TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1
Pengertian
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
2.1.2
Etiologi
Penyebab DM tipe 2 diantaranya oleh faktor genetik, resistensi insulin,
11
12
2.1.3
Faktor Resiko
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah
dan terjadinya DM tipe 2, diantaranya adalah usia, jenis kelamin dan penyakit
penyerta (Duanning, 2003).
a. Usia
Golberg dan Coon dalam Rochmah (2006) menyatakan bahwa umur
sangat erat kaitannya dengan kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin
meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa semakin
tinggi. DM tipe 2 biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi
setelah usia 40 tahun serta akan terus meningkat pada usia lanjut (Medicastore,
2007: Rochmah 2006).
Proses menua yang berlangsung setelah umur 30 tahun mengakibatkan
perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkatan sel
berlanjut ke tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang mempengaruhi
fungsi homeostatis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah sel
pankreas penghasil insulin, sel-sel jaringan target yang menghasilkan glukosa,
sistem saraf pusat dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa darah akan
naik 1-2 mg/dl/tahun pada saat puasa dan naik 5,6-13 mg/dl/tahun pada 2 jam
setelah makan (Rochmah, 2006).
13
b. Jenis kelamin
Beberapa teori menyatakan perempuan lebih banyak mengalami DM tipe 2
hal ini diakibatkan karena secara fisik memiliki peluang peningkatan index masa
tubuh yang lebih besar. Sindrom siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca
menopause membuat distribusi lemak di tubuh menjadi mudah terakumulasi
akibat proses hormonal tersebut sehingga perempuan lebih beresiko menderita
DM tipe 2 (Irawan,2010)
c. Penyakit penyerta
Separuh dari kesembuhan pasien DM yang berusia 50 tahun ke atas
dirawat di rumah sakit setiap tahunnya dan komplikasi DM menyebabkan
peningkatan angka rawat inap bagi pasien DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2002).
Penyandang DM mempunyai risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner dan
penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, 5 kali lebih mudah menderita
ulkus/gagren, 7 kali lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal dan 25 kali lebih
mudah mengalami kebutaan akibat kerusakan retina dari pada pasien non DM
(Waspadji, 2009). Kalau sudah terjadi penyulit, usaha untuk menyembuhkan
melalui pengontrolan kadar glukosa darah dan pengobatan penyakit tersebut
kearah normal sangat sulit, kerusakan yang sudah terjadi umumnya akan menetap
(Waspadji, 2009).
d. Lama menderita DM
DM merupakan penyakit metabolik yang tidak dapat disembuhkan, oleh
karena itu kontrol terhadap kadar gula darah sangat diperlukan untuk mencegah
komplikasi baik komplikasi akut maupun kronis. Lamanya pasien menderita DM
14
dikaitkan dengan komplikasi akut maupun kronis. Hal ini didasarkan pada
hipotesis metabolik, yaitu terjadinya komplikasi kronik DM adalah sebagai akibat
kelainan metabolik yang ditemui pada pasien DM (Waspadji, 2009). Semakin
lama pasien menderita DM dengan kondisi hiperglikemia, maka semakin tinggi
kemungkinan untuk terjadinya komplikasi kronik. Kelainan vaskuler sebagai
manifestasi patologis DM dari pada sebagai penyulit karena erat hubungannya
dengan kadar glukosa darah yang abnormal, sedangkan untuk mudahnya
terjadinya infeksi seperti tuberkolosis atau gangrene diabetic lebih sebagai
komplikasi (Waspadji, 2009).
2.1.4
Patofisiologi DM tipe 2
Pankreas adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak dibelakang
lambung. Didalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau dalam
peta, sehingga disebut pulau Langerhans pankreas. Pulau-pulau ini berisi sel alpa
yang menghasilkan hormon glucagon sel yang menghasilkan insulin. Kedua
hormon ini bekerja berlawanan, glucagon meningkatkan glukosa darah sedangkan
insulin bekerja menurunkan kadar glukosa darah ( Price& Wilson, 2006)
Insulin yang dihasilkan oleh sel pankreas dapat diibaratkan sebagai anak
kunci yang dapat membuka pintu masuk glukosa ke dalam sel, kemudian di dalam
sel glukosa tersebut dimetabolisasikan menjadi tenaga. Jika insulin tidak ada atau
jumlahnya sedikit, maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga
kadarnya di dalam darah tinggi atau meningkat (hiperglikemia). Pada DM tipe 2
jumlah insulin kurang atau dalam keadaan normal, tetapi jumlah reseptor insulin
dipermukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang
15
kunci pintu masuk ke dalam sel. Meskipun anak kuncinya (insulin) cukup banyak,
namun karena jumlah lubang kuncinya (reseptor) berkurang, maka jumlah glukosa
yang masuk ke dalam sel berkurang (resistensi insulin). Sementara produksi
glukosa oleh hati terus meningkat, kondisi ini menyebabkan kadar glukosa darah
meningkat (Subekti & Suryono, 2009).
Resistensi insulin pada awalnya belum menyebabkan DM secara klinis, sel
pancreas masih bisa melakukan kompensasi. Insulin disekresikan secara
berlebihan sehingga terjadi hiperinsulenemia dengan tujuan normalisasi kadar
glukosa darah. Mekanisme kompenasi yang terus-menerus menyebabkan
kelelahan sel pancreas, kondisi ini disebut dekompensasi dimana produk insulin
menurun
secara
absolute.
Resistensi
dan
penurunan
produksi
insulin
2.1.5
Manifestasi Klinis
Gejala DM berdasarkan Trias DM adalah poliuri (urinasi yang sering),
polifagi (meningkatkan hasrat untuk makan) dan polidipsi (banyak minum akibat
meningkatnya tingkat kehausan). Saat kadar glukosa darah meningkat dan
melebihi ambang batas ginjal maka glukosa yang berlebihan ini akan dikeluarkan
(diekskresikan). Untuk mengeluarkan glukosa melalui ginjal dibutuhkan banyak
air (H2O). Hal ini yang akan menyebabkan penderita sering kencing dan tubuh
kekurangan cairan (dehidrasi) sehingga timbul rasa haus yang menyebabkan
banyak minum (polidipsi). Pasien juga akan mengalami hasrat untuk makan yang
meningkat (polifagi) akibat katabolisme yang dicetuskan oleh defisiensi insulin
dan pemecahan protein serta lemak. Karena glukosa hilang bersamaan urin, maka
16
2.1.6
Diagnosis
Diagnosis DM tipe 2 umumnya ditegakkan apabila ditemukan keluhan
klinis berupa poliuri, polifagi, polidipsi, dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien
adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria dan
pruritus pada wanita (Soegondo, 2009). Apabila ada keluhan khas dan
pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl atau pemeriksaan glukosa darah
puasa 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. untuk
kelompok tanpa keluhan yang khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang
baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan pemeriksaan untuk memastikan lebih lanjut dengan mendapatkan satu
kali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl atau kadar
glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari lain (Soegondo, 2009).
2.1.7
Penatalaksaan
Penatalaksanaan standar DM tipe 2 mencakup pengaturan makanan,latihan
17
18
19
20
2.1.8
Komplikasi
Menurut Price and Wilson (2002) komplikasi DM dapat dibagi menjadi
21
insufisiensi
2.2
2.2.1
pembuluh darah yang berfungsi untuk mendeteksi tanda dan gejala klinis
iskhemia, penurunan perfusi perifer yang dapat mengakibatkan angiopati dan
neuropati diabetik (Mulyati, 2009). Tekanan darah sistolik pergelangan kaki lebih
tinggi dari tekanan darah sistolik brachialis merupakan estimasi terbaik dari
tekanan darah sistolik pusat (Sacks, dkk. 2002).
Nilai ABI yang rendah berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi
mengalami gangguan pada sirkulasi perifer, uji ABI ini umumnya digunakan
untuk menjelaskan ada tidaknya penyakit pembuluh darah arteri perifer, dan
digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit pembuluh darah arteri perifer
(Simatupang, dkk. 2013). ABI adalah pemeriksaan non invasive yang dilakukan
dengan mudah meggunakan dopler tangan dan tensimeter dengan nilai normal
0,9-1 (Amstrong & Lavery, 1998 dalam Mulyati, 2009).
ABI digunakan untuk menunjang diagnosis penyakit vaskuler pada DM
dengan menyediakan indikator objektif perfusi arteri ke ekstremitas bawah, ABI
22
juga dikenal sebagai Ankle/Arm Index (AAI) dan Resting Pressure Index (RPI)
(Sacks, dkk, 2002).
2.2.2
ankle dengan tekanan darah sistolik brachial. Tekanan darah merupakan hasil dari
peningkatan cardiac output oleh resistensi perifer yang dirumuskan dengan
(Sherwood, 2001) :
Tabel 1 : Rumus Tekanan Darah
Tekanan darah = curah jantung X resistensi perifer
23
c. Resisten perifer
Resisten perifer merupakan resisten dari pembuluh darah bagi aliran darah.
d. Elastisitas arteri besar
Elastisiatas arteri adalah kemampuan serat elastis yang membuat dinding
arteri elastis sehingga arteri dapat berperilaku seperti balon. Sifat elastis
menyebabkan arteri dapat membesar/mengembang untuk secara sementara
menampung kelebihan volume darah dan menyimpan sebagian energi
tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi jantung di dinding yang
terenggang.
e. Viskositas darah
Viskositas darah bergantung pada keberadaan sel-sel darah dan protein
plasma termasuk di dalamnya zat-zat nutrient seperti glukosa, asam amino,
lemak dan vitamin serta zat sisa seperti keratin dan bilirubin.
f. Hormon
Beberapa hormon memiliki efek terhadap tekanan darah. Contohnya pada
saat stress, medulla kelenjar adrenal akan menyekresikan noreprinefrin dan
epinefrin, yang keduanya akan menyebabkan vasokontriksi sehingga
meningkatnya tekanan darah.
2.2.3
Prosedur ABI
Cara pengukuran ABI pada dasarnya sama dengan pengukuran tekanan
darah. Manset tekanan diletakkan di lengan atas dan dipompa sampai titik tidak
ada nadi brachialis yang dapat dideteksi dengan Doppler. Kemudian manset
perlahan dikempiskan sampai dopler dapat mendeteksi kembali nadi, angka yang
24
ditunjukkan oleh tensimeter saat nadi kembali terdeteksi merupakan nilai tekanan
sistolik. Tindakan ini dilakukan kembali pada kaki, manset diletakkan di distal
betis dan Doppler diletakkan di atas dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior.
Tekanan sistolik kaki dibagi dengan tekanan sistolik brachialis merupakan nilai
ABI.
Adapun prosedur pengukuran ABI sebagai berikut :
a. Lakukan pengukuran tekanan darah brachialis (Potter & Perry, 2006) :
1) Siapkan sphygnomanometer dan stetoskop serta alat tulis.
2) Kaji faktor yang mempengaruhi tekanan darah
3) Kaji tempat yang paling baik untuk melakukan pengukuran tekanan darah
4) Bantu klien untuk mengambil posisi beban lengan atas pada setinggi
jantung dengan telapak tangan menghadap ke atas
5) Dengan klien duduk atau berbaring, posisikan beban lengan atas pada
setinggi jantung dengan telapak tangan menghadap ke atas
6) Gulung lengan baju pada bagian atas lengan
7) Palpasi arteri brachialis, letakkan menset 2,5 cm di atas nadi brachialis,
selanjutnya dengan menset masih kempis pasang menset dengan rata pas
sekeliling lengan atas.
8) Pastikan manometer diposisikan vertical sejajar mata dan pengamat tidak
boleh lebih jauh dari 1 meter
9) Letakkan earpieces stetoskop pada telinga dan pastikan bunyi jelas, tidak
redup (muffled)
25
10) Carilah lokasi arteri brachialis dan letakkan bel atau diafragma chestpiece
di atasnya serta jangan membiarkan chestpiece menyentuh manset atau
baju klien
11) Tutup katup balon tekanan searah jarum jam sampai kencang
12) Kembungkan menset 30 mmHg di atas tekanan sistolik yang dipalpasi,
kemudian dengan perlahan lepaskan dan biarkan air raksa turun dengan
kecepatan 2 sampai 3 mmHg per detik
13) Catat titik pada manometer saat bunyi jelas yang terdengar
14) Lanjutkan mengempiskan manset, catat titik dimana bunyi redup timbul
15) Kempiskan manset dengan cempat dan sempurna buka manset dari lengan
kecuali jika ada rencana untuk mengulang
16) Bantu klien untuk kembali ke posisi yang nyaman dan rapikan kembali
baju lengan atas serta beritahu hasil pengukuran kepada klien
26
4) Ketahuilah lokasi arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior dan
letakkan bel atau diafragma chestpiece di atasnya serta jangan membiarkan
chestpiece menyentuh manset.
5) Tutup katup balon tekanan searah jarum jam sampai kencang.
6) Gembungkan manset 30 mmHg diatas tekanan sistolik yang dipalpasi,
kemudian dengan perlahan lepaskan dan biarkan air raksa turun dengan
kecepatan 2 sampai 3 mmHg per detik.
7) Catat titik pada manometer saat bunyi jelas yang pertama terdengar.
8) Lanjutkan mengempiskan manset, catat titik dimana bunyi redup rimbul.
9) Lanjutkan mengempiskan manset, catat titik pada manometer sampai 2
mmHg terdekat dimana bunyi tersebut hilang.
10) Kempiskan manset dengan cepat dan sempurna. Buka manset dari
pergelangan kaki kecuali jika ada rencana untuk mengulang.
2.2.4
brachialis dan pedis, maka dilihat tekanan sistolik yang lebih tinggi. Perhitungan
nilai ABI dilakukan dengan vena membagi tekanan darah sistolik tertinggi dari
dorsalis pedis atau tibia posterior dengan tekanan darah sistolik brachialis
tertinggi (Laurel, 2005)
ABI = Tekanan Sistolik tertinggi pergelangan kaki
Tekanan sistolik tertinggi lengan
27
> 1.3
: Noncompressible
> 1.0-1.3
: Normal
> 0.9-1.0
: Borderline
< 0.89-0.71
< 0.71-0.41
: Moderete Obstruction
< 0.41
: Severe Obstruction
2.3
2.3.1
Definisi
ROM adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya
28
2.3.2
Manfaat Latihan
Latihan AROM memberikan manfaat bagi sistem tubuh menurut Potter
dan Perry (2006) menjelaskan sistem yang dipengaruhi setelah dilakukan AROM
antara lain :
a) Sistem Kardiovaskuler
b) Sistem Respirasi
c) Sistem Metabolik
29
d) Sistem Muskuloskeletal
e) Toleransi Aktivitas
Mengurangi kelemahan
f) Faktor Psikososial
30
pada ekstremitas bawah yaitu pinggul, lutut, mata kaki, kaki dan jari-jari kaki.
Menurut The Centers for Disease Control and Prevention (2011) menjelaskan
bahwa perawatan kaki secara teratur dapat mengurangi penyakit kaki diabetik
sebesar 50-60% yang mempengaruhi kualitas hidup. Pemeriksaan dan perawatan
kaki diabetes merupakan semua aktivitas khusus di daerah kaki (senam kaki,
memeriksa dan merawat kaki) yang dilakukan individu sebagai upaya dalam
mencegah timbulnya ulkus diabetikum. Beberapa penelitian yang telah dilakukan
untuk membuktikan manfaat dari berbagai intervensi tersebut dalam mengurangi
gejala neuropati dan penyakit vaskuler secara emperis. Intervenesi yang pernah
diteliti antara lain senam kaki, massase kaki serta latihan rentang gerak sendi atau
yang sering di kenal dengan Range of Motion (ROM) (Ika, 2010).
31
untuk
beristirahat
apabila
terjadi
spasme
otot
yang
32
Ekstensi: menggerakkan kembali kesamping tungkai yang lain sebesar 901200. Otot yang dipengaruhi yaitu gluteus maksimus, semitendinosus dan
semimembranosus
Abduksi: menggerakkan tungkai kesamping menjauhi tubuh sebesar 30500, otot yang dipengaruhi yaitu gluteus medius dan gluteus minimus
33
Rotasi dalam: memutar kaki dan tungkai uyang lain sebesar 900, otot yang
dipengaruhi yaitu gluteus medius, gluteus minimus dan tensor fasciae latae
Rotasi keluar: memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain sebesar
900, otot yang dipengaruhi yaitu obturatorius internus dan obturatorius
eksternus
b. Gerakan lutut
34
d. Gerakan Kaki
Inversi: memutar telapak kaki kesamping dalam (media) sebesar 100 atau
kurang, otot yang dipengaruhi yaitu tibialis anterior dan tibialis posterior
Eversi: memutar telapak kaki kesamping luar (lateral) sebesar 100 atau
kurang, otot yang dipengaruhi yaitu peroneus longus dan peroneus brevis
Abduksi: meregangkan jari-jari kaki satu dengan yang lain sebesar 150 atau
kurang, otot yang dipengaruhi yaitu abduksi, hallusis dan interosseus
dorsalis
35
36
37
saraf dalam kondisi baik maka proses transmisi implus terutama pada sel reseptor
satah satunya tendon pun adekuat.
Gerakan Active Lower ROM ini sama halnya dengan meningkatkan kerja
fisik pada otot ekstremitas bawah yang degerakkan. Pada saat otot mengalami
kontraksi timbul tiga efek sirkulasi utama yaitu : Pertama, jantung dirangsang
sehingga sehingga kecepatan denyut jantung dan kekuatan pemompaannya
menjadi sangat meningkat sebagai akibat rangsangan simpatis ke jantung dan
terbebasnya jantung dari hambatan parasimpatis normal. Kedua, sebagian besar
arteriol di sirkulasi perifer berkontraksi dengan kuat kecuali arteriol-arteriol dalam
otot yang aktif, yang berdilatasi dengan kuat akibat pengaruh vasodilator local.
Jadi jantung dirangsang untuk meningkatkan aliran darah yang memang
dibutuhkan oleh otot. Ketiga, dinding otot vena dan daerah kapasitas lainnya pada
sirkulasi berkontraksi secara kuat yang akan sangat meningkatkan tekanan
pengisian sistemik rata-rata, hal ini merupakan salah satu factor yang paling
penting dalam meningkatkan aliran balik vena ke jantung, sehingga curah jantung
meningkat. Ke tiga hal tersebut akan meningkatkan tekanan arteri maka aliran
darah menuju otot yang aktif akan mengalami peningkatan. Efek peningkatan
tekanan juga akan sangat meregangkan dinding pembuluh darah sehingga aliran
total di dalam otot sering mengalami peningkatan (Guyton & Hall, 2008)
Jadi dapat disimpulkan dengan melakukan latihan ini maka akan terjadi
pergerakan tungkai yang mengakibatkan menegangnya otot-otot tungkai dan
menekan vena disekitar otot-otot tersebut. Hal ini akan mendorong darah kearah
jantung dan tekanan vena akan menurun (mekanisme pompa vena). Mekanisme
38