Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang
dirangkum dalam tiga prinsip:
1.
Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya
kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2.
Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi
Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan
3.
Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan
pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah
atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya.
1. Bagaimana pelaksaan otonomi daerah
1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya
kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya; [6]
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi
Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; [7] dan
3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan
pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah
Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskannya.[8]
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Provinsi) maupun Dati II
(Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikitdikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan
disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan
Menteri Dalam Negeri,[9] untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan berikutnya, [10] dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah
Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila
diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar
Pengadilan.[11]
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur
dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan
perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan), [12] dan kewajiban seperti a)
mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi
dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersamasama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah
untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk
melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d)
memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program
pembangunan Pemerintah.[13]
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974
adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol
dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu
fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang
relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada
Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2)
Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi
Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan
3)
Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan
yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah
Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Meskipun begitu dalam pelaksanaannya justru tidak seperti yang diatur dalam undang-undang
tersebut. pemerintah daerah nyatanya sangat tergantung pada pemerintah pusat. Artinya pemerintah pusat
masih dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia (sentralisasi).
Jika pertanyaannya adalah alasan dari pelaksanaan otonomi daerah pada masa orde baru ini tidak
100% karena control atau pengaruh dari pemerintah pusat itu masih sangat kuat. terlebih orde baru ini
dipimpin oleh rezim soeharto yang nyatanya sangat sentralistik. Presiden pengaruhnya sangat besar.
Selain itu alasan lainnya adalah, dikarenakan daerah juga belum siap dalam menjalankan otonomi
daerah. Karena menurut saya otonomi daerah itu tidak bisa lansung diterapkan. Harus melalui
serangkaian proses sampai daerah tersebut siap. Kebelumsiapan tersebut terutama karena SDMnya
rendah. Pada masa orde baru SDM terutama di daerah masih rendah. Bagaimana bisa daerah mengurus
rumah tangganya sendiri atau mengolah potensi daerahnya jika SDMnya rendah. Sehingga terjadilah
ketergantungan terhadap pusat. Oleh sebab itulah otonomi daerah pada masa orde baru tidak terlaksana
100% seperti apa yang diharapkan.
2. Tujuan otonomi daerah
3. Mengapa
Sedang giatnya sosialisasi pembangunan ekonomi dan menomorduakan pembangunan politik.
Pemerintahan Orde Baru dengan trilogi pembangunan pada waktu itu hendak menciptakan
stabilitas nasional yang mantap.
Untuk itu diperlukan pemerintahan yang stabil dari Pusat sampai ke daerah. Selanjutnya dibuatlah
berbagai undang-undang yang sentralistis, mengurangi kegiatan Partai Politik dan memandulkan
peran DPR dan juga peran DPRD. Bahkan di Daerah kedudukan Kepala Daerah sengaja dibentuk
dengan istilah penguasa tunggal dan menomorduakan peran DPRD dan demokrasi.
Memaksakan fusi Partai-partai dari sembilan Partai menjadi 2 partai (PPP dan PDI) di samping
dominasi Golkar. Pengukuhan Dwi Fungsi ABRI di segala bidang dan sektor pemerintahan
termasuk di bidang legislatif dari Pusat sampai ke Daerah.
4. Asas,
Asas-asas otonomi daerah
1. Asas Desentralisasi : Pelimpahan wewenang pemerintahanoleh pemerintah pusat kepada daerah
otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistemkesatuan Negara RI.
2. Asas Dekonsentrasi : Pelimpahan wewenang pemerintah olehpemerintah pusat kepada gubernur
sebagai wakil pemerintahpusat dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
3. Asas Tugas Pembantuan : Penugasan dari pemerintah pusatkepada daerah dan/atau desa,dari
pemerintah provinsi kepadakabupaten/kota dan atau desa serta dari pemerintahkabupaten/kota kepada
desa untuk melaksanakan tugastertentu.
B. Asas pemerintahan yang digunakan dalam UU Nomor 5 Tahun 1974
UU Nomor 5 Tahun 1974 sesuai dengan judulnya Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
bersifat limitatif dan dalam pemberian otonomi setengah hati dengan sebutan buntutnya diberikan tetapi
kepalanya tetap dipegang dan dikuasai sepenuhnya oleh Pusat. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
menggunakan asas bersama-sama dengan seimbang dan serasi yaitu:
- Asas Dekonsentrasi
- Asas Desentralisasi
- Asas Pembantuan
Dengan pembangunaan tiga asas ini dalam sistem pemerintahan daerah secara sekaligus, maka hal ini
mengaburkan makna otonomi daerah dan dalam prakteknya, Pemerintah Pusat lebih bertitik berat pada
pelaksanaan asas dekonsentrasi. Hal ini nampak jelas dalam hal:
a. kewenangan menentukan Kepala Daerah Propinsi adalah pada Presiden, dan Kepala Daerah
Kabupaten/Kotamadya adalah Menteri Dalam Negeri. Peran DPRD hanya menentukan pilihan calon
untuk disarankan diputuskan oleh Pemerintah.
b. Tidak mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan tigkat desa.
C. Bentuk dan susunan pemerintahan daerah menurut UU Nomor 5 Tahun 1974
1. Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dalam pasal 13 menyebutkan bahwa: Pemerintahan Daerah adalah
Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pasal 13 ayat (1)). Kedudukan DPRD lemah.
Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Propinsi yang disebut Gubernur,
Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten/Kotamadya yang disebut
Bupati/Walikota.
Dalam rangka pelaksananan asas desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Tingkat I dan Tingkat II.
Wilayah Administratif, selanjutnya disebut Wilayah, adalah lingkungan kerja perangkat pemerintahan
umum di daerah (Provinsi, Kabupaten/Kotamadya, Kecamatan/Kota Administratif.
Dengan demikian, maka dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, ada pembagian tugas yang jelas
dan dalam kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dengan DPRD, yaitu Kepala Daerah
memimpin badan eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif.
Rumusan dan arti pemerintah daerah, sering ditafsirkan sepihak oleh pihak eksekutif dalam melaksanakan
kebijaksanaan daerah, yaitu dengan memakai istilah kebijaksanaan Pemda, yang dalam banyak hal tidak
memberitahu atau mengkonsultasikan kebijaksanaan tersebut kepada DPRD.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak mengenal lembaga Badan Pemerintah Harian (BPH) atau
Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Tapi di lain pihak menurut pasal 64 UU nomor 5 Tahun 1974,
diadakan lembaga baru ialah Badan Pertimbangan Daerah yang anggotanya terdiri dari pimpinan DPRD
dan unsur fraksi yang belum terwakilkan dalam pimpinan DPRD. Di samping itu ada jabatan baru yang
lain, yaitu jabatan Asisten Sekretaris Wilayah/Daerah.
2. Kepala Daerah
Menurut pasal 15 UU Nomor 5 Tahun 1974, Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD
dari sedikit-dikitnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang calon yang telah dimusyawarahkan dan
disepakati bersama antara Pimpinan DPRD/ Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya hasil pemilihan tersebut diajukan oleh DPRD yang bersangkutan kepada Presiden melalui
Mentri Dalam Negeri sedikit-dikitnya 2 orang untuk diangkat salah seorang diantaranya.
Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 orang dan sebanyakbanyaknya 5 orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Daerah
DPRD/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah. Kemudian hasil diajukan oleh DPRD
yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala Daerah sedikit-dikitnya 2
orang untuk diangkat salah seorang di antaranya.
Dalam diri kepala daerah terdapat 2 fungsi, yaitu fungsi sebagai Kepala Daerah Otonom yang memimpin
penyelenggaraan dan bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalannya Pemerintahan Daerah dan fungsi
sebagai Kepala Wilayah yang memimpin penyelengaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas
Pemerintahan Pusat di daerah.
prinsip: Wewenang atau urusan yang diserahkan kepada Daerah, dapat ditarik kembali. Kewenangan
yang tidak diserahkan kepada Daerah, berarti tetap wewenang Pemerintah Pusat.
2. Tugas Pembantuan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi dapat menugaskan kepada Pemerintah
Daerah atau pemerintahan daerah yang lebih rendah urusan tugas pembantuan dengan kewajiban
mempertanggugjawabkan kepada yang menugaskannya. Adapun tata cara pemberian tugas pembantuan
diatur dalam pasal 12 UU No 5 Tahun 1974 sebagai berikut:
(1) Dengan peraturan perundangan-undangan, Pemerintah Pusat dapat menugaskan kepada pemerintah
daerah otonomi untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan.
(2) Dengan peraturan daerah, Pemerintah Daerah Otonom Tingkat I dapat menugaskan kepada
Pemerintah Daerah Otonom Tingkat II untuk melaksanakan tugas pembantuan.
(3) Pemberian urusan tugas pembantuan yang dimaksud dalam (1) dan (2) tersebut di atas, disertai dengan
pembiayaannya.
3. Dekonsentrasi
Pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kotamadya) juga menjalankantugas dekonsentrasi.
B. Kekurangan
Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung kekurangan sebagaimana
pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain sebagai berikut ini:
1. Karena besarnya organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah kompleks,
yang mempersulit koordinasi.
2. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah
terganggu.
3. Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut
daerahisme atau provinsialisme.
4. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang
bertele-tele.
5. Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk
memperoleh keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.