Anda di halaman 1dari 27

BAB II

STATUS PEDIATRIK
I.

II.

Identifikasi
a. Nama
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Nama Ayah
e. Nama Ibu
f. Bangsa
g. Agama
h. Alamat
i. MRS tanggal

: Mutiara Putri
: 12 Tahun 4 Bulan
: Perempuan
: Abu Bakar, S.Pd
: Masliani, S.Pd
: Indonesia
: Islam
:Jl. Hidayah, Ka.Tungkal
: 26 Maret 2016

Anamnesis
Diberikan oleh
Tanggal

: Ayah Kandung dan Ibu Kandung


: 29 Maret 2016

a. Riwayat Penyakit Sekarang


1. Keluhan utama
2. Keluhan tambahan

: Sesak napas hebat 1 hari SMRS


: Demam, batuk berdarah, nyeri dada, nyeri ulu

hati, badan terasa lemas, dan tampak pucat, dan nyeri-nyeri sendi.
3. Riwayat perjalanan penyakit :
Sejak 1 bulan SMRS pasien mengalami demam. Demam hilang timbul,
turun pada pagi hari kemudian meningkat sore menjelang malam. Aktivitas
sekolah berjalan seperti biasa, tetapi pulang sekolah pasien demam kembali.
Riwayat menggigil (-), berkeringat (-). Demam tidak terlalu tinggi dan turun
dengan obat penurun panas, demam hilang beberapa hari kemudian muncul lagi.
Keluhan yang menyertai (-), tidak ada faktor yang memperberat/memperingan
demam. Pasien juga mengeluh sering merasa mudah lelah terutama saat
beraktivitas.
Sejak 1 minggu SMRS pasien mengalami batuk pilek. Pilek hanya
berlangsung 1 hari dengan sekret berwarna putih bening, jumlahnya sedikit.
Pasien juga mengalami batuk berdahak, darah (-), sempat dibawa berobat ke
Puskesmas dan mendapat obat, tetapi batuk tidak berkurang.
Sejak 1 hari SMRS batuk pasien bertambah berat, berlangsung terus
menerus disertai darah, batuk keras dan menghentak, beberapa jam kemudian
pasien merasa sesak napas hebat, napas cepat pendek seperti terengah-engah, (-)
ada penurunan kesadaran dan dibawa ke RS Tungkal kemudian langsung di
rujuk ke RS Raden Mataher Jambi.

Sesak bertambah hebat saat posisi berbaring dan nyaman posisi setengah
duduk. Riwayat asma (-), riwayat sesak sebelumnya (-), riwayat sesak saat
beraktivitas (+),riwayat asma dalam keluarga (-), sesak pada pagi/malam hari
(-), riwayat alergi (-), terpapar asap rokok (-), riwayat terbangun malam hari
karena sesak (+), riwayat bengkak pada tungkai (-), riwayat sembab pada wajah
(-), riwayat penggunaan obat-obatan (-), riwayat TB (-), riwayat keluarga
dengan TB (-). Pasien juga mengeluh nyeri dada dan nyeri ulu hati, nyeri dada
seperti terhimpit tetapi tidak terlalu hebat, menjalar (-), keringat dingin (+).
BAB dan BAK dalam batas normal, mual (+), muntah (-).
4. Riwayat penyakit dahulu :
- Pasien pernah di diagnosa radang jantung saat usia 8 tahun (4 SD) dan
mendapat pengobatan selama 2 bulan dan dinyatakan dokter sembuh.
5. Riwayat penyakit keluarga :
- Anggota keluarga dengan keluhan yang sama (-).
- Anggota keluarga dengan riwayat asma (-).
- Riwayat penyakit keturunan dalam keluarga (-).

III.

b. Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit


1. Riwayat kehamilan dan kelahiran
Masa kehamilan
: 9 Bulan 1 Minggu
Partus
: Spontan Pervaginam
Tempat
: Rumah
Ditolong oleh
: Bidan
Tanggal
: 29 Oktober 2003
BBL
: 1900 gram
PB
: 32 cm
2. Riwayat Makanan
Asi ekslusif
: Tidak Mendapat ASI Eksklusif
3. Riwayat Imunisasi
BCG
: 1 kali, usia 0 bulan, scar (+)
Polio
: 6 kali, Usia tidak ingat
DPT
: 5 kali
Campak
: 2 kali
Hepatitis
: 3 kali
Kesan
: Imunisasi dasar lengkap
Pemeriksaan Fisik
a. Antropometri
:
- Berat badan
: 55 Kg
- Tinggi badan
: 160 cm
- LILA
: 26 cm
- Lingkar kepala
: 52 cm
- Lingkar perut
: 81cm
Status Gizi:
LK
: -2 SD s/d +2 SD sesuai
BB/U
: P50>BB/U<P75 sesuai

TB/U
: P50 >TB/U<P75 sesuai
BMI
: BB/TB2 = 55/2,56=21,4 Normal
BB/TB%
: BBA/BBI x 100% = 55/45x100% = 122%
Kesan
: Gizi baik
b. Tanda Vital
Keadaan umum
: Tampak sakit berat dan tidak kooperatif
Kesadaran
: Compos mentis, GCS 15 : E4V5M6
Posisi
: 450 - 900
Tekanan Darah
: 120/60
Nadi
: 136 x/i
RR
: 68x/i
Suhu
; 36,20C
c. Pemeriksaan Khusus
Kulit
: Sawo matang
Turgor
: Baik (Kembali cepat)
Lain-lain : sianosis (-), pallor (+), suhu raba hangat, pigmentasi (-), scar (-).
d. Kepala
: Normocephal
1 Rambut : tidak mudah dicabut, warna hitam kekuningan, ditribusi merata,
2

rontok (+).
Mata
: palpebra edema (-), konjungtiva anemis (-), skelera ikterik (-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokhor, endophtalmus(-), exopthalmus (+), strabismus (-),

ptosis (-),
Telinga : Daun telinga normal, elastis, bersih, fistel (-), otore (-), membran

tymphani paten, thopi (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tarik daun telinga (-).\
Hidung : Bentuk normal, simetris, epitaksis (-), rhinore (-), deviasi (-), NCH

(-), sekret (-).


Mulut : Sianosis (-), bibir pucat (+), bibir kering (+), lidah kotor (-), tremor

lidah (-), ulcer (-).


Leher : JVP 5+2 cmH2O, pulse terlihat, KGB tidak membesar, thyroid tidak

membesar, kaku kuduk (-), massa (-), pembesaran tonsil (-).


e. Thoraks Anterior dan Paru
Inspeksi
: Sesak, pergerakan dinding dada cepat dan simetris (+/+),
deformitas (-), retraksi (+) epigastrium dan suprasternal, pulsasi ictus kordis

terlihat.
Palpasi

: Gerak napas simetris, stemfremitus melemah, nyeri tekan (-),

krepitasi (-), massa (-), ictus cordis teraba (+) di ICS VI linea mid kuat angkat

(+) thrill.
Perkusi

peranjakan sulit dinilai, nyeri ketuk (-).


Batas jantung :
Atas
: ICS II linea parasternalis sinistra
Kanan
: ICS IV-V linea parasternalis dextra
Kiri
: ICS VI midclavikularis lateralis sinistra
Auskultasi :

: Sonor sampai ICS IV, redup ICS V, batas paru hepar dan

Pulmo : vesikuler +/+, Rh +/+, Wh +/+


Cor
: BJ I/II reguler, Murmur (+), Gallop (+)

f. Abdomen
Inspeksi

sikatrik (-).
Auskultasi
Perkusi
Palpasi

:
: Perut datar, scar (-), umbilikus letak tengah, spider nevi (-),
: Bising usus (+) 6x/menit
: Timpani pekak , shifting dullnes (+), fluid thrill (-)
: nyeri tekan (+) regio epigastrium, hepar, lien dan renal tidak

teraba, nyeri lepas (-), massa (-), pulsasi abdomen tidak teraba.
g. Ekskremitas
: Deformitas (-), akral hangat (+), edema (-), pallor (+),
IV.

ikterus (-), sianosis (-), kejang (-)


Pemeriksaan Laboratorium
Pem
WBC
RBC
HGB
HCT
PLT
MCV
MCH
MCHC
L-M-G
Serologi/Kimia Darah
T3/TSH/FT4
ALBUMIN
GLOBULIN
SGOT
SGPT
UR
CR
GDS
CRP
ASTO
Elektrolit
Na-Cl
K-Ca
Urin
Alb/Glu
Leu/eri/epitel

V.

27/03
49,7
3,48
8,6
23,4
385
67,4
24,7
36,7
7-9-84

28/03
15,7
2,61
6,3
19,7
132
76
24,3
32,1
13-6-81

30/03
24,5
5,38
15,5
42,8
152
79,6
28,8
36,2
11-8-81
0,70/0,25/21,3
5

3,4
52
40
30,1
0,8
177

135
71
74,8
1,3
Negatif
Negatif

127 - 93,3
3,61- 1,17

130-92,3
4,69-1,11
-/4-5/2-4/3-4

Pem. Patologi klinik : Anemia mikrositik hipokromik


Pemeriksaan Anjuran
- Cek BTA
- Echocardiography
- Rontgen Thoraks

Na-Cl
K-Ca

VI.
Diagnosis Differential
- SLE
- Brochopneumonia berat
- TB-Paru
VII. Diagnosis Kerja
Gagal jantung ec Penyakit Jantung Rematik + Anemia
VIII. Terapi
- O2 NRM : 15 Lpm
- D5 NS : 500cc/24 jam + Amiodaron 250 mg/24 jam
- Inj. Furosemid : 3x50 mg IV
- Inj. Ceftazidim 2x1 gram
- Inj. Ampicillin 2x1 gram
- Inj. Metilprednisolon 2x 50 mg IV, hari ke 7 dosis diturunkan
- Aspilet 4x500mg
- Clobazam 1x 5mg
- Lanzoprazole 1x1
- Vectin Syr 3 x 1 C
- Inj Ranitidine 2x1 amp
- Transfusi PRC 500cc
- Nebu Ventolin 2cc+NaCl 1cc/4jam
- Inj BPG 1,2 Jt Ui (IM)
- Laxadine 3x1
- DIET JANTUNG III
IX.
Prognosa
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam

Follow Up
FollUp
S

O
KU
TD
Nadi
RR

27/03

28/03

29/03

30/03

31/03

01/04

02/04

Sesak(+)
Demam (-)
Batuk (+)

Sesak (+)
Batuk
(+)
darah, BAK
(+)

Sesak (+)
Nyeri dada (+)
Nyeri ulu hati
Mual muntah (-)
Batuk minimal
Keringat dingin

Sesak ber(-)
Batuk darah
Malam gelisah
Nyeri ulu hati

Batuk
(+)
darah (-)
Sesak
berkurang
Nyeri ulu hati
(+)

Batuk darah
(-), nyeri ulu
hati
berkurang,
mual
(+),
muntah (-),

Batuk darah
(+), dahak (+),
Nyeri ulu hati
(+), kepanasan
(+), hematuria
(+), sesak (+)

Sakit berat
125/58
150
79

Sakit berat
123/67
139
46x/i

Sakit berat
78/58
135
66x/i

Sakit berat
111/72
117
45x/i

Sakit sedang
108/66
118
28x/i

Sakit ringan
104/60
113
27x/i

Sakit sedang
110/65
120
40x/i

Suhu
SiPO2
PF
K/L

Thrks

Pulmo

Cor

Abd

Eks

Neuro

34,6
97

36,4
98

36,2
98

36,3
99

36,3
95

36,2
98

35,8
98

CA(+),SI(-),
RC(+/+)
Isokhor
KGB
dan
Tiroid
(-)
membesar.

CA(+),SI(-),
RC(+/+)
Isokhor
KGB
dan
Tiroid
(-)
membesar.

CA(+),SI(-),
RC(+/+)
Isokhor
KGB dan Tiroid
(-) membesar.

CA(+),SI(-),
RC(+/+)
Isokhor
KGB dan Tiroid
(-) membesar.

CA(+),SI(-),
RC(+/+)
Isokhor
KGB
dan
Tiroid
(-)
membesar.

CA(+),SI(-),
RC(+/+)
Isokhor
KGB
dan
Tiroid
(-)
membesar.

CA(+),SI(-),
RC(+/+)
Isokhor
KGB
dan
Tiroid
(-)
membesar.

Sim +/+ ,
retraksi (+)
epigastrium,
IC terlihat,
thrill (+)

Sim +/+ ,
retraksi (+)
epigastrium,
IC terlihat,
thrill (+)

Sim +/+ ,
retraksi
(+)
epigastrium,
IC
terlihat,
thrill (+)

Sim +/+ ,
retraksi (+)
epigastrium,
IC terlihat,
thrill (+)

Sim +/+ ,
retraksi
(+)
epigastrium,
IC
terlihat,
thrill (-)

Ves +/+, Rh
+/+, Wh -/-

Ves +/+, Rh
+/+, Wh -/-

Ves +/+, Rh
-/-, Wh -/-

Ves +/+, Rh
-/-, Wh -/-

S1/S2 Reg,
Murmur (-),
Gallop (+)

S1/S2 Reg,
Murmur (+),
Gallop (+)

S1/S2 Reg,
Murmur (+),
Gallop (-)

S1/S2
Reg,
Murmur (+),
Gallop (-)

Datar,
Soepel (+),
BU (+) N,
hepar, lien,
ren
(-)
teraba, asites
(+) minimal

Datar,
Soepel (+),
BU (+) N,
hepar, lien,
ren
(-)
teraba, asites
(+) minimal

Datar,
Soepel (+),
BU (+) N,
hepar, lien,
ren
(-)
teraba, asites
(-), perkusi
timpani

Datar, Soepel
(+), BU (+) N,
hepar, lien, ren
(-)
teraba,
asites
(-),
perkusi
timpani

Akral hangat
Edema (-)
Palor (+)
Deformitas
(-)

Akral hangat
Edema (-)
Palor (+)
Deformitas
(-)

Akral hangat
Edema (-)
Palor (+)
Deformitas (-)

Akral hangat
Edema (-)
Palor (+)
Deformitas
(-)

Akral hangat
Edema (-)
Palor (+)
Deformitas (-)

Pupil dilatasi
8 mm

Pupil normal

Pupil normal

Prob-list:
Sesak
berkurang
Batuk
Hemoptoe
teratasi
Takikardi

Prob-List:
Sesak
berkurang
Hemoptoe
(-)
Batuk
minimal
Takikardi

DBN

Pupil dilatasi
8 mm

Sim
+/+
,
retraksi
(+)
epigastrium, IC
terlihat,
thrill
(+)
Ves +/+, Rh +/+,
Wh -/S1/S2
Reg,
Murmur
(+),
Gallop (-)
Datar,
Soepel
(+), BU (+) N,
hepar, lien, ren
(-) teraba, asites
(+) minimal

Akral hangat
Edema (-)
Palor (+)
Deformitas (-)

Sim +/+ ,
retraksi
(+)
epigastrium,
IC
terlihat,
thrill (+)

Ves +/+, Rh +/
+, Wh -/Ves +/+, Rh -/Wh -/S1/S2
Reg,
Murmur
(+), S1/S2
Reg,
Gallop (-)
Murmur (+),
Gallop (-)
Datar, Soepel
(+), BU (+) N, Datar, Soepel
hepar, lien, ren (+), BU (+) N,
(-) teraba, asites hepar, lien, ren
(+) minimal
(-)
teraba,
asites
(-),
perkusi
timpani
Akral hangat
Edema (-)
Palor (+)
Deformitas (-)

Pupil dilatasi
8 mm
Pupil dilatasi
8 mm

Prob-List:
Prob-list:
Prob-list:
Prob-list:
Pola napas Pola napas Pola napas tidak Sesak
tidak
tidak
efektif Sesak
berkurang
efektif
efektif
napas
blm Batuk
Hemoptoe
Sesak
Sesak
teratasi
Anemia
Batuk
napas
napas blm
Anemia
blm
teratasi
hebat
teratasi
Takikardi
Anemia
Batuk
terkoreksi
Takipnue
Takikardi
Takikardi
Anemia

Prob-List:
Sesak (+)
Hemoptoe (+)
Batuk
Takikardi
Hematuria

belum
Takipnue
terkoreksi Hipotensi
Takikardi
Takipnue

Takipnue

Dx:
BP
Berat
+Sepsis

Dx: Gagal
jantung ec
PJR
+
Anemia

27/03
P O2 Nasal 2 Lpm NRM 15 Lpm

IGD IVFD D5 NS 1000cc/24 Jam


Koreksi NaCl 3% 500cc/24 jam
Drip Amiodarone 250 mg stop

koreksi NaCl 3%
Transfusi PRC 500cc
Inj Cefta 2x1gr
Inj. Ampicilin 2x1 gr
Nebu Ventolin 2cc+NaCl 1cc) /4jam
Loading M.Prednisolon 1 Amp

Hipotensi
teratasi

Dx:
Gagal
jantung ec PJR
+ Anemia

28/03

29/03

Terapi

Tx

Terusk
an

Dx:
Gagal
jantung
ec
PJR + Anemia

30/03

- Inf D5 NS
Asnet
Teruskan
- Omeprazole 1x1
+
amp
Clobaza - Vectin Syr 3 x 1
C
m
1x
- Inj Ranitidine
5mg
2x1 amp

Selanjutnya 2x amp
Lasix 1 amp
Cek : DR, GDS, EKG, Elek, Ro
Thoraks, kultur urin, cek ASTO,
CRP, Echo, LED
Pasang Kateter

NGT

Dx:
Gagal
jantung
ec
PJR + Anemia

(Diet

Dx: Gagal
jantung ec
PJR

Dx:
Gagal
jantung ec PJR

31/03

01/04

02/04

O2 NRM

Metil

Infus

Nasal

prednisolon

lepas

2 Lpm

dosis

Batasi

diturunkan

cairan

Inj

BPG

menjadi

1,2 Jt Ui

2x24 mg

Obat oral

(IM)

semua

Lanzoprazol

Laxadine

e 1x1

3x1

Acc pindah

ruangan

Tidak jadi

Mucogard

pindah

3xCI a.c

ruangan

6x100cc)

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Defenisi
Penyakit jantung rematik adalah gejala sisa dari demam rematik dan merupakan jenis
penyakit jantung didapat yang paling banyak dijumpai pada populasi anak-anak dan dewasa

muda. Puncak insiden demam rematik terdapat pada kelompok usia 5-15 tahun; penyakit ini
jarang dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. Penyakit ini
sering menyertai faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta-hemolyticus grup A.
Penyakit ini cenderung berulang dan dipandang sebagai penyebab penyakit jantung yang
didapat pada anak dan dewasa muda di seluruh dunia.
Menurut WHO, Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah cacat jantung akibat karditis
rematik, sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang
ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah hasil
dari DR, yang merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi
streptococcus beta hemolyticus grup A pada saluran napas bagian atas. Kemungkinan
sebelumnya penderita tersebut mengalami serangan karditis rematik subklinis, sehingga tidak
berobat dan tidak didiagnosis pada stadium akut. Kelainan katup yang paling sering
ditemukan adalah pada katup mitral, kira-kira tiga kali lebih banyak daripada katup aorta.
3.2 Etiologi
Infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A pada tenggorok selalu mendahului
terjadinya demam rematik, baik pada serangan pertama maupun serangan ulang. Telah
diketahui bahwa dalam hal terjadi demam rematik terdapat beberapa predisposisi antara lain :
terdapat riwayat demam rematik dalam keluarga. usia antara umur 5 15 tahun, keluarga
dengan keadaan sosial ekonomi kurang, perumahan buruk dengan penghuni yang padat serta
udara yang lembab, dan gizi serta kesehatan yang kurang baik, akhir musim dingin dan
permulaan semi (Maret-Mei) sedangkan insiden paling rendah pada bulan Agustus
September, dan adanya serangan demam rematik sebelumnya dimana serangan ulang DR
sesudah adanya reinfeksi dengan Streptococcus beta hemolyticus grup A sering pada anak
yang sebelumnya pernah mendapat DR.
3.3 Epidemiologi
Prevalensi pada anak-anak sekolah di beberapa negara Asia pada tahun 1980-an
berkisar 1 sampai 10 per 1.000. Dari suatu penelitian yang dilakukan di India Selatan
diperoleh prevalensi sebesar 4,9 per 1.000 anak sekolah, sementara angka yang didapatkan di
Thailand sebesar 1,2 sampai 2,1 per 1.000 anak seko1ah. Prevalensi demam rematik di
Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan
menunjukkan bahwa revalensi penyakit jantung rematik berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000
anak sekolah.

Kurang lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada
jantung mulai dari insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Dengan
penyakit jantung reumatik yang kronik, pada pasien bisa terjadi stenosis katup dengan derajat
regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit
jantung reumatik masih menjadi penyebab stenosis katup mitral dan penggantian katup pada
orang dewasa di Amerika Serikat. Malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa
baik oleh kelebihan beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang ,
seperti stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume
yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir
dari malfungsi katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif.
3.4 Patofisiologi
Demam rematik terjadi karena terdapatnya proses autoimun atau antigenic similarity
antara jaringan tubuh manusia dan antigen somatic streptococcus. Apabila tubuh terinfeksi
oleh Streptococcus beta-hemolyticus grup A maka terhadap antigen asing ini segera terbentuk
reaksi imunologik yaitu antibody. Karena sifat antigen ini sama maka antibody tersebut akan
menyerang juga komponen jaringan tubuh dalam hal ini sarcolemma myocardial disebabkan
karena terdapatnya antibody terhadap jaringan jantung dalam serum penderita DR dan
jaringan myocard yang rusak. Salah satu toxin yang mungkin berperanan dalam kejadian DR
ialah stretolysin titer 0, suatu produk extraseluler Streptococcus beta-hemolyticus grup A
yang dikenal bersifat toxik terhadap jaringan myocard. Beberapa di antara berbagai antigen
somatic streptococcal menetap untuk waktu singkat dan yang lain lagi untuk waktu yang
cukup lama. Serum imunologlobulin akan meningkat pada penderita sesudah mendapat
radang streptococcal terutama Ig G dan A.
Sindrom gagal jantung kongestif timbul sebagai konsekuensi dari adanya abnormalitas
struktur, fungsi, irama, ataupun konduksi jantung. Secara keseluruhan, perubahan yang terjadi
pada fungsi jantung yang berhubungan dengan gagal jantung dapat menurunkan daya
kontraktilitas. Ketika terjadi penurunan daya kontraktilitas, jantung berkompensasi dengan
adanya kontraksi paksaan yang kemudian dapat meningkatkan cardiac output. Pada gagal
jantung kongestif, kompensasi ini gagal terjadi sehingga kontraksi jantung menjadi kurang
efisien. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan stroke volume yang kemudian
menyebabkan peningkatan denyut jantung untuk dapat mempertahankan cardiac output.
Peningkatan denyut jantung ini lama-kelamaan berkompensasi dengan terjadinya hipertrofi

miokardium, yang disebabkan peningkatan diferensiasi serat otot jantung untuk


mempertahankan kontaktilitas jantung. Jika dengan hipertrofi miokardium, jantung masih
belum dapat mencapai stroke volume yang cukup bagi tubuh, terjadi suatu kompensasi
terminal berupa peningkatan volume ventrikel.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, penurunan cardiac output dapat
menyebabkan penurunan stroke volume yang menunjukkan adanya disfungsi sistolik,
disfungsi diastolic, atau kombinasi dari keduanya. Disfungsi sistolik disebabkan oleh
hilangnya kontraktilitas intrinsik, atau adanya suatu infark miokard akut yang menyebabkan
hilangnya viabilitas otot jantung untuk berkontraksi. Hal ini tergantung pada dua faktor, yaitu
elastisitas dan distensibilitas ventrikel kiri, yang merupakan fenomena pasif dan suatu proses
relaksasi miokardium yang terjadi pada saat awal diastolik. Hilangnya distensibilitas atau
relaksasi ventrikel kiri karena adanya perubahan struktur (contohnya hipertrofi ventrikel kiri)
atau perubahan fungsi (contohnya iskemia) dapat mengganggu pengisian ventrikel (preload).
Preload seringkali menunjukkan adanya suatu tekanan diastolic akhir atau volume pada
ventrikel kiri dan secara klinis dinilai dengan mengukur tekanan atrium kanan. Walaupun
demikian, preload tidak hanya tergantung pada volume intravascular, tetapi juga dipengaruhi
oleh keterbatasan pengisian ventrikel.
Jantung dengan fungsi sistolik normal akan mempertahankan ejeksi fraksi sekitar 5055%. Tolak ukur akhir pada stroke volume adalah afterload. Afterload adalah volume darah
yang dipompa oleh otot jantung, yang biasanya dapat dilihat dari tekanan arteri rata-rata.
Afterload tidak hanya menunjukkan resistensi vascular tetapi juga menunjukkan tekanan
dinding thoraks dan intrathoraks yang harus dilawan oleh miokardium. Ketiga variabel ini
terganggu pada pasien gagal jantung kongestif.
Jika cardiac output turun, maka denyut jantung dan stroke volume akan berubah untuk
mempertahankan perfusi jaringan. Jika stroke volume tidak dapat dipertahankan, denyut
jantung ditingkatkan untuk mempertahankan cardiac output. Seperti disfungsi sistolik,
disfungsi diastolik juga menghasilkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel, yang
merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk mempertahankan stroke volume. Disfungsi
diastolic menunjukkan berkurangnya kemampuan ventrikel untuk mengisi ruangnya pada
saat diastolik. Selain itu, adanya intoleransi aktifitas menunjukkan adanya disfungsi diastolik
yang disebabkan oleh adanya gangguan pada pengisian ventrikel yang meningkatkan tekanan
atrium kiri dan vena pulmonal sehingga menyebabkan bendungan pulmonal. Selain itu,
cardiac output yang tidak adekuat selama aktifitas dapat menyebabkan berkurangnya perfusi
otot skeletal, khususnya pada otot kaki dan otot pernafasan aksesorius. Walaupun demikian,

patofisiologi pada gagal jantung kongestif bukan hanya meliputi abnormalitas struktural,
tetapi juga meliputi respon kardiovaskular pada perfusi jaringan yang buruk dengan aktivasi
sistem neurohormonal.
Aktivasi sistem rennin-angiotensin ditujukan untuk meningkatkan preload dengan
meningkatkan retensi air dan garam, meningkatkan vasokonstriksi, dan mempertahankan
kontraktilitas otot jantung. Awalnya, respon ini mampu mempertahankan preload, namun
aktivasi yang memanjang mampu menurunkan miosit dan mengubah matriks maladaptive.
Miokardium akan mengalami remodeling dan dilatasi. Proses ini akan mengganggu fungsi
paru-paru, ginjal, otot, pembuluh darah, dan mungkin juga organ lain. Remodeling ini juga
dapat menyebabkan dekompensasi jantung, meliputi regurgitasi mitral karena adanya
peregangan annulus katup mitral, dan aritmia jantung karena adanya remodelling otot atrium.
Sehingga, dapat terjadi mekanisme kompensasi lain yang terjadi pada gagal jantung seperti
pada syaraf otonom dan hormon.
Respon neurohormonal meliputi aktivasi syaraf simpatis dan sistem reninangiotensin,
dan peningkatan pelepasan hormon antidiuretik (vasopressin) dan peptida natriuretik atrium.
Sistem syaraf simpatis dan renin-angiotensin adalah respon mayor yang dapat terjadi. Secara
bersamaan, kedua sistem ini menyebabkan vasokonstriksi sistemik, takikardi, meningkatkan
kontraktilitas miokardium, dan retensi air dan garam untuk mempertahankan tekanan darah
sehingga perfusi jaringan menjadi lebih adekuat. Namun jika berlangsung lama, hal ini dapat
menurunkan cardiac output dengan meningkatkan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan
denyut jantung dan kontraktilitas miokardium dapat meningkatkan konsumsi oksigen. Retensi
air dan garam dapat menyebabkan kongesti vena. Selain itu, faktor neurohormonal lain yang
berperan dalam gagal jantung kongestif adalah sistem renin-angiotensin. Penurunan tekanan
perfusi ginjal dideteksi oleh reseptor sensorik pada arteriol ginjal sehingga terjadi pelepasan
renin dari ginjal. Hal ini dapat meningkatkan tekanan filtrasi hidraulik glomerulus yang
disebabkan oleh penurunan tekanan perfusi pada ginjal. Angiotensin II akan menstimulasi
sintesis aldosteron, yang akan menyebabkan retensi air dan garam pada ginjal. Awalnya,
kompensasi ini merupakan usaha tubuh untuk mempertahankan perfusi sistemik dan ginjal.
Namun, aktivasi yang lama pada sistem ini dapat menyebabkan edema, peningkatan tekanan
vena pulmonal, dan peningkatan afterload. Hal ini dapat memperberat kondisi gagal jantung.
Selama gagal jantung, mekanisme neurohormonal lain yang dapat terjadi adalah
aktifitas simpatis yang dapat meningkatkan pelepasan vasopressin dan renin. Untungnya,
digitalis dapat menurunkan aktifitas simpatis dengan aktivasi tekanan baroreseptor yang
rendah maupun yang tinggi. Aktivasi neuroendokrin dapat meningkatkan pelepasan

neurohormonal sistemik, seperti norepinephrin, vasopressin, dan peptida natriuretik atrium.


Norepinephrin dapat meningkatkan afterload dengan vasokonstriksi sistemik dan
peningkatan kronotropik dan inotropik dengan stimulasi langsung pada miosit kardiak.
Stimulasi ini menyebabkan progresifitas kerusakan miosit. Selain itu, peningkatan aktifitas
norepinephrin dapat meningkatkan resiko terhadap aritmia ventrikel dan kematian mendadak.
Efek respon neurohormonal ini menyebabkan adanya vasokonstriksi (untuk mempertahankan
tekanan arteri), kontraksi vena (untuk meningkatkan tekanan vena), dan meningkatkan
volume darah. Umumnya, respon neurohormonal ini dapat dilihat dari mekanisme
kompensasi, tetapi dapat juga meningkatkan afterload pada ventrikel (yang menurunkan
stroke volume) dan meningkatkan preload sehingga menyebabkan edema dan kongesti
pulmonal ataupun sistemik. Aktivasi neurohormonal ini sangat penting dalam mekanisme
kompensasi gagal jantung kongestif karena hal ini dapat mempertahankan tekanan arteri.
Insufisiensi Mitral (Regurgitasi Mitral)
Insufisiensi mitral merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada masa anak-anak dan
remaja dengan PJR kronik. Pada keadaan ini bias juga terjadi pemendekan katup, sehingga
daun katup tidak dapat tertutup dengan sempurna. Penutupan katup mitral yang tidak
sempurna menyebabkan terjadinya regurgitasi darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri selama
fase sistol. Pada insufisiensi berat terdapat tanda-tanda gagal jantung kongestif kronis,
meliputi kelelahan, lemah, berat badan turun, pucat.
Stenosis Mitral
Stenosis mitral merupakan kelainan katup yang paling sering diakibatkan oleh PJR.
Perlekatan antar daun-daun katup, selain dapat menimbulkan insufisiensi mitral (tidak dapat
menutup sempurna) juga dapat menyebabkan stenosis mitral (tidak dapat membuka
sempurna). Ini akan menyebabkan beban jantung kanan akan bertambah, sehingga terjadi
hipertrofi ventrikel kanan yang dapat menyebabkan gagal jantung kanan. Dengan terjadinya
gagal jantung kanan, stenosis mitral termasuk ke dalam kondisi yang berat.
Insufisiensi Aorta (Regurgitasi Aorta)
PJR menyebabkan sekitar 50% kasus regurgitasi aorta. Pada sebagian besar kasus ini terdapat
penyakit katup mitralis serta stenosis aorta. Regurgitasi aorta dapat disebabkan oleh dilatasi
aorta. Kelainan ini dapat terjadi sejak awal perjalanan penyakit akibat perubahan-perubahan
yang terjadi setelah proses radang rematik pada katup aorta. Insufisiensi aorta ringan bersifat

asimtomatik. Oleh karena itu, insufisiensi aorta juga bias dikatakan sebagai klasifikasi PJR
yang ringan. Tetapi apabila penderita PJR memiliki insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta,
maka klasifikasi tersebut dapat dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang sedang. Hal ini dapat
dikaitkan bahwa insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta memiliki peluang untuk menjadi
klasifikasi berat, karena dapat menyebabkan gagal jantung.
Stenosis Aorta
Stenosis aorta adalah obstruksi aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta dimana lokasi
obstruksi dapat terjadi di valvuler, supravalvuler dan subvalvuler. Gejala-gejala stenosis aorta
akan dirasakan penderita setelah penyakit berjalan lanjut termasuk gagal jantung dan
kematian mendadak. Pemeriksaan fisik pada stenosis aorta yang berat didapatkan tekanan
nadi menyempit dan lonjakan denyut arteri melambat.

3.5 Manifestasi Klinik


Dihubungkan dengan diagnosis, manifestasi klinik pada DR akut dibedakan atas
manifestasi mayor dan minor. Diagnosis demam rematik lazim didasarkan pada suatu kriteria
yang untuk pertama kali diajukan oleh T. Duchett Jones dan, oleh karena itu kemudian
dikenal sebagai kriteria Jones. Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor
yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik.
Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh American Heart
Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Apabila
ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriterium mayor dan 2 kriteria minor, ditambah dengan
bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya
demam rematik. Tanpa didukung bukti adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis demam
rematik harus selalu diragukan, kecuali pada kasus demam rematik dengan manifestasi mayor
tunggal berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika
demam rernatik baru muncul setelah masa laten yang lama dan infeksi strepthkokus. Kriteria
ini bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa
overdiagnosis maupun underdiagnosis.
Kriteria Mayor
1) Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena
merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita pada

fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung
rematik. Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya
salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan sifat bising organik, (b)
kardiomegali, (c) perikarditis, dan gagal jantung kongestif. Bising jantung merupakan
manifestasi karditis rematik yang seringkali muncul pertama kali, sementara tanda dan
gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya baru timbul pada keadaan yang
lebih berat. Bising pada karditis rematik dapat berupa bising pansistol di daerah apeks
(regurgitasi mitral), bising awal diastol di daerah basal (regurgitasi aorta), dan bising
mid-diastol pada apeks (bising Carey-Coombs) yang timbul akibat adanya dilatasi
ventrikel kiri.
2) Poliartritis ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas, dan
keterbatasan gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik paling
sering mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah. Kelainan ini hanya berlangsung
beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi dan kemudian berpindah, sehingga dapat
ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang
sama; sementara tanda-tanda radang mereda pada satu sendi, sendi yang lain mulai
terlibat. Perlu diingat bahwa artritis yang hanyamengenai satu sendi (monoartritis) tidak
dapat dijadikan sebagai suatu kriterium mayor. Selain itu, agar dapat digunakan sebagai
suatu kriterium mayor, poliartritis harus disertai sekurang-kurangnya dua kriteria minor,
seperti demam dan kenaikan laju endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer
ASTO atau antibodi antistreptokokus lainnya yang tinggi.
3) Korea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang
berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai
satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot dan
ketidak-stabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia 3 tahun atau
setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan. Korea Syndenham merupakan
satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga dapat dianggap sebagai
pertanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan kriteria yang lain. Korea
merupakan manifestasi demam rematik yang muncul secara lambat, sehingga tanda dan
gej ala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat korea mulai timbul.
4) Eritema marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam rematik
dan tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak terasa
gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara
sentrifugal. Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema anulare rematikum dan
terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak bagian proksimal, tetapi tidak

pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat sementara atau menetap,
berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dapat dicetuskan
oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor demam rematik ini hanya
ditemukan pada kasus yang berat.
5) Nodulus subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat di
daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis. Nodul ini
berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya,
dengan diameter dan beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya
tidak akan ditemukan jika tidak terdapat karditis.
Kriteria Minor
1) Riwayar demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu kriteria minor
apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria
obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik
inaktif yang pernah diidap seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik
sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis
2) Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau
keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau
jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi
pada anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila
poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor.
3) Demam pada demam rematik biasanya ringan,meskipun adakalanya mencapai 39C,
terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam
derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak
spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini
tidak memiliki arti diagnosis banding yang bermakna.
4) Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap darah, kadar protein C
reaktif, serta leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi.
Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali
jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat
bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif.
Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan
pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat
meningkat pada semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah,
maka kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat dipertanyakan

5) Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya keterlambatan abnormal


sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan meskipun sering dijumpai pada demam
rematik, perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu,
interval P-R yang memanjang juga bukan merupakan pertanda yang memadai akan
adanya karditis rematik..
Bentuk Klinis
DR : Variasi sesuai dengan gejala mayor yang menifestasi.
PJR: Variasi sesuai cacat katup yang dihadapi dan derajat serta luasnya karditis pada DR.
Manifestasi Klinis Gagal Jantung Kongestif
Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Kriteria
diagnosis ini meliputi kriteria mayor dan minor.
Kriteria mayor
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Paroksismal nokturnal dispnea


Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peningkatan tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular

Kriteria minor
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea deffort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardia (lebih dari 120 kali per menit)

Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor.
3.6 Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik standar untuk
demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi streptokokus. Titer
ASTO dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit Todd pada orang dewasa atau 333 unit
Todd pada anak-anak di atas usia 5 tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar 70% sampai 80%
kasus demam rematik akut. Infeksi streptokokus juga dapat dibuktikan dengan melakukan
biakan usapan tenggorokan. Biakan positif pada sekitar 50% kasus demam rematik akut.

Bagaimanapun, biakan yang negatif tidak dapat mengesampingkan kemungkinan adanya


infeksi streptokokus akut. Adapun beberapa pemeriksaan yang penting untuk dilakukan
adalah:
Pemeriksaan darah
LED tinggi sekali
Lekositosis
Nilai hemoglobin dapat rendah
Pemeriksaan bakteriologi
Biakan hapus tenggorokan untuk membuktikan adanya streptococcus.
Pemeriksaan serologi. Diukur titer ASTO, astistreptokinase, anti hyaluronidase.
Pemeriksaan radiologi Elektrokardoigrafi dan ekokardiografi untuk menilai adanya
kelainan jantung.
3.7 Dasar Diagnosis
Diagnosis deman rematik ditegakkan berdasarkan Kriteria WHO tahun 2003
(berdasarkan Revisi Kriteria Jones). Diagnosis demam rematik ditegakkan bila terdapat 2
manifestasi mayor atau 1 manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi minor dan didukung
bukti adanya infeksi streptokokkus sebelumnya yaitu kultur apus tenggorok yang positif atau
kenaikan titer antibody streptokokkus (ASTO) >200. Terdapat pengecualian untuk gejala
korea minor, diagnosis DR dapat ditegaskan tanpa perlu adanya bukti infeksi streptokokus.
Diagnosis gagal jantung sendiri ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham.
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria mayor
ditambah 2 kriteria minor.
Indikasi Rawat
DRA
PJR dengan dekompensasi kordis
PJR yang rekuren
3.8 Diagnosa Banding
1. SLE
2. Arthritis Rematoid
3.9 Tatalaksana
a. Gagal Jantung
1. Diuretik. Diuretik digunakan untuk mengobati kelebihan cairan yang biasanya terjadi
pada gagal jantung kongestif. Diuretic menyebabkan ginjal mengeluarkan kelebihan

garam dan air dari aliran darah sehingga mengurangi jumlah volume darah dalam
sirkulasi. Dengan volume darah yang rendah, jantung tidak akan bekerja keras.
Pengukuran berat badan diperlukan untuk mengevaluasi respon tubuh terhadap
pemberian diuretik. Diuretik dimulai dengan dosis awal yang rendah, kemudian dosis
ditingkatkan bertahap sampai output urine meningkat dan berat badan menurun,
biasanya 0.5 hingga 1 kg per hari. Hasil akhir dari pengobatan ini adalah kemampuan
bernafas yang membaik dan pengurangan pembengkakan dalam tubuh penderita.
Diuretik yang biasanya digunakan pada gagal jantung meliputi furosemid, bumetanid,
hidroklortiazid, spironolakton dan torsemid. Spironolakton dan eplerenon tidak hanya
merupakan diuretik ringan jika dibandingkan dengan diuretik kuat seperti furosemid,
tetapi juga jika digunakan dalam dosis kecil dan dikombinasikan dengan ACE
inhibitor akan memperpanjang harapan hidup. Hal ini disebabkan karena kombinasi
obat ini mampu mencegah progresifitas kekakuan dan pembesaran jantung.
2. Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor. ACE inhibitor merupakan
vasodilator yang sering digunakan untuk gagal jantung kongestif. Obat ini
menghambat produksi angiotensin II yang secara abnormal tinggi pada gagal jantung
kongestif. ACE inhibitor merupakan pengobatan yang penting karena tidak hanya
dapat mengurangi gejala, tetapi juga dapat memperpanjang kemungkinan hidup
penderita gagal jantung kongestif dengan cara menghambat progresifitas kerusakan
jantung dan pada beberapa kasus dapat memperbaiki fungsi otot jantung.4 Namun
demikian, ACE inhibitor juga memiliki beberapa efek samping. Efek samping ACE
inhibitor sebagai angiotensin supresif dapat berupa hipotensi, perburukan fungsi
ginjal, dan retensi kalium. Sementara efek samping ACE inhibitor sebagai potensiasi
kinin dapat berupa batuk dan angioedema.
3. Inotropik. Inotropik bersifat simultan, seperti dobutamin dan milrinon, yang dapat
meningkatkan kemampuan pompa jantung. Hal ini digunakan sebagai pengobatan
pada kasus dimana ventrikel kiri sangat lemah dan tidak berespon terhadap
pengobatan standar gagal jantung kongestif. Salah satu contohnya adalah digoksin.
Obat ini digunakan untuk memperbaiki kemampuan jantung dalam memompakan
darah. Karena obat ini menyebabkan pompa paksa pada jantung, maka obat ini disebut
sebagai inotropik positif. Namun demikian, digoksin merupakan inotropik yang
sangat lemah dan hanya digunakan untuk terapi tambahan selain ACE inhibitor dan
beta bloker.

Walaupun sering digunakan, tidak semua penderita gagal jantung

kongestif harus diberikan digoksin karena kurang efektif dibandingkan dengan

beberapa pengobatan medikasi lainnya. Digoksin dapat mengurangi gejala setelah


penggunaan vasodilator dan diuretik, namun tidak untuk digunakan secara terus
menerus. Obat ini juga dapat digunakan untuk mengontrol irama jantung (pada atrial
fibrilasi). Kelebihan digoksin dapat membahayakan irama jantung sehingga terjadi
aritmia. Resiko aritmia ini meningkat jika dosis digoksin berlebihan, ginjal tidak
berfungsi optimal sehingga tidak dapat mengekskresikan digoksin dari tubuh secara
optimal, atau potasium dalam tubuh yang terlalu rendah (dapat terjadi pada pemberian
diuretik).
4. Angiotensin II reseptor blocker (ARB). Angiotensin II reseptor blocker (ARBs)
bekerja dengan mencegah efek angiotensin II di jaringan. Obat-obat ARB, misalnya
antara lain candesartan, irbesartan, olmesartan, losartan, valsartan, telmisartan, dan
eprosartan. Obat-obatan ini biasanya digunakan pada penderita gagal jantung
kongestif yang tidak dapat menggunakan ACE inhibitor karena efek sampingnya.
Keduanya efektif, namun ACE inhibitor dapat digunakan lebih lama dengan jumlah
yang lebih banyak digunakan pada data percobaan klinis dan informasi pasien. ACE
inhibitor dan ARBs dapat menyebabkan tubuh meretensi potasium, Namun hal ini
umumnya hanya terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal, atau pada orang-orang
yang juga mengkonsumsi diuretik Hemat kalium, seperti triamterene atau
spironolakton.
5. Calcium channel blocker merupakan vasodilator yang jarang digunakan pada
pengobatan gagal jantung karena berdasarkan percobaan klinis, tidak terbukti adanya
manfaat pemberian calcium channel blocker pada gagal jantung kongestif. Calcium
channel blocker digunakan untuk menurunkan tekanan darah jika penyebab terjadinya
gagal jantung kongestif adalah tekanan darah yang tinggi dan pada pasien yang tidak
berespon terhadap ACE inhibitor atau ARBs
6. Beta blocker. Beta blocker bertujuan untuk menghambat efek samping sistem syaraf
simpatis pada penderita gagal jantung kongestif. Beta blocker efektif untuk
menurunkan resiko kematian pada penderita gagal jantung kongestif. Beta blocker
terbukti secara klinis dapat mengontrol ejeksi fraksi ventrikel kiri (yang bernilai di
bawah 35% hingga 45%) yang telah diberikan diuretik dan ACE inhibitor dengan atau
tanpa pemberian digitalis. Namun, pada penderita dengan disfungsi ventrikel kiri yang
berat, denyut jantung yang rendah (di bawah 65 kali/menit), atau tekanan darah
sistolik yang rendah (di bawah 85 mmHg), atau pada pasien dengan NYHA IV,
pemberian beta blocker tidak dianjurkan. Obat ini dapat menurunkan frekuensi denyut
jantung, menurunkan tekanan darah, dan memiliki efek langsung terhadap otot

jantung sehingga menurunkan beban kerja jantung. Reseptor beta terdapat di otot
jantung dan di dalam dinding arteri. Sistem syaraf simpatis memproduksi zat kimia
yang disebut sebagai norepinefrin yang bersifat toksik terhadap otot jantung jika
digunakan dalam waktu lama dan dengan dosis yang tinggi. Beta bloker bekerja
dengan cara menghambat aksi norepinefrin di dalam otot jantung.
b. Penyakit Jantung Rematik
1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A
Pengobatan yang adekuat terhadap infeksi Streptococcus harus segera
dilaksanakan setelah diagnosis ditegakkan. Cara pemusnahan streptococcus dari tonsil
dan faring sama dengan cara untuk pengobatan faringitis streptococcus yakni
pemberian penisilin benzatin intramuskular dengan dosis 1,2 juta unit untuk pasien
dengan berat badan > 30kg atau 600 000-900 000 unit untuk pasien dengan berat
badan < 30 kg. Penisilin oral, 400 000 unit (250 mg) diberikan empat kali sehari
selama 10 hari dapat digunakan sebagai alternatif. Eritromisin, 50 mg/kg BB sehari
dibagi dalam 4 dosis yang sama dengan maximum 250 mg 4 kali sehari selama 10
hari dianjurkan untuk pasien yang alergi penisilin. Obat lain seperti sefalosporin yang
diberikan dua kali sehari selama 10 hari juga efektif untuk pengobatan faringitis
streptokokus. Penisilin benzatin yang berdaya lama lebih disukai dokter karena
reliabilitasnya serta efektifitasnya untuk profilaksis infeksi streptokokus.
2. Obat analgesik dan anti-inflamasi
Pengobatan anti-radang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut
demam reumatik. Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan aspirin dalam
dosis total 100 mg/kgBB/ hari, maximum 6 g per hari dosis terbagi selama 2 minggu,
dan 75 mg/kgBB/ hari selama 2-6 minggu berikutnya. Pada pasien karditis, terutama
jika ada kardiomegali atau gagal jantung aspirin seringkali tidak cukup untuk
mengendalikan demam, rasa tidak enak serta takikardia, kecuali dengan dosis toksik
atau mendekati toksik. Pasien ini harus ditangani dengan steroid; prednison adalah
steroid terpilih, mulai dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi, maximum
80 mg per hari. Pada kasus yang sangat akut dan parah, terapi harus dimulai dengan
metilprednisolon intravena (10-40 mg), diikuti dengan prednison oral. Sesudah 2-3
minggu prednison dapat dikurangi terhadap dengan pengurangan dosis harian
sebanyak 5 mg setiap 2-3 hari.
Bila penurunan ini dimulai, aspirin dengan dosis 75mg/kgBB/hari harus
ditambahkan dan dilanjutkan selama 6 minggu setelah prednison dihentikan. Terapi
tumpang tindih ini dapat mengurangi insidens munculnya kembali manifestasi klinis

segera sesudah terapi dihentikan, atau sementara prednison diturunkan, tanpa infeksi
streptokokus baru. Steroid dianjurkan untuk pasien dengan karditis karena kesan
klinis bahwa pasien berespons lebih baik, demikian pula gagal jantung pun berespons
lebih cepat daripada dengan salisilat. Apabila demam reumatik inaktif dan tetap
tenang lebih dari dua bulan setelah penghentian antiradang, maka demam reumatik
tidak akan timbul lagi kecuali apabila terjadi infeksi streptokokus baru.
MANIFESTASI KLINIS
Artralgia
Artritis
Artritis + karditis tanpa
kardiomegali
Artritis + karditis +
kardiomegali

PENGOBATAN
Hanya analgesik (misal asetaminofen).
Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, dan 75
mg/kgBB/hari selama 4 minggu berikutnya
Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, dan 75
mg/kgBB/hari selama 4 minggu
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu dan
diturunkan sedikit demi sedikit (tapering off) 2 minggu;
salisilat 75 mg/kgBB/hari
mulai awal minggu ke 3 selama 6 minggu

3. Diet
Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian
besar kasus cukup diberikan makanan biasa, cukup kalori dan protein. Tambahan
vitamin dapat dibenarkan. Bila terdapat gagal jantung, diet disesuaikan dengan diet
untuk gagal jantung yaitu cairan dan garam sebaiknya dibatasi.
4. Tirah Baring dan mobilisasi
Semua pasien demam reumatik akut harus tirah baring, jika mungkin di rumah
sakit. Pasien harus diperiksa tiap hari untuk menemukan valvulitis dan untuk mulai
pengobatan dini bila terdapat gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3
minggu sejak dari awal serangan, hingga pengamatan yang ketat harus dilakukan
selama masa tersebut. Sesudah itu lama dan tingkat tirah baring bervariasi.
Hal penting adalah bahwa tata laksana harus disesuaikan dengan manifestasi
penyakit, sedang pembatasan aktivitas fisis yang lama harus dihindari. Selama
terdapat tanda-tanda radang akut, penderita harus istirahat di tempat tidur. Untuk

artritis cukup dalam waktu lebih kurang 2 minggu, sedangkan untuk karditis berat
dengan gagal jantung dapat sampai 6 bulan. Mobilisasi dilakukan secara bertahap.
Istirahat mutlak yang berkepanjangan tidak diperlukan mengingat efek psikologis
serta keperluan sekolah. Penderita demam reumatik tanpa karditis atau penderita
karditis tanpa gejala sisa atau penderita karditis dengan gejala sisa kelainan katup
tanpa kardiomegali, setelah sembuh tidak perlu pembatasan aktivitas. Penderita
dengan demam kardiomegali menetap perlu dibatasi aktivitasnya dan tidak
diperkenankan melakukan olahraga yang bersifat kompetisi fisis.

BAB IV
ANALISIS KASUS

Dilaporkan seorang anak perempuan berusia 12 tahun dengan keluhan sesak napas
hebat sejak 1 hari SMRS disertai batuk berdarah, pasien sempat dibawa berobat ke RS
Ka.Tungkal dan di diagnosis BP berat+S.Sepsis kemudian dirujuk ke RS Raden Mattaher
Jambi. Berdasarkan anamnesa kepada orang tua pasien di dapatkan bahwasanya pasien
mengalami demam terus menerus dengan suhu tidak terlalu tinggi, tanpa menggigil dan
berkeringat, tidak ada gangguan dalam defekasi sehingga demam dicurigai mengarah ke
suatu proses infeksi atau peradangan sub klinis karena sudah dimulai sejak sebulan yang lalu
tetapi tidak dibawa berobat, dan 1 minggu SMRS pasien mengalami batuk pilek yang
mengingikasikan adanya infeksi pada saluran napas atas pasien. Serta adanya riwayat
penyakit radang jantung sebelumnya mengarahkan diagnosa pasien ke arah Penyakit Jantung

Rematik. Sesak napas hebat pada pasien dicurigai akibat gagal jantung yang disebabkan oleh
PJR .
Gagal jantung merupakan sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), yang
disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung, dimana jantung tidak sanggup
memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan. Gagal jantung ditandai
oleh sesak (dyspnea deffort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, cheyne-stokes
respiration) dan fatigue (saat istirahat atau saat aktivitas). Keluhan sesak disertai edema dapat
berasal dari organ paru, jantung, ginjal, serta dari hati. Dari anamesis didapatkan sesak yang
dipengaruhi aktivitas merupakan khas sesak yang disebabkan oleh organ jantung. Batuk yang
dialami oleh pasien juga dapat disebabkan oleh edema paru ec gagal jantung. Kemudian
dilanjutkan dengan dilakukannya pemeriksan fisik serta pemeriksaan penunjang sehingga
dapat dipastikan sesak pada penderita bukan berasal dari organ paru, ginjal atau pun hati.
Ditinjau dari sudut klinis secara simtomatologis di kenal gambaran klinis berupa gagal
jantung kiri dengan gejala badan lemah, cepat lelah, berdebar, sesak napas dan batuk. serta
tanda objektif berupa takhikardia, dyspnea (dyspnea deffort, orthopnea, paroxysmal
nocturnal dypsnea, cheyne-stokes respiration), ronkhi di basal paru, bunyi jantung III, dan
pembesaran jantung. Gagal jantung kanan dengan gejala edema tumit dan tungkai bawah,
hepatomegali, acites, bendungan vena jugularis dan gagal jantung kongestif merupakan
gabungan dari kedua bentuk klinik gagal jantung kiri dan kanan.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien ini datang dengan keluhan utama sesak,
ditemukan dyspnea deffort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, ronkhi di kedua basal
paru, takhikardia, bendungan vena jugularis, asites minimal pada perut tetapi tidak dijumpai
edema pada ekskremitas sehingga memenuhi gejala gagal jantung kongestif. Berdasarkan
kriteria Framingham minimal satu kriteria mayor dan dua kriteria minor yaitu: Kriteria mayor
berupa paroksisimal nocturnal dispneu, distensi vena leher, ronki paru, kardiomegali, edema
paru akut, Gallop s3 dan peninggian tekanan vena jugularis. Dan kriteria minor berupa
ascites, batuk malam hari, dispnea deffort, efusi pleura, penurunan kapasitas vital, takikardi
( >120 x/menit).
Pada pasien ini didapatkan empat kriteria mayor. Pertama terdapatnya paroksismal
nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil pemeriksaan fisik perkusi jantung,
dan rontgen thoraks didapatkan adanya pembesaran jantung. Batas batas kiri pada linea
midclavikularis lateralis sinistra ICS VI. Hal yang sama juga didapatkan dari hasil rontgen
yang menyatakan bahwa pada pasien terdapat kardiomegali. Ketiga terdapat peninggian
tekanan vena jugularis yaitu (5+2) cmH2O, keempat didapatkan ronki pada kedua basal paru.

Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan dispnea deffort yang didapatkan dari hasil
anamnesis pasien mengeluh sesak dan lelah saat beraktifitas. Diagnosis anatomi ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan fisik terdapat pembesaran dari jantung dan dikonfirmasi dengan ro
thorax dengan kesan kardiomegali.
Etiologi dari penyakit gagal jantung dapat berupa penyakit jantung bawaan, penyakit
jantung rematik, penyakit jantung hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit jantung
anemik, penyakit jantung tiroid, cardiomiopati, cor pulmonale serta kehamilan. Penyakit
gagal jantung yang terjadi pada usia < 50 tahun, terbanyak adalah disebabkan oleh penyakit
jantung reumatik dan penyakit jantung tiroid, dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak
ditemukan tanda-tanda kelainan tiroid, melainkan yang didapat adalah riwayat sakit jantung
reumatik yang pernah diderita pasien saat usia 8 tahun (kelas 4 SD).
mendiagnosis

pasti

pada

pasien

ini

diperlukan

pemeriksaan

Namun untuk

penunjang

yaitu,

echocardiography.
Patofisiologi munculnya gagal jantung berupa beban pengisian (preload) dan beban
tahanan (afterload) pada ventricle yang mengalami dilatasi dan hipertropi memungkinkan
daya kontraksi jantung yang lebih kuat sehingga terjadi kenaikan curah jantung. Disamping
itu karena pembebanan jantung yang lebih besar akan membangkitkan reaksi hemostasis
melalui peningkatan rangsangan simpatik. Perangsangan ini menyebabkan kadar katekolamin
sehingga memacu terjadinya takikardia dengan tujuan meningkatnya curah jantung. Bila
curah jantung menurun maka akan terjadi redistribusi cairan badan dan elektrolit (Na) melalui
pengaturan cairan oleh ginjal vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar
venous return. Dilatasi, hipertropi, takikardia, redistribusi cairan adalah mekanisme
kompensasi jantung. Bila semua mekanisme ini telah digunakan namun kebutuhan belum
terpenuhi, maka terjadi gagal jantung.
Mengingat pada pasien ini, terdapat riwayat radang jantung pada usia 8 tahun, adanya
malfungsi katup pada penyakit jantung rematik dapat menimbulkan kegagalan pompa, baik
oleh kelebihan beban tekanan atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan
peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi
katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif.
Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya Rheumatic Heart
Disease (RHD) adalah suatu kondisi di mana terjadi kerusakan pada katup jantung yang bisa
berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral (stenosis katup mitral) sebagai
akibat adanya gejala sisa dari Demam Rematik. Hal ini ditandai dengan adanya bising

jantung (mur-mur) pada saat pemeriksaan auskultasi dan terdengar jelas di ICS V daerah
katup mitral.
Demam rematik merupakan suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut, subakut,
kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus group
A pada saluran pernafasan bagian atas. Demam reumatik akut ditandai oleh demam
berkepanjangan, jantung berdebar keras, kadang cepat lelah. Puncak insiden demam
rematik terdapat pada kelompok usia 5-15 tahun, penyakit ini jarang dijumpai pada anak
dibawah usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. Pada pasien ini juga ditemukan thrill
(+), IC kuat angkat.
Seseorang yang mengalami demam rematik apabila tidak ditangani secara adekuat,
maka sangat mungkin sekali mengalami serangan penyakit jantung rematik. Infeksi oleh
kuman Streptococcus Beta Hemolyticus group A yang menyebabkan seseorang mengalami
demam rematik dimana diawali terjadinya peradangan pada saluran tenggorokan,
dikarenakan penatalaksanaan dan pengobatannya yang kurang terarah menyebabkan racun
atau toksin dari kuman ini menyebar melalui sirkulasi darah dan mengakibatkan peradangan
katup jantung. Akibatnya daun-daun katup mengalami perlengketan sehingga
menyempit, atau menebal dan mengkerut sehingga kalau menutup tidak sempurna lagi
dan terjadi kebocoran.

Penderita umumnya megalami sesak nafas yang disebabkan

jantungnya sudah mengalami gangguan, nyeri sendi yang berpindah-pindah, bercak


kemerahan di kulit yang berbatas, gerakan tangan yang tak beraturan dan tak terkendali
(korea), atau benjolan kecil-kecil dibawah kulit. Selain itu tanda yang juga turut
menyertainya adalah nyeri perut, kehilangan berat badan, cepat lelah dan tentu saja
demam.
Penatalaksanaan pada gagal jantung tergantung etiologi, hemodinamik, gejala
klinis serta beratnya gagal jantung. Pengobatan terdiri dari 5 komponen berupa
penanganan secara umum, mengobati penyakit dasar, mencegah kerusakan lebih lanjut pada
jantung, dan mengendalikan derajat CHF. Secara umum Gagal jantung kelas 3 dan 4 perlu
untuk membatasi aktivitas dengan istirahat di tempat tidur tetapi perlu untuk menghindari
tidur lama. Diet makanan pada penyakit jantung pada rumah sakit ini berupa diet jantung.
Diet jantung terdiri dari diet jantung I berupa makanan cair, diet jantung II merupakan bubur
saring, diet jantung III merupakan bubur, diet jantung IV berupa makanan nasi. Diet yang
diberikan pada pasien ini berupa diet jantung III karena pasien masih sadar dan tidak boleh
terlalu banyak melakukan aktivitas.

Pengobatan berdasarkan gejala berupa pembatasan asupan cairan karena cairan yang
banyak akan diabsorpsi oleh tubuh dan menambah jumlah cairan pada tubuh sehingga
memperberat kerja jantung. pemberian diuretik sangat diperlukan untuk mengeluarkan
cairan yang ada dari tubuh dalam kasus ini di gunakan furosemide sebagai diuretik serta
pemberian aspilet (asetil salilisat) untuk mencegah terjadinya agregasi trombosit pada
pembuluh darah koroner. Lansoprazole diberikan untuk mengurangi efek samping
dari aspilet yang merangsang asam lambung, dan juga untuk mengatasi rasa nyeri di ulu
hati pasien yang kemungkinan berasal dari lambung. Pada pasien ini telah terjadi atrial
fibrilasi, pemberian digoxin sebagai golongan inotropik positif dapat dipertimbangkan
pada tahap awal terapi untuk memperbaiki kemampuan jantung dalam memompakan darah
serta mengontrol laju respon ventrikel, namun pemberian digoxin juga harus disertai dengan
pengawasan dikarenakan efek samping obat ini dapat menyebabkan pasien menjadi aritmia,
untuk mencegahnya dapat diberikan antidotum digoxin yaitu gelatin. Pemberian laxadine
sirup diberikan untuk memudahkan buang air besar, dimana bila sulit akan
meningkatkan beban kerja jantung saat otot-otot berkontraksi secara kuat pada saat mengedan
otot perut akan berkontraksi dan meningkatkan tekanan intraabdomen sehingga terjadi
gangguan venous return ke jantung. Vectrin sirup diberikan untuk mengontrol batuknya.
Untuk tatalaksana PJR pada pasien ini diberikan terapi untuk eradikasi streptococcus
dari tonsil dan faring sama dengan cara untuk pengobatan faringitis streptococcus yakni
pemberian penisilin benzatin intramuskular dengan dosis 1,2 juta unit untuk pasien
dengan berat badan > 30kg. Penisilin oral, 400 000 unit (250 mg) diberikan empat kali
sehari selama 10 hari dapat digunakan sebagai alternatif. Obat lain seperti sefalosporin
yang diberikan dua kali sehari selama 10 hari juga efektif untuk pengobatan faringitis
streptokokus. . Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan aspirin dalam dosis
total 100 mg/kgBB/ hari, maximum 6 g per hari dosis terbagi selama 2 minggu, dan 75
mg/kgBB/ hari selama 2-6 minggu berikutnya. Pada pasien karditis, terutama jika ada
kardiomegali atau gagal jantung aspirin seringkali tidak cukup untuk mengendalikan demam,
rasa tidak enak serta takikardia, kecuali dengan dosis toksik atau mendekati toksik. Pasien ini
harus ditangani dengan steroid; prednison adalah steroid terpilih, mulai dengan dosis 2
mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi, maximum 80 mg per hari. Pada kasus yang sangat akut
dan parah, terapi harus dimulai dengan metilprednisolon intravena (10-40 mg), diikuti dengan
prednison oral. Sesudah 2-3 minggu prednison dapat dikurangi terhadap dengan pengurangan
dosis harian sebanyak 5 mg setiap 2-3 hari. Pasien juga diet jantung III dan tirah baring
imobilisasi selama pengobatan dan tidak banyak aktivitas selama 3 bulan.

Prognosis ditegakkan berdasarkan dari kemampuan pompa jantung untuk kompensasi


serta perbaikan gejala klinik setelah di terapi. Untuk menentukan kemampuan pompa jantung
diperlukan

untuk

melihat

ejaksi

fraksi

dari

jantung

yang

ditegakkan

dengan

echochardiography serta gejala klinis, sedangkan untuk memperkuat diagnosa RHD maka
direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan ASTO, Rheumatoid Faktor dan C-reactive
protein (CRP) . Secara klinis, pada pasien ini terdapat perbaikan sehingga prognosis quo ad
vitam adalah dubia ad bonam. Tetapi secara fungsional, pada penyakit jantung rematik telah
terjadi kerusakan katup yang permanen sehingga prognosis quo ad fungsionam adalah dubia
ad malam. Prognosis terburuk dari kasus ini adalah dapat terjadi sudden death.
Pada pasien ini dari anamnesa juga didapatkan keluhan pusing dan lemas, dan dari
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva palpebra pucat, serta dari pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb : 8,6 g/dl; Ht : 23,4 vol %; MCH : 24,7 picogram; MCV : 67,4
mikrogram; MCHC : 24,7 %; GDT : Anemia mikrositik hipokrom. Dengan data tersebut
maka jenis anemia pada pasien ini yaitu anemia hipokrom mikrositer ec suspek defisiensi Fe.
Tatalaksana anemia pada pasien ini yaitu dengan pemberian tranfusi PRC.
Demikianlah penyajian laporan kasus dengan judul gagal jantung kongestif ec
penyakit jantung rematik + anemia hipokrom mikrositer ec suspek defisiensi besi, semoga
dapat menambah pengetahuan kita bersama.

Anda mungkin juga menyukai