Anda di halaman 1dari 3

IMUNOSUPRESI

Obat-obat imunosupresi digunakan untuk mengurangi respon imun pada transplantasi organ
dan penyakit autoimun. Pada transplantasi organ, golongan utama obat-obat yang diguakan
saat ini adalah (1) glukokortikoid, (2) inhibitor kalsineurin dan (3) senyawa
antiproliferatif/antimetabolik. Obat-obat ini menunjukkan tingkat keberhasilan klinis yang
tinggi dalam mengobati kondisi seperti reaksi penolakan imun akut terhadap transplantasi
organ dan penyakit autoimun yang parah. Namun, terapi tersebut membutuhkan penggunaan
obat seumur hidup dan secara nonspesifik mensupresi seluruh sistem imun, menjadikan
pasien beresiko lebih tinggo terhadap infeksi dan kanker. Inhibitor kalsineurin dan steroid
khususnya, bersifat nefrotoksik dan diabetogenik, sehingga membatasi penggunaannya dalam
berbagai kondisi klinis.
Preparat antibodi monoklonal dan poliklonal yang ditujukan terhadap sel-sel T reaktif
merupakan terapi tambahan yang penting dan memberikan cara yang unik untuk secara
selektif membidik sel-sel imun-reaktif yang spesifik, sehingga dapat meningkatkan terapi
yang lebih spesifik. Kini, senyawa-senyawa baru telah menambah jumlah senyawa
imunosupresif. Khususnya sirolimus dan antibodi anti-CD25 [reseptor interleukin (IL)-2]
(basiliksimab, daklizumab) yang sudah digunakan untuk membidik jalur faktor pertumbuhan,
yang secara signifikan membatasi ekspansi klonal, sehingga mendorong terjadinya toleransi.
Obat-obat imunosupresif yang paling umum digunakan dibahas berikut ini.. namun, di masa
mendatang diharapkan banyak senyawa terapeutik baru yang lebih selektif dan perubahan
imunoterapi.
Pendekatan Umum Terapi Transplantasi Organ
Terapi transplantasi organ diatur dalam 5 prinsip umum. Prinsip pertama adalah persiapan
pasien dengan hati-hati dan penyeleksian kecocokan HLA-ABO terhadap organ yang
didonasikan (Legendre dan Guttman, 1989). Kedua, digunakan banyak pendekatan terhadap
terapi obat imunosupresif yang sama dengan terapi pada kemoterapi kanker. Beberapa
senyawa digunakan bersama-sama, masing-masing ditujukan untuk target molekular yang
berbeda-beda dalam respon allograf. Efek sinergitik diperoleh melalui pemberian berbagai
senyawa pada dosis yang relatif rendah, sehingga membatasi toksisitas spesifiknya sementara
memaksimalkan efek imunosupresifnya. Prinsip ketiga, dibutuhkan tindakan imunosupresif
yang lebih besar untuk mencapai pembentukan jaringan transplantasi awal yang berjalan
sempurna dan/atau untuk mengatasi reaksi penolakan yang terjadi, daripada memelihara
keadaan imunosupresi dalam jangka panjang. Oleh karena itu, perlu dilakukan induksi yang
intensif dan protokol pemeliharaan dosis yang lebih rendah. Keempat, dibutuhkan
penyelidikan yang seksama terhadap tiap tahap disfungsi organ transplan yang meilputi
evaluasi peolakan, toksisitas obat, dan infeksi, dan harus diingat bahwa berbagai masalah
tersebut dapat dan sering terjadi bersamaan. Prinsip yang kelima melibatkan pengurangan
atau penghentian obat-obat tersebut jika toksisitasnya melebihi manfaatnya.
Rangkaian imunoterapi. Pada banyak pusat transplantasi organ, antibodi monoklonal anti
CD-25, muromonab-CD3, atau antibodi antilimfosit poliklonal digunakan sebagai terapi

induksi pada periode pascatranplantasi (Wilde and Goa, 1996; Brennan, et al., 1999). Terapi
ini memungkinkan dilakukannya pencangkokan awal tanpa penggunaan dosis tinggi inhibitor
kalsineurin yang bersifat nefrotoksik. Protokol tersebut mengurangi insiden penolakan dini
dantampaknya sangat bermanfaat bagi pasien yang beresiko tinggi mengalami reaksi
penolakan cangkok organ (mudah tersensitisasi atau pasien ditranplantasi ulang, resipien
anak-anak, atau orang Afro-Amerika).
Pemeliharaan Imunoterapi. Protokol imunosupresif dasar yang digunakan di banyak pusat
cangkok organ melibatkan penggunaan multipel obat secara bersamaan. Terapi secara umum
melibatkan inhibitor kalsineurin, steroid, dan mikofenolat mofetil (suatu inhibitor
merabolisme purin), yang masing masing ditujukan pada tempat yang berlainan dalam
aktivasi sel T (Suthanthiran, et al., 1996; Perico and Remuzzi, 1997). Glukokortikoid,
azatioprin, siklosporin, takrolimu, mikofenolat mofitel, sirolimus, dan berbagai antibodi
monoklonal dan poliklonal baru-baru ini telah disetujui oleh United States of Food and Drug
Administration (FDA) untuk digunakan dalam transplantasi organ.
Terapi untuk Reaksi Penolakan yang Terjadi. Meskipun dosis rendah prednison, inhibitor
kalsineurin, inhibitor metabolisme-purin atau sirolimus efektif dalam pencegahan reaksi
penolakan selular akut, obat-obat ini tidak efektif dalam pemblokan sel-sel T yang teraktivasi,
dan obat-obat ini juga tidak terlalu efektif terhadap reaksi penolakan akut yang terjadi, atau
untuk pencegahan total terhadap reaksi peolakan kronis (Monaco, et al., 1999). Oleh karena
itu, pengobatan reaksi penolakan yang terjadi membutuhkan penggunaan senyawa yang
ditujukan terhadap sel-sel T yang teraktivasi. Obat-obat ini meliputi terapi glukokortikoid
dosis tinggi (terapi secara intensif dan teratur), antibodi antilimfosit poliklonal, atau antibodi
monoklonal muromonab-CD3.

Senyawa Steroid Adrenokortikal


Pengenalan glukokortikoid sebagai obat imunosupresif pada tahun 1960-an berperan penting
dalam memungkinkan dilakukannya cangkok organ. Prednison, prednisolon dan
glukokortikoid lain digunakan secara tuggal atau kombinasi dengan senyawa imunosupresif
lainnya untuk penanganan reaksi penolakan cangkok organ dan gangguan autoimun.
Mekanisme Kerja. Efek imunosupresif glukokortikoid telah lama diketaui, tetapi
mekanisme spesifik kerja imunosupresifnya masih belum dipahami (Rugstad, 1988; Beato,
1989). Steroid melisis dan kemungkinan menginduksi terjadinya distribusi kembali limfosit,
menyebabkan penurunan cepat jumlah limfosit darah perifer namun bersifat sementara.
Untuk memberikan efek respons jangka-panjang, steroid berikatan dengan reseptor-reseptor
dalam sel, kemudian reseptor ini atau protein yang diinduksi oleh glukokortikoid akan
berikatan dengan DNA di area sekitar elemen pemberi respons, yang mengatur transkripsi
berbagai gen lain.selain itu, kompleks glukokortikoid-reseptor meningkatkan ekskresu IB,
sehingga membatasi aktivasi NFB, yang berakibat pada meningkatnya apoptosis sel-sel
yang teraktivasi (Auphan, et al., 1995). Yang terpenting dalam hal ini adalah berkurangnya
produksi sitokin proinflamasi penting seperti IL-1 dan IL-6. Sel-sel T dihambat dari
pembentukan IL-2 dan proliferasi. Aktivasi limfosit T sitoktoksik juga dihambat. Neutrofil

dan monosit menunjukkan kemotaksis yang buruk dan menurunkan pelepasan enzim lisosom.
Dengan demikian, glukokortikoid mempunyai efek antiradang yang luas pada imunitas
selular. Sebaliknya, glukokortikoid mempunyai efek yang relatif kecil terhadap imunitas
humoral.
Penggunaan Terapeutik. Glukokortikoid secara umum digunakan dalam kombinasi dengan
senyawa imunospresif lain untuk mencegah dan mengobati reaksi penolakan cangkok organ.
Dosis tinggi metilprednsolon natrium suksinat (SOLUMEDROL, A-METHAPRED) (Secara
intensif dan teratur) secara intravena digunkan untuk mengobati reaksi penolakan akut dan
memburuknya gangguan autoimun tertentu (Shinn, et al., 1999; Laan et al., 1999). Terdapat
banyak indikasi glukokortikoid (Zoorob and Cender, 1998). Glukokortikoid efektif untuk
pengobatan penyakit graft-versus-host (jaringan cangkok terhadap jaringan asli) pada
transplantasi sumsum tulang. Diantara gangguan autoimun, glukokortikoid digunakan secara
rutin untuk mengobati reumatoid dan arthritid lain, lupus erimatosus sistemuk, deratomiositis
sitemik, psoriasis dan kondisi kulit lainnya, asma dan gangguan alergi lain, penyakit radang
usus, penyakit radang mat, gangguan autoimun hematologik, dan memburuknya sklerosis
multipel akut. Selain itu, glukokortikoid membatasi reaksi alergik yang muncul akibat
senyawa imunosupresif lain dan digunakan pada penerima cangkok untuk memblok efek
dosis-pertama sitokin yang diseabkan oleh pengobatan dengan munoromab-CD3.
Toksisitas. Sayangnya, karena banyak jaringan dan gen yang responsif terhadap steroid,
penggunaan steroid secara luas telah menyebabkan kecacatan dan efek merugikan yang
membahayakan nyawa banyak pasien. Efek ini meliputi keterlambatan pertumbuhan,
nekrosis avaskular pada tulang, osteopenia, meningkatnya resiko terinfeksi, daya sembuh
luka yang lambat, katarak, hiperglisemia dan hipertensi. Seiring dengan regimen
glukokortikoid/siklosporin yang cocok memungkinkan dilakukannya pengurangn dosis
steroid, namun saat ini morbiditas yang diinduksi oleh steroid tetap merupakan masalah
utama pada banyak pasien cangkok organ.

Anda mungkin juga menyukai