Apd Las PDF
Apd Las PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengelasan
2.1.1. Deskripsi Umum Las
Menurut penemuan-penemuan benda bersejarah, dapat diketahui bahwa
teknik penyambungan logam telah diketahui sejak dari zaman prasejarah, misalnya
pembrasingan logam paduan emas tembaga dan pematrian timbal-timah, menurut
keterangan telah diketahui dan dipraktekkan dalam rentang waktu antara tahun 4000
sampai 3000 SM dan diduga sumber panas berasal dari pembakaran kayu dan arang.
Pada abad ke 19 teknologi pengelasan berkembang dengan pesat karena telah
dipergunakannya sumber energi listrik (Suharno, 2008).
Menurut Deutsce Industrie Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada
sambungan logam paduan yang dilaksankan dalam keadaan, dijelaskan lebih lanjut
bahwa las adalah sesuatu proses dimana bahan dan jenis yang sama digabungkan
menjadi satu sehingga terbentuk suatu sambungan melalui ikatan kimia yang
dihasilkan dari pemakaian panas dan tekanan (Suharno, 2008).
2.1.2. Jenis-Jenis Pengelasan
Berdasarkan proses pengelasan, maka pengelasan terbagi menjadi dua antara
lain (Bintoro, 1999) :
1. Las Oksi Asetilen
Las oksi asetilen merupakan proses pengelasan secara manual dengan
pemanasan permukaan logam yang akan dilas atau disambung sampai mencair oleh
nyala gas asetilen melalui pembakaran C2H2 dengan gas O2 dengan atau tanpa logam
pengisi. Pembakaran gas C2H2 oleh oksigen (O2) dapat menghasilkan suhu yang
sangat sangat tinggi sehingga dapat mencairkan logam. Gas asetilen merupakan salah
satu jenis gas yang sangat mudah terbakar dibawah pengaruh suhu dan tekanan. Gas
asetilen disimpan di dalam suatu tabung yang mampu menahan tekanan kerja.
Bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh gas asetilen antara lain:
a. Polimerisasi, peristiwa ini akan menyebabkan suhu gas meningkat jauh lebih
tinggi dalam waktu yang sangat singkat. Polimerisasi ini akan terjadi pada suhu
300C, jika berada pada tekanan 1 atm. Oleh sebab itu, gas asetilen tidak boleh
disimpan atau digunakan pada suhu diatas 300C.
b. Disosiasi, yaitu adanya panas yang ditimbulkan oleh proses pembentukan zat-zat.
Disosiasi terjadi pada suhu 600C jika berada pada tekanan 1 atm atau 530C
jika tekanan 3 atm. Jika terjadi disosiasi maka tekanan gas meningkat dan hal ini
sangat membahayaka karena bisa menimbulkan ledakan.
2. Las listrik
Las tahanan listrik adalah proses pengelasan yang dilakukan dengan jalan
mengalirkan arus listrik melalui bidang atau permukaan-permukaan benda yang akan
disambung. Elektroda-elektroda yang dialiri listrik digunakan untuk menekan benda
kerja dengan tekanan yang cukup. Penyambungan dua buah logam atau lebih menjadi
satu dengan jalan pelelehan atau pencairan dengan busur nyala listrik. Tahanan yang
ditimbulkan oleh arus listrik pada bidang-bidang sentuhan akan menimbulkan panas
dan berguna untuk mencairkan permukaan yang akan disambung.
Bahaya pada las listrik yaitu, loncatan bunga api yang terjadi pada nyala busur
listrik karena adanya potensial tegangan atau beda tegangan antara ujung-ujung
elektroda dan benda kerja. Tegangan yang digunakan sangat menentukan terjadinya
loncatan bunga api, semakin besar tegangan semakin mudah terjadi loncatan bunga
api listrik. Hal yang perlu diperhatikan, bahwa tegangan yang tinggi akan
membahayakan operator las, karena tubuh manusia hanya mampu menderita
tegangan listrik sekitar 42 volt. Selain penggunaan arus dan tegangan yang bisa
membahayakan operator, nyala busur listrik juga memancarkan sinar ultra violet dan
sinar infra merah yang berinteraksi sangat tinggi. Pancaran atau radiasi dari sinar
tersebut sangat membahayakan mata maupun kulit manusia (Bintoro, 1999).
2.1.3. Manajemen dalam Pengelasan
Juru las yang terampil dan peralatan las yang baik belum tentu dapat
menjamin hasil las yang bermutu tinggi, apabila sarana lainnya tidak terpenuhi.
Manajemen pengelasan dalam hal ini harus mengatur beberapa sarana penting yang
dapat mempengaruhi hasil pengelasan seperti pelaksanaan yang aman, pengawasan
mutu, dan pemeriksaan proses. Manajemen tersebut terdiri atas beberapa pengawasan
(Wiryosumarto dan Okumura, 2004) antara lain :
1. Pengamanan pelaksanaan
Agar pengelasan dapat dilakukan dengan aman, alat-alat pengamanan harus
lengkap dan juru las harus mengerti dan dapat serta mau menggunakan alat pengaman
tersebut, dalam hal ini yang penting adalah :
a. Pemakaian baju kerja yang sesuai dan aman.
b. Pemakaian pelindung dengan baik.
c. Pada pengelasan di tempat yang tinggi harus menggunakan alat pengaman agar
tidak terjatuh.
d. Pengamanan terhadap bahaya kebakaran dan ledakan.
2. Pengawasan umum
Semua cahaya tampak yang masuk ke mata akan diteruskan oleh lensa dan
kornea ke retina mata. Bila cahaya ini terlalu kuat maka akan segera menjadi
lelah dan kalau terlalu lama mungkin akan menjadi sakit. Rasa lelah dan sakit ini
sifatnya juga hanya sementara.
c. Sinar inframerah
Adanya sinar inframerah tidak segera terasa oleh mata, karena itu sinar ini lebih
berbahaya sebab tidak diketahui, tidak terlihat dan tidak terasa. Pengaruh sinar
inframerah terhadap mata sama dengan pengaruh panas, yaitu menyebabkan
pembengkakan pada kelopak mata, terjadinya penyakit kornea, presbiopia yang
terlalu dini dan terjadinya kerabunan.
2. Arus listrik yang berbahaya
Besarnya kejutan yang timbul karena listrik tergantung pada besarnya arus
dan keadaan badan manusia. Tingkat dari kejutan dan hubungannya dengan besar
arus adalah sebagai berikut:
a.
Arus 1 mA hanya akan menimbulkan kejutan yang kecil saja dan tidak
membahayakan.
b.
Arus 5 mA akan memberikan stimulasi yang cukup tinggi pada otot dan
menimbulkan rasa sakit.
c.
d.
Arus20 mA akan menyebabkan terjadi pengerutan pada otot sehingga orang yang
terkena tidak dapat melepaskan dirinya tanpa bantuan orang lain.
e.
f.
Debu dalam asap las besarnya berkisar antara 0,2 m sampai dengan 3 m.
Komposisi kimia dari debu asap las tergantung dari jenis pengelasan dan elektroda
yang digunakan. Bila elektroda jenis hydrogen rendah, di dalam debu asap akan
terdapat fluor (F) dan oksida kalium (K2O). Dalam pengelasan busur listrik tanpa gas,
asapnya akan banyak mengandung oksida magnesium (MgO).
Gas-gas yang terjadi pada waktu pengelasan adalah gas karbon monoksida
(CO), karbon dioksida (CO2), ozon (CO3) dan gas nitrogen dioksida (NO2).
4.
Bahaya kebakaran.
Kebakaran terjadi karena adanya kontak langsung antara api pengelasan
dengan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti solar, bensin, gas, cat kertas dan
bahan lainnya yang mudah terbakar. Bahaya kebakaran juga dapat terjadi karena
kabel yang menjadi panas yang disebabkan karena hubungan yang kurang baik, kabel
yang tidak sesuai atau adanya kebocoran listrik karena isolasi yang rusak.
5.
Bahaya Jatuh.
Didalam pengelasan dimana ada pengelasan di tempat yang tinggi akan selalu
ada bahaya terjatuh dan kejatuhan. Bahaya ini dapat menimbulkan luka ringan
ataupun berat bahkan kematian karena itu usaha pencegahannya harus diperhatikan.
Pelindung muka
Bentuk dan pelindung muka ada beberapa macam tetapi secara prinsip
pelindung muka mempunyai fungsi yang sama, yaitu melindungi mata dan muka dari
pancaran sinar las dan percikan bunga api. Pelindung muka mempunyai kacamata
yang terbuat dari bahan tembus pandang yang berwarna sangat gelap dan hanya
mampu ditembus oleh sinar las. Kacamata ini berfungsi melihat benda kerja yang
dilas dengan mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke mata.
2.
Kacamata bening
Untuk
membersihkan
torak
atau
untuk
proses
finishing
misalnya
penggerindaan, mata perlu perlindungan, tetapi tidak dengan pelindung muka las.
Mata tidak mampu melihat benda kerja karena kacamata yang berada pada pelindung
muka sangat gelap. Oleh karena itu, diperlukan kacamata bening yang mampu
digunakan untuk melihat benda kerja dan sangat ringan sehingga tidak mengganggu
proses pekerjaan.
3.
Masker wajah
Masker berfungsi untuk menyediakan udara segar yang akan dihirup oleh
Pakaian las
Pakaian ini berfungsi untuk melindungi tubuh dari percikan bunga api dan
pancaran sinar las. Pakaian las terbuat dari bahan yang lemas sehingga tidak
membatasi gerak si pemakai. Selain bahan pakaian yang digunakan lemas, juga harus
ringan, tidak mudah terbakar, dan mampu menahan panas atau bersifat isolator.
Model lengan dan celana dibuat panjang agar mampu melindungi seluruh tubuh
dengan baik.
5.
percikan bunga api dan pancaran sinar las yang mempunyai intensitas tinggi maka
pada bagian badan perlu dilindungi sperti halnya pada bagian muka, karena baju las
yang digunakan belum mampu sepenuhnya melindungi kulit dan organ tubuh pada
bagian dada.
6.
Sarung tangan
Kontak dengan panas dan listrik sering terjadi yaitu melewati kedua tangan,
contoh: penggantian elektroda atau memegang sebagian dari benda kerja yang
memperoleh panas secara konduksi dari proses pengelasan. Untuk melindungi tangan
dari panas dan listrik maka operator las harus menggunakan sarung tangan, karena
mempunyai sifat mampu menjadi isolator panas dan listrik (mampu menahan panas
dan tidak menghantarkan listrik).
7.
Sepatu las
Sepatu las dapat melindungi telapak dan jari-jari kaki kemungkinan tergencet
benda keras, benda panas atau sengatan listrik. Dengan memakai sepatu las bebarti
tidak ada aliran arus listrik dari mesin las ke ground (tanah) melewati tubuh kita,
karena bahan sepatu berfungsi sebagai isolator listrik.
2.
3.
4.
5.
6.
Memberikan alat pelindung diri bagi pekerja. Berkaitan dengan penyediaan alat
keselamatan yang sesuai untuk setiap pekerjaan yang berbahaya.
7.
8.
Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik, psikis,
peracunan, infeksi, dan penularan.
9.
13. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan dan proses
kerja. Berkaitan dengan aspek ergonomi di tempat kerja.
14. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan. Berkaitan dengan
keselamatan konstruksi dan bangunan mulai dari pembangunan sampai
penempatannya.
15. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan, dan
penyimpanan barang. Syarat ini berkaitan dengan kegiatan pelabuhan dan
pergudangan.
16. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya, berkaitan dengan keselamatan
ketenagalistrikan.
17. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang
bahayanya menjadi bertambah tinggi .
2.3.
Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya, sebab
kecelakaan harus diteliti dan ditemukan, agar selanjutnya dengan tindakan korektif
yang ditujukan kepada penyebab itu serta dengan upaya preventif lebih lanjut
kecelakaan dapat dicegah dan kecelakaan serupa tidak terulang kembali. Ada dua
golongan penyebab kecelakaan kerja. Golongan pertama adalah faktor mekanisme
dan lingkungan, yang meliputi segala sesuatu selain faktor manusia. Golongan kedua
adalah faktor manusia itu sendiri yang merupakan penyebab kecelakaan (Sumamur
2009)
Situasi kerja
Kesalahan orang
3.
kecelakaan. Heinrich merasa bahwa tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman
merupakan faktor utama penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Kondisi lingkungan
kerja yang dimaksud sperti :
a. Tidak mengikut i metode kerja yang telah disetujui
b. Mengambil jalan pintas
c. Menyingkirkan atau tidak menggunakan perlengkapan keselamatan kerja.
4.
Kecelakaan
Heinrich mendefinisikan kecelakaan sebagai kejadian yang sudah umum
Cedera/ kerusakan
proses adanya
stimulus terhadap organism, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori
Skinner ini disebut teori S-O-R atau Stimulus-Organisme-Respons (Notoatmodjo,
2003).
Perilaku dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan bentuk respon terhadap
stimulus yang diterima (Notoatmodjo, 2003) yakni :
1.
Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,
pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus
tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
2.
tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh
orang lain.
2.4.2. Determinan Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat
tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.
Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun
respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap
stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Faktor penentu atau determinan
perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan penggabungan dari
berbagai faktor. Faktor-faktor yang dimaksud yakni faktor internal dan faktor
eksternal (lingkungan) (Notoatmodjo, 2003) antara lain:
1.
Faktor internal
Faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat
Faktor eksternal
Faktor eksternal yaitu lingkungan baik lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupaka faktor yang
dominan mewarnai perilaku seseorang. Hal ini sesuai dengan aliran positivisme yang
dikemukakan oleh Jhon Locke yang mengatakan bahwa perilaku manusia ditentukan
oleh lingkungan.
2.
terjadi
karena
orang
tersebut
tidak
mengetahui
cara
4.
a. Dorongan pribadi (desire) : ingin cepat selesai, melalui jalan pintas, ingin
nyaman, malas memakai APD, menarik perhatian dengan mengambil resiko
berlebihan.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
b.
c.
2.
3.
4.
Mengutamakan pekerja.
b.
c.
d.
e.
pekerja dari perilaku berisiko menjadi perilaku aman. Para peneliti menggunakan
apa yang disebut dengan model ABC untuk mengubah perilaku pekerja.
2.6.3. Model ABC dan Perilaku
Menurut Geller (2001) dalam Syaaf (2008) perilaku merupakan fungsi dari
lingkungan sekitar. Kejadian yang terjadi di lingkungan sekitar dapat dibagi menjadi
dua kategori, yaitu kejadian yang mendahului suatu perilaku dan kejadian yang
mengikuti suatu perilaku. Kejadian yang muncul sebelum suatu perilaku disebut
anteseden sedangkan kejadian yang mengikuti suatu perilaku disebut konsekuensi.
Perilaku memiliki prinsip dasar dapat dipelajari dan diubah dengan mengidentifikasi
dan memanipulasi keadaan lingkungan atau stimulus yang mendahului dan mengikuti
suatu perilaku
Fleming dan Lardner (2002) dalam Syaaf (2008) menjelaskan bahwa elemen
inti dari modifikasi perilaku adalah model ABC dari perilaku. Menurut model ABC ,
perilaku dipicu oleh beberapa rangkaian peristiwa anteseden (sesuatu yang
mendahului sebuah perilaku dan secara kausal terhubung dengan perilaku itu sendiri)
dan diikuti oleh konsekuensi (hasil nyata dari perilaku bagi individu) yang dapat
dan konsekuensi
Anteseden
Behavior
Conse
quences
perilaku, tetapi pengaruhnya tidak cukup untuk membuat perilaku tersebut bertahan
selamanya. Untuk memelihara perilaku dalam jangka panjang dibutuhkan
konsekuensi yang signifikan bagi individu (Fleming dan Lardner, 2002).
2.6.3.2. Konsekuensi (Consequences)
Konsekuensi adalah peristiwa lingkungan yang mengikuti sebuah perilaku,
yang juga menguatkan, melemahkan atau menghentikan suatu perilaku. Secara
umum, orang cenderung mengulangi perilaku-perilaku yang membawa hasil-hasil
positif dan menghindari perilaku-perilaku yang memberikan hasil-hasil negatif.
(Graeff, dkk, 1996).
Konsekuensi didefenisikan sebagai hasil nyata dari perilaku individu yang
mempengaruhi kemungkinan perilaku tersebut akan muncul kembali. Dengan
demikian, frekuensi suatu perilaku dapat meningkat atau menurun dengan
menetapkan konsekuensi yang mengikuti perilaku tersebut. (Fleming dan Lardner,
2002).
Konsekuensi dapa berupa pembuktian diri, penerimaan atau penolakan dari
rekan kerja, sanksi, umpan balik, cedera atau cacat, penghargaan, kenyamanan atau
ketidaknyamanan, rasa terimakasih, penghematan waktu (Roughton, 2002).
Ada tiga macam konsekuensi yang mempengaruhi perilaku, yaitu penguatan
positif, peguatan negatif, dan hukuman. Penguatan positif dan penguatan negatif
memperbesar kemungkinan suatu perilaku untuk muncul kembali sedangkan
hukuman memperkecil kemungkinan suatu perilaku untuk muncul kembali (Fleming
dan Lardner, 2002).
Penguatan positif dapat berupa mendapatkan sesuatu yang diinginkan seperti
umpan balik positif terhadap pencapaian, dikenal oleh atasan, pujian dari rekan kerja,
dan penghargaan. Penguatan negative dapat berupa terhindar dari sesuatu yang tidak
diingiinkan seperti terhindar dari pengucilan oleh rekan kerja, terhindar dari rasa
sakit, terhindar dari kehilangan insentif, dan terhindar dari denda. Hukuman dapat
berupa mendapatkan sesuatu yang tidak diinginkan atau kehilangan sesuatu yang
dimiliki atau diinginkan seperti kehilangan keuntungan, aksipendisiplinan, rasa
sakit/cedera, perasaaan bersalah (Fleming dan Lardner, 2002).
Konsekuensi diatas dapat digunakan satu saja atau gabungan ketiganya untuk
mengubah perilaku. Sebagai contoh, frekuensi seorang manajer mengadakan inspeksi
dapat ditingkat dengan :
1. Penguatan positif berupa pujian dari atasan setelah melakukan inspeksi.
2. Penguatan negative untuk menghindari pengucilan oleh rekan kerja jika tidak
melaksanakan inspeksi.
3. Hukuman berupa bonus bagi manajer dikurangi jika tidak melakukan
isnpeksi.
Meskipun penguatan positif dan penguatan negatif sama-sama meningkatkan
frekuensi kemunculan suatu perilaku, keduanya menimbulkan hasil yang berbeda.
Penguatan negatif hanya menghasilkan perilaku untuk menghindari sesuatu yang
tidak diinginkan. Dengan kata lain mempengaruhi penilaian individu. Seseorang
memunculkan perilaku karena memang keinginannya bukan karena keharusan
(Fleming dan Lardner, 2002).
Penguatan dan hukuman ditentukan berdasarkan efeknya. Jadi sebuah
konsekuensi yang tidak dapat mengurangi frekuensi dari perilaku bukan merupakan
hukuman dan konsekuensi yang tidak dapat meningkatkan frekuensi bukan
merupakan penguatan. Faktanya, suatu tindakan yang sama dapat sekaligus menjadi
penguatan bagi seseorang dalam situasi dan hukuman dalam situasi lain (Fleming dan
Lardner, 2002).
Seringkali konsekuensi menimbulkan efek yang bertentangan dengan efek
yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena konsekuensi pada perilaku tidak
ditentukan oleh tindakan khusus atau tujuan yang diharapkan, tetapi orang yang
melakukan perilaku tersebut. Sebagai contoh, seorang manajer ingin memberikan
penghargaan atas keterlibatan pekerja dalam program peningkatan keselamatan, Ia
mengundang pekerjanya untuk menghadiri makan malam dan upacara penghargaan
serta menghadiahkan tiket permainan golf di akhir minggu untuk dua orang.
Meskipun maksud manajer tersebut adalah memberikan penguatan positif, namun
hadiah tersebut tidak memiliki efek yang diharapkan jika penerimanya merupakan
orang tua tunggal. Karyawan tersebut kemungkinan besar tidak akan menggunakan
kesempatannya untuk berlibur karena tidak memiliki seseorang untuk diajak, tidak
dapat meninggalkan anaknya sehingga tidak bisa bermain golf (Fleming dan Lardner,
2002).
Berdasarkan ilustrasi diatas, aspek permasalahan ketika menggunakan
modifikasi perilau untuk mengubah perilaku adalah dalam memiki konsekuensi yang
menurut orang lain memberikan penguatan baginya. Apa yang kita pikir dapat
memberikan penguatan belum tentu efeknya bagi orang lain. Ada beberapa strategi
yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penguatan yang efektif yaitu:
a. Melibatkan target individu atau kelompok dalam menentukan konsekuensi.
b. Memperhatikan apa yang dipilih oleh target individu atau kelompok untuk
dilakukan ketika mereka meimiliki pilihan. Tugas kerja yang dipilih oleh
mereka secara aktif dapat digunakan untuk menguatkan aktivitas lain yang
kurang diinginkan.
c. Dalam menggunakan analisis ABC pada perilaku yang kompleks dibutuhkan
beberapa kriteria untuk menilai efek konsekuensi.
adanya bahaya, tetapi ia tidak mau disebut takut dan akhirnya menderita kecelakaan.
Pentingnya segi keselamatan harus ditekankan kepada tenaga kerja oleh pelatih,
pimpinan kelompok atau isntruktur (Sumamur 2009).
2.7.2. Peraturan
Dalam penelitiannya Pratiwi (2009) mengemukakan pendapat beberapa ahli
seperti Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mengkomunikasikan standar,
norma dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan (Geller, 2001). Peraturan
memiliki peran besar dalam menentukan perilaku mana yang dapat diterima dan tidak
dapat diterima (Roughton, 2002).
Notoatmodjo (1993) dalam Syaaf (2008) menyebutkan salah satu strategi
perubahan perilaku adalah dengan menggunakan kekuatan atau kekuasaan misalnya
peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota
masyarakat. Cara ini menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan
tersebut belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi
tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri.
Secara umum, kewajiban manajemen dalam peraturan keselamatan dapat
dirangkum sebagai berikut (Goestch, 1996):
1.
2.
3.
bersama
dengan
pekerja.
Pekerja
kemudian
diminta
untuk
2.
Tulis peraturan dalam bahasa yang jelas dan mudah dipahami. Langsung pada
poin pentingnya saja dan hindari penggunaan kata-kata yang memiliki makna
ambigu atau sulit dipahami.
3.
4.
Libatkan pekerja dalam perumusan peraturan yang berlaku bagi area operasi
tertentu.
5.
6.
2.7.3. Pengawasan
Kelemahan dari peraturan keselamatan adalah hanya berupa tulisan yang
menyebutkan bagaimana seseorang bisa selamat, tetapi tidak mengawasi tindakan
aktivitasnya. Pekerja akan cenderung melupakan kewajibannya dalam beberapa hari
atau minggu (Roughton, 2002). Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan untuk
menegakkan peraturan di tempat kerja.
Menurut Roughton (2002), beberapa tipe individu yang harus terlibat dalam
mengawasi tempat kerja yaitu :
1.
Pengawas (Supervisor)
Setiap pengawas yang ditunjuk harus mendapatkan pelatihan terlebih dahulu
2.
Pekerja
Ini merupakan salah satu cara untuk melibatkan pekerja dalam proses
keselamatan. Setiap pekerja harus mengerti mengenai potensi bahaya dan cara
melindungi diri dan rekan kerjanya dari bahaya tersebut. Mereka yang terlibat dalam
pengawasan membutuhkan pelatihan dalam mengenali dan mengendalikan potensi
hazard.
3.
Safety Professional
Safety Professional harus menyediakan bimbingan dan petunjuk tentang
otomatis belum terwujud dalam suatu tindakan jika tidak terdapat fasilitas yang
mendukung terbentuknya sikap tersebut
Pekerja membutuhkan pelatihan tentang APD agar dapat dimengerti arti
pentingnya penggunaan APD dan bagaimana cara menggunakan serta merawatnya
dengan baik. Pekerja juga harus diberitahu mengenai keterbatasan dari APD. APD
tidak selalu cocok untuk digunakan dalam setiap situasi karena memang didesain
secara khusus untuk suatu pekerjaan saja. Selain pelatihan, penguatan positif dan
peraturan yang mengatur tentang penggunaan APD juga sangat dibutuhkan.
2.7.5. Hukuman dan Penghargaan
Menurut Geller (2011) hukuman adalah konsekuensi yang diterima individu
atau kelompok sebagai bentuk akibat dari perilaku yang tidak diharapkan. Hukuman
dapat menekan atau melemahkan perilaku. Hukuman tidak hanya berorientasi untuk
meghukum pekerja yang melanggar peraturan, melainkan sebagai control terhadap
lingkungan kerja sehingga pekerja terlindung dari insiden (Roughton, 2002).
Sedangkan penghargaan menurut Geller (2001) dalam Syaaf (2008) adalah
konsekuensi positif yang diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan
mengembangkan, mendukung dan memelihara perilaku yang diharapkan. Jika
digunakan sebagaimana mestinya, penghargaan dapat memberikan yang terbaik
kepada setiap orang karena penghargaan membentuk parasaan percaya diri,
penghargaan diri, pengendalian diri, optimistisme, dan rasa memiliki.
Menurut Wilde dalam Syaaf (2008) penekanan pada hukuman dapat
memotivasi perilaku seseorang dalam keselamatan, namun bukti dari efektifitasnya
tidak diketahui dengan pasti. Adapun kelemahan dari hukuman ini adalah :
1.
Efek Atribusi. Sebagai contoh, menilai seseorang sebagai karakteristik yang tidak
diharapkan dapat merangsang seseorang untuk berperilaku seperti mereka benarbenar memiliki karakteristik itu. Menilai seseorang tidak bertanggung jawab
akan membuat mereka berperilaku seperti itu.
2.
3.
2.8.
Kerangka Konsep
Anteseden yang terdiri dari pengetahuan, pelatihan, peraturan, pengawasan
Anteseden
1. Pengetahuan tentang
bahaya di tempat kerja.
2. Pelatihan keselamatan
3. Peraturan
Consequences
Perilaku Berisiko
1. Sanksi
2. Penghargaan
4. Pengawasan
5. Ketersediaan fasilitas