Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Diabetes Melitus 2

2.1.1

Pengertian
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,


kerja insulin atau keduanya (American Diabetes Association, 2010). DM tipe 2
atau sering juga disebut dengan Non Insuline Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) merupakan penyakit diabetes yang disebabkan oleh terjadinya
resistensi tubuh terhadap efek insulin yang diproduksi oleh sel pancreas (Radio,
2011).
Penderita DM tipe 2 masih dapat menghasilkan insulin akan tetapi, insulin
yang dihasilkan tidak cukup atau tidak bekerja sebagaimana mestinya di dalam
tubuh sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel-sel tubuh. DM tipe 2
umumnya diderita pada orang yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas
(Smeltzer & Bare, 2002). Diabetes mellitus tipe 2 dikarakteristikkan oleh adanya
hiperglikemia, resistensi insulin, dan adanya pelepasan glukosa ke hati yang
berlebihan (Ilyas, 2009).

2.1.2

Etiologi
Penyebab DM tipe 2 diantaranya oleh faktor genetik, resistensi insulin,

dan faktor lingkungan. Selain itu terdapat faktor-faktor pencetus diabetes

11

12

diantaranya obesitas, kurang gerak/olahraga, makanan berlebihan dan penyakit


hormonal yang kerjanya berlawanan dengan insulin (Suyono & Subekti, 2009).

2.1.3

Faktor Resiko
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah

dan terjadinya DM tipe 2, diantaranya adalah usia, jenis kelamin dan penyakit
penyerta (Duanning, 2003).
a. Usia
Golberg dan Coon dalam Rochmah (2006) menyatakan bahwa umur
sangat erat kaitannya dengan kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin
meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa semakin
tinggi. DM tipe 2 biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi
setelah usia 40 tahun serta akan terus meningkat pada usia lanjut (Medicastore,
2007: Rochmah 2006).
Proses menua yang berlangsung setelah umur 30 tahun mengakibatkan
perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkatan sel
berlanjut ke tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang mempengaruhi
fungsi homeostatis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah sel
pankreas penghasil insulin, sel-sel jaringan target yang menghasilkan glukosa,
sistem saraf pusat dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa darah akan
naik 1-2 mg/dl/tahun pada saat puasa dan naik 5,6-13 mg/dl/tahun pada 2 jam
setelah makan (Rochmah, 2006).

13

b. Jenis kelamin
Beberapa teori menyatakan perempuan lebih banyak mengalami DM tipe 2
hal ini diakibatkan karena secara fisik memiliki peluang peningkatan index masa
tubuh yang lebih besar. Sindrom siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca
menopause membuat distribusi lemak di tubuh menjadi mudah terakumulasi
akibat proses hormonal tersebut sehingga perempuan lebih beresiko menderita
DM tipe 2 (Irawan,2010)
c. Penyakit penyerta
Separuh dari kesembuhan pasien DM yang berusia 50 tahun ke atas
dirawat di rumah sakit setiap tahunnya dan komplikasi DM menyebabkan
peningkatan angka rawat inap bagi pasien DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2002).
Penyandang DM mempunyai risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner dan
penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, 5 kali lebih mudah menderita
ulkus/gagren, 7 kali lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal dan 25 kali lebih
mudah mengalami kebutaan akibat kerusakan retina dari pada pasien non DM
(Waspadji, 2009). Kalau sudah terjadi penyulit, usaha untuk menyembuhkan
melalui pengontrolan kadar glukosa darah dan pengobatan penyakit tersebut
kearah normal sangat sulit, kerusakan yang sudah terjadi umumnya akan menetap
(Waspadji, 2009).
d. Lama menderita DM
DM merupakan penyakit metabolik yang tidak dapat disembuhkan, oleh
karena itu kontrol terhadap kadar gula darah sangat diperlukan untuk mencegah
komplikasi baik komplikasi akut maupun kronis. Lamanya pasien menderita DM

14

dikaitkan dengan komplikasi akut maupun kronis. Hal ini didasarkan pada
hipotesis metabolik, yaitu terjadinya komplikasi kronik DM adalah sebagai akibat
kelainan metabolik yang ditemui pada pasien DM (Waspadji, 2009). Semakin
lama pasien menderita DM dengan kondisi hiperglikemia, maka semakin tinggi
kemungkinan untuk terjadinya komplikasi kronik. Kelainan vaskuler sebagai
manifestasi patologis DM dari pada sebagai penyulit karena erat hubungannya
dengan kadar glukosa darah yang abnormal, sedangkan untuk mudahnya
terjadinya infeksi seperti tuberkolosis atau gangrene diabetic lebih sebagai
komplikasi (Waspadji, 2009).

2.1.4

Patofisiologi DM tipe 2
Pankreas adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak dibelakang

lambung. Didalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau dalam
peta, sehingga disebut pulau Langerhans pankreas. Pulau-pulau ini berisi sel alpa
yang menghasilkan hormon glucagon sel yang menghasilkan insulin. Kedua
hormon ini bekerja berlawanan, glucagon meningkatkan glukosa darah sedangkan
insulin bekerja menurunkan kadar glukosa darah ( Price& Wilson, 2006)
Insulin yang dihasilkan oleh sel pankreas dapat diibaratkan sebagai anak
kunci yang dapat membuka pintu masuk glukosa ke dalam sel, kemudian di dalam
sel glukosa tersebut dimetabolisasikan menjadi tenaga. Jika insulin tidak ada atau
jumlahnya sedikit, maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga
kadarnya di dalam darah tinggi atau meningkat (hiperglikemia). Pada DM tipe 2
jumlah insulin kurang atau dalam keadaan normal, tetapi jumlah reseptor insulin
dipermukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang

15

kunci pintu masuk ke dalam sel. Meskipun anak kuncinya (insulin) cukup banyak,
namun karena jumlah lubang kuncinya (reseptor) berkurang, maka jumlah glukosa
yang masuk ke dalam sel berkurang (resistensi insulin). Sementara produksi
glukosa oleh hati terus meningkat, kondisi ini menyebabkan kadar glukosa darah
meningkat (Subekti & Suryono, 2009).
Resistensi insulin pada awalnya belum menyebabkan DM secara klinis, sel
pancreas masih bisa melakukan kompensasi. Insulin disekresikan secara
berlebihan sehingga terjadi hiperinsulenemia dengan tujuan normalisasi kadar
glukosa darah. Mekanisme kompenasi yang terus-menerus menyebabkan
kelelahan sel pancreas, kondisi ini disebut dekompensasi dimana produk insulin
menurun

secara

absolute.

Resistensi

dan

penurunan

produksi

insulin

menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah.

2.1.5

Manifestasi Klinis
Gejala DM berdasarkan Trias DM adalah poliuri (urinasi yang sering),

polifagi (meningkatkan hasrat untuk makan) dan polidipsi (banyak minum akibat
meningkatnya tingkat kehausan). Saat kadar glukosa darah meningkat dan
melebihi ambang batas ginjal maka glukosa yang berlebihan ini akan dikeluarkan
(diekskresikan). Untuk mengeluarkan glukosa melalui ginjal dibutuhkan banyak
air (H2O). Hal ini yang akan menyebabkan penderita sering kencing dan tubuh
kekurangan cairan (dehidrasi) sehingga timbul rasa haus yang menyebabkan
banyak minum (polidipsi). Pasien juga akan mengalami hasrat untuk makan yang
meningkat (polifagi) akibat katabolisme yang dicetuskan oleh defisiensi insulin
dan pemecahan protein serta lemak. Karena glukosa hilang bersamaan urin, maka

16

pasien mengalami gejala lain seperti keletihan, kelemahan, tiba-tiba terjadi


perubahan pandangan, kebas pada tangan atau kaki, kulit kering, luka yang sulit
sembuh, dan sering muncul infeksi (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare,
2002).

2.1.6

Diagnosis
Diagnosis DM tipe 2 umumnya ditegakkan apabila ditemukan keluhan

klinis berupa poliuri, polifagi, polidipsi, dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien
adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria dan
pruritus pada wanita (Soegondo, 2009). Apabila ada keluhan khas dan
pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl atau pemeriksaan glukosa darah
puasa 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. untuk
kelompok tanpa keluhan yang khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang
baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan pemeriksaan untuk memastikan lebih lanjut dengan mendapatkan satu
kali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl atau kadar
glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari lain (Soegondo, 2009).

2.1.7

Penatalaksaan
Penatalaksanaan standar DM tipe 2 mencakup pengaturan makanan,latihan

jasmani, obat yang memberikan efek hipoglikemia (OHO/Obat Hipoglikemia Oral


dan insulin), edukasi/penyuluhan dan pemantauan kadar glukosa darah secara
mandiri (home monitoring) (Waspadji, 2009; Subekti, 2009; Batubara, 2009).

17

Pengelolaan DM sesuai lima pilar utama pengelolaan DM dijabarkan


sebagai berikut :
a. Perencanaan Makan (diit)
Perencanaan makan pada pasien DM tipe 2 adalah untuk mengendalikan
glukosa, lipid dan hipertensi. Penurunan berat badan dan diit hipokalori pada
pasien gemuk akan memperbaiki kadar hiperglikemia jangka pendek dan
berpotensi meningkatkan kontrol metabolik jangka panjang. Sukardji (2009)
mengatakan bahwa penurunan berat badan ringan dan sedang (5-10 kg) dapat
meningkatkan kontrol diabetes. Penurunan berat badan dapat dicapai dengan
penurunan asupan energi yang moderat dan peningkatan pengeluaran energi
(Sukardji, 2009).
b. Latihan Jasmani
Masalah utama pada pasien DM tipe 2 adalah kurangnya respon reseptor
insulin terhadap insulin, sehingga insulin tidak dapat membawa masuk glukosa ke
dalam sel-sel tubuh kecuali otak. Dengan latihan jasmani secara teratur kontraksi
otot meningkat yang menyebabkan permeabilitas membran sel terhadap glukosa
juga meningkat. Akibatnya resistensi berkurang dan sensitivitas insulin meningkat
yang pada akhirnya akan menurunkan kadar gukosa darah (Ilyas, 2009).
Kegiatan fisik dan latihan jasmani sangat berguna bagi pasien diabetes
karena dapat meningkatkan kebugaran, mencegah kelebihan berat badan,
meningkatkan fungsi jantung, paru, dan otot serta memperlambat proses penuaan
(Sukardji & Ilyas, 2009). Latihan jasmani yang dianjurkan untuk pasien diabetes
adalah jenis aerobik seperti jalan kaki, lari, naik tangga, sepeda, sepeda statis,

18

jogging, berenang, senam, aerobik, dan menari. Pasien DM dianjurkan melakukan


latihan jasmani secara teratur 3-4 kali dalam seminggu selama 30 menit.
c. Obat Yang Memiliki Efek Hipoglikemia
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa :
1. Obat Hipoglikemia Oral (OHO)
Obat Hipoglikemia Oral (OHO) yang terdiri dari : pemicu sekresi insulin
(seperti sulfonilurea dan glinid), penambah sensitivitas terhadap insulin
(seperti Biguanid, tiazolididion), penghambat glukosidase alfa, dan incretin
memetic, penghambatan DPP-4 (Waspadji, 2009).
2. Insulin
Saat ini dalam penanganan DM tipe 2 terdapat beberapa cara pendekatan.
Salah satu pendekatan terkini yang dianjurkan di Eropa dan Amerika Serikat
adalah dengan memakai nilai A1c (HbA1c) sebagai dasar penentuan awal
sikap atau cara memperbaiki pengendalian diabetes (Soegondo, 2009).

Untuk daerah pemeriksaan A1c masih sulit dilaksanakan dapat digunakan


daftar konversi A1c dengan rata-rata kadar glukosa darah. Meskipun demikian
semua pendekatan pengobatan tetap menggunakan perencanaan makan (diet)
sebagai pengobatan utama, dan apabila hal ini bersama dengan latihan jasmani
ternyata gagal mencapai target yang ditentukan maka diperlukan penambahan
obat hiperglikemik oral atau insulin (Soegondo, 2009).
d. Penyuluhan
Salah satu penyebab kegagalan dalam pencapaian tujuan pengobatan
diabetes adalah ketidakpatuhan pasien terhadap program pengobatan yang telah

19

ditentukan. Penelitian terhadap pasien diabetes, didapatkan 80% menyuntikkan


insulin dengan cara yang tepat 59% memakai dosis yang salah dan 75% tidak
mengikuti diet yang dianjurkan (Basuki, 2009). Untuk mengatasi ketidakpatuhan
tersebut, penyuluhan terhadap pasien dan keluarga mutlak diperlukan.
Penyuluhan diperlukan karena penyakit diabetes adalah penyakit yang
berhubungan dengan gaya hidup. Pengobatan dengan obat-obatan memang
penting, tetapi tidak cukup. Pengobatan diabetes memerlukan keseimbangan
antara berbagai kegiatan yang merupakan bagian intergral dari kegiatan rutin
sehari-hari seperti makan, tidur, bekerja, dan lain-lain. Pengaturan jumlah dan
jenis makanan serta olah raga merupakan pengobatan yang tidak dapat
ditinggalkan, walaupun ternyata banyak diabaikan oleh pasien dan keluarga.
Keberhasilan pengobatan tergantung pada kerja sama antara petugas kesehatan
dengan pasien dan keluarganya. Pasien yang mempunyai pengetahuan cukup
tentang diabetes, selanjutnya mau mengubah perilakunya akan mengendalikan
kondisi penyakitnya sehingga ia dapat hidup lebih berkualitas (Basuki, 2009).
e. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
DM tipe 2 merupakan penyakit kronik dan memerlukan pengobatan jangka
panjang, sehingga pasien dan keluarganya harus dapat melakukan pemantauan
sendiri kadar glukosa darahnya di rumah. Beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk PKGS adalah dengan pemantauan reduksi urin, pemantauan glukosa darah
dan pemantauan komplikasi serta cara mengatasinya (Soewondo, 2009).
PKGS kini telah diakui secara luas oleh sekitar 40% pasien DM tipe 1 dan
26% pasien DM tipe 2 di Amerika. ADA mengindikasikan PKGS pada kondisi-

20

kondisi berikut : 1) mencapai dan memelihara kendali glikemik : PKGS


memberikan informasi kepada dokter dan perawat mengenai kendali glikemik dari
hari ke hari agar dapat memberikan nasihat yang tepat, 2) mencegah dan
mendeteksi hipoglikemia, 3) mencegah hiperglikemik, 4) menyesuaikan dengan
perubahan gaya hidup terutama berkaitan dengan masa sakit, latihan jasmani atau
aktivitas lainnya seperti mengemudi, dan 5) menentukan kebutuhan untuk
memulai terapi insulin pada pasien DM gestasional (Soewondo, 2009).
Pemantauan dengan menggunakan A1c merupakan parameter tingkat
pengendalian kadar glukosa darah. Kelebihan pemeriksaan A1c adalah mampu
menunjukkan kadar rata-rata gula darah selama 8-12 minggu terakhir.
Pemeriksaan A1c mempunyai korelasi dengan komplikasi diabetes. Pengendalian
dikatakan baik jika kadar HbA1c kurang dari 7% acceptable jika kadar HbA1c
antara, 76%-9%(Batubara, 2009).

2.1.8

Komplikasi
Menurut Price and Wilson (2002) komplikasi DM dapat dibagi menjadi

dua yaitu komplikasi metabolik akut komplikasi metabolik kronik. Komplikasi


akut disebabkan oleh keadaan hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketogenik,
serta hipoglikemia. Sedangkan komplikasi kronik jangka panjang melibatkan
pembuluh darah baik mikrovaskular dan makrovaskular. Komplikasi ini
diakibatkan oleh kadar glukosa yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama.
Komplikasi kronik DM dapat mengenal makrovaskular (rusaknya
pembuluh besar) dan mikrovaskular (rusaknya pembuluh darah kecil).
Komplikasi makrovaskular meliputi penyakit seperti serangan jantung, strok dan

21

insufisiensi

aliran darah ke tungkai

terganggu. Sedangkan komplikasi

mikrovaskular meliputi kerusakan pada mata (retinopati), yang bisa menyebabkan


kebutaan, kerusakan pada ginjal (nefropati) yang bisa berakibat pada gangguan
kaki diabetes sampai kemungkinan terjadinya amputasi pada tungkai (Ignatavicius
& Workman, 2010).

2.2

Ankle Brackial Index (ABI)

2.2.1

Definisi Ankle Brachial Index (ABI)


Ankle Brachial Index (ABI) merupakan pemeriksaan non invasive

pembuluh darah yang berfungsi untuk mendeteksi tanda dan gejala klinis
iskhemia, penurunan perfusi perifer yang dapat mengakibatkan angiopati dan
neuropati diabetik (Mulyati, 2009). Tekanan darah sistolik pergelangan kaki lebih
tinggi dari tekanan darah sistolik brachialis merupakan estimasi terbaik dari
tekanan darah sistolik pusat (Sacks, dkk. 2002).
Nilai ABI yang rendah berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi
mengalami gangguan pada sirkulasi perifer, uji ABI ini umumnya digunakan
untuk menjelaskan ada tidaknya penyakit pembuluh darah arteri perifer, dan
digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit pembuluh darah arteri perifer
(Simatupang, dkk. 2013). ABI adalah pemeriksaan non invasive yang dilakukan
dengan mudah meggunakan dopler tangan dan tensimeter dengan nilai normal
0,9-1 (Amstrong & Lavery, 1998 dalam Mulyati, 2009).
ABI digunakan untuk menunjang diagnosis penyakit vaskuler pada DM
dengan menyediakan indikator objektif perfusi arteri ke ekstremitas bawah, ABI

22

juga dikenal sebagai Ankle/Arm Index (AAI) dan Resting Pressure Index (RPI)
(Sacks, dkk, 2002).

2.2.2

Faktor-faktor yang mempengaruhi ABI


Pada dasarnya ABI merupakan hasil pembagian dari tekanan darah sistolik

ankle dengan tekanan darah sistolik brachial. Tekanan darah merupakan hasil dari
peningkatan cardiac output oleh resistensi perifer yang dirumuskan dengan
(Sherwood, 2001) :
Tabel 1 : Rumus Tekanan Darah
Tekanan darah = curah jantung X resistensi perifer

Berikut adalah faktor-faktor fisiologis utama yang dapat mempengaruhi tekanan


darah (Sanion & Sanders, 2007)
a. Aliran balik vena
Aliran balik vena merupakan aliran yang membawa darah dari seluruh
tubuh ke ventrikel kiri jantung. Jika darah yang kembali menurun, otot
jantung tidak akan terdistensi, kekuatan ventrikuler pada fase sistolik akan
menurun.
b. Frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung
Secara umum apabila kontraksi dan kelainan kekuatan kontraksi jantung
meningkat, tekanan darah juga akan meningkat. Akan tetapi, apabila
jantung berdetak terlalu kencang ventrikel tidak akan terjadi sepenuhnya
diantara detakan, sehingga curah jantung dan tekanan darah akan menurun.

23

c. Resisten perifer
Resisten perifer merupakan resisten dari pembuluh darah bagi aliran darah.
d. Elastisitas arteri besar
Elastisiatas arteri adalah kemampuan serat elastis yang membuat dinding
arteri elastis sehingga arteri dapat berperilaku seperti balon. Sifat elastis
menyebabkan arteri dapat membesar/mengembang untuk secara sementara
menampung kelebihan volume darah dan menyimpan sebagian energi
tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi jantung di dinding yang
terenggang.
e. Viskositas darah
Viskositas darah bergantung pada keberadaan sel-sel darah dan protein
plasma termasuk di dalamnya zat-zat nutrient seperti glukosa, asam amino,
lemak dan vitamin serta zat sisa seperti keratin dan bilirubin.
f. Hormon
Beberapa hormon memiliki efek terhadap tekanan darah. Contohnya pada
saat stress, medulla kelenjar adrenal akan menyekresikan noreprinefrin dan
epinefrin, yang keduanya akan menyebabkan vasokontriksi sehingga
meningkatnya tekanan darah.

2.2.3

Prosedur ABI
Cara pengukuran ABI pada dasarnya sama dengan pengukuran tekanan

darah. Manset tekanan diletakkan di lengan atas dan dipompa sampai titik tidak
ada nadi brachialis yang dapat dideteksi dengan Doppler. Kemudian manset
perlahan dikempiskan sampai dopler dapat mendeteksi kembali nadi, angka yang

24

ditunjukkan oleh tensimeter saat nadi kembali terdeteksi merupakan nilai tekanan
sistolik. Tindakan ini dilakukan kembali pada kaki, manset diletakkan di distal
betis dan Doppler diletakkan di atas dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior.
Tekanan sistolik kaki dibagi dengan tekanan sistolik brachialis merupakan nilai
ABI.
Adapun prosedur pengukuran ABI sebagai berikut :
a. Lakukan pengukuran tekanan darah brachialis (Potter & Perry, 2006) :
1) Siapkan sphygnomanometer dan stetoskop serta alat tulis.
2) Kaji faktor yang mempengaruhi tekanan darah
3) Kaji tempat yang paling baik untuk melakukan pengukuran tekanan darah
4) Bantu klien untuk mengambil posisi beban lengan atas pada setinggi
jantung dengan telapak tangan menghadap ke atas
5) Dengan klien duduk atau berbaring, posisikan beban lengan atas pada
setinggi jantung dengan telapak tangan menghadap ke atas
6) Gulung lengan baju pada bagian atas lengan
7) Palpasi arteri brachialis, letakkan menset 2,5 cm di atas nadi brachialis,
selanjutnya dengan menset masih kempis pasang menset dengan rata pas
sekeliling lengan atas.
8) Pastikan manometer diposisikan vertical sejajar mata dan pengamat tidak
boleh lebih jauh dari 1 meter
9) Letakkan earpieces stetoskop pada telinga dan pastikan bunyi jelas, tidak
redup (muffled)

25

10) Carilah lokasi arteri brachialis dan letakkan bel atau diafragma chestpiece
di atasnya serta jangan membiarkan chestpiece menyentuh manset atau
baju klien
11) Tutup katup balon tekanan searah jarum jam sampai kencang
12) Kembungkan menset 30 mmHg di atas tekanan sistolik yang dipalpasi,
kemudian dengan perlahan lepaskan dan biarkan air raksa turun dengan
kecepatan 2 sampai 3 mmHg per detik
13) Catat titik pada manometer saat bunyi jelas yang terdengar
14) Lanjutkan mengempiskan manset, catat titik dimana bunyi redup timbul
15) Kempiskan manset dengan cempat dan sempurna buka manset dari lengan
kecuali jika ada rencana untuk mengulang
16) Bantu klien untuk kembali ke posisi yang nyaman dan rapikan kembali
baju lengan atas serta beritahu hasil pengukuran kepada klien

b. Pengukuran tekanan ankle dengan Doppler


1) Pastikan penempatan manset tekanan darah yang tepat pada pasien dengan
posisi kaki lurus. Manset harus ditempatkan disekitar pergelangan kaki 2,5
cm di atas maleolus tersebut.
2) Pastikan bahwa manometer diposisikan vertical sejajar mata dan pengamat
tidak boleh lebih jauh dari 1 meter.
3) Letakkan earpiece stetoskop pada telinga dan pastikan bunyi jelas, tidak
redup.

26

4) Ketahuilah lokasi arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior dan
letakkan bel atau diafragma chestpiece di atasnya serta jangan membiarkan
chestpiece menyentuh manset.
5) Tutup katup balon tekanan searah jarum jam sampai kencang.
6) Gembungkan manset 30 mmHg diatas tekanan sistolik yang dipalpasi,
kemudian dengan perlahan lepaskan dan biarkan air raksa turun dengan
kecepatan 2 sampai 3 mmHg per detik.
7) Catat titik pada manometer saat bunyi jelas yang pertama terdengar.
8) Lanjutkan mengempiskan manset, catat titik dimana bunyi redup rimbul.
9) Lanjutkan mengempiskan manset, catat titik pada manometer sampai 2
mmHg terdekat dimana bunyi tersebut hilang.
10) Kempiskan manset dengan cepat dan sempurna. Buka manset dari
pergelangan kaki kecuali jika ada rencana untuk mengulang.

2.2.4

Cara Perhitungan ABI dan Interpretasi ABI


Setelah mendapatkan tekanan darah sistolik pada masing-masing

brachialis dan pedis, maka dilihat tekanan sistolik yang lebih tinggi. Perhitungan
nilai ABI dilakukan dengan vena membagi tekanan darah sistolik tertinggi dari
dorsalis pedis atau tibia posterior dengan tekanan darah sistolik brachialis
tertinggi (Laurel, 2005)
ABI = Tekanan Sistolik tertinggi pergelangan kaki
Tekanan sistolik tertinggi lengan

Interpretasi nilai ABI (Alonso et al, 2010:28)

27

> 1.3

: Noncompressible

> 1.0-1.3

: Normal

> 0.9-1.0

: Borderline

< 0.89-0.71

: Mild Obstruction (intermitten claudication)

< 0.71-0.41

: Moderete Obstruction

< 0.41

: Severe Obstruction

2.3

Latihan Active Lower Range of Motion (ROM)

2.3.1

Definisi
ROM adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya

kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakkan masing-masing


persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif, aktif dengan bantuan
maupun pasif. ROM dibedakan menjadi tiga yaitu : Active Range of Motion
(AROM), Active Assistance Range of Motion (AAROM), dan Passive Range of
Motion (PROM) (Potter & Perry, 2005).
AROM merupakan latihan yang dilakukan oleh klien sendiri tanpa
bantuan dari perawat, namun tetap di awasi oleh perawat. Melalui latihan ini dapat
meningkatkan kemandirian dan kepercayaan diri pada klien (Ellish & Bentz,
2007). AROM merupakan gerakan segmen dalam ROM terbatas yang dihasilkan
oleh kontraksi aktif otot-otot sendi yang melintas ( Kisner & Colby, 2007).
Active Lower Range of Motion merupakan latihan rentang gerak sendi
bawah. Latihan ini merupakan prosedur dari latihan ROM biasa namun hanya
memanfaatkan sendi bawah (lower ekstremity).

28

2.3.2

Manfaat Latihan
Latihan AROM memberikan manfaat bagi sistem tubuh menurut Potter

dan Perry (2006) menjelaskan sistem yang dipengaruhi setelah dilakukan AROM
antara lain :
a) Sistem Kardiovaskuler

Meningkatkan curah jantung

Memperbaiki kontraksi miokardial, kemudian menguatkan otot


jantung

Menurunkan tekanan darah istirahat

Memperbaiki aliran darah vena

b) Sistem Respirasi

Meningkatkan frekuensi dan kedalaman pernafasan

Meningkatkan ventilasi alveolar

Menurunkan kerja pernafasan

Meningkatkan pengembangan diafragma

c) Sistem Metabolik

Meningkatkan laju metabolisme basal

Meningkatkan penggunaan glukosa dan asam lemak

Meningkatkan pemecahan trigliserida

Meningkatkan asam lambung

Meningkatkan produksi panas tubuh

29

d) Sistem Muskuloskeletal

Memperbaiki tonus otot

Meningkatkan mobilisasai sendi

Memperbaiki toleransi otot

Meningkatkan masa otot

Mengurangi kehilangan densitas tulang

e) Toleransi Aktivitas

Meningkatkan toleransi aktivitas

Mengurangi kelemahan

f) Faktor Psikososial

Meningkatkan toleransi terhadap stress

Melaporkan perasaan lebih baik

Melaporkan pengurangan penyakit

Pemberian Active Lower Range Of Motion sama halnya memberikan


manfaat seperti pemberian Active Range of Motion, namun latihan yang diberikan
hanya menekankan pada sendi ekstremitas bawah yang dapat memperlancar
sirkulasi perifer ekstremitas bawah. Menurut Ika (2010) menyatakan bahwa
dengan pemberian Active Lower Range of Motion dapat meningkatkan nilai ABI
pasien DM tipe 2. Latihan ini dapat meningkatkan kontraksi otot yang aktif
sehingga sirkulasi perifer dapat meningkat, selain itu latihan ini dapat
meningkatkan kekuatan otot pasien DM tipe 2.
Active lower ROM merupakan salah satu latihan yang dilakukan khusus
untuk merawat kaki pasien DM tipe 2. Hal ini dikarenakan gerakan hanya terfokus

30

pada ekstremitas bawah yaitu pinggul, lutut, mata kaki, kaki dan jari-jari kaki.
Menurut The Centers for Disease Control and Prevention (2011) menjelaskan
bahwa perawatan kaki secara teratur dapat mengurangi penyakit kaki diabetik
sebesar 50-60% yang mempengaruhi kualitas hidup. Pemeriksaan dan perawatan
kaki diabetes merupakan semua aktivitas khusus di daerah kaki (senam kaki,
memeriksa dan merawat kaki) yang dilakukan individu sebagai upaya dalam
mencegah timbulnya ulkus diabetikum. Beberapa penelitian yang telah dilakukan
untuk membuktikan manfaat dari berbagai intervensi tersebut dalam mengurangi
gejala neuropati dan penyakit vaskuler secara emperis. Intervenesi yang pernah
diteliti antara lain senam kaki, massase kaki serta latihan rentang gerak sendi atau
yang sering di kenal dengan Range of Motion (ROM) (Ika, 2010).

2.3.3 Kontra Indikasi


Ellis dan Bentz (2007) menyatakan bahwa latihan memerlukan energi dan
cenderung meningkatkan sirkulasi. Adanya penyakit atau gangguan yang dapat
meningkatkan kebutuhan energi dan membahayakan seperti sakit jantung dan
penyakit pernafasan harus dilakukan konsultasi kepada dokter terlebih dahulu.
Selain itu, Ellis dan Bentz juga menyatakan latihan ROM juga memberikan stress
pada jaringan lunak pada persendian dan struktur tulang. Latihan tidak
diperkenankan pada persendian yang bengkak, inflamasi atau daerah sekitar
persendian mengalami injuri. Beberapa kontra indikasi yang terpapar diatas
berlaku juga untuk semua jenis ROM termasuk Active Lower ROM.

31

2.3.4 Prosedur Latihan


Timby (2009) menjelaskan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
perawat pada saat melakukan latihan ROM sebagai berikut:
a. Latihan diterapkan pada sendi secara professional untuk menghindari
peserta latihan mengalami ketegangan dan injuri otot serta kelelahan.
b. Posisi yang diberikan memungkinkan gerakan sendi secara leluasa.
c. Latihan dilakukan secara sistematis dan berulang.
d. Tekankan pada peserta latihan bahwa gerakan sendi yang adekuat
adalah gerakan sampai dengan mengalami tahanan bukan nyeri.
e. Tidak melakukan latihan pada sendi yang mengalami nyeri
f. Amati respon non verbal serta latihan.
g. Latihan harus segera dihentikan dan berikan kesempatan pada peserta
latihan

untuk

beristirahat

apabila

terjadi

spasme

otot

yang

dimanifestasikan dengan kontraksi otot yang tiba-tiba dan terus


menerus.
Dosis dan intensitas latihan ROM yang dianjurkan dan menunjukan hasil
cukup bervariasi. Menurut teori tidak disebutkan secara spesifik mengenai dosis
dan intensitas latihan ROM tersebut, namun dari berbagai hasil penelitian tentang
manfaat latihan ROM dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menerapkan latihan
ROM sebagai salah satu intervensi. Tseng,Chen, Wu & Lin (2007) dalam
penelitiannya yaitu penerapan latihan ROM pada pasien stroke menyebutkan
bahwa dosis latihan yang dipergunakan yaitu 2 kali sehari, 6 hari dalam seminggu
selama 4 minggu dengan intensitas masing-masing 5 gerakan untuk setiap sendi.

32

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa responden penelitian yang


menerapkan latihan ROM pada penderita DM hanya menyebutkan bahwa latihan
ROM diberikan hanya 1 bulan intervensi, dengan hasil adanya penurunan tekanan
pada plantar kaki yang berarti ROM ini menurunkan resiko penderita neuropati
diabetikum mengalami ulkus diabetikum pada kaki. Department of Rehabilitation
Services The Ohio Medical Center (2009) menyebutkan bahwa latihan ROM
untuk bagian ankle sebagaimana dilakukan minimal 3 kali sehari dengan
intensitas masing-masing gerakan 10 kali.
Prosedur tindakan yang biasanya digunakan pada latihan rentang gerak
Active Lower ROM yaitu:
a. Gerakan pinggul

Fleksi: menggerakkan tungkai kedepan dan keatas sebesar 90-1200 otot


yang dipengaruhi yaitu psoas mayor iliacus, iliopsoas dan Sartorius

Ekstensi: menggerakkan kembali kesamping tungkai yang lain sebesar 901200. Otot yang dipengaruhi yaitu gluteus maksimus, semitendinosus dan
semimembranosus

Hiperekstensi: menggerakkan tungkai kebelakang tubuh sebesar 30-500,


otot yang dipengaruhi yaitu gluteus maksimus, semitendinosus dan
semimembranosus

Abduksi: menggerakkan tungkai kesamping menjauhi tubuh sebesar 30500, otot yang dipengaruhi yaitu gluteus medius dan gluteus minimus

33

Adduksi, menggerakkan tungkai kembali keposisi medial sebesar 30-500,


otot yang dipengaruhi yaitu adductor longus, adductor brevis, dan
adductor magnus

Rotasi dalam: memutar kaki dan tungkai uyang lain sebesar 900, otot yang
dipengaruhi yaitu gluteus medius, gluteus minimus dan tensor fasciae latae

Rotasi keluar: memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain sebesar
900, otot yang dipengaruhi yaitu obturatorius internus dan obturatorius
eksternus

Sirkumsisi: menggerakkan tungkai melingkar, otot yang dipengaruhi yaitu


psoas mayor, gluteus maksimus, gluteus medius, dan adductor magnus.

b. Gerakan lutut

Fleksi: menggerakkan tumit kearah belakan paha sebesar 120-1300, otot


yang dipengaruhi

yaitu bisep femoralis semi tendonosus, semi

membranosus, dan Sartorius

Ekstensi: mengembalikan tungkai keposisi semula 120-1300, otot yang


dipengaruhi yaitu rektus femuralis, vastus lateralis, vastus medialis, dan
vastus intermedius

c. Gerakan Mata Kaki

Dorso fleksi:menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk keatas


sebesar 20-300, otot yang dipengaruhi tibialis anterior

Plantar fleksi: menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk


kebawah sebesar 45-500, otot yang dipengaruhi yaitu gastronemus soleus

34

d. Gerakan Kaki

Inversi: memutar telapak kaki kesamping dalam (media) sebesar 100 atau
kurang, otot yang dipengaruhi yaitu tibialis anterior dan tibialis posterior

Eversi: memutar telapak kaki kesamping luar (lateral) sebesar 100 atau
kurang, otot yang dipengaruhi yaitu peroneus longus dan peroneus brevis

e. Gerakan Jari-jari Kaki

Fleksi: melengkungkan jari-jari kaki kebawah sebesar 30-600, otot yang


dipengaruhi yaitu fleksor digitorus, lumbrikalis pedis dan hallusis brevis

Ekstensi: meluruskan kembali jari-jari kaki sebesar 30-600, otot yang


dipengaruhi yaitu ekstensor digitorum longus, ekstensor digtorum brevis
dan ekstensor digitorum hallusis longus

Abduksi: meregangkan jari-jari kaki satu dengan yang lain sebesar 150 atau
kurang, otot yang dipengaruhi yaitu abduksi, hallusis dan interosseus
dorsalis

Adduksi: merapatkan kembali jari-jari kaki bersama-sama sebesar 150 atau


kurang, otot yang dipengaruhi yaitu adduksi hallusis dan interosseus
plantaris

2.3.5 Pengaruh Active Lower ROM terhadap PerubahanABI


Keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama pada pasien DM tipe 2
menyebabkan perubahan patologi pada pembuluh darah, ini dapat menyebabkan
penebalan tunika intima hyperplasia membrane basalis arteria, oklusi
(penyumbatan) arteri dan hiperkeragulabilitas atau abnormalitas trombosit,
sehingga menghantarkan pelekatan (adhesi) dan pembekuan (agregasi). Selain itu

35

keadaan hiperglikemia yang lama juga menyebabkan kekakuan pada arteri


diperberat oleh rheologi darah yang tidak normal. Meningkatnya kadar
fripronogen dan bertambahnya reaktivitas trombosit menyebabkan tingginya
agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat, dan
memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding arteria yang sudah kaku
hingga akhirnya terjadi gangguan sirkulasi (Foot Condition Center, 2013).
Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM berupa
penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah kapiler dan sering terjadi pada
tungkai bawah. Akibatnya perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi
kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi
nekrosis/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan/tindakan
amputasi.
Dampak dari menurunnya sirkulasi perifer pada pasien DM tipe 2 dapat
dilihat dari penurunan nilai ABI yang berada dibawah rentang normal yaitu
dibawah 0,9-1 sehingga berisiko terjadinya penyakit vaskuler perifer dalam
katagori mild claudication. Almazini (2009) menjelaskan bahwa DM tipe 2
mengalami kerusakan yang ditimbulkan pada neuropati diabetikum meliputi
penebalan membrane basal kapiler, hiperplasia sel endotel, infark dan iskemia
neuronal. Hal ini disebabkan karena kadar glukosa darah yang tinggi pada pasien
diabetes menyebabkan konsentrasi glukosa yang tinggi di saraf. Hal ini kemudian
menyebabkan konsentrasi glukosa menjadi sorbitol. Kadar fruktosa saraf juga
meningkat. Fructose dan sorbitol saraf yang berlebihan menurunkan ekspresi dari
komtransporter sodium/myonositol sehingga menurunkan kadar myoinositol. Hal

36

ini menyebabkan penurunan kadar phosphoinositide, bersama-sama dengan


aktivitas pompa Natrium dan penurunan kadar phospoinositide ATPase. Aktivitas
aldose reductase mendeplesi kofaktornya, Nicotinamide Adenine Dinucleotida
Phosphate (NADPH), yang menghasilkan penurunan kadar nitric oxide dan
glutathione yang berperan dalam melawan proses oksidatif. Kurangnya nitric
oxide juga menghambat relaksasi vaskuler yang dapat menyebabkan iskemia
kronik (Ika, 2010)
ROM merupakan jenis latihan yang berfungsi untuk memperlancar
peredaran darah, apabila peredaran darah lancar maka akan menghambat proses
penebalan membrane kapiler, peningkatan ukuran dan jumlah sel endotel kapiler,
sehingga diameter lumen pembuluh darah tetap adekuat khususnya pembuluh
darah kapiler. Dampaknya adalah adanya perbaikan pada nilai tekanan darah
sistolik baik brachial maupun ankle. Sehingga dengan pemberian Active Lower
ROM pada pasien DM tipe 2 mampu memberikan perubahan pada nilai ABI (Ika,
2010). Aliran darah yang lancar ini tentunya akan memudahkan nutrient masuk ke
dalam sel secara langsung latihan pada penderita DM membantu meningkatkan
sensitivitas reseptor insulin sehingga kadar glukosa darah menjadi stabil. Dengan
demikian kerusakan sel-sel khususnya syaraf lebih jauh dapat dihindari.
ROM memiliki manfaat pada peredaran darah khususnya daerah yang
dilibatkan dalam latihan (dalam hal ini lower extremity). Peredaran darah yang
lancar pada area tersebut menghambat proses demyelinisasi sel-sel saraf, dimana
proses dymelinisasi tersebut merusak akson. Dengan demikian apabila sel-sel

37

saraf dalam kondisi baik maka proses transmisi implus terutama pada sel reseptor
satah satunya tendon pun adekuat.
Gerakan Active Lower ROM ini sama halnya dengan meningkatkan kerja
fisik pada otot ekstremitas bawah yang degerakkan. Pada saat otot mengalami
kontraksi timbul tiga efek sirkulasi utama yaitu : Pertama, jantung dirangsang
sehingga sehingga kecepatan denyut jantung dan kekuatan pemompaannya
menjadi sangat meningkat sebagai akibat rangsangan simpatis ke jantung dan
terbebasnya jantung dari hambatan parasimpatis normal. Kedua, sebagian besar
arteriol di sirkulasi perifer berkontraksi dengan kuat kecuali arteriol-arteriol dalam
otot yang aktif, yang berdilatasi dengan kuat akibat pengaruh vasodilator local.
Jadi jantung dirangsang untuk meningkatkan aliran darah yang memang
dibutuhkan oleh otot. Ketiga, dinding otot vena dan daerah kapasitas lainnya pada
sirkulasi berkontraksi secara kuat yang akan sangat meningkatkan tekanan
pengisian sistemik rata-rata, hal ini merupakan salah satu factor yang paling
penting dalam meningkatkan aliran balik vena ke jantung, sehingga curah jantung
meningkat. Ke tiga hal tersebut akan meningkatkan tekanan arteri maka aliran
darah menuju otot yang aktif akan mengalami peningkatan. Efek peningkatan
tekanan juga akan sangat meregangkan dinding pembuluh darah sehingga aliran
total di dalam otot sering mengalami peningkatan (Guyton & Hall, 2008)
Jadi dapat disimpulkan dengan melakukan latihan ini maka akan terjadi
pergerakan tungkai yang mengakibatkan menegangnya otot-otot tungkai dan
menekan vena disekitar otot-otot tersebut. Hal ini akan mendorong darah kearah
jantung dan tekanan vena akan menurun (mekanisme pompa vena). Mekanisme

38

ini akan membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki, mempernbaiki


sirulasi darah, memperkuat otot-otot kecil, mencegah terjadinya kelainan bentuk
kaki, meningkatkan kekuatan otot betis dan paha, dan mengatasi keterbatasan
gerak sendi.
Beberapa penelitian menjelaskan bahwa manfaat latihan pada kaki dapat
meningkatkan aliran darah perifer diantaranya dalam penelitian Alviyah dan
Virginia (2011) menyebutkan bahwa senam kaki pada pasien DM melibatkan
kelompok otot-otot utamanya (otot kaki), sehingga otot kaki berkontraksi secara
teratur maka akan terjadi peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif.
Kemudian akan terjadi dilatasi arteriol maupun kapiler, menyebabkan lebih
banyak jala-jala kapiler terbuka sehingga akan terjadi peningkatan sirkulasi darah
kaki dan penarikan glukosa ke dalam sel.

Anda mungkin juga menyukai