I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit genetik atau kelainan genetik adalah sebuah kondisi yang disebabkan oleh
kelainan satu atau lebih gen yang menyebabkan sebuah kondisi fenotipe klinis.kelainan genetik
dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu kelainan kromosom, single gene atau kelainan
mendelian, dan kelainan multifaktorial. Sindrom Marfan merupakan salah satu kelainan genetik.
Sindroma ini termasuk ke dalam kelainan single gene atau kelainan mendelian. Kelainan
mendelian ini menunjukkan pola pewarisan yang dapat digolongkan menjadi tipe dominan
autosom, resesif autosom, atau terangkai sex -X. Sindrom marfan termasuk ke dalam kelainan
mendelian autosomal dominan
Sindroma marfan (Marfan Sindrom) adalah suatu penyakit yang diakibatkan kelainan
genetika dan melibatkan beberapa organ tubuh antara lain mata, jantung, tulang dan persendian
serta paru-paru. Penyakit ini diduga sudah dikenal sejak jaman Mesir kuno, terlihat dari adanya
beberapa pahatan batu pada dinding piramid yang menggambarkan orang yang menderita
Sindroma Marfan. Penyakit ini diderita baik pada laki-laki maupun wanita dan dapat ditemukan
pada masa bayi, anak-anak maupun dewasa, frekwensi di Amerika Serikat sekitar 1:5000.
Dr Antonie Marfan pada tahun 1896 menemukan seorang anak berusia 5 tahun dengan
kelainan berupa tungkai dan jari jemari yang panjang serta kelainan tulang lainnya, sejak saat itu
kelainan ini disebut dengan Sindroma Marfan. Kelainan yang jarang ditemukan ini (insidensi
berkisar 1:5000 sampai 1:10.000) dinamakan sesuai nama dokter penemunya. Di Amerika
diperkirakan penderitanya sekitar 200.000, di Indonesia belum diketahui berapa banyak penderita
Marfan Sindrom.
II PEMBAHASAN
2.1 Anamnesis
Anamnesis yang dapat ditanyakan :
1. Identitas Pasien.
Menanyakan kepada pasien : nama lengkap pasien, umur,tanggal lahir, jenis kelamin, alamat,
pendidikan,agama, pekerjaan, suku bangsa.
2. Keluhan utama.
Keluhan utama pasien : Pasien mendapat surat rujukan dari dokter yang menyatakan ibu R
menderita suatu dislokasi lensa dengan miopi yang tinggi.
3. Riwayat penyakit sekarang :
Ditanyakan sudah sejak kapan ibu R menderita miopi
Tanyakan apakah ada keluhan lain selain keluhan pada mata nya, misalnya pada
daerah dada (jantung), atau tulang belakangnya?
4. Riwayat penyakit keluarga
Penyelidikan pada kemungkinan penderita kelainan genetik dimulai dengan riwayat
keluarga. Langkah pertama untuk memperoleh informasi tertentu pada anggota keluarga
(misalnya orang yang menderita secara klinis sehingga menarik perhatian keluarga) dan pada
tiap-tiap keluarga tingkat pertama (misalnya orang tua, saudara kandung). Keterangan ini
meliputi nama panggilan, nama keluarga, tanggal lahir atau usia nya saat ini, usia waktu
meninggal, penyebab kematian, dan nama atau penjelasan tentang penyakit atau cacat apapun.
Langkah kedua adalah menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk
menyelidiki keluarga akan adanya penyakit atau cacat, yaitu :
a. Apakah ada keluarga yang mempunyai trait identik atau yang mirip?
b. Adakah di dalam keluarga pernah ada riwayat kelainan pada mata, jantung ataupun
kelainan pada anggota tubuhnya.
c. Ditanyakan apakah ada riwayat kelainan atau penyakit yang diturunkan di dalam
keluarga.
d. Ditanyakan apakah di dalam keluarga ada yang mengalami penyakit luar biasa, atau
mempunyai keluarga yang meninggal akibat keadaan yang langka? Tujuan pertanyaan
ini adalah untuk mengidentifikasi keadaan yang diturunkan secara genetik walaupun
tidak diketahui oleh pemberi informasi.
e. Ditanyakan apakah ada pernikahan dengan saudara (misalnya sepupu) didalam
keluarga.
Menanyakan asal etnik keluarga, orang yang berasal dari etnik tertentu. Hal ini
didasarkan karena ada beberapa etnik yang mempunyai kemungkinan yang tinggi
terhadap penyakit genetik tertentu. (Misalnya etnik Yahudi dan Yunani memiliki
kemungkinan terhadap defisiensi enzim G6PD.1-3
2.2 Pemeriksaan Fisik
Beberapa pemeriksaan fisik dapat dilakukan untuk pemeriksaan terhadap penderita
dengan sindrom Marfan. Pemeriksaan skeletal harus mencakup pengukuran antropometri untuk
tinggi badan, rasio rentang lengan dan tinggi, rasio segmen atas ke segmen bawah, pengukuran
tangan dan kaki. Segmen atas tubuh diukur dari atas kepala sampai atas ramus pubis, dan segmen
bawah diukur dari atas ramus pubis ke lantai. Rasio segmen atas dan bawah tubuh pada pasien
sindrom Marfan biasanya kurang dari 0.85 (normalnya 0.89 - 0.95). Pasien juga harus diperiksa
2
untuk melihat arachnodactily, yaitu dengan pemeriksaan tanda Walker wrist, dan tanda
Steinburg. Selain itu dapat dilihat juga bagian dada pasien, apakah terdapat pectus carinatum
ataupun pectus excavatum. Pemeriksaan mata dengan slit lamp) harus dilakukan untuk melihat
ectopia lensa. Evaluasi jantung biasanya dilakukan dengan auskultasi.2
2.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan ecochardiogram, slit lamp,
MRI, CT Scan, dan pemeriksaan DNA. Echocardiogram digunakan untuk melihat jantung, katup
jantung, dan aorta. Slit lamp eye examination digunakan untuk melihat apakah ada dislokasi
lensa. CT scan atau MRI digunakan untuk melihat apakah ada kelainan tulang yang digunakan
juga untuk melihat apakah ada dural ectasia.4
Diagnosis penyakit genetic memerlukan pemeriksaan materi genetic. Oleh karena itu,
digunakan dua metode umum: analisa sitogenik dan analisa molekuler. Analisa sitogenik
memerlukan penentuan kariotipe. Analisa kromosom prenatal sebaiknya ditawarkan ekpada
semua orang tua yang berisiko memiliki anakdengan kelainan sitogenetik. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan pada sel yang diperoleh dengan amniosentesis, pada biopsy vilius korion, atau pada
darah tali pusat. Beberapa indikasi penting antarala lain adalah sebagai berikut: usia ibu >34
tahun karena besar risiko trisomy; orang tua yang merupakan pembawa suatu translokasi timbalbalik seimbang, translokasi robertsonian, atau inversi (gamet mungkin tidak seimbang sehingga
keturunan berisiko mengidap penyakit kromosom); orang tua yang pernah memiliki anak degnan
kelainan kromosom; dan orang tua yang merupakan pembawa suatu penyakit genetic terkait-X.
Setelah itu, terdapat analisa pascanatal yang biasanya dilakukan pada limfosi darah
perifer. Indikasinya adalah sebagai berkut:
Anomali kongenital yang multipel.
Retardasi mental yang tidak dapat dijelaskan.
Suspek kelainan kromosom.
Suspek sindrom Fragile X
Infertilitas untuk menyingkirkan kelainan kromosom seks.
Abortus rekuren (kedua orang tua arus dievaluasi untuk menyingkirkan balanced
translocation carrier).
Banyak penyakit genetic yang disebabkan oleh perubahan samar di masing-masing gen
yang tidak dapat dideteksi dengan penentuan kariotipe. Secara tradisional, diagnosis penyakit gen
tunggal didasarkan pada identifikasi produk gen abnormal atau efek klinisnya, seperti anemia
atau retardasi mental. Sekarang, kita dapat mengidentifikasi mutasi pada level DNA serta
menawarkan diagnosis gen untuk beberapa penyakit mendelian. Pemakaian teknologi DNA
rekombinan untuk mendiagnosis penyakit herediter memiliki beberapa keunggulan khusus
dibandingkan dengan teknik lain. Teknologi ini sangat sensitive. Jumlah DNA yang diperlukan
untuk mendiagnosis dengan teknik hibridisasi molekuler mudah diproleh dari 100.000 sell. Selain
itu, pemakiana PCR memungkinkan kita melalukan amplifikasi DNA atau RNA beberapa juta
3
kali sehingga analisis dapat dilakukan terhadap 100 atau 1 sel. Sejumlah kecul darah atau bahkan
darah yang telah mongering sudah memadai sebagai sumber DNA untuk amplifikasi PCR.
Hampir semua sel tubuh dari pasien mengandung DNA yang sama, setiap sel pascazigot memiliki
gen mutan yang bersangkutan.
Kedua gambaran di atas menimbulkan dampak besar terhadap diagnosis prenatal penyakit
genetic karena dari hanya beberapa milliliter cairan amnion atau dari biopsy vilus korion, yang
dapat dilakukan sejak trimester pertama, sel sudah dapat dihasilkan dalam jumlah memadai.
Terdapat dua pendekatan berbeda dalam mendiagnosis penyakit gen tunggal dengan teknologi
DNA rekombinan: deteksi mutasi langsung dan tidak langsung.
2.3.1 Diagnosis Gen Langsung
Diagnosis gen langsung didasarkan pada identifikasi perbedaan kualitatif antara rangkaian DNA
dalam gen yang normal versus gen yang abnormal. Ada 3 metode yang digunakan, yaitu:
1. Sebagian mutasi mengubah atau menghancurkan tempat restriksi DNA yang normal.
Sebagai contoh, gen faktor V yang normal memiliki dua tempat restriksi untuk enzim
Mn11 yang salah satu diantaranya akan hilang jika terjadi mutasi faktor V. Keadaan ini
menyebabkan dihasilkannya produk dengan ukuran berbeda ketika DNA dari orang
normal atau terkena mengalami amplifikasi oleh reaksi rantai polimerase (PCR) dan
kemudian dipotong dengan Mn11. Produk yang berbeda tersebut
dilihat pada
elektroforesis gel.
2. Analisis pelacak oligonulkeotida digunakan ketika mutasi titik menghasilkan gen
abnormal yang tidak mengubah setiap tempat restriksi yang diketahui. Di sini disintesis
dua buah oligonukleotida dengan panjang 18 hingga 20 basa dan pada bagian tengahnya
terdapat basa tunggal yang gen mutannya berbeda dengan gen normal. Setiap
oligonukleotida melakukan hibridisasi yang kuat untuk menjadi gen yang sesuai (normal)
tetapi juga melaukan hibridisasi lemah untuk menjadi gen yang tidak memiliki rangkaian
yang sebenarnya. Karena itu, sesudah amplifikasi PCR pada DNA sasaran, gen normal
dan mutan dapat dibedakan berdasarkan kekuatan hibridisasi dengan dua probe
oligonukleotida.
3. Mutasi yang mengenai panjang DNA (misalnya pemutusan atau pemanjangan DNA)
dapat pula dideteksi lewat analisis PCR. Sebagai contoh, pada sindrom Fragile X
amplifikasi DNA oleh zat-zat primer yang mendampingi regio yang dipengaruhi oleh
pengulangan trinukleotida akan menghasilkan produk dengan ukuran yang berbeda jika
DNA dari laki-laki normal carrier dibandingkan dengan DNA orang yang terkena sindrom
ini.
2.3.2 Diagnosis DNA Tidak Langsung: Analisis Korelasi
Pada banyak penyakit genetik belum dapat dilakukan identifikasi atau perangkaian gen
yang mutan serta counterpart-nya, dan karena itu, diagnosis gen langsung tidak dapat digunakan.
4
Dengan demikian, diperlukan analisis korelasi yang menentukan apakah anggota keluarga atau
janin mewarisi regio kromosom relevan yang sama seperti anggota keluarga terdahulu yang
terkena penyakit genetik tersebut. Teknik ini mengharuskan kromosom yang membewa gen
normal dan gen mutan dalam heterozigot dapat dibedakan.
Agar pemeriksaan analisis ini berhasil dengan baik, dimanfaatkan variasi yang terjadi
secara alami pada rangkaian DNA di sekitar (dan yang berkaitan dengan) gen mutan. Variasi
tersebut dapat terjadi karena perbedaan pada jumlah nukleotida tertentu (polimorfisme tempat)
atau karena perbedaan pada jumlah pengulangan nukleotida (polimorfisme panjang).
Polimorfisme tempat atau yang disebut juga polimorfisme panjang fragmen restriksi terjadi
karena polimorfisme DNA yang menimbulkan fragmen dengan panjang berbeda melalui analisis
Southern blot. Polimorfisme panjang terjadi karena perbedaan antara jumlah pengulangan
rangkaian pendek DNA bukan pengkode. Keadaan ini dapat dideteksi lewat analisis PCR pada
DNA karena ukuran produk tergantung pada jumlah pengulangan nukleotida. Polimorfisme
nukleotida yang tunggal (SNP) juga merupakan salah satu bentuk polimorfisme tempat yang
semakin sering digunakan untuk mengidentifikasi korelasi dengan penyakit tertentu.
Analisis korelasi terbukti bermanfaat dalam deteksi antenatal pada beberapa kelainan
genetik, seperti fibrosis kistik, penyakit Huntington, penyakit ginjal polikistik, sindrom Fragile X,
dan distrofi muskular Duchenne. Pemeriksaan analisis ini memiliki keterbatasan berupa:
1. Pada diagnosis prenatal, harus ada beberapa anggota keluarga yang terkena dan tidak
terkena untuk menjalani pemeriksaan.
2. Anggota keluarga yang utama (orang tua dan saudara kandung) harus bersifat heterozigot
untuk polimorfisme, yaitu kromosom normal dan kromosom yang membawa gen mutan
harus dapat dibedakan. Karena polimorfisme panjang memiliki alel yang multipel,
peluang terdapatnya heterozigositas menjadi jauh lebih besar. Karenanya, polimorfisme
panjang lebih berguna daripada polimorfisme tempat restriksi.
3. Rekombinan antara kromosom yang homolog selama gametogenesis dapat menyebabkan
hilangnya korelasi antara setiap polimorfisme DNA tertentu dan gen yang mutan.5
2.4 Diagnosis Kerja
Variabilitas klinis sindrom Marfan menjadikan diagnosis yang tegas sukar ditegakkan
pada individu yang hanya mengalami gejala ringan.Diperlukaan suatu pemeriksaan fisik yang
cermat dengan pengukuran antropomorfik, evaluasi oftalmologik serta ekokardiografik yang
kompeten, dan pemeriksaan keluarga. Diagnosis sindrom Marfan dapat ditegakkan dengan
menggunakan Ghents criteria, yang dimana didalamnya terdapat criteria mayor dan minor.
Tidak ada tanda tunggal pathognomic untuk MFS, mengingat expressivity variabelnya.
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berdasarkan kelainan khas. Sistem jantung, rangka,
dan okular umumnya lebih terfokus pada kriteria diagnostik MFS, namun jaringan lain, termasuk
otot rangka, lemak, kulit, fasia, dan saluran pernapasan, mungkin akan terpengaruh dalam kondisi
ini juga. Daftar berikut ini menjelaskan temuan klinis yang paling umum dan Berlin revisi kriteria
(1986) untuk diagnosis MFS. Kriteria Ghent (1996) memperbarui pedoman sebelumnya untuk
memasukkan penekanan lebih besar pada temuan rangka, serta mereka tentang sejarah keluarga
dan genetik. 6
untuk sepenuhnya memperpanjang sendi) dan telinga berbentuk tidak normal. Orang dengan
sindrom Beals memiliki banyak masalah skeletal dan pembesaran aorta yang juga berefek pada
orang dengan sindrom Marfan, dan pengobatan masalah ini adalah sama. Namun sistem
okular tidak terpengaruh.
2. Homocystinuria
Adalah kelainan bawaan di mana tubuh tidak mampu untuk memproses blok bangunan
tertentu dari protein (asam amino) dengan benar. Ada berbagai bentuk homocystinuria, yang
dibedakan oleh tanda-tanda dan gejala dan penyebab genetik. Bentuk yang paling umum dari
homocystinuria ditandai dengan rabun jauh (miopia), dislokasi lensa di bagian depan mata,
peningkatan risiko pembekuan darah yang abnormal, dan tulang rapuh yang rentan terhadap
fraktur (osteoporosis) atau kelainan tulang lainnya. Beberapa individu yang terkena juga memiliki
keterlambatan perkembangan dan masalah belajar.
Kedua penyakit ini secara klinis serupa, tetapi scoliosis biasa pada sindrom Marfan,
sedangkan pelebaran dan epifisis metafisis tulang panjang merupakan ciri khas dari
homocystinuria.
Pasien dengan homocystinuria sering mengalami osteoporosis pada usia muda dengan
tingginya insiden keterlibatan vertebra. Keterbelakangan mental dan trombosis yang umum di
homocystinuria dan jarang terjadi pada sindrom Marfan. Homocystinuria ini sangat mungkin
diwariskan sebagai resesif autosomal dan sindrom Marfan sebagai dominan autosomal.
3. Loeys-Dietz Syndrome
Adalah sindrom yang baru ditemukan genetik autosomal dominan yang memiliki banyak
fitur yang mirip dengan sindrom Marfan, tetapi sindrom ini disebabkan oleh mutasi pada gen
yang mengkode transforming GH beta reseptor 1 (TGFR1) atau 2 (TGFR2).
Loeys-Dietz syndrome (LDS) ditandai dengan temuan pembuluh darah (aneurisma arteri
otak, dada, dan perut) dan manifestasi skeletal (pectus excavatum atau pectus carinatum,
scoliosis, kelemahan sendi, araknodaktili). Sekitar 75% dari individu yang terkena LDS tipe I
dengan
manifestasi
kraniofasial
(hypertelorism
okular, bifid
uvula
celah palatum,
craniosynostosis); sekitar 25% memiliki LDS tipe II dengan manifestasi kulit (kulit beludru dan
tembus; mudah memar; melebar, bekas luka atrofi). Banyak Loeys-Dietz sindrom sebelumnya
telah didiagnosis dengan sindrom Marfan. Penting untuk membedakan antara sindrom Marfan
dan Loeys-Dietz sindrom karena ada beberapa perbedaan dalam penanganannya. Pertama,
individu dengan Loeys-Dietz sindrom tidak berisiko memiliki dislokasi lensa. Manajemen
operasi pembesaran aorta juga berbeda.7
8
2.7 Etiologi
Sindrom Marfan terungkap setelah ditemukannya abnormalitas genetik pada penderita
sindrom Marfan, yaitu pada gene fibrillin satu (FBN1) yang teletak pada khromosom 15 1 pada
lengan panjang (q) 15q21.1 dan fibrillin dua (FBN2) yang berlokasi pada khromosom 5. Protein
FBN1 yang dihasilkan oleh penderita tidak normal atau kurang dari jumlah yang seharusnya
berkaitan
dengan
kelainan
kardiovaskuler,
sedangkan
FBN2
menyangkut
masalah
arachnodactyly dan masalah lensa mata. Fibrillin adalah salah satu elemen dari matriks ekstraseluler dan ditemukan diberbagai jaringan seperti: periosteum di tulang, stroma kornea mata,
glomerulus di ginjal, bronchioli pada paru-paru, ligamentum serta lapisan tunika media dari
aorta2,8
2.8 Epidemiologi
Sindroma marfan dapat terjadi pada pria maupun wanita dengan presentase yang
sama.sindrom ini juga dapat terjadi pada semua ras dengan berbagai latar belakang etnik.
Kelainan yang jarang ditemukan ini (insidensi berkisar 1:5000 sampai 1:10.000) di Amerika
diperkirakan penderitanya sekitar 200.000, di Indonesia belum diketahui berapa banyak penderita
Marfan Sindrom. Sebagaian besar orang dengan sindrom marfasn memiliki riwayat keluarga
dengan sindrom marfan, namun sekitar 15-30% terjadi karena mutasi spontan.sindrom marfan
dapat didiagnosis pada masa prenatal, saat lahir atau pada usia dewasa. Manifestasi klinik
sindrom marfan umumnya akan lebih berat jika didapatkan pada masa neoatus.
2.9 Patogenesis
Semua gen yang diterima dari orang tua masing-masing satu dari ayah dan ibu. Hanya
satu gen saja dari sepasang gen itu yang terkena sindrom Marfan maka kemungkinannya 50%
dari anak-anaknya akan terwarisi sindrom yang sama. Kemungkinan ini dapat dijelaskan dari
fakta bahwa gen dalam hal ini merupakan faktor dominan. Kendati penyakit tersebut bersifat
menurun, pengidap sindrom Marfan dapat berasal dari orang tua yang sehat dan normal. Hal itu
dapat terjadi karena terjadinya mutasi pada sperma maupun sel telur yang termanifestasi pada
anaknya. Kemungkinan terjadinya peristiwa seperti ini menurut hitungan statistik sebesar 15%.
9
Bila kedua gen dari pasangan harus membawa perubahan karakteristik dari fenotipe,
istilah itu dikenal sebagai autosom resesif. Bila 50% dari protein yang dihasilkan oleh pasangan
gen cukup untuk menampakan fenotip dari organisme, keadaan ini disebut dominan. Namun,
ekspresi fenotipe dari mutasi kadang-kadang terjadi dalam kondisi yang tidak biasa. Sebagai
contoh, pasien dengan sickle cell trait umumnya tidak mengalami pemipihan (berbentuk sabit) sel
darah merah pada tingkat permukaan laut dengan saturasi oksigen normal tetapi dapat terjadi
pada tempat yang lebih tinggi atau pada kasus-kasus dengan penurunan saturasi oksigen,
sehingga memicu terjadinya pneumonia.
Pernyataan berikut ini dapat dibuat tentang mutasi dominan autosom :
1. Ekpresi fenotipe tampak dengan frekuensi yang seimbang pada kedua jenis kelamin
2. Bila ada pewarisan sifat, paling kurang salah satu orang tua mesti terkena kecuali telah
terjadi mutasi baru
3. Pada individu yang homozigot untuk mutasi (mutasi terjadi pada kedua gen dari pasangan)
menikah dengan individu normal, semua keturunannya akan menunjukkan sifat yang
diturunkan
4. Bila sifat yang diturunkan jarang maka kebanyakan individu mungkin heterozigot
Berikut sejumlah kelainan autosom dominan selain sindrom Marfan,yairu Achondroplasia,
Tuberosclerosis, Angioedema, Mitral valve prolaps, Von Willebrand disease, Craniofacial
dystosis, Muscular distrophi, Wolff Parkinson- White
Sindrom marfan terjadi oleh karena adanya mutasi pada gen FBN 1 pada kromosom 15
yang berperan dalam mengkode glikoprotein fibrillin-1, komponen matriks ekstraseluler. Protein
fibrillin-1 berperan penting dalam memperbaiki pembentukan matriks ekstraseluler, meliputi
biogenesis
dan
pertumbuhan
serabut-serabut
elastin.
Matriks
ekstraseluler
tidak
hanya berperan dalam struktural integritas jaringan ikat tetapi juga sebagai reservoir untuk faktor
pertumbuhan. Serabut-serabut elastin dapat ditemukan pada seluruh tubuh, namun serabut ini
akan lebih banyak ditemukan pada aorta, ligamen, dan zonula siliaris pada mata.
Peneliti telah mengidentifikasi lebih dari 600 mutasi FBN1 yang menyebabkan sindrom
Marfan Lebih dari 60% mutasi tersebut merubah satu dari sekian banyak protein asam amino
dalam pementukan fibrilin-1. FBN1 yang termutasi menghasilkan abnormal fibrillin-1 yang tidak
dapat menjalankan fungsi seharusnya.mutasi FBNI mengurangi jumlah fibrilin yang dihasilkan
oleh
sel. Alhasil,
jumlah
fibrilliin-1
yang
tersedia
tidak
cukup
untuk
membentuk
hidup melewati 40. Dengan pemantauan secara rutin dan pengobatan modern, kebanyakan orang
dengan sindrom Marfan sekarang dapat berharap untuk menjalani hidup yang lebih normal.
Non Farmakologi :
Penggunaan kacamata atau lensa kontak untuk mengoreksi miopi.
Pemeriksaan echocardiography secara rutin dan teratur.
Pembatasan
terutama apabila` terdapat keluhan. aktivitas atau kegiatan fisik
kegiatan fisik,
yang
harus
dihindari
adalah aktivitas atau kegiatan fisik yang melelahkan atau olahraga kontak (misalnya bola
basket).
Hal
misalnya menghindari
aircraft.
aorta.
lift,
Hal
Farmakologi :
Profilaksis beta blockers dapat mengurangi tekanan arteri rata-rata dan denyut nadi secara
signifikan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa memperkenalkan mereka pada usia dini
di bawah pengawasan dokter anak atau ahli jantung menurunkan risiko dilatasi aorta
dan pecahnya aorta. Contoh obat yang dapat dipakai adalah Atenolol (Tenormin) Propranolol HCl
(Inderal)Verapamil HCl (Isoptin). Selain itu, inhibitor ACE telah terbukti memiliki khasiat yang
sebanding atau lebih baik ACE untukmengurangi tekanan arteri sentral.
Selain itu, dapat juga dilakukan pemberian terapi antibiotik sebagai pencegahan
endokarditis.
Antibiotik
diberikan
selama
prosedur
invasif
yang
berhubungan
dengancardiac ataupun tidak, yaitu pemberian Amoxicillin atau Clindamycin (untuk prosedur
gigi, mulut, saluran napas) serta Ampicillin atau Vancomycin dan Gentamycin (untuk prosedur
genitourinaria atau gastrointestinal). 12
11
Bedah :
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan penunjang, Ibu R
yang menderita lens dislocation dengan myopia tinggi diduga menderita sindrom Marfan. Dari
pemeriksaan yang dilakukan, ditemukan jari-jari ibu R panjang dan sangat lentur, terdapat
12
aneurisma aorta ascendens dengan diameter < 3cm, dan dari riwayat keluarga diketahui ibu dari
ibu R ternyata juga menderita kelainan yang sama. Diagnosis yang akurat dan disertai terapi yang
adekuat dipercaya mampu memperbaiki kualitas hidup Ibu R sehingga terhidar dari komplikasi
yang akan memperburuk perjalanan penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA
3. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, dkk. Harrison, prinsip-prinsip ilmu penyakit
dalam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 1999 .
4. National
Marfan
Foundation.
Marfan
syndrome
diunduh
dari
14