Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ilmu Kedokteran Klinik


di RSUD Blambangan Banyuwangi

Oleh:
Hamidah Azzahra

101611101047

Aida Shafia

101611101072

Pembimbing:
dr. Heri Subiakto, Sp. PD

ILMU KEDOKTERAN KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2016

BAB 1
RIWAYAT KASUS

Identitas Pasien
No. RM

: 136474

Nama

: Tn. Satromo

Umur

: 67 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki


Agama

: Islam

Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat

: Ling. Wangkal 06/01 Kalipuro

Pekerjaan

: Tidak bekerja

Airway
Airway

: Lancar/Tersumbat

Breathway

: spontan/tidak spontan

Trachea

: Di Tengah/Bergeser ke...

Suara Nafas Tambahan

: Tidak Ada/Ada

Gerak Dada

: Simetris/Tidak Simetris

Retraksi Otot Nafas

: Tidak/Ada

Krepitas

: Tidak/Ada

Circulation
Akral: ( ) Hangat
( ) Merah
( ) Kering

(
(
(

) Dingin
) Pucat
) Basah

Disability
GCS : 4 / 5 / 6
Vital Sign:
Tekanan Darah

: 210/80 mmHg

Nadi

: 88 x/menit

Respirasi

: 20 x/menit

Suhu (axilla)

:-

Anamnesa
Keluhan utama
Riwayat penyakit sekarang

: nyeri perut bawah


: nyeri sejak 1 minggu yang lalu kemudian dibawa
ke RS Yasmin, dan dipasangi kateter, urine bisa
keluar dan berwarna hijau pekat. di rumah kateter
tersumbat, ditiup dan urine bisa keluar banyak.
demam (-), mual (+), diabetes melitus (-), nyeri
dada (-), alergi obat (-), BAB (+) warna normal,
terdapat benjolan pada anus, berwarna ungu, bisa

Riwayat penyakit dahulu

masuk bila dimasukkan.


: Hipertensi (tidak rutin kontrol), Kencing batu 10

tahun yang lalu.


Pemeriksaan Fisik
Kepala/ Leher

: a / i- / c- / d-

Thoraks

: Rh wh -

Abdomen / Punggung : massa di suprasimfisis, keras, diameter 3cm, padat


Ekstremitas

: akral ekstremitas atas +|+


ekstremitas bawah +|+

Genetalia

: rectum: hemorrhoid diameter 3x2 cm, bisa dimasukkan


prostat teraba, TSA (+), Blood (+)

Hasil Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (28 Maret 2016)
a. Darah lengkap
WBC

+ 30.3x103 /l

RBC

4.08x106 /l

HGB

9.2 g/dl

HCT

27.2%

MCV

- 66.7 FL

MCH

- 22.5 pg

MCHC

33.8 g/dL

PLT

+ 784x103 /l

Lym%

- 4,1%

MXD%

4.9%

NEUT%

91,0%

LYM#

1.2x103 /l

MXD#

1.5x103 /l

NEUT#

27.6x103 /l

RDW

15.1%

PDW

- 8.8 FL

MPV

- 7.6 FL

P-LCR

- 9.5%

b. Faal Hati
Bilirubin Direk

0.16 mg%

Bilirubin Total

0.28 mg%

GOT

17.8 unit

GPT

10.5 unit

Alkali Phospatase

114 unit

c. Faal Ginjal
Urin (BUN)

128.22 mg%

Kreatinin

12.54 mg%

Uric Acid

15.7 mg%

d. Kadar Gula
Glukose Puasa

133 mg%

e. Hasil Pemeriksaan Elektrolit


Hasil

Nilai Rujukan

Natrium

130.1

135-145 mmol/L

Kalium

7.02

3.3-5.5 mmol/L

Chlorida

104.0

98-108 mmol/L

Calcium
2.19
Rontgen : Tidak dilakukan

2.15-2.50 mmol/L

Lain-lain : Tidak dilakukan


Diagnosa Primer

: krisis hipertensi + colic abdomen massa intraabdomen+

suspect Benign prostat hyperplasia + hemorrhoid grade III interna


Diagnosis Sekunder :

28 Maret 2016
(Pagi)
Dx Medis

: Krisis hipertensi kolik abdomen dan BPH

keluhan

: kurang lebih 1 minggu yang lalu mengeluh nyeri perut


bawah, mual muntan (-), pos pasang DC

pemeriksaan fisik : Kondisi umum lemah, panas (-), mual/muntah (-), Nyeri perut
(+)
Tindakan Medis

: PZ 14 rpm
Cefo 3x1 gr
Antrain 3x1 gr
Kolaborasi Medis

(Malam)
S : Keluhan utama nyeri perut bawah
O : Keadaan umum lemah, nyeri perut bawah, bedrest
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjut

TD : 140/80 mmHg, Suhu : 36C, Nadi: 80 x/menit


29 Maret 2016
(Pagi)
S : Keluhan utama nyeri perut bawah
O : Keadaan umum lemah, nyeri perut bawah, mual (-), muntah (-), ma/mi (+)
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjut
(Malam)
S : Sesak nafas (-), mual (-), muntah (-), riwayat retensi urin (+)
O : Keadaan umum lemah kusam
Aremis (-) IK (-)
RH (-)

WZ (-)

Bising Usus (+) N


BUN

178

Cr

12.5

BB

47

Usia

67

GFR

3.8

A : CKD gr V + sepsis
Hiperkalemia
Riwayat retensi urin
P : INFD PZ 7 rpm
Lasit 2x1 ampul
Ceftriaton 2x1 gr
Ranitidin 2x1 ampul
Cek HBSAg, PiTC
Koreksi Hiperkalemia
Ca Gluconas Inject
D40+Actrapid

D10+Actrapid
R/ HD segera
Motivasi keluarga untuk HD > Keluarga setuju
TD : 140/80 mmHg
(Sore)
S : Keluhan utama lemas
O : Keadaan umum lemah, mual (-), muntah (-), bedrest
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjut
17.00 WIB
- TD: 130/80 mmHg
- D40+Actrapid
17.30 WIB
- Px HD Reg I via RPD I dengan keluhan lemas TD 130/80 mmHg
- ckesadaran GCS 4-5-6
Advis dr. Indah:
- Inject Atrapid selama HD stop. post HD tidak usah dimasukkan dulu
- Post HD cek elektrolit
- Inject Ca Gluconas 1 ampul pre HD
17.50 WIB
- HD mulai
- HD: 3 jam
- UE 0.6
- QB 100-150
- Hep free
- off 21.00 WIB
- 2 jam post HD cek RFT, Elektrolit, HB, GDA

Hasil Pemeriksaan Lab post HD


BUN 45,26 mg%
kreatinin 6,38mg%
uric acid 6,8 mg%
GDA 97mg%
(Malam)
S : Keluhan utama lemas
O : Keadaan umum lemah, mual (-), muntah (-),
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjut
TD: 160/80 mmHg
30 Maret 2016
(Pagi)
S: Sesak (-), Mual (-), Muntah (-)
A: CKD gr V
Post HD I
P: tt tetap
tunggu HD ke II
Hasil Pemeriksaan Lab
BUN 61,11 mg%
Kreatinin 8,08 mg%
Uric Acid 7,8 mg%
Natrium
Kalium
Chlorida
Calcium

Hasil
132,5
5,51
103,3
2,53

31 Maret 2016 pagi


S: tidak ada keluhan
A: CKD grade V
P: Terapi tetap. Hemodialisa kedua besok

Nilai Rujukan
135-145 mmol/L
3.3-5.5 mmol/L
98-108 mmol/L
2.15-2.50 mmol/L

Sore
S: pasien mengatakan keluhan berkurang
O: kondisi umum lemah, badan lemas, sesak, bedrest (+)
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
Malam
S: pasien mengatkan keluhan berkurang
O: kondisi umum membaik, sesak (-), mual (-), muntah (-), produksi urin (+)
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
1 april 2016
07.30 pasien dikirim ke Hemodialisa oleh mahasiswa
07.40 melakukan observasi. TD 180/100 mmHg
07.50 mencoba melakukan puncti arteri vena
08.00 mengobseravsi pasien. S: tidak ada keluhan
O: kondisi umum cukup TD: 160/100mmHg, sesak (-), edema , febris (-)
durante : hemodialisa 4 jam up 0,5 L hep awal 1000 in hep maint 600 in,
transfusi (-)
08.10 melakukan observasi. TD 180/100 mmHg
08.20 mengobservasi keluhan pasien
08.45 mengobservasi jalannya filtrasi
09.00 melakukan observasi. TD 180/100 mmHg
10.00 mengobservasi keluhan pasien
11.00 melakukan observasi. TD 180/100 mmHg
12.00 mengobservasi TD post HD TD= 140/100 mmHg
12.45 mengembalikan pasien ke ruangan
sore
S: pasien mengatakan keluhan berkurang
O: kondisi umum lemah, bedrest (+), sesak (-), mual/ muntah (-)
A: masalah teratasi sebagian

P: lanjutkan intervensi
Malam
S: pasien mengatakan keluhan berkurang
O: kondisi umum lemah, panas (-)
A: masalah teratasi sebagian
P: observasi
2 april 2016
S: tidak ada keluhan
A: CKD post HD
P: KRS
Hasil Foto USG
No Foto: R585
Nama: Satromo
Jenis Kelamin: Laki-laki
Umur 67 thn
Alamat: Kalipuro
Ruang/Poli: RPD
Reg NO: 136474
Hepar : Normal
Gall bladder: normal
Pankreas: normal
Ginjal kanan/kiri: Ect berat, letak echo meningkat, hiperchoric 3cm, kosong
Massa besar padat lonjong 10cm
Suspect: hidronefrosis berat bilateral
Nefritis bilateral
Suspect batu bulli
Suspect polip retrosigmoid besar

BAB II
PENDAHULUAN

Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu
keadaan terjadinya kerusakan ginjal secara perlahan dan progresif disertai dengan
kehilangan fungsi ginjal dalam kurun waktu tertentu. Kelainan yang ditemukan
dapat secara struktural akibat kelainan patologis organ, adanya benda asing, atau
adanya kelainan fungsional ginjal. Setelah laju filtrasi glomerulus turun dibawah
sekitar setengah dari yang normal, maka fungsi ginjal tersebut cenderung akan
terus menurun (Schioppati et al., 2005).
Penyakit ginjal kronik merupakan salah satu masalah kesehatan dunia.
Ginjal memiliki fungsi vital yaitu untuk mengatur volume dan komposisi kimia
darah dengan mengekskresikan zat sisa metabolisme tubuh dan air secara selektif.
Jika terganggu fungsi pada kedua ginjal maka ginjal akan mengalami kematian
dalam waktu 3-4 minggu. Hal ini dapat terjadi pada penyakit ginjal kronik yang
mengalami penurunan fungsi ginjal secara progresif dan umumnya akan berakhir
dengan gagal ginjal. Gagal ginjal itu sendiri menyebabkan terjadinya penurunan
fungsi ginjal yang progresif dan irreversible (Widyastuti et al., 2014). Perjalanan
penyakit ginjal kronik yang progresif akan melewati fase-fase tertentu yang
menggambarkan menurunnya fungsi dari kondisi yang paling ringan, sedang, atau
berat yang berakhir dengan timbulnya gagal ginjal terminal (Schioppati et al.,
2005).
Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
prevalensi gagal ginjal kronis berdasar diagnosis dokter di Indonesia sebesar
0,2%. Prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh,
Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4%. Sementara Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan
Jawa Timur masing-masing 0,3%. Prevalensi kelompok umur 75 tahun dengan
0,6% lebih tinggi daripada kelompok umur yang lain (Depkes RI, 2013).

Menurut United States Renal Data System (USRDS), prevalensi gagal


ginjal kronik meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi pada usia 65-74
tahun adalah 7,2% dan pada usia lebih dari 85 tahun adalah 17%. Prevalensi gagal
ginjal kronik pada kulit hitam (15%) adalah 50% lebih tinggi dari kulit putih atau
ras lainnya (10%). Prevalensi pada orang Asia adalah 11%. Prevalensi gagal
ginjal kronik yang disertai dengan diabetes mellitus adalah 20,5%, hipertensi
adalah 15,7%, dan penyakit jantung adalah 18,4% (USRDS,2014).
Pasien dengan gagal ginjal kronik akan mengalami kerusakan fungsi ginjal
yang parah dan kronik yang mengakibatkan pasien akan sulit ditolong. Salah satu
penanganan yang tepat untuk pasien gagal ginjal kronik adalah berupa terapi
pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal yang sering dilakukan adalah
Hemodialisis. Hemodialisis merupakan suatu metode berupa cuci darah dengan
menggunakan mesin ginjal buatan. Prinsip dari hemodialisis ini adalah dengan
membersihkan dan mengatur kadar plasma darah yang nantinya akan digantikan
oleh mesin ginjal buatan, biasanya hemodialisis dilakukan rutin 2-3 kali seminggu
(Widyastuti et al., 2014).

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi Chronic Kidney Disease
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis
(PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,
dan pada umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada
suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
Kriteria penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut:
1. Kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional,
dengan manifestasi klinis dan kerusakan ginjal secara laboratorik
atau kelainan pada pemeriksaan radiologi, dengan atau tanpa
penurunan faal ginjal (penurunan Laju Filtrasi Glomerulus/LFG)
yang berlangsung > 3 bulan.
2. Penurunan LFG <60 ml/menit per 1,73 m 2 luas permukaan
tubuh selama >3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal
(National Kidney Foundation, 2002).
3.2 Etiologi
Penyakit ginjal kronis disebabkan oleh penyakit ginjal
intrinsik difus dan menahun. Hampir semua nefropati bilateral
dan progresif akan berakhir dengan penyakit ginjal kronis.
Umumnya penyakit di luar ginjal, seperti nefropati obstruktif
dapat menyebabkan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir dengan
penyakit ginjal kronis (Sukandar, 2006).

Menurut data Indonesian Renal Registry pada tahun 20072008 didapatkan etiologi terbanyak adalah glomerulonefritis
(25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%) (Roesli, 2008).

a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis kronis merupakan penyakit parenkim
ginjal progresif dan difus yang seringkali berakhir dengan gagal
ginjal kronis. Glomerulonefritis berhubungan dengan penyakitpenyakit sistemik seperti lupus eritomatosus sistemik, poliartritis
nodosa,

granulomatosus

Wagener.

Glomerulonefritis

yang

berhubungan dengan diabetes mellitus dan amilodois sering


dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti
tuberkulosis,

lepra,

osteomielitis

arthritis

rheumatoid

dan

myeloma (Sukandar, 2006).


Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis
dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila
penyakit

dasarnya

berasal

dari

ginjal

sendiri

sedangkan

glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat


penyakit

sistemik

lain

seperti

diabetes

melitus,

lupus

eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis


(Prodjosudjadi, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association diabetes melitus
merupakan

suatu

kelompok

penyakit

metabolik

dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi


insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai
macam keluhan. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahanlahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan
seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih
sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut
dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian
orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa
darahnya (Waspadji, 1996).

c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik 90 mmHg. Berdasarkan penyebabnya,
hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial
atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi
renal. Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis)
merupakan

salah

satu

penyebab

penyakit

ginjal

kronis

(Sukandar, 2006).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi
cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak
kista yang dapat ditemukan tersebar di kedua ginjal, baik di
korteks maupun di medula. Selain kelainan genetik, kista dapat
disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Ginjal polikistik
merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan
(Sukandar, 2006).
Penyakit ginjal kronis yang berhubungan dengan penyakit
ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15-20%. Kira-kira
10-15% pasien penyakit ginjal kronis disebabkan penyakit ginjal
kongenital seperti sindrom Alport, penyakit Fabbry, sindrom
nefrotik kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan amiloidosis
(Sukandar, 2006).
3.3 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronis didasarkan atas dua hal
yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar
diagnosis etiologi. Klasifikasi derajat penyakit, dikelompokkan
atas penurunan faal ginjal berdasarkan LFG sesuai rekomendasi
National

Kidney

Foundation.

Klasifikasi

atas

dasar

derajat

penyakit

dibuat

atas

dasar

LFG

yang

dihitung

dengan

mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut:


LFG (ml/menit/1,73m) = (140-umur)x berat badan /72x kreatinin
plasma (mg/dl)*)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 3.1 Klasifikasi penyakit ginjal kronis atas dasar


derajat penyakit
Deraj
at
1
2
3
4
5

Deskripsi

LFG (mL/
menit/1,73
m2 )
Kerusakan ginjal disertai LFG normal 90
atau meninggi
Kerusakan ginjal disertai penurunan 60-89
ringan LFG
Penurunan moderat LFG
30-59
Penurunan berat LFG
15-29
Gagal ginjal
<15
atau
dialisis
(National Kidney Foundation, 2002)
Tabel 3.2 Klasifikasi penyakit ginjal kronis atas dasar

diagnosis etiologi
Penyakit
Penyakit Ginjal Diabetes
Penyakit Ginjal non
Diabetes

Penyakit pada transplantasi

Tipe Mayor
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat,
neoplasia)
Penyakit vaskular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial
(pielonefritis kronik, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik
(ginjal polikistik)
Rejeksi kronik
Keracunan Obat
Penyakit recurrent

(Suwitra, 2006)
3.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa
nefron

secara

struktural

dan

fungsional

sebagai

upaya

kompensasi. Hipertrofi kompensatori ini akibat hiperfiltrasi


adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan
aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat

akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron


yang masih tersisa. Proses ini diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensinaldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi
terhadap
tersebut.

terjadinya
Aktivitas

angiotensinaldosteron,

hiperfiltrasi,

sklerosis

dan

jangka

panjang

sebagian

diperantarai

progesifitas

aksis

renin-

oleh growth

factor seperti transforming growth factor .


Pada stadium dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan basal LFG
masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan
tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif,
yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum
merasakan

keluhan

(asimtomatik),

tapi

sudah

terjadi

peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG


sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia,
badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat
badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan
gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah
terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran
napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium (Suwitra,
2006).

3.5 Faktor Risiko


Faktor risiko penyakit ginjal kronis, yaitu pada pasien
dengan diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok,
berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat
penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam
keluarga (National Kidney Foundation, 2009).
3.6 Gambaran Klinik Penyakit Ginjal Kronis
Gambaran klinik penyakit ginjal kronis berat disertai
sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan
berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna,
mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan neuropsikiatri
(Sukandar, 2006).
1. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom dan normositer, sering ditemukan pada
pasien gagal ginjal kronis. Anemia sangat bervariasi bila ureum

darah lebih dari 100 mg% atau penjernihan kreatinin kurang dari
25 ml per menit (Sukandar, 2006).
2. Kelainan saluran cerna
Mual

dan muntah

sering

merupakan keluhan utama

dari

sebagian pasien gagal ginjal kronis terutama pada stadium


terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas,
diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus
sehingga

terbentuk

amonia

(NH3).

Amonia

inilah

yang

menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus


halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda
atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika
(Sukandar, 2006).
3. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien penyakit ginjal kronis. Gangguan visus cepat hilang
setelah beberapa hari mendapat pengobatan penyakit ginjal
kronis yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata
menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil asimetris.
Kelainan

retina

(retinopati)

mungkin

disebabkan

hipertensi

maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit


ginjal kronis. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada
konjungtiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi
dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada
beberapa

pasien

penyakit

ginjal

kronis

akibat

penyulit

hiperparatiroidisme sekunder atau tertier (Sukandar, 2006).


4. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum
jelas

dan

diduga

berhubungan

dengan

hiperparatiroidisme

sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan


paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang

dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan


urea frost (Sukandar, 2006).
5. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering
dijumpai pada penyakit ginjal kronis terutama pada stadium
terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi
mutlak untuk segera dilakukan dialisis (Sukandar, 2006).
6. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi,
insomnia, dan depresi. Kelainan mental berat seperti konfusi,
dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis. Kelainan mental
ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau
tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas). Pada kelainan neurologi, kejang otot sering
ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan yang berat,
kemudian terjun menjadi koma (Sukandar, 2006).
7. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif pada penyakit ginjal kronis
sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi,
aterosklerosis, penyebaran kalsifikasi mengenai sistem vaskuler,
sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronis terutama pada
stadium terminal. Hal ini dapat menyebabkan gagal faal jantung
(Sukandar, 2006).
8. Hipertensi
Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks, banyak faktor
turut

memegang

aktivitas

sistem

peranan

seperti

keseimbangan

reninangiotensin-aldosteron,

natrium,

penurunan

zat

dipresor dari medulla ginjal, aktivitas sistem saraf simpatis, dan


faktor

hemodinamik

lainnya

hipokalsemia (Sukandar, 2006).

seperti

cardiac

output

dan

Retensi natrium dan sekresi renin menyebabkan kenaikan


volume plasma (VP) dan volume cairan ekstraselular (VCES).
Ekspansi VP akan mempertinggi tekanan pengisian jantung
(cardiac filling pressure) dan cardiac output pressure (COP).
Kenaikan COP akan mempertinggi tonus arteriol dan pengecilan
diameter arteriol sehinga tahanan perifer meningkat. Kenaikan
tonus vaskuler akan menimbulkan aktivasi mekanisme umpan
balik sehingga terjadi penurunan COP sampai mendekati batas
normal

tetapi

kenaikan

tekanan

darah

arterial

masih

dipertahankan (Sukandar, 2006).


Sinus karotis mempunyai faal sebagai penyangga yang
mengatur tekanan darah pada manusia. Setiap terjadi kenaikan
tekanan

darah

mekanisme

selalu

penyangga

dipertahankan
tersebut.

normal

Pada

oleh

pasien

sistem

azotemia,

mekanisme penyangga dari sinus karotikus tidak berfungsi lagi


untuk mengatur tekanan darah karena telah terjadi perubahan
volume dan tonus pembuluh darah arteriol (Sukandar, 2006).
3.7 Diagnosis
Pendekatan diagnosis PGK mempunyai sasaran berikut:
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengetahui etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Menentukan prognosis (Sukandar, 2006).
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan
bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai
dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan
penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar,
2006).

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan
yang

berhubungan

dengan

retensi

atau

akumulasi

toksin

azotemia, etiologi PGK, perjalanan penyakit termasuk semua


faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran
klinik

(keluhan

subjektif

dan

objektif

termasuk

kelainan

laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan


banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal
(Sukandar, 2006).
2. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan

pemeriksaan

laboratorium

yaitu

memastikan

dan

menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi


etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua
faktor pemburuk faal ginjal (Sukandar, 2006).
a. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah
cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
Pemeriksaan
imaging)

kreatinin

hampir

dan

mendekati

radionuklida
faal

ginjal

(gamma
yang

camera

sebenarnya

(Sukandar, 2006).
b. Etiologi penyakit ginjal kronis (PGK)
i. Analisis urin rutin
ii. Mikrobiologi urin
iii. Kimia darah
iv. Elektrolit
v. Imunodiagnosis
c. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas

penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit,

endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama


faktor pemburuk faal ginjal (LFG).

3. Pemeriksaan penunjang diagnosis


Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan
tujuannya, yaitu:
a. Diagnosis etiologi PGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos
abdomen,

ultrasonografi

(USG),

nefrotomogram,

pielografi

retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography


(MCU).
b. Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan

radiologi

dan

radionuklida

(renogram)

dan

pemeriksaan ultrasonografi (USG).


3.8 Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan

dari

terapi

konservatif

adalah

mencegah

memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhankeluhan

akibat

akumulasi

toksin

azotemia,

memperbaiki

metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan


cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya
adalah sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan
fungsi ginjal tidak terjadi. Bila LFG sudah menurun sampai 2030% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak
bermanfaat (Suwitra, 2006).
Penting

untuk

mengikuti

dan

mencatat

kecepatan

penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronis. Hal ini untuk
mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan
pasien.

Faktor-faktor

komorbid

ini

antara

lain,

gangguan

keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi


traktus

urinarius,

obstruksi

traktus

urinarius,

obat-

obatannefrotoksik,

bahan

radiokontras,

atau

peningkatan

aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra, 2006).


Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronis sesuai
dengan derajatnya, dapat dilihat di tabel.
Tabel 2.3 Tatalaksana penyakit ginjal kronis sesuai dengan
derajat penyakit
Deraj
LFG (mL/
Rencana Tatalaksana
menit/1,73
at
m2)
1
90
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi perburukan (progression) fungsi
ginjal, memperkeciol risiko kardiovaskular
2
60-89
Menghambat perburukan (progression)
fungsi ginjal
3
30-59
Evaluasi dan terapi komplikasi
4
15-29
Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5
<15
atau Terapi untuk pengganti ginjal
dialisis
a. Peranan diet
Terapi

diet

rendah

protein

menguntungkan

untuk

mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi dapat


merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen
untuk jangka lama (Sukandar, 2006). Pembatasan asupan protein
mulai dilakukan pada LFG 60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai
tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
Protein

diberikan

0,6-0,8/kgbb/hari,

yang

0,35-0,50

gr

diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori


yang

diberikan

sebesar

30-35

kkal/kgBB/hari,

dibutuhkan

pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila


terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat
ditingkatkan (Suwitra, 2006).
Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal
kronis akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan
ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan

metabolik yang disebut uremia (Suwitra, 2006). Asupan protein


berlebihan akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus
yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah
terjadinya hyperfosfatemia (Suwitra, 2006).
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori untuk PGK harus adekuat dengan
tujuan utama yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi
(Sukandar, 2006).
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum >150 mg% kebutuhan cairan harus
adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar.
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik meningkatkan serum kalium (hiperkalemia).
Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus
segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat
20 mEq/L (Sukandar, 2006).
b. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90 % pasien penyakit ginjal kronis.
Anemia pada penyakit ginjal kronis terutama disebabkan oleh

defisiensi

eritropoetin.

Hal-hal

yang

ikut

berperan

dalam

terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah


(misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit
yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan

sumsum

tulang

oleh

substansi

uremik,

proses

inflamasi akut maupun kronis. Evaluasi terhadap anemia dimulai


saat kadar hemoglobin 10 g% atau hematokrit 30g%,
meliputi

evaluasi

terhadap

status

besi,

mencari

sumber

perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis


(Suwitra, 2006).
Penatalaksanaan

terutama

ditujukan

pada

penyebab

utamanya. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang


dianjurkan. Status besi harus selalu diperhatikan karena EPO
memerlukan

besi

dalam

mekanisme

kerjanya.

Pemberian

transfusi pada penyakit ginjal kronis harus dilakukan secara hatihati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan cermat
(Suwitra, 2006).
Transfusi darah merupakan salah satu pilihan terapi
alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah
harus

hati-hati.

mengakibatkan

Transfusi darah yang


kelebihan

cairan

tidak

tubuh,

cermat dapat

hiperkalemia

dan

perburukan fungsi ginjal. Sasaraan hemoglobin menurut berbagai


studi klinik adalah 11-12 g/dl (Sukandar, 2006).
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan
yang sering dijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal ini
merupakan keluhan utama dari PGK. Keluhan gastrointestinal
yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus.
Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis
adekuat dan obat-obatan simtomatik (Sukandar, 2006).

d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis
keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi
subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat

perburukan

kerusakan

nefron

dengan

mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glmerulus.


Beberapa studi membuktikann bahwa, pengendalian tekanan
darah mempunyai peran sama pentingnya dengan pembatasan
asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus
dan hipertrofi glomerulus. Selain itu, sasaran terapi farmakologis
sangat terkait dengan derajat proteinuria, yang merupakan
faktor risiko terjadinya perburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2006).
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan

yang

diberikan

tergantung

dari

kelainan

kardiovaskular yang diderita. Pencegahan dan terapi terhadap


penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 4045% kematian pada penyakit ginjal kronis disebabkan oleh
penyakit

kardiovaskular.

Hal-hal

yang

termasuk

dalam

pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular adalah


pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian
dislipidemia,

pengendalian

anemia,

pengendalian

hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan


gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan

pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal


kronis secara keseluruhan (Suwitra, 2006).
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal
kronis stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi
tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan
transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan
indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut,
yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan
paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten,
dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%. Indikasi elektif yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m,
mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat (Sukandar, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Indikasi medik Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun),

pasien

yang

telah

menderita

penyakit

sistem

kardiovaskular, pasien yang cenderung mengalami perdarahan


bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,
pasien dengan stroke, pasien GGTA (gagal ginjal tahap akhir)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik
disertai comorbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu
keinginan

pasien

sendiri,

tingkat

intelektual

tinggi

untuk

melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat


ginjal (Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal


(anatomi dan faal). Menurut (Sukandar, 2006) pertimbangan
program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih 100%
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 7080% faal ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup lebih lama
4. Komplikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif
untuk mencegah reaksi penolakan.
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
2.9 Komplikasi
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001)
serta Suwitra (2006) antara lain adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik,
katabolisme, dan masukan diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat
retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi
sistem renin angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat,
kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang
abnormal dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan
nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar urea dalam tubuh.
7.

Gagal

jantung

akibat

peningkatan

kerja

berlebian.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.

jantung

yang

9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

BAB IV
PEMBAHASAN
Manifestasi dalam mulut akibat uremia selalu ditemukan pada lebih dari
90% penderita gagal ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus (<60 l/menit/1,73
m2) menyebabkan penurunan kemampuan bersihanginjal sehingga terjadi
penumpukkan

bahan-bahan

toksik

(uremia).

Level

urea

saliva

berhubungan dengan level Blood Urea Nitrogen (BUN) (Stenvinkel et


al., 2002). Manifestasi uremia dalam rongga mulut biasanya berupa mulut berbau
amoniak, gingivitis, stomatitis, xerostomia, parotitis, lidah kering dan berselaput,
dan pada umunya penderita sering mengeluh rasa kecap logam (metallic taste)
(Sidabutar et al., 1992).
Penderita gagal ginjal umumnya akan mengalami perubahan fisiologis
berupa gangguan pada indra pengecapan. Hal ini dikarenakan defisiensi seng (Zn)
atau gangguan fungsi neurologis (Sidabutar et al., 1992). Urea dalam saliva akan
terhidrolisis oleh urase yang dihasilkan oleh mikroorganisme mulut menjadi
ammonia bebas yang kemudian akan mengiritasi mukosa mulut sehingga menjadi
stomatitis eritemapultaceous dan nafas berbau ammonia (Sidabutar et al., 1992).
Xerostomia bisa muncul karena kombinasi dari keterlibatan
langsung

kelenjar

saliva,

dehidrasi,

inflamasi

kimia

dan

pernapasan lewat mulut (pernapasan Kussmauls) (Greenberg


dan Glick, 2009). Penderita mengalami penurunan aliran saliva karena
pembatasan intake cairan. Pembatasan intake cairan diperlukan untuk menjaga
keseimbangan cairan karena menurunnya output pada penderita gagal ginjal
kronik. Hal ini dapat menyebabkan xerostomia dan parotitis karena asupan cairan
yang terbatas (Sidabutar et al., 1992).
Hal yang menarik pada penderita gagal ginjal kronik adalah frekuensi
karies yang rendah. Frekuensi karies yang rendah tersebut dapat disebabkan oleh
3 faktor, yaitu kadar urea yang tinggi dalam saliva mempunyai efek menghambat
karies atau bersifat antibakteri, pembentukan kalkulus yang meningkat karena

keseimbangan kalsium dan fosfat terganggu, dan diet tinggi lemak yang bersifat
antikaries (Sidabutar et al., 1992).
Kalkulus adalah plak gigi yang termineralisasi. Sumber
mineralisasi berasal dari saliva dan cairan sulkus gingiva.
Kandungan fosfat diduga lebih penting pada mineralisasi plak
daripada kalsium. Kalsifikasi membutuhkan ikatan ion kalsium
pada

matriks

organik

kompleks

karbohidrat-protein

dan

pengendapan garam kristal kaslium fosfat. Awalnya kristal


terbentuk di matriks interseluler dan pada permukaan bakteri
dan akhirnya diantara bakteri. Pengendapan mineral disebabkan
peningkatan derajat kejenuhan ion kalsium dan fosfat secara
lokal,

dengan

beberapa

jalan.

Peningkatan

pH

saliva

menyebabkan pengendapan garam kalsium fosfat dengan cara


menurunkan konstanta pengendapan. pH bisa meningkat akibat
hilangnya karbondioksida dan pembentukan amonia oleh bakteri
dan degradasi protein. Protein koloid dalam saliva mengikat ionion kalsium dan fosfat dan mempertahankan larutan yang sudah
jenuh terutama dengan garam-garam kalsium fosfat. Dengan
adanya stagnasi saliva, protein koloid mengendap dan keadaan
jenuh

tidak

bisa

dipertahankan

sehingga

mengawali

pengendapan garam kalsium fosfat. Fosfatase yang dilepas plak


gigi, sel-sel epitel terdeskuamasi, atau bakteri mengendapkan
kalsium fosfat dengan menghidrolisis fosfat organik dalam saliva
yang akan meningkatkan konsentrasi ion-ion fosfat bebas
(Newman et al., 2012).
Manifestasi oral berupa enamel hypoplasia terjadi pada anak yang
mengalami gagal ginjal kronik sebelum usia pubertas karena terjadi gangguan
mineralisasi akibat hipokalsemia sewaktu pembentukkan gigi. Selain itu, gagal
ginjal kronik pada anak juga menyebabkan erupsi gigi terlambat karena defisiensi
Vitamin D, hal ini karena ginjal tidak dapat merubah 25-hidroksikolekalsiferol
menjadi 1-25-dihidroksikolekalsiferol (Sidabutar et al., 1992).

Tujuan perawatan gigi dan mulut pada penderita ginjalkronis adalah untuk
memulihkan dan mempertahankan kesehatan mulut sebaik mungkin untuk
menghilangkan timbulnya semua kemungkinan yang bisa menjadi sumber infeksi
di kemudian hari. Langkah pertama, dapat dilakukan dengan memotivasi
penderita untuk meningkatkan kebersihan rongga mulut seoptimal mungkin
dengan memberikan penyuluhan bahwa infeksi yang berasal dari gigi dan mulut
dapat menyebabkan timbulnya komplikasi yang berakibat fatal dan penderita
harus sesering mungkin kontrol ke dokter gigi agar kelainan-kelainan dapat
dideteksi sedini mungkin (Sidabutar et al., 1992). Dua kondisi hematologik
yang paling membutuhkan perhatian adalah perdarahan yang
berlebihan dan anemia pada penyakit ginjal kronis sehingga
disarankan agar tes hematologi seperti blood count dan tes
koagulasi dilakukan sebelum perawatan invasif dilakukan. Infeksi
rongga mulut harus dieliminasi dan profilaksis antibiotik harus
dipertimbangkan apabila risiko endokarditis infektif dan septimia
meningkat (Greenberg dan Glick, 2009).
Mengurangi rasa sakit akibat ulserasi dan xerostomia dengan mengoleskan
lidokain HCL atau benzokain 4% dalam boraks gliserin 2 menit sebelum makan.
Dapat dilakukan penambalan gigi dan memperbaiki semua keadaan yang dapat
mengiritasi mukosa mulut. pembersihan kalkulus dapat dilakukan secara bertahap.
Apabila penderita memakai piranti ortodontik cekat sebaiknya dilepas. Infeksi
candida dapat ditanggulangi dengan obat-obat antijamur dan infeksi yang
disebabkan mikroorganisme oportunistik dapat ditanggulangi dengan pemberian
antibiotika yang tidak bersifat nefrotoksik (Sidabutar et al., 1992).

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar.
Greenberg, S.M dan Glick, M. 2009. Burkets Oral Medicine
Diagnosis and Treatment. Tenth Edition.
Markum, M.S., Wiguno, P., Siregar, P., 1998. Glomerulonefritis.
Dalam: Soeparman, et al. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi
kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
National Kidney Foundation, 2002. Definition and stages of
chronic kidney disease. New York: National Kidney
Foundation.
Available_from:
http://www.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/
p4_class_g1.htm.
Newman, Takei, Klokkevold, & Carranza. 2012. Carranzas Clinical
Periodontology Eleventh Edition.
Missouri: Saunders
Elsevier.
Prodjosudjadi, W. 2008. Masa Depan Hipertensi dan PGK di
Indonesia. Dalam: Lubis, H.R., et al (eds). 2008. Hipertensi
dan Ginjal. Medan: USU Press.
Roesli, R., 2008. Hipertensi, diabetes, dan gagal ginjal di
Indonesia. Dalam: Lubis, H.R., et al (eds). 2008. Hipertensi
dan Ginjal. Medan: USU Press.
Schieppati, A., Pisoni, R., Ramuzzi, G. 2005. Pathophysiology and
management of chronic kidney disease. Dalam: Greenberg,
A. Primer on kidney disease. Edisi ke-4. USA: Elsevier.
Sidabutar, R, P., Rahardjo, J, P., Markum, M, S., Ruslijanto, H.,
Darmawan, A. 1992. Penyakit Ginjal dan Hipertensi:
Berkaitan dengan Perawatan Gigi dan Mulut. Jakarta : EGC.
Stenvinkel, P., Heimburger, O., Lindholm, B., Kaysen, G, A,
Bergstrom, J. 2002. Are there two types of malnutrition in
chronic renal failure? Evidence for relationships between
malnutrition, inflammation and atherosclerosis (MIA
syndrome). Nephrol Dial Transplant.
Sukandar, E. 2006. Nefrologi Klinik. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah UNPAD.
Suwitra, K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, et al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 3.
2009. Jakarta: Interna Publishing.

United States Renal Data System.


www.usrds.org [30 Maret 2016]

2014.

Serial

Online.

Waspadji, S., 1996. Gambaran Klinis Diabetes Melitus. Dalam:


Noer, S., et al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi
ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Widyastuti, R., Butar-butar, R, W. 2014. Korelasi lama menjalani
hemodialysis dengan indeks massa tubuh pasien gagal
ginjal kronik di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Pada
Bulan Mei Tahun 2014. Jom Fk Vol. 1(2).

Anda mungkin juga menyukai