik masingmasing yang telah di susun oleh organisasi profesinya bersama-sama pemerintah. Hukum
merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan. Hukum kesehatan
merupakan peraturan perundang-undangan yang menyangkut pelayanan kesehatan baik untuk
penyelenggara maupun penerima pelayanan kesehatan. Oleh karena itu penulisan makalah ini
bertujuan menjelaskan profesi kedokteran di dunia medis berdasarkan aspek etik, hukum dan
medik.
Aspek Etik dan Hukum
Pada kode etik kedokteran dan kedokteran gigi secara tersirat tidak tercantum etika
berkomunikasi. Pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal
35 disebutkan kompetensi dalam praktik kedokteran antara lain dalam hal kemampuan
mewawancarai pasien. Kode Etik adalah pedoman perilaku dokter. Kode Etik harus memiliki
sifat-sifat sebagai berikut:1
1. Kode etik harus rasional, tetapi tidak kering dari emosi
2. Kode etik harus konsisten, tetapi tidak kaku
3. Kode etik harus bersifat universal
Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor

434/Menkes/SK/X/1983.4

Kode

Etik

Kedokteran

Indonesia

disusun

dengan

mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan
landasan strukturil Undang Undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur
hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter
dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri
sendiri. Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan
2

pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus
pelanggaran hukum.
Hubungan antara dokter-pasien diatur dengan peraturan-peraturan tertentu agar terjadi
keharmonisan dalam pelaksanaannya. Seperti diketahui hubungan tanpa peraturan akan
menyebabkan ketidakharmonisan dan kesimpangsiuran. Namun demikian hubungan antara
dokter dan pasien tetap berdasar pada kepercayaan terhadap kemampuan dokter untuk berupaya
semaksimal mungkin membantu menyelesaikan masalah kesehatan yang diderita pasien. Tanpa
adanya kepercayaan maka upaya penyembuhan dari dokter akan kurang efektif.1
Hubungan antara dokter dengan pasien yang seimbang atau setara dalam ilmu hukum
disebut hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual atau kontrak terapeutik terjadi karena para
pihak, yaitu dokter dan pasien masing-masing diyakini mempunyai kebebasan dan mempunyai
kedudukan yang setara. Kedua belah pihak lalu mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di
mana masing- masing pihak harus melaksanakan peranan atau fungsinya satu terhadap yang lain.
Peranan tersebut berupa hak dan kewajiban.1
Hubungan karena kontrak atau kontrak terapeutik dimulai dengan tanya jawab (anamnesis)
antara dokter dengan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik. Kadang-kadang dokter
membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang dan membantu menegakkan
diagnosisnya yang antara lain berupa pemeriksaan radiologi atau pemeriksaan laboratorium,
sebelum akhirnya dokter menegakkan suatu diagnosis. Sebagaimana telah dikemukakan,
tindakan medik mengharuskan adanya persetujuan dari pasien (informed consent) yang dapat
berupa tertulis atau lisan. Persetujuan tindakan kedokteran atau informed consent harus
didasarkan atas informasi dari dokter berkaitan dengan penyakit. Hal ini diatur dalam UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Paragraf 2, Pasal 45. Komunikasi
antara dokter dengan pasien merupakan sesuatu yang sangat penting dan wajib.1
Melihat pentingnya komunikasi timbal balik yang berisi informasi ini, maka secara jelas
dan tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Paragraf 2, Pasal 45 ayat (2), (3), Paragraf 6, Pasal 50 huruf (c), Paragraf 7, Pasal 52 huruf (a),
(b), dan Pasal 53 huruf (a). Paragraf 6 dan 7 dalam Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran secara jelas menyebutkan mengenai hak dan kewajiban dokter dan
3

hak dan kewajiban pasien yang di antaranya memberikan penjelasan dan mendapatkan informasi.
Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar individual
dalam bidang kesehatan (The Right of Self Determination). Meskipun sebenarnya sama
fundamentalnya, hak atas pelayanan kesehatan sering dianggap lebih mendasar.1
Perlindungan masyarakat yang menggunakan pelayanan medis oleh dokter dan dokter gigi
selain dipedomani oleh etika universal, saat ini dijamin oleh undang-undang. Segala tindakan
yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dalam rangka pengobatan mengikuti prosedur sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur oleh disiplin ilmu masing-masing.
Masyarakat pengguna pelayanan medis, dalam batasan tertentu, perlu mengetahui alasan
tindakan pengobatan yang dilakukan terhadap dirinya. Hal ini menyiratkan perlunya
mengembangkan hubungan dokter - pasien sebagai hubungan penuh kepercayaan dalam wujud
komunikasi dua arah yang memberikan peluang bagi masing-masing pihak untuk menyampaikan
pendapatnya.1
Hak dan Kewajiban Pasien
Di Indonesia, semula baru sebagian kecil masyarakat yang mengetahui hak-haknya sebagai
pasien dan hanya diberlakukan secara voluntary sebagai kode etik dokter dan belum ada jaminan
hukumnya. Kemudian pada tahun 1992, hak-hak pasien dimasukkan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Hal ini dirasakan perlu karena selama ini pasien, bila
berhubungan dengan dokter, benar-benar harus mempercayakan seluruh nasibnya kepada dokter
tersebut. Dalam arti bila terjadi suatu kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter, pasien
hanya bisa pasrah, tanpa dapat menggugat, karena tidak ada landasan hukumnya. Isi pasal hakhak pasien di undang-undang tersebut hampir sama, hanya terdapat sedikit perbedaan, yaitu pada
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak disebutkan hak pasien
untuk mendapatkan ganti rugi. 1
1. Hak pasien menurut UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
a. Hak atas informasi
b. Hak atas pendapat kedua
c. Hak atas rahasia kedokteran
d. Hak untuk memberikan persetujuan tindakan kedokteran
e. Hak atas ganti rugi apabila ia dirugikan karena kesalahan atau kealpaan tenaga
kesehatan
f. Hak untuk mendapat penjelasan
4

g. Hak untuk memperoleh pendapat kedua


h. Hak untuk mendapat pelayanan medis sesuai kebutuhan, standar profesi dan
standar prosedur operasional
i. Hak untuk menolak tindakan medis
j. Hak untuk mendapatkan isi rekam medis
2. Hak pasien menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
a. Hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3)
b. Hak untuk meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
c. Hak untuk mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
d. Hak untuk menolak tindakan medis
e. Hak untuk mendapatkan isi rekam medis
Selain hak, pasien juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhinya. Dokter tidak dapat
disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur dan mau menceritakan seluruh penyakit dan apa yang
dirasakannya.5 Bila pasien sudah pernah berobat ke dokter lain, misalnya, dia juga harus
menceritakan perawatan apa dan obat apa yang dia dapatkan sebelumnya. Bahkan pasien
sebaiknya juga menceritakan sejarah penyakitnya pada dokter (misalnya ibu atau ayahnya
berpenyakit darah tinggi, jantung, ginjal, diabetes, atau penyakit lainnya, sehingga dokter dapat
mendiagnosis penyakit secara lebih tepat).
Pasal 53 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur tentang
kewajiban pasien, yaitu: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban: 1
1. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
2. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
3. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
4. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Kecenderungan secara global menunjukkan bahwa hubungan dokter dengan pasien
haruslah berupa mitra, keduanya bekerja bersama untuk mencari jalan terbaik bagi kesembuhan
pasien. Bila dari permulaan hubungan dokter/dokter gigi pasien sudah lebih baik dan saling
terbuka, maka banyak masalah dapat diatasi bersama, karena dokter yang sudah mengetahui
semua sejarah penyakit pasien serta keluhannya akan dapat membuat diagnosis yang lebih tepat.
Di lain pihak pasien yang juga sudah mendapat keterangan lengkap tentang penyakitnya, cara
pengobatan dan perawatannya, kemungkinan efek samping yang mungkin timbul, serta
kemungkinan lain akibat tindakan medis tertentu, mestinya sudah lebih siap menghadapi segala
kemungkinan (yang terburuk sekalipun) dan tidak akan begitu saja menyalahkan dokter, tanpa
memahami seluruh rangkaian proses yang harus dilalui dalam suatu pengobatan ataupun
5

perawatan medis.2
Informed Consent
Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai persetujuan
yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis
yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.3
Dalam memberikan pelayanan kesehatan, petugas medis harus terlebih dahulu
memberikan informed consent kepada pasien. Informed consent berasal dari hak legal dan etis
individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik
dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk
membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.3
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan
tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk menghormati hak
pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan,
dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.3
Persetujuan tindakan kedokteran atau informed consent harus didasarkan atas informasi
dari dokter berkaitan dengan penyakit. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Paragraf 2, Pasal 45 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran dan Kedokteran Gigi:3
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi akan dilakukan oleh dokter gigi
harus mendapat persetujuan
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup : a.
diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Menteri.
(Peraturan Menteri No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang persetujuan kedokteran).
Ruang Lingkup Informed Consent
Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis
pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain
yang berperan serta dalam pengobatan pasien.4
Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit
tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif. Hak-hak pasien dalam
pemberian inform consent adalah: 4

Hak atas informasi


Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa

yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan
untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya pengobatan.

Hak atas persetujuan (Consent)


Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh

seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana orang
tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Kriteria consent yang syah yaitu tertulis,
ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang
tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur dan
konsekuensinya.
Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan
pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada
7

kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah
cukup. Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya merupakan
pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya.Tujuan penjelasan yang lengkap adalah
agar pasien menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri (informed
decision). Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan medis yang dianjurkan. Pasien
juga berhak untuk meminta pendapat dokter lain (second opinion), dan dokter yang merawatnya.
4

Yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak tindakan medis pada
dasarnya, pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun, menurut Penjelasan Pasal
45 UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas, apabila pasien sendiri berada di bawah
pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat,
antara lain suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung.
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan.
Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan
penjelasan dan dibuat persetujuan. 5
Pasal 4 PerMenKes No.290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan :6
1. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah
kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
2. Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.
3. Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien
setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.
Informed consent dapat diberikan secara tertulis, secara lisan, atau secara isyarat. Dalam
bahasa aslinya, yang terakhir ini dinamakan implied consent. Untuk tindakan medis dengan
risiko tinggi (misalnya pembedahan atau tindakan invasive lainnya), persetujuan harus secara
tertulis, ditandatangani oleh pasien sendiri atau orang lain yang berhak dan sebaiknya juga saksi
dari pihak keluarga. 4
Tujuan informed Consent4

a. Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik. Perlakuan medik tidak diketahui atau
disadari pasien atau keluarga, yang seharusnya tidak dilakukan ataupun yang
merugikan/membahayakan diri pasien.
b. Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga serta
dianggap meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil, tak terduga
malah merugikan pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai dengan SOP. Peristiwa
tersebut bisa risk of treatment ataupun error judgement.
Tujuan informed Consent4
a. Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik. Perlakuan medik tidak diketahui atau
disadari pasien atau keluarga, yang seharusnya tidak dilakukan ataupun yang
merugikan/membahayakan diri pasien.
b. Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga serta
dianggap meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil, tak terduga
malah merugikan pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai dengan SOP. Peristiwa
tersebut bisa risk of treatment ataupun error judgement.
Prinsip Disiplin dalam Praktik Kedokteran
Profesi kedokteran merupakan profesi yang memiliki keluhuran karena tugas utamanya
adalah memberikan pelayanan untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu
kebutuhan akan kesehatan. Dalam menjalankan tugas profesionalnya sebagai dokter, selain
terikat oleh norma etika dan norma hukum, profesi ini juga terikat oleh norma disiplin
kedokteran, yang bila ditegakkan, akan menjamin mutu pelayanan sehingga terjaga martabat dan
keluhuran profesinya. Wilayah norma disiplin dapat dikenakan terhadap dokter atau dokter gigi
yang berprilaku dalam penyelenggaraan praktik kedokteran karena diluar praktik kedokteran
hanya ada pada wilayah norma etika dan hukum.7
Pengertian disiplin kedokteran sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran (Pasal 55 ayat (1)) adalah aturan-aturan dan/atau ketentuan
penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter
gigi. Sebagian dari aturan-aturan dan ketentuan tersebut, terdapat di dalam Undang-Undang
Praktik Kedokteran, dan sebagian lagi tersebar di dalam peraturan perundang-undangan,
pedoman atau ketentuan lain. Undang-Undang Praktik Kedokteran menyebutkan standar
pelayanan, standar profesi dan standar prosedur operasional serta ketentuan-ketentuan di dalam

Pasal 37, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 45-49, dan Pasal 51 sebagai aturan/ketentuan yang harus
dipatuhi dokter dan dokter gigi. Sementara itu, aturan dan ketentuan lain yang harus dipatuhi
oleh dokter dan dokter gigi, juga ditemukan dalam berbagai Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia, Ketentuan
dan Pedoman Organisasi Profesi, Kode Etik Profesi dan juga kedokteran gigi. 8
Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan
penerapan keilmuan, yang pada hakikatnya dapat dikelompokkan dalam 3 hal, yaitu :
1. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik.
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran.
MKDKI merumuskan 28 bentuk pelanggaran disiplin kedokteran, yaitu:
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi
sesuai.
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki
kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki
kompetensi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak melakukan pemberitahuan perihal
penggantian tersebut.
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik maupun mental
sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan membahayakan pasien.
6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan, sesuai
dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah,
sehingga dapat membahayakan pasien.
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan pasien.
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information)
kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.
9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga
dekat atau wali atau pengampunya.
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik, sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan atauetika profesi.

10

11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai
dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika
profesi.
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri
dan atau keluarganya.
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau keterampilan
atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara praktik kedokteran yang
layak.
14. Melakukan

penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia

sebagai subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari
lembaga yang diakui pemerintah.
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak
membahayakan dirinya, kecuaki bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mamou
melakukannya.
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang
layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika
profesi.
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan atau etika profesi.
18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang
diketahuinya secara benar dan patut.
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau eksekusi
hukuman mati.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika
profesi.
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap
pasien, di tempat praktik.
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau
memberikan resep obat/alat kesehatan.
24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan yang
dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan.
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya.
26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Ijin Praktik
(SIP) dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah.
11

27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik.


28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI
untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin.
Prinsip Hukum dalam Praktik Kedokteran
Dokter dan pasien adalah dua subjek hukum yang terkait dalam hukum kedokteran.
Keduanya membentuk baik hubungan medik maupun hubungan hukum. Hubungan medik dan
hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah hubungan yang objeknya pemeliharaan
kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan pada khususnya. Dalam melaksanakan
hubungan antara dokter dan pasien, pelaksanaan hubungan antara keduanya selalu diatur dengan
peraturan-peraturan tertentu agar terjadi keharmonisan dalam pelaksanaannya. Seperti diketahui
hubungan tanpa peraturan akan menyebabkan ketidakharmonisan dan kesimpangsiuran.
Dalam perkembangannya, hubungan hukum antara dokter dan pasien ada dua macam,
yaitu: 1
1. Hubungan Karena Kontrak (Transaksi Terapeutik)
Karena adanya perkembangan yang menuntut hubungan dokter pasien bukan lagi
merupakan hubungan yang bersifat paternalistik tetapi menjadi hubungan yang didasari
pada kedudukan yang seimbang/partner, maka hubungan itu menjadi hubungan
kontraktual. Hubungan kontraktual terjadi karena para pihak yaitu dokter dan pasien
masing-masing diyakini mempunyai kebebasan dan mempunyai kedudukan yang setara.
Kedua belah pihak lalu mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di mana masingmasing pihak harus melaksanakan peranan atau fungsinya satu terhadap yang lain.
Peranan tersebut bisa berupa hak dan kewajiban. Hubungan karena kontrak umumnya
terjadi melalui suatu perjanjian. Dalam kontrak terapeutik, hubungan itu dimulai dengan
tanya jawab (anamnesis) antara dokter dengan pasien, kemudian diikuti dengan
pemeriksaan fisik, kadang-kadang dokter membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk
menunjang dan membantu menegakkan diagnosisnya yang antara lain berupa
pemeriksaan radiologi atau pemeriksaan laboratorium, sebelum akhirnya dokter
menegakkan suatu diagnosis. Dalam ilmu hukum dikenal dua jenis perjanjian, yaitu:
a. Resultaatsverbintenis, yang berdasarkan hasil kerja.
b. Inspanningverbintenis, yang berdasarkan usaha yang maksimal.
Pada umumnya, secara hukum hubungan dokter-pasien merupakan suatu hubungan
ikhtiar atau usaha maksimal. Dokter tidak menjanjikan kesembuhan, akan tetapi
12

berikhtiar sekuatnya agar pasien sembuh. Meskipun demikian, mungkin ada hubungan
hasil kerja pada keadaan- keadaan tertentu seperti pembuatan gigi palsu atau anggota
badan palsu, oleh dokter gigi, ahli orthopedi atau ahli bedah kosmetik.
2. Hubungan Karena Undang-Undang (Zaakwarneming)
Apabila pasien dalam keadaan tidak sadar sehingga dokter tidak mungkin memberikan
informasi, maka dokter dapat bertindak atau melakukan upaya medis tanpa seizin pasien
sebagai tindakan berdasarkan perwakilan sukarela atau menurut ketentuan Pasal 1354
KUH Perdata disebut Zaakwarneming. Dalam Pasal 1354 KUH Perdata, pengertian
Zaakwarneming adalah mengambil alih tanggung jawab dari seseorang sampai yang
bersangkutan sanggup lagi untuk mengurus dirinya sendiri. Dalam keadaan demikian,
perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan
suatu perbuatan menurut hukum, yaitu : Dokter berkewajiban untuk mengurus
kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya setelah pasien sadar kembali, dokter
berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya
dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan tersebut. Untuk tindakan
selanjutnya tergantung pada persetujuan pasien yang bersangkutan.2
Wilayah norma hukum baik dokter atau dokter gigi adalah sebagai individu dalam
pergaulan dalam masyarakat termasuk dalam melaksanakan praktik kedokteran. 4 Secara spesifik,
hubungan dokter dan pasien dalam praktik kedokteran diatur dalam UU nomor 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran dan UU no 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Kesimpulan
Setiap tindakan tenaga kesehatan mempunyai etika dan hukum yang harus dipatuhi dalam
pelaksanan tugasnya sebagai tenaga kesehatan. Bahkan didalam praktek kedokteran aspek etik
seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukum, oleh karena banyaknya norma etik yang
telah diangkat menjadi norma hukum atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai
etik. Antara hukum dan etik saling tumpang tindih. Etik mencangkup prinsip moral dan untuk
sanksi bagi pelanggaran etik biasanya hanya berupa teguran, pengucilan. Sementara itu disiplin
kedokteran adalah standart profesi dalam melakukan pelayanan kesehatan. Sanksi dalam
pelanggaran displin kedokteran seperti teguran, reedukasi, hingga pencabutan ijin praktik.
13

Terakhir adalah hukum, yaitu peraturan yang dibuat oleh negara, yang tertuang dalam UndangUndang. Saksi dari pelanggaran hukum adalah sanksi pidana dan pencabutan ijin praktik. Oleh
karena itu penerapan kaidah bioetik, huku dan displin kedokteran merupakan sebuah keharusan
bagi seorang dokter yang berkecimpung didalam dunia medis, karena kaidah bioetik adalah
sebuah panduan dasar dan standar, tentang bagaimana seorang dokter harus bersikap atau
bertindak terhadap suatu persoalan atau kasus yang dihadapi oleh pasiennya.
Daftar pustaka
1. Rafly A, Purwadianto A, Rusli A, Rasad A, Aswar B, Sampurna B, et al.
Kemitraan dalam hubungan dokter-pasien. Jakarta: Konsil Kedokteran
Indonesia; 2006.h.11-35.
2. Elias S, Wayan K, Putu A. Modul komunikasi pasien-dokter: suatu
pendetkatan holistik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.h.610.
3. Chang, William. Bioetika sebuah pengantar. Yogyakarta : Kanisius, 2009.h. 13-16.
4. Jusuf H, Amri A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2009
5. Gunawandi J. Persetujuan tindakan medis (informed consent).Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.h.2, 24-6
6. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta: Pustaka
Dwipar. 2007.p.8-10,70,79-83.
7. Alwy S. Norma etika, disiplin, dan hukum di bidang kedokteran. Diunduh
dari www.hukor.depkes.go.id, 26 September 2016
8. Lampiran Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia tentang Pedoman
Penegakan

Disiplin

Profesi

Kedokteran.

Jakarta:

Konsil

Kedokteran

Indonesia; 24 Agustus 2006. Surat Keputusan no. 17/KKI/KEP/VIII/2006.

14

Anda mungkin juga menyukai