Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker serviks adalah keganasan kedua yang paling sering terjadi pada
wanita di seluruh dunia, dan masih merupakan penyebab utama kematian akibat
kanker pada wanita di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, kanker
servik merupakan neoplasma ganas nomor 4 yang sering terjadi pada wanita,
setelah Ca mammae, kolorektal, dan endometrium. Insidensi dari kanker servik
yang invasif telah menurun secara terus menerus di Amerika Serikat selama
beberapa dekade terakhir, namun terus meningkat di negara-negara berkembang.
Perubahan epidemiologis ini di Amerika Serikat erat kaitannya dengan skrinning
besar-besaran dengan Papanicolaou tests (Pap smears) (Sahil, 2010).
Kanker serviks merupakan kanker primer berasal dari serviks (kanalis
servikalis dan atau porsio). Setengah juta kasus dilaporkan setiap tahunnya dan
insidensinya lebih tinggi di negara sedang berkembang. Hal ini kemungkinan
besar diakibatkan belum rutinnya program skrinning pap smear yang dilakukan.
Di Amerika Latin, gurun Sahara Afrika dan Asia Tenggara termasuk Indonesia
kanker serviks menduduki urutan kedua setelah kanker payudara (Sahil, 2010).
Di Indonesia dilaporkan jumlah kanker serviks baru adalah 100 per
100.000 penduduk per tahun atau 180.000 kasus baru dengan usia antara 30-60
tahun, terbanyak antara 45-50 tahun. Periode laten dari fase prainvasif untuk
menjadi invasif memakan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita berusia
<35 tahun menunjukkan kanker serviks yang invasif pada saat didiagnosis,
sedangkan 53% dari KIS terdapat pada wanita dibawah usia 35 tahun (Sahil,
2010).

Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker mulut


rahim setiap tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat
laboratorium patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki
jumlah penderita terbanyak di Indonesia, yaitu lebih kurang 36%. Dari data 17
rumah sakit di Jakarta, kanker serviks menduduki urutan pertama, yaitu 432 kasus
di antara 918 kanker pada perempuan (Nuranna, 2005).
Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks
sebesar 76,2% di antara kanker ginekologi. Terbanyak pasien datang pada stadium
lanjut, yaitu stadium IIB-IVB, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu
stadium dengan gangguan fungsi ginjal, sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga
kasus. (Nuranna, 2005).
Relative survival pada wanita dengan lesi pre-invasif hampir 100%.
Relative 1 dan 5 years survival masing-masing sebesar 88% dan 73%. Apabila
dideteksi pada stadium awal, kanker serviks invasif merupakan kanker yang
paling berhasil diterapi, dengan 5 YSR sebesar 92% untuk kanker local (Rasjidi,
2009).
Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah,
status sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana
dan prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam
menentukan prognosis dari penderita. (Rasjidi, 2009)

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1

IDENTITAS PASIEN
a. Nama
: Ny. ES
b. Usia
: 36 tahun

c. Alamat
d. Waktu datang
2.2

: Panisihan 01/02 Maos Cilacap


: 04 September 2015 (pukul 22.30)

ANAMNESIS
a. Keluhan utama
Keluar darah dari jalan lahir sejak 2 hari yang lalu disertai gumpalan (02
09 - 2015)
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang sendiri ke VK IGD RSUD Prof. dr. Margono
Soekarjo Purwokerto membawa hasil PA tanggal 03 07 2015. Hasil
dari pemeriksaan PA tanggal 03 07 2015 adalah cervik : carcinoma
epidermoid (Berdifferensiasi Baik) atau carcinoma serviks stadium III.
Pasien mengeluh adanya pengeluaran darah disertai gumpalan dari jalan
lahir sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Perdarahan mengisi
setengah dari pembalut. Keluhan disertai lemas, pusing, mual dan
berkurangnya nafsu makan. Pasien sudah pernah mengalami kondisi
seperti ini sebelumnya dan dirawat di RSUD Cilacap pada tanggal 17 08
2015 untuk perbaikan keadaan umum. Hasil pemeriksaan laboratorium
saat itu, HB 5,8 gr. Pasien mendapatkan transfusi darah sebanyak 2
kantong.
Riwayat menstruasi: Menarche usia 13 tahun, siklus haid teratur 1 kali
per bulan, lama haid 4 hari, ganti pembalut 2 ksli
sehari.
Riwayat obstetri: P1A0
anak 1 perempuan/2 hari/spontan/bidan/+
Riwayat nikah : 2 kali, pernikahan 1 berlangsung selama 4 tahun
pernikahan 2 berlangsung selama 3 tahun
Riwayat kontrasepsi : tidak pernah menggunakan kontrasepsi.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat hipertensi
: disangkal
2. Riwayat asma
: disangkal
3. Riwayat alergi
: disangkal
4. Riwayat kencing manis
: disangkal
5. Riwayat penyakit jantung
: disangkal
6. Riwayat penyakit paru
: disangkal
7. Riwayat penyakit ginjal
: disangkal
8. Riwayat penyakit lain
: disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat hipertensi
2. Riwayat asma
3. Riwayat kencing manis

: disangkal
: disangkal
: disangkal
3

4. Riwayat penyakit jantung


5. Riwayat penyakit ginjal
6. Riwayat penyakit kandungan
e. Riwayat Nutrisi
Pasien jarang mengkonsumsi

: disangkal
: disangkal
: disangkal
sayuran

dan

buah.

Pasien

sering

mengkonsumsi gorengan, bakso dan mie ayam.


f. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama suaminya
yang bekerja sebagai pegawai swasta. Pasien berobat ke Rumah Sakit
Margono Soekarjo dengan menggunakan BPJS- NON PBI

2.3

PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum/kesadaran : tampak sakit/compos mentis
b. Vital sign
Tekanan Darah
: 100/60 mmHg
Nadi
: 120 x/menit
Respiratory Rate
: 20 x/menit
Suhu
: 37 0C
c. Pemeriksaan kepala
Mata
: Ca (+/+) Si (-/-)
Hidung
: disch (-/-) nch (-/-)
Mulut
: Sian (-)
d. Pemeriksaan leher
Thyroid
: tak ada kelainan
e. Pemeriksaan dada
Cor
: S1>S2, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
: Suara Dasar Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
Dinding dada : Simetris
f. Pemeriksaan abdomen
Dinding perut : datar
Hepar/lien
: sulit dinilai
Usus
: bising usus (+) normal
g. Pemeriksaan punggung : tak ada kelainan
h. Pemeriksaan coxae : tak ada kelainan
i. Pemeriksaan genitalia eksterna : tak ada kelainan
j. Pemeriksaan ekstremitas :
Edema

k.
l.
m.
n.
2.4

Pemeriksaan limphonodi: tak ada kelainan


Pemeriksaan reflek : tak ada kelainan
Pemeriksaan turgor kulit: capillary refill < 2 detik
Pemeriksaan akral : dingin

PEMERIKSAAN LOKAL
a. Status lokalis abdomen
1. Inspeksi : datar, distensi (-), umbilicus cembung, spider nevi
(-), caput medusa (-), venektasi kolateral (-)
2. Auskultasi : bising usus (+) normal
3. Perkusi : timpani timpani timpani
Timpani timpani timpani
timpani timpani timpani
4. Palpasi

: nyeri tekan (+) minimal seluruh lapang abdomen, nyeri


lepas tekan (-), undulasi (-)
b. Status Genitalia Eksterna
Perdarahan Per Vaginam (+)
Fluor Albus (+)
2.5

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tabel 1. Pemeriksaan Darah dan Urin
Tanggal 05 09 - 2015
PEMERIKSAAN
DARAH
Darah Lengkap
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Kimia klinik
SGOT
SGPT
Ureum darah
Kreatinin darah
Glukosa sewaktu
Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida

HASIL

NILAI

SATUAN

NORMAL
L
H
L
L
L

7,6
17.800
24
3,1
329.000
84,8
30,0
34,2
18,4
12,4

12,0-16,0
4800-10800
37-47
4,2-8,4
150.000-450.000
79,0-99,0
27,0-31,0
33,0-37,0
11,5-14,5
7,2-11,1

g/dL
U/L

10^6/Ul
/uL
fL
Pg

fL

17
10
12,2
0,60
91

15-37
30-65
14,98-38,52
0,60-1,00
<=200

U/L
U/L
mg/dL
mg/dL
mg/dL

L
L
L

133
3,0
90

136 145
3,5 5,1
90 107

mmol/L
mmol/L
mmol/L

H
H
L
L

2.6
2.7

2.8

DIAGNOSA KLINIK DI VK IGD


Para 1 Abortus 0 Usia 37 Tahun dengan Ca Serviks dan anemia sedang
TINDAKAN DAN TERAPI
a. Instruksi dr Widodo (tanggal 05 september 2015 pukul 01.00)
1) O2 2 ltr
2) Cek lab, DL, KK
3) Perbaikan KU
Inj Ondansentron 2 x 1 amp
Inj Ranitidine 2 x 1amp
Neurobion 2 x 1 tab
Vit A 1 x 20.000 IU
4) Transfusi PRC 2 kolf pre transfusi inj dexametason 1 amp
5) Inj Kalnex 3 x 500
6) Apabila nyeri perut asam mefenamat 1 tab
FOLLOW UP BANGSAL TERATAI
Tabel 2. Catatan Perkembangan Pasien di Bangsal Teratai
Tanggal

S
O
Pengeluaran KU/

Kes:

A
P
tampak P1A0 usia 37 Transfusi PRC 2

darah

dari sakit/compos mentis


TD: 110/70 mmHg
vagina
N: 80 x/mnt
disertai rasa RR: 20 x/mnt
S: 36,4 C
nyeri
Status Generalis

tahun

dengan

kolf

kanker

serviks

transfusi

dan

anemia

dexametason

ringan

amp

Mata: CA -/- SI -/Thoraks:


P/ SD ves +/+, ST -/05/09/2015

C/ S1>S2, reg, ST
Status Lok. Abd.
I: Datar
A : BU (+) normal
Per: timpani
Pal: NT + minimal
Status GE:
PPV (+)
FA (+)
Status Vegetatif :
BAB (+) BAK (+)
FL (+)
Lab
Hb : 7,6 g/dL
Leu: 17.800 U/L
Trom: 329.000 /Ul
6

pre
inj
1

tampak P1A0 usia 37


darah dari sakit/compos mentis
tahun
dengan
TD: 100/70 mmHg
vagina
kanker serviks
N: 80 x/mnt

disertai rasa RR: 20 x/mnt


dan
anemia
S: 36,4 C
nyeri
ringan
Status Generalis
Pengeluaran KU/

Kes:

IVFD RL 20 tpm
Inj Kalnex 3 x
500
Asam mefenamat
1 x 500 mg

Mata: CA -/- SI -/Thoraks:


P/ SD ves +/+, ST -/C/ S1>S2, reg, ST
Status Lok. Abd.
06/09/2015
I: Datar
A : BU (+) normal
Per: timpani
Pal: NT + minimal
Status GE:
PPV (+)
FA (+)
Status Vegetatif :
BAB (+) BAK (+)
FL (+)
Lab
Hb : 9,2 g/dL
Leu: 11.900 U/L
Trom: 148.000 /Ul
07/09/2015 Pengeluaran KU/
Kes:
tampak P1A0 usia 37
darah dari sakit/compos mentis
tahun
dengan
TD: 110/70 mmHg
vagina
kanker serviks
N: 88 x/mnt

disertai rasa RR: 20 x/mnt


S: 36,4 C
nyeri
Status Generalis

IVFD RL 20 tpm
Inj Kalnex 3 x
500
Asam mefenamat
1 x 500 mg

Mata: CA -/- SI -/Thoraks:


P/ SD ves +/+, ST -/C/ S1>S2, reg, ST
Status Lok. Abd.
I: datar
A : BU (+) normal
Per: timpani
Pal: NT + minimal
Status GE:

PPV (+)
FA (+)
Status Vegetatif :
BAB (-) BAK (+)
FL (+)
Lab
Hb : 10,9 g/dL
Leu: 14.370 U/L
Trom: 389.000 /Ul
08/09/2015 Pengeluaran KU/ Kes: sedang

/ P1A0 usia 37 Inj Kalnex 3 x

darah

dari compos mentis


TD: 110/70 mmHg
vagina
N: 84 x/mnt
disertai rasa RR: 20 x/mnt
S: 36,2 C
nyeri
Status Generalis

tahun

dengan

kanker serviks

500
Ranitidine 2 x 1
amp
Asam mefenamat
2 x 500 mg

Mata: CA -/- SI -/Thoraks:


P/ SD ves +/+, ST -/C/ S1>S2, reg, ST
Status Lok. Abd.
I: datar
A : BU (+) normal
Per: timpani
Pal: NT + minimal
Status GE:
PPV (+)
FA (+)
Status Vegetatif :
BAB (-) BAK (+)
FL (+)
2.9
2.10

DIAGNOSA AKHIR
Para 1 Abortus 0 Usia 37 Tahun dengan Ca Serviks
PROGNOSIS
Ad vitam
: dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

BAB III
MASALAH DAN PEMBAHASAN
Diagnosis awal kasus saat di VK IGD adalah Para 1 Abortus 0 Usia 37
Tahun dengan Ca Serviks dan Anemia sedang, pasien datang karena merasakan
adanya darah yang keluar darah dari jalan lahir sejak 2 hari yang lalu disertai
gumpalan (02 09 - 2015) disertai dengan rasa sakit. Beberapa hal yang perlu
dibahas berkaitan dengan diagnosis ini antara lain:
a. Pasien berusia 37 tahun
Kanker serviks merupakan kanker terbanyak ketiga pada wanita di
seluruh dunia (Globocan, 2008). Pada tahun 2002, lebih terdapat 493.200
kasus dan diperkirakan 273.500 wanita meninggal setiap tahunnya karena

kanker serviks (Perroy dan Kotz, 2010). Insidensi kanker serviks meningkat
pada rentang usia 25-34 tahun dan menunjukkan puncaknya pada rentang usia
45-54 tahun di Indonesia (Aziz, 2001).
b. Kanker Serviks
Menurut National Cancer Institute, kanker serviks adalah kanker yang
terbentuk di jaringan dari leher rahim atau serviks (organ menghubungkan
rahim dan vagina). Biasanya kanker tumbuh lambat dan mungkin tidak
memiliki gejala tetapi dapat deteksi dengan melakukan tes pap smear (suatu
prosedur di mana sel-sel yang dikerik dari leher rahim dan dilihat di bawah
mikroskop). Kanker serviks hampir selalu disebabkan oleh human
papillomavirus (HPV).
c. Anemia
Anemia pada pasien kanker terjadi karena adanya aktivasi sistem imun
dan sistem inflamasi oleh keganasan tersebut, serta beberapa sitokin yang
dihasilkan oleh sistem imun dan inflamasi seperti Interferon (INF), Tumor
Necrosis Factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1). Massa sel darah merah secara
normal ditentukan oleh umur dari sel darah merah itu dan dari kecepatan
produksinya. Anemia terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara kedua
faktor tersebut. Yang paling penting adalah adanya kegagalan relatif dari
sumsung tulang dalam meningkatkan produksi sel darah merah tersebut
sehingga terjadi anemia. Mekanisme patogenetik yang diperantarai IL-1,
Interferon dan Tumor Necrosis Factor diantaranya adalah adanya gangguan
pemakaian zat besi, peekanan terhadap sel progenitor eritrosit, produksi
eritropoietin yang tidak memadai dan pemendekan dari umur sel darah merah
d.

yang menyebabkan terjadinya anemia (Means dan Krrantz, 2002).


Nutrisi
Sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat
mencegah kanker misalnya brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang,
bayam, tomat. Dari beberapa penelitian dijelaskan bahwa defisiensi asam
folat (folic acid), vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol dihubungkan
dengan dengan peningkatan resiko kanker serviks. Vitamin E, vitamin C dan
beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat. Antioksidan dapat
melindungi DNA/RNA terhadap pengaruh buruk radikal bebas yang
terbentuk akibat oksidasi karsinogen bahan kimia. Vitamin E banyak terdapat

10

dalam minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian dan kacang-kacangan).


Vitamin C banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-buahan
e.

(Sjamsuddin, 2001)
VK IGD
Pasien datang sendiri ke VK IGD pada tanggal 04 - 09 - 2015 jam 22.30.
keadaan umum pasien tampak sakit, tanda vital pasien kurang baik, ditandai
dengan adanya hasil pemeriksaan tekanan darah yaitu 100/60 mmHg dan nadi
120 x/menit. Pasien mengeluh adanya pengeluaran darah dari vagina
sehingga pasien diberikan kalnex 3 x 500 (100mg dalam 5 ml) untuk
menghentikan perdarahan. Pengeluaran darah dari vagina disertai mual
muntah dan lemas sehingga pada tanggal 05 09 2015, pasien mulai
diberikan Inj Ondansentron 2 x 1 amp, Inj Ranitidine 2 x 1 amp untuk
memperbaiki keadaan umum. Pasien datang ke VK IGD dengan membawa
hasil pemeriksaan PA tanggal 03 07 2015. Hasil pemeriksaan PA
didapatkan cervik : carcinoma epidermoid (Berdifferensiasi Baik) atau
carcinoma serviks stadium III sehingga pasien diberikan Vitamin A dan
neurobion yang dapat berfungsi untuk menghambat sel Th17 sehingga bisa
menghambat sitokin IL4, IL 21 dan dan IFN yang teraktivasi pada penderita
kanker. Selain itu, pada saat di IGD, pasien juga mengeluh adanya rasa nyeri
minimal yang mulai timbul sehingga pasien diberi asam mefenamat 1 x 500
mg. Hari berikutnya (06 09 - 2015) dilakukan transfusi PRC 2 kolf karena
HB pasien 7,8 g/dL. Sebelum dilakukan transfuse pasien diberikan
deksametason 1 ampul untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya reaksi
transfusi. Tanggal 07 september 2015 di lakukan pemeriksaan laboratorium
dan dipatkankan Hb pasien 9,2 gr/dl. Hari berikutnya (08 09 2015) pasien
diperbolehkan untuk pulang dan pasien dianjurkan untuk kontrol ke poliklinik
kebidanan pada tanggal 14 09 2015 untuk pro radioterapi.

11

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1

KANKER SERVIKS
a. Definisi
Kanker serviks uteri adalah hasil akhir perubahan progresif epitel
serviks

uteri,

paling

sering

90%)

terjadi

pada

sambungan

skuamokolumner. Serviks uteri adalah bagian ujung depan rahim yang


menjulur ke vagina. (Benson dan Pernoll, 2009 ; Mannuaba, 2007)
b. Epidemiologi
Untuk wilayah ASEAN, insidens kanker serviks di Singapore
sebesar 25,0 pada ras Cina; 17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar
23,7 per 100.000 penduduk. Insidens dan angka kematian kanker serviks
menurun selama beberapa dekade terakhir di AS. Hal ini karena skrining
Pap menjadi lebih populer dan lesi serviks pre-invasif lebih sering
dideteksi daripada kanker invasif. Diperkirakan terdapat 3.700 kematian
akibat kanker serviks pada 2006.
Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker
mulut rahim setiap tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13
pusat laboratorium patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker
yang memiliki jumlah penderita terbanyak di Indonesia, yaitu lebih kurang
36%. Dari data 17 rumah sakit di Jakarta, kanker serviks menduduki
urutan pertama, yaitu 432 kasus di antara 918 kanker pada perempuan.
Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker
serviks sebesar 76,2% di antara kanker ginekologi. Terbanyak pasien
datang pada stadium lanjut, yaitu stadium IIB-IVB, sebanyak 66,4%.

12

Kasus dengan stadium IIIB, yaitu stadium dengan gangguan fungsi ginjal,
sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga kasus. (Nuranna, 2005)
Relative survival pada wanita dengan lesi pre-invasif hampir 100
Relative 1 dan 5 years survival masing-masing sebesar 88% dan 73%.
Apabila dideteksi pada stadium awal, kanker serviks invasif merupakan
kanker yang paling berhasil diterapi, dengan 5 YSR sebesar 92% untuk
kanker lokal. Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan
umum yang lemah, status sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan
sumber daya, keterbatasan sarana dan prasarana, jenis histopatologi, dan
derajat pendidikan ikut serta dalam menentukan prognosis dari penderita.
(Rasjidi, 2009)
c. Etiologi dan faktor resiko
Belum ada penyebab pasti terjadinya kanker serviks, namun faktor
resiko yang memungkinkan terjadinya kanker serviks uteri adalah sebagai
berikut :
1. Usia
Insidensi kanker serviks meningkat pada rentang usia 25-34 tahun dan
menunjukkan puncaknya pada rentang usia 45-54 tahun di Indonesia
(Aziz, 2001).
2. Terapi Sulih Hormon(TSH)
TSH digunakan untuk mengatasi gejala-gejala menopause, mencegah
osteoporosis dan mengurangi resiko penyakit jantung atau stroke.
Wanita yang mengkonsumsi estrogen tanpa progesteron memiliki
resiko yang lebih tinggi. Pemakaian estrogen dosis tinggi dan jangka
panjang

tampaknya

mempertinggi

resiko

ini.Wanita

yang

mengkonsumsi estrogen dan progesteron memiliki resiko yang lebih


rendah karena progesteron melindungi rahim.
3. Obesitas
Tubuh membuat sebagian estrogen di dalam jaringan lemak sehingga
wanita yang gemuk memiliki kadar estrogen yang lebih tinggi.
Tingginya kadar estrogen merupakan penyebab meningkatnya resiko
kanker rahim pada wanita obesitas.
4. Tamoksifen
Wanita yang mengkonsumsi tamoksifen untuk mencegah atau
mengobati kanker payudara memiliki resiko yang lebih tinggi. Resiko
ini tampaknya berhubungan dengan efek tamoksifen yang menyerupai

13

estrogen terhadap rahim. Keuntungan yang diperoleh dari tamoksifen


lebih besar daripada resiko terjadinya kanker lain, tetapi setiap wanita
memberikan reaksi yang berlainan.
5. Ras
Kanker rahim lebih sering ditemukan pada wanita kulit putih.
6. Infertilitas
7. Penyakit ovarium polikista.
8. Polip endometrium (pertumbuhan yang menonjol pada lapisan
endometrium).
9. Aktivitas seksual.
Seorang wanita yang pernah berhubungan seksual memiliki resiko
invasif kanker rahim lebih tinggi. Termasuk berganti-ganti pasangan.
10. Human papillomavirus (HPV)
Merupakan kofaktor penting. Umumnya 90%-100% dari keseluruhan
invasive kanker rahim memiliki keterkaitan pada infeksi HPV.
11. Merokok.
Mekanismenya dapat dihubungkan dengan berkurangnya fungsi
kekebalan sekunder pada efek sistematis asap rokok dan efek local zat
penyebab kanker pada tembakau.
12. Menurunnya sistem pertahanan tubuh.
Hal ini bisa disebabkan karena pasien telah menderita virus HIV
sehingga tidak menutup kemungkinan pasien dapat terserang kanker
melalui Human papillomavirus (HPV) (Canavan dan Nipa, 2000 ;
Walboomers, dkk, 1999 ; Benson dan Pernoll, 2009).

d. Klasifikasi
Menurut (Sogukopinar, 2009), klasifikasi kanker serviks berdasarkan
FIGO ((The International Federation of Gynekology and Obstetrics) tahun
2009 :
Kriteria
- 0 = karsinoma hanya terbatas pada serviks
-

I A = invasi kanker hanya terbatas pada invasi stroma diukur

14

dengan kedalaman maksimum 5mm dan tidak lebih luas dari 7 mm


-

IA1 = invasi diukur dari stroma dengan kedalaman 3mm dan


lebar 7mm

IA2 = invasi diukur dari stroma dengan kedalaman >3mm dan


<5mm dan lebar 7mm

IB = lesi klinis terbatas pada lesi serviks atau praklinis lebih besar
dari tahap IA

IB1 = lesi klinis <4cm

IB2 = lesi klinis >4 cm

II = karsinoma meluas hingga 1/3 bagian bawah vagina

IIA = keterlibatan sampai atas 2/3 dari vagina. Tidak ada


keterlibatan dari parametrium

IIA1 = klinis sudah mencapai 4 cm

IIA2 = klinis lesi terlihat > 4 cm

IIB = keterlibatan hingga parametrium tetapi tidak ke dinding


samping panggul

III = karsinoma telah mencapai hingga dinding samping panggul.


Pada pemeriksaan rektal, tidak ada ruang bebas kanker antara tumor
dan dinding samping panggul. Tumor melibatkan 1/3 bagian bawah
vagina. Pada kasus hidronefrosis atau penurunan fungsi ginjal harus
dimasukkan kecuali akibat penyebab lain

IIIA = keterlibatan vagina lebih rendah tetapi tidak ada ekstensi


hingga dinding samping panggul

IIIB = ekstensi ke dinding samping panggul atau hidronefrosis/


penurunan fungsi ginjal

IV = karsinoma telah melampaui panggul atau secara klinis telah


melibatkan mukosa kandung kemih dan atau rektum

IVA = menyebar hingga organ-organ panggul yang berdekatan

IVB = menyebar hingga organ jauh

e. Manifestasi Klinis

15

Gejala klinis dari kanker serviks sangat tidak khas pada stadium
dini. Biasanya sering ditandai sebagai fluos dengan sedikit darah,
perdarahan postkoital atau perdarahan pervaginam yang disangka sebagai
perpanjangan waktu haid. Pada stadium lanjut baru terlihat tanda-tanda
yang ;ebih khas untuk kanker serviks, baik berupa perdarahan yang hebat
(terutama dalam bentuk eksofilik), fluor albus yang berbau dan rasa sakit
yang sangat hebat (Sogukopinar, 2009).
Pada fase prakanker, sering tidak ditandai dengan gejala atau
tanda-tanda yang khas. Namun, kadang dapat ditemui gejala-gejala sebagai
berikut: (Sogukopinar, 2009).
a) Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina. Getah yang keluar dari
vagina ini makin lama makin berbau busuk karena adanya infeksi dan
nekrosis jaringan.
b) Perdarahan setelah senggama (post coital bleeding) yang kemudian
berlanjut ke perdarahan yang abnormal.
c) Timbulnya perdarahan setelah masa menopause
d) Pada tahap invasif dapat muncul cairan berwarna kekuning-kuningan,
berbau dan dapat bercampur dengan darah
e) Timbul gejala-gejala anemia akibat dari perdarahan yang abnormal
f)

Timbul nyeri pada daeah panggul (pelvic) atau pada daerah perut
bagian bawah bila terjadi peradangan pada panggul. Bila nyeri yang
terjadi dari daerah pinggang ke bawah, kemungkinan terjadi
hidronefrosis. Selain itu masih mungkin terjadi nyeri pada tempattempat lainnya.

g) Pada stadium kanker lanjut, badan menjadi kurus karena kekurangan


gizi, edema pada kaki, timbul iritasi pada kandung kemih dan poros
usus besar bagian bawah (rectum), terbentuknya viskelvaginal dan
rektovaginal, atau timbul gejala-gejala lain yang disebabkan oleh
metastasis jauh dari kanker serviks itu sendiri.
f. Diagnosis
Menurut (Cunningham, 2007), membuat diagnosis karsinoma
serviks uteri yang klinis sudah agak lanjut tidaklah sulit. Yang menjadi
masalah ialah, bagaimana mendiagnosis dalam tingkat yang sangat
16

awal,misalnya

dalam

tingkat

pra-invasif,

lebih

baik

bila

dapat

menangkapnya dalam tingkatan pramaligna (dysplasia / diskariosis


serviks).
1.

Sitologi
Pemeriksaan ini yang dikenal sebagai tes Papanicolaou (tes Pap)
sangat bermanfaat untuk mendeteksi lesi secara dini, tingkat ketelitiannya
melebihi 90% bila dilakukan dengan baik. Sitodiagnosis didasarkan pada
kenyataan, bahwa sel-sel permukaan secara terus menerus dilepaskan oleh
epitel dari permukaan traktus genitalis. Sel-sel yang dieksfoliasi atau
dikerok dari permukaan epitel serviks merupakan mikrobiopsi yang
memungkinkan kita mempelajari proses dalam keadaan sehat dan sakit.
Sitologi adalah cara skrining sel-sel serviks yang tampak sehat dan tanpa
gejala untuk kemudian diseleksi. Kanker hanya dapat didiagnosis secara
histologik. Sitodiagnosis yang tepat tergantung pada sediaan yang
representatif, fiksasi dan pewarnaan yang baik, serta tentu saja interpretasi
yang tepat. Enam puluh dua persen kesalahan disebabkan karena
pengambilan sampel yang tidak adekuat dan 23 % karena kesalahan
interpretasi. Supaya ada pengertian yang baik antara dokter dan
laboratorium, maka informasi klinis penting sekali. Dokter yang mengirim
sediaan harus memberikan informasi klinis yang lengkap, seperti usia, hari
pertama haid terakhir, macam kontrasepsi (bila ada), kehamilan, terapi
hormon, pembedahan, radiasi, kemoterapi, hasil sitologi sebelumnya, dan
data klinis yang meliputi gejala dan hasil pemeriksaan ginekologik.
Sediaan sitologi harus meliputi komponen ekto- dan endoserviks. NIS
lebih mungkin terjadi pada SSK sehingga komponen endoserviks menjadi
sangat penting dan harus tampak dalam sediaan. Bila komponen
endoserviks saja yang diperiksa kemungkinan negatif palsu dari NIS kirakira 5%. Untuk mendapatkan informasi sitologi yang baik dianjur-kan
melakukan

beberapa

prosedur.

Sediaan

harus

diambil

sebelum

pemeriksaan dalam; spekulum yang dipakai harus kering tanpa pelumas.


Komponen endoserviks didapat dengan menggunakan ujung spatula Ayre
yang tajam atau kapas lidi, sedangkan komponen ektoserviks dengan ujung

17

spatula Ayre yang tumpul. Sediaan segera difiksasi dalam alkohol 96%
selama 30 menit dan dikirim (bisa melalui pos) ke laboratorium sitologi
terdekat (Cunningham, 2007).

Gambar 1. Pap Smear (Cunningham, 2007).

Gambar 2. Hasil pemeriksaan sitologi Pap smear normal (Cunningham,


2007),

Gambar

3.

Hasil

pemeriksaan

sitologi

Pap

smear

abnormal

(Cunningham, 2007).
Evaluasi sitologi:
Kelas
Kelas I
Kelas II

Klasifikasi
Sel- sel normal
Sel-sel
menunjukkan

kelainan

ringan

yang

menunjukkan kelainan ringan biasanya disebabkan oleh


Kelas III
Kelas IV

infeksi
Mencurigakan ke arah keganasan
Sangat mencurigakan adanya keganasan
18

Kelas V

Pasti ganas

Interpretasi Dan Tindak Lnjut Hasil Pemeriksaan Sitologi


a. Vaginitis atau servisitis yang aktif dapat mengganggu interpretasi
sitologi. Jika reaksi peradangan hebat, pasien harus diobati dulu.
Setelah infeksi diatasi dilakukan pemeriksaan Pap smear ulang 6
minggu kemudian.
b. Jika hasil pemeriksaan sitologi tidak memuaskan atau tidak dapat di
evaluasi, harus dilakukan Pap smear ulang 6 minggu kemudian.
c. Jika hasil pemeriksaan sitologi mencurigakan keganasan (kelas IIIIV), selanjutnya dilakukan kolposkopi dan biopsi untuk menegakkan
diagnosis definitif
d. Pasien dengan hasil evaluasi sitologi negatif dianjurkan untuk ulang
pemeriksaan Pap smear setahun sekali, sampai usia 40 tahun.
Selanjutnya 2-3 tahun sekali sampai usia 65 tahun.
2.

Kolposkopi
Tes diagnostik lain ialah kolposkopi, dengan bantuan kolposkop bila
sarana memungkinkan. Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan
menggunakan kolposkop, suatu alat yang dapat disamakan dengan
sebuah mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya di
dalamnya (pembesaran 6-40 kali). Kalau pemeriksaan sitologi menilai
perubahan morfologi sel-sel yang mengalami eksfoliasi, maka
kolposkopi menilai perubahan pola epitel dan vaskular serviks yang
mencerminkan perubahan biokimia dan perubahan metabolik yang
terjadi di jaringan serviks. Hampir semua NIS terjadi di daerah
transformasi, yaitu daerah yang terbentuk akibat proses metaplasia.
Daerah ini dapat dilihat seluruhnya dengan alat kolposkopi, sehingga
biopsi dapat dilakukan lebih terarah. Jadi tujuan pemeriksaan
kolposkopi bukan untuk membuat diagnosis histologik tetapi
menentukan kapan dan di mana biopsi harus dilakukan. Pemeriksaan
kolposkopi dapat mempertinggi ketepatan diagnosis sitologi menjadi
hampir mendekati 100% (Cunningham, 2007).

19

Gambar 4. Kolposkopi Serviks (Cunningham, 2007),


3.

Biopsi
Biopsi dilakukan di daerah abnormal jika sambungan skuamosakolumnar (SSK) terlihat seluruhnya dengan kolposkopi. Jika SSK tidak
terlihat seluruhnya atau hanya terlihat sebagian sehingga kelainan di dalam
kanalis servikalis tidak dapat dinilai, maka contoh jaringan diambil secara
konisasi. Biopsi harus dilakukan dengan tepat dan alat biopsi harus tajam
sehingga harus diawetkan dalam larutan formalin 10 %. Dikenal ada
beberapa prosedur biopsy, yaitu: (Norwitz,2008).
a. Cone biopsy (atau cold cone biopsy atau cold knife cone biopsy):
Konisasi serviks ialah pengeluaran sebagian jaringan serviks
sedemikian rupa sehingga yang dikeluarkan berbentuk kerucut
(konus), dengan kanalis servikalis sebagai sumbu kerucut. Untuk
tujuan diagnostik, tindakan konisasi harus selalu dilanjutkan dengan
kuretase. Batas jaringan yang dikeluarkan ditentukan dengan
pemeriksaan

kolposkopi.

Jika

karena

suatu

hal

pemeriksaan

kolposkopi tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan tes Schiller.


Pemeriksaan ini dikerjakan dengan sebelumnya memulas porsio
dengan larutan lugol dan jaringan yang akan diambil hendaknya pada
batas antara jaringan normal (berwarna coklat tua karena menyerap
Iodium) dengan bagian porsio yang pucat (jaringan abnormal yang
tidak menyerap Iodium). Kemudian jaringan direndam dalam larutan
formalin 10% untuk dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi.

20

Konisasi diagnostik dilakukan pada keadaan-keadaan sebagai berikut


(Norwitz,2008) :
1)

Proses dicurigai berada di endoserviks.

2)

Lesi tidak tampak seluruhnya dengan pemeriksaan kolposkopi.

3)

Diagnostic mikroinvasi ditegakkan atas dasar specimen biopsy.

4)

Ada kesenjangan antara hasil sitologi dan histopatologik.

Perlu disadari mengerjakan biopsi yang benar dan tidak mengambil


bagian yang nekrotik. Pada tingkat klinik 0, Ia, Ib-occ, penentuan
tingkat keganasan secara klinis didasarkan atas hasil pemeriksaan
histologik. Oleh karena itu untuk konfirmasi diagnosis yang tepat
sering diperlukan tindak lanjut seperti kuretase endoserviks (ECC =
Endo-Cervical Curretage) atau konisasi serviks (Norwitz,2008).

Gambar 5. Cone Biopsy Serviks (Norwitz,2008).


b. Loop electrosurgical excision procedure (LEEP): prosedur yang
menggunakan kabel yang berbentuk ikal untuk mengambil jaringan.
Prosedur ini menggunakan arus listrik yang dilewati pada kawat tipis
untuk memotong jaringan abnormal kanker serviks (Norwitz,2008).

21

c. Endocervical curettage: prosedur yang menggunakan instrument kecil


berbentuk sendok, yang disebut kuret untuk mengikis jaringan dari
dalam serviks (Norwitz,2008).
g. Patogenesis
A. Human Papilloma Virus (HPVs)
Human papilloma virus (HPVs) adalah virus DNA famili
papillomaviridae. HPV virion tidak mempunyai envelope, berdiameter
55 nm, mempunyai kapsid ikosahedral. Genom HPV berbentuk
sirkuler dan panjangnya 8 kb, mempunyai 8 open reading frames
(ORFs) dan dibagi menjadi gene early (E) dan late (L). Gen E
mensintesis 6 protein E yaitu E1, E2, E4, E5, E6 dan E7, yang banyak
terkait dalam proses replikasi virus dan onkogen, sedangkan gen L
mensintesis 2 protein L yaitu L1 dan L2 yang terkait dengan
pembentukan kapsid. Saat ini lebih dari 200 tipe HPV dan dikenal atas
dasar data sekuens (Conway and Mayers, 2009). 85 HPV genotipe
yang telah diketahui ciri khasnya, sedangkan 120 isolat lainnya masih
belum jelas petanda khasnya (Burd, 2003).
HPV dibagi menjadi 2 yaitu virus tipe low-risk (resiko rendah)
dan high-risk (resiko tinggi) yang dihubungkan dengan resiko
keganasan. HPV tipe resiko rendah cenderung untuk menyebabkan
tumor

jinak

sedangkan

HPV

tipe

resiko

tinggi

cenderung

menyebabkan tumor ganas. Lebih dari 30 tipe HPV yang


diklasifikasikan onkogenik atau resiko tinggi (high- risk) sebab
hubungannya dengan kanker serviks yaitu tipe 16, 18, 31, 33, 34, 35,
39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 66, 68 dan 82 (Sheu et al, 2007; Conway
22

and Mayers, 2009) Tipe low-risk menyebabkan tumor jinak meskipun


kadangkala dapat menyebabkan kanker antara lain kanker anogenital
yaitu tipe 6, 11, 42, 43, 44, 54, 61, 70, 72, dan 81 (Conway and
Mayers, 2009). HPV tipe 16 paling sering dijumpai dan sekitar 50%
kanker serviks invasif dijumpai HPV tipe 18, 45, 31, 33, 52 dan 58
(Clifford et al, 2003). Infeksi persisten HPV-16, HPV-18, HPV-31,
HPV-45 sering menyebabkan kanker serviks. Infeksi rongga mulut dan
orofarink seringkali disebabkan oleh HPV-6, HPV-11, HPV-16, HPV18 dan diperkirakan 40-60% perkembangan tumor ganas kepala leher
dihubungkan dengan HPV-16 dan HPV-18.
Genom HPV berbentuk sirkuler dan panjangnya 8 kb,
mempunyai 8 open reading frames (ORFs) yang dibagi menjadi gene
early (E) dan late (L). Genom virus terdiri dari 3 segmen, 10% terdapat
dalam long control region (LCR) yang berfungsi dalam regulasi
ekspresi gen. Genom yang lain terdiri dari gen early (E) encode 50%
dan late (L) encode 40%. Gen-gen tersebut encode dalam satu untaian
DNA. Gen L1 encode protein kapsid 55 kDa dan L2 70 kDa,
sedangkan gen E encode protein non struktural yang meregulasi
transkripsi dan replikasi virus. Pada umumnya gene E1, E2 dan E6
diekspresikan dalam bentuk beberapa poliprotein dan E4, E5 dan E7
dalam bentuk polipeptida tunggal. Genom HPV secara fungsional
terdiri dar 3 regio, yaitu pertama noncoding upstream regulatory
region (URR) yang berukuran 400 1000 bp yang disebut juga long
control region (LCR). Regio ini mengandung p97 core promoter
disertai enhancer dan silence sequence yang berfungsi mengontrol
replikasi DNA. Kedua, disebut early region yang mengandung ORFs
E1, E2, E3, E4, E5, E6 dan E7 yang terkait dalam replikasi virus.
Ketiga adalah late region L1 dan L2 yang terkait dengan penyusunan
kapsid virus (Morshed et al, 2014; Kumar et al, 2015).

23

Gambar 6. Skema Genom HPV (Burd, 2003)


Virus protein E6 dan E7 merupakan jenis yang paling berperan
dalam efek onkogenik virus HPV. Protein E7 mampu berikatan dengan
protein Rb yang berfungsi untuk mencegah perkembangan siklus sel
berlebihan sampai sel siap membelah diri dengan baik. Ikatan pRb
dengan E7 menyebabkan pRb tidak dapat berfungsi dengan baik
sehingga terjadi proliferasi sel yang tidak terkontrol. E7 selain
berikatan dengan pRb juga dapat berikatan dengan p27 dan p21
sehingga meningkatkan proliferasi sel. p21 dan p27 adalah cdkinhibitor (cdk-I), maka bila berikatan dengan E2 dapat menghambat
cdk-I dan meningkatkan aktifitas cdk. Kelompok ketiga yang dapat
berikatan dengan E7 adalah histone dacetylases (HDACs). E7 dapat
mengikat HDACs yang juga diikat oleh Rb, sehingga secara tidak
langsung Rb terikat dengan E7 dan terjadi sel imortal. HDACs yang
terikat dengan E7 juga dapat menyebabkan deasetilasi faktor
transkripsi E2F sehingga menyebabkan relokasi faktor tersebut diluar
nukleus.

Kombinasi

mekanisme

tersebut

diatas

mendorong

transformasi malignansi sel serviks (Kumar et al, 2015; Burd, 2003).

24

E6 mempunyai kemampuan yang khas mampu berikatan


dengan p53. p53 yaitu protein yang termasuk supresor tumor yang
meregulasi siklus sel baik pada G1/S maupun G2/M. Pada saat terjadi
kerusakan DNA, p53 teraktifasi dan meningkatkan ekspresi p21,
menghasilkan cell arrest atau apoptosis. Proses apoptosis ini juga
merupakan cara pertahanan sel untuk mencegah penularan virus pada
sel-sel didekatnya. Kebanyakan virus tumor menghalangi induksi
apoptosis. E6 membentuk susunan kompleks dengan regulator p53
seluler ubiquitin ligase / E6AP yang meningkatkan degradasi p53. E6
juga menurunkan aktifitas p53 melalui CBP/p300, koaktifator p53.
Inaktifasi p53 menghilangkan kontrol siklus sel, arrest dan apoptosis.
Penurunan p53 menghalangi proses proapoptotik, sehingga terjadi
peningkatan proliferasi (Kumar et al, 2015; Burd, 2003)

Gambar 7. Ikatan E6 dan P53 (Burd, 2003)

25

E6 mempunyai fungsi lain yang penting yaitu mengaktifasi


telomerase pada sel yang terinfeksi HPV. Pada keadaan normal
replikasi DNA akan memperpendek telomere, namun bila ada E6,
telomer akan tetap diperpanjang melalui aktifitas katalitik sub unit
telomerase, human reverse transcriptase (hTERT). E6 membuat
komplek dengan Myc/Mac protein dan Sp-1 yang akan mengikat
ensim hTERT di regio promoter dan menyebabkan peningkatan
aktifitas telomerase sel. Sel tidak lagi senescence tetapi terus
berproliferasi atau imortalisasi (Guananomi, 2007).

Gambar 8. Peran E6 pada siklus sel (Guanamony et al, 2007)


B. Karsinogenesis
Proses karsinogenesis terdiri dari 3 mekanisme yang terlibat : 1.
Onkogen yang dapat menginduksi timbulnya kanker, 2. Anti-onkogen atau
gen suppressor yang dapat mencegah timbulnya sel kanker, 3. Gen

26

modulator yang dapat mempengaruhi penyebaran kanker. Kanker terjadi


karena adanya kerusakan dan transformasi dari protoonkogen dan
supressorgen yang menyebabkan terjadi perubahan dalam cetakan protein
yang telah terprogram

semula. Oleh karena itu, terjadi kekeliruan

transkripsi dan translasi gen yang mengakibatkan pembentukan protein


abnormal (Baba dan Catoi, 2007; Sukardja, 2000).
Karsinogenesis merupakan suatu proses bertahap, sedikitnya ada
tiga tahapan pada proses karsinogenesis mulai dari waktu fiksasi
karsinogen dengan kromosom DNA hingga terbentuknya sel kanker yaitu
inisiasi, promosi dan progresi (Baba dan Catoi, 2007; Sukardja, 2000).
1) Inisiasi
Tahap inisiasi berawal dari sel yang terpapar oleh bahan kimia
inisiator. Bahan kimia inisiator merupakan suatu bahan kimia
karsinogenik yang dapat mencetuskan timbulnya kanker. Perlu diingat
bahwa ada bahan kimia nonkarsinogenik yang dapat menjadi bahan
promotor (pendorong) bagi sel yang telah terkena bahan inisiator.
Tahap ini berlangsung cepat, tetapi masih bersifat reversible. Sel
normal yang terpapar karsinogen terus menerus akan bereaksi dengan
DNA dan menyebabkan mutasi DNA sehingga sel tersebut menjadi sel
yang terinisiasi. Keadaan ini bersifat permanen dan irreversibel (Baba
dan Catoi, 2007; Kumar et al, 2015).
2) Promosi
Tahap promosi, sel yang telah terinisiasi mengalami perubahan
kromosom DNA akibat paparan bahan promotor atau bahan kimia
lain. Promotor adalah zat non mutagen tetapi dapat menaikkan reaksi
karsinogen dan dapat menimbulkan amplifikasi gen. Suatu promotor
yang terkenal adalah ester phorbol yang terdiri dari TPA (Tetradeconyl

27

pharbol Acetat) dan RPA (12-Retinoyl Phorbol Acetat) yang terdapat


dalam minyak kroton. Tahap promosi merupakan proses yang
berlangsung lama dan bersifat tidak reversibel. Paparan yang berulang
ini mengubah sifat sel normal menjadi sel kanker. Pertumbuhan sel
kanker tidak mengikuti kaidah pertumbuhan sel normal. Sel kanker
membelah diri dan tumbuh secara autonom, tidak terkoordinasi dan
tidak terkendali. Tahap ini dapat mengubah ekspresi gen seperti
hiperplasi, induksi enzim ataupun induksi differensiasi (Baba dan
Catoi, 2007; Sukardja, 2000).
3) Progresi
Tahap progresi merupakan tahap akhir dari proses pembentukan
sel kanker. Tahap ini, sel kanker mengalami perubahan fenotip. Bila
dilakukan pemeriksaan klinis, telah teraba masa tumor berupa
benjolan. Dalam tahap ini, terjadi aktivasi, mutasi atau hilangnya gen.
Pada progresi timbul perubahan benigna menjadi premaligna dan
maligna. Sel kanker ganas mampu mengadakan infiltrasi di antara sel
jaringan sekitar dan melakukan metastasis ke bagian tubuh yang lain
(Baba dan Catoi, 2007; Sukardja, 2000).
Serviks memiliki dua jenis sel epitel yang melapisi ektoserviks
dan endoserviks, yaitu sel epitel kolumner dan sel epitel squamosal
yang disatukan oleh Squamosa Columner Junction (SCJ). Pada
awalnya metaplasia (proses pergantian epitel kolumner dan squamosa)
berlangsung fisiologis. Namun dengan adanya mutagen maka yang
semula fisiologis berubah menjadi displasia. Displasia merupakan
karakteristik konstitusional sel seperti potensi untuk menjadi ganas.
Hampir semua ca serviks didahului dengan derajat pertumbuhan

28

prakanker yaitu dysplasia dan karsinoma insitu. Displasia pada serviks


disebut dengan Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) yang terdiri
dari tiga tingkatan yaitu CIN I (Displasia ringan, terjadi di epitel basal
lapisan ketiga, perubahan sitoplasmik terjadi di atas sel epitel kedua
dan ketiga), CIN II (dysplasia sedang, perubahan ditemukan pada
epitel yang lebih rendah dan pertengahan, perubahan sitoplasmik
terjadi di atas sel epitel ketiga), serta CIN III (dysplasia berat, terjadi
perubahan nucleus, termasuk pada semua lapisan sel epitel,
diferensiasi sel minimal dan karsinoma insitu) (Kumar et al, 2015)
C. Teori Epigenetik pada Kanker Serviks
1. Histone Deasitilase
Teori mengenai terjadinya kanker serviks ada banyak,
diantaranya adalah Histon Deasetilase (HDAC). Materi genetik di
dalam nucleus sel dibalut dengan kromatin. Kromatin berfungsi dalam
proses transkripsi, DNA Replikasi, Repair,Damage dan Apoptosis.
Struktur kromatin sangat menentukan keberhasilan dalam transkripsi
dan expresi gen. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kromatin
seperti faktor genetik dan epigenetik. Epigenetik memiliki hubungan
dengan kerusakan gen akibat termetilisasinya histon yang terdapat
dikromatin. Epigenetik sendiri adalah suatu peristiwa dimana
berubahnya fungsi gen secara herediter tetapi tidak merubah urutan
dan komposisi nukleotida. Faktor Epigenetik sangat mempengaruhi
expresi suatu gen. (Pandey dkk, 2012 ; Zur, 2002 ; Chen, 2008 ;
Zhang, 2008)
Histon Deacetilase (HDACs) (Histone Deacetylase) adalah
suatu enzim yang penting dalam pengaturan transkripsi gen. Golongan

29

HDAC(Histone Deacetylase) dibedakan menjadi dua yaitu Zndependent (Class I and Class II) dan NAD-dependent (Class III)
enzim. Zn-dependent menjadi fokus penelitian karena fungsi
acetilatisi dan regulasi dari siklus sel,cdk inhibitor p21, p53. Karena
memiliki efek yang luas dalam pengaturan dan pengendalian sel maka
HDAC(Histone

Deacetylase)

sangat

penting

menjadi

target

perancangan obat baru kanker. HDAC(Histone Deacetylase) enzim


membuang acetil group dari histone dengan cara mengubah residu
histidin,aspartat masing masing dua dan satu residu tirosin yang
sangat diperlukan untuk ikatan dengan ion Zn2+. (Zhang, 2008 ;
Cheng, 2003 ; Ruijter, 2003 ; Finnin, 1999).

Gambar 9. Mekanisme HDAC (Histone Deacetylase) (Finnin,


1999)
Gambar di atas menunjukkan beberapa golongan dari HDCA
dan mekanisme kerja di dalam nukleus dengan benang kromatin.
Mekanisme

kematian

sel

kanker

karena

anti-HDAC(Histone

Deacetylase) (Finnin, 1999).

30

a) Bekerja pada Death receptor (extrinsic) melalui proses apoptosis.


b) Bekerja pada Mitochondrial (intrinsic) melalui proses apoptosis.
c) Menghambat angiogenesis (pembuluh darah).
d) Menghentikan proses reaktif oksigen species (ROS).
e) Autophagy dan lain-lain.
Kanker servik secara molekular bertalian dengan aktivitas dan
expresi dari gen p21WAF1 dan p27KIP1 pada galur sel ,dapat dilihat
dari

western

blot.

Aktivitas

gen

p21WAF1

dan

p27KIP1

menyebabkan aktivitas berlebihan dari histon karena mengalami


asetilisasi sehingga tidak dapat mengendalikan sel dengan baik.
Peristiwa tersebut mengawali pertumbuhan sel ke arah kanker pada
umumnya dan servik pada khususnya. Sel di servik termasuk aktif
dalam pembelahan maka erat kaitannya dengan HDAC(Histone
Deacetylase). (Haberland, 2009 ; Gui, 2004 ; Takai, 2010 ; Takai,
2.

2010)
Metilasi DNA
Metilasi DNA adalah penambahan gugus metil (- CH3) ke posisi
5 'dari dasar sitosin dalam urutan genom, menciptakan 5' methylcytosine ( 5'mC ) (Gambar 3) dalam dinukleotida CpG dan
trinukleotida

CpNpG

yang

difasilitasi

oleh

enzim

DNA

metiltransferase. Kehadiran kelompok metil mempengaruhi interaksi


protein dengan genom melalui penyumbatan fisik atau perekrutan
protein pengikat metil (Pils, 2013; Hsieh dan Fischer, 2005).

31

Gambar 10. Metilasi yang terjadi pada ujung 5-sitosin


Pola metilasi DNA tidak terjadi secara acak, melainkan terbatas
pada sitosin dalam sequence 5-CG-3 dan pada tumbuhan dalam
sequence 5-CNG-3. Metilasi DNAmeliputi 2 tipe aktivitas metilasi,
antara lain (Blair, 2010):
a. Maintenance methylation
Mekanisme ini bertanggung jawab dalam menambahkan
grup metil pada untai DNAyang baru disintesis pada posisi metilasi
yang berlawanan dengan untai induknya setelah DNA direplikasi.
Hal ini menyebabkan semua DNA anak mempertahankan pola
metilasi dari molekul induknya.
b. De novomethylation
Mekanisme ini melibatkan penambahan semua grup metil
pada posisi yang baru,sehingga merubah pola metilasi. Artinya,
molekul DNA anak memiliki pola metilasi yang berbeda dengan
molekul DNA induk.

32

Gambar 11. Metilasi DNA


Kompensasi yang terjadi jika tidak dapat donor metil
adalah terjadi mutasi genetik, dimana sel akan menyebar melaui
jalur limfogen atau hematogen dan akan memakan sel lainnya.
(Holliday, 2005).

D. Respon Imun pada Kanker Serviks


1. Antigen Tumor
a. Tumor Specific Antigen
TSA atau TSTA merupakan antigen yang mengalami over-ekspresi
pada sel-sel tumor, tetapi tidak pada sel-sel normal. Beberapa
antigen ini spesifik atau unik untuk jenis tumor tertentu
(Baratawidjaja, 2014).
b. Tumor Associated Antigen
Yaitu antigen tumor yang selain diekspresikan oleh sel-sel tumor
2.

juga diekspresikan oleh sel-sel normal (Baratawidjaja, 2014).


Respon imunitas seluler dan humoral
Reaksi imun diawalai oleh antigen yang masuk dan akan di
fagosit oleh sel yag bertindak sebagai antigen precenting cell (APCs)
yaitu makrofag ataupun sel dendritik. Antigen yang memasuki sel
akan diproses secara otomatis oleh mekanisme pertahanan intraseluler,
yaitu proteasome memfragmen antigen menjadi bagian-bagian yang

33

kecil yang disebut dengan oligopeptides. Setelah tu, hasil dari fragmen
dibawa ke dalam RE (reticulum endoplasma) dan berikatan dengan
MHC kelas II, antigen yang bersifat pathogen saja yang akan
dipresentasikan oleh MHC kelas II. MHC kelas II yang sudah
berikatan dengan fragmen dari antigen, akan bermigrasi dari reticulum
endoplasma melalui apparatus golgi untuk melakukan proses
eksositosis ke permukaan sel yang selanjutnya akan dipresentasikan
ke sel T di limfe nodi (Weinberg, 2014).
Sel dendritik yang mengandung ikatan oligopeptida-MHC
kelas II di permukaan nya akan bermigrasi melalui duktus limfatikus
menuju limfe nodi untuk memperesentasikan antigen kepada sel Th.
Ikatan oligopeptida-MHC kelas II diterima oleh sel Th melalui TCR
( T cell Receptor) yang akan mengaktifkan sel Th. Sel Th yang telah
teraktivasi

dapat

mengaktifkan

baik

imunitas

seluler

yaitu

berkontribusi terhadap aktivasi sel T sitotoksik, ataupun mengaktifkan


imunitas humoral dengan cara aktivasi sel B (Weinberg, 2014).
Sel T sitotoksik (CD8+) melakukan aksinya dengan dua
mekanisme, yang pertama adalah produksi protein toksik untuk
melawan sel target, yaitu [perforin dan granzim. Perforin akan
membuat lubang pada membrane sel target untuk membantu granzim
memasuki sitosol sel target dan menginduksi adanya apoptosis sel.
Mekanisme kedua sel T sitotoksik akan memperesentasikan FasL yang
merupakan ligand dari reseptor fas pada permukaan sel. FasL akan
mengaktifkan reseptor fas yang menyebabkan terjadinya apoptosis sel
(Weinberg, 2014).

34

Sel Th yang telah aktif akan menginduksi sistem imunitas


humoral melalui aktivasi sel B oleh Th2 (CD4+). Aktivasi sel B
menyebabkan sel B mengalai poliferasi dan deferensiasi menjadi sel
plasma untuk menghasilkan antibodi. Respon humoral digunakan
untuk netralisasi partikel virus yang telah dikeluarkan di ruang
ekstraseluler, termasuk di intravaskular dengan cara menyelimuti
partikel virus dengan antibodi. Mekanisme humoral juga ikut
berpartisipasi dalam menghancurkan sel-sel tumor dengan cara
mengaktivasi komplemen dan menginduksi ADCC (Antibodydependent celluler cytotoxicity), yang dilakukan oleh sel Natural
(Weinberg, 2014).
Sitotoksisitas alami yang diperankan oleh sel NK merupakan
mekanisme efektor yang sangat penting dalam melawan tumor. Sel
NK adalah sel efektor dengan sitotoksisitas spontan terhadap berbagai
jenis sel target. Sel-sel efektor ini tidak memiliki sifat-sifafat klasik
dari makrofag, granulosit maupun CTL, dan sifat sitotoksisitasnya
tidak bergantung pada MHC (Baratawidjaja, 2014; Kumar et al, 2015;
Anne et al, 2011).
Sel NK dapat berperan baik dalam sistem imun non spesifik
maupun spesifik terhadap sitokin yang diproduksi oleh limfosit T
spesifik tumor. Mekanisme lisis yang sama dengan mekanisme yang
digunakan sel T CD8+ untuk membunuh sel, tetapi sel NK tidak
mengekspresikan TCR dan memunyai rentang spesifistias yang lebar
(Baratawidjaja, 2014; Kumar et al, 2015; Anne et al, 2011).
Sel NK dapat membunh sel terinfeksi virus dan sel-sel tumor
tertentu, khususnya tumor hemopoetik in vitro. Sel NK tidak dapat

35

melisiskan sel yang mengekspresikan MHC, tetapi sebaliknya sel


tumor yang tidak mengekspresikan MHC yang biasanya lolos dari
CTL, menjadi sasaran sel NK. Sel NK dapat diaahkan untuk
melisiskan sel yang dilapisi immunoglobulin karena sel NK
mempunyai reseptor FC untuk molekul IgG (Baratawidjaja, 2014;
Kumar et al, 2015; Anne et al, 2011).
Diantara reseptor penting yang dimiliki oleh sel NK adalah
reseptor NKG2D yang merupakan glikoprotein transmembran. Ligan
NKG2D sering diekspresikan pada permukaan sel tumor yang
menyebabkan sel tumor sensitive untuk pembunuhan oleh sel NK. Hal
ini membuktikan bahwa pengenalan sel tumor oleh sel-sel imun tidak
selalu harus melibatkan MHC, tetapi dapat juga melalui ligan yang
diekspresikan oleh sel tumor (Baratawidjaja, 2014; Kumar et al, 2015;
Anne et al, 2011).

Gambar 12. Mekanisme Imun seluler dan humoral (Weinberg, 2014)


3. Peran sitokin

36

Sel epitel merupakan pertahanan mekanis yang berperan


komplek pada imunitas seluler. Keratinosit mensekresikan sitokin
dalam jumlah rendah, termasuk sitokin proinflamasi, growth factor
dan kemokin dan dapat meningkat akibat berbagai rangsangan.
Transforming growth factor (TGF- ), tumor necroting factor (TNF),
interferon dan (IFN) yang diproduksi oleh sel epitel dapat
menghambat proliferasi keratinosit yang terinfeksi dengan HPV,
termasuk menghambat gen HPV E6 dan E7. E6 berperan
menghancurkan

p53

melalui

ubiquitin-mediated

proteolysis,

sedangkan E7 berinteraksi dengan pRb yang berperan pada siklus sel.


TGF- mampu menghambat sel imortal HPV-16 dengan menekan gen
c-myc.

HPV-11

memperlihatkan

over

ekspresi

TGF-

dan

downregulate bcl-2, c-myc, C-jun dan c-Ha-ras serta mengkode


ekspresi gen NFB. Sitokin TNF mempunyai pengaruh antiproliferasi
pada sel keratinosit yang terinfeksi HPV-16, tetapi tidak berpengaruh
pada sel keratinosit imortal yang terinfeksi HPV-18. Seperti halnya
TGF-, TNF juga mampu menekan ekspresi E6 dan E7 pada sel
keratin imortal HPV-16. TNF diproduksi oleh keratinosit dan
berperan sebagai antipoliferatif pada sel yang terinfeksi HPV. TNF-
mempunyai pengaruh antiproliferatif terhadap sel epitel yang
mengandung HPV-16, tetapi tidak berpengaruh pada sel epitel yang
mengandung HPV-18. TNF menekan ekpresi E6 dan E7 bersamasama dengan IL-1, sehingga efek ini berpengaruh pada siklus sel G0G1 (Mark et al, 2013; Baratawidjaja et al, 2014; Kumar et al, 2015 ).

37

IFN termasuk IFN- dan IFN- serta IFN- yang diproduksi sel
T menunjukkan efek antiproliferatif terhadap sel keratinosit imortal
yang terinfeksi HPV-16. IFN- juga dapat menghambat ekspresi
protein E7 HPV-16, tetapi tidak berpengaruh terhadap ekspresi E6,
namun mampu menghambat ekpresi protein E6 dan E7 HPV-18. IFN-
menghambat transkripsi gen E6 dan E7 HPV-16, 18 dan 33 yang
disertai hambatan pertumbuhan keratinosit imortal, namun IFN-
tidak demikian. IFN- dapat menurunkan transkripsi gen E6 dan E7
HPV-16 pada keratinosit HPK-1A dan tidak demikian dengan IFN-
maupun

IFN-.

IFN-

juga

dapat

menghambat

proliferasi

pertumbuhan HPV-16 dengan konsentrasi 10-100 kali tinggi


dibanding normal. Sel tumor diduga tidak terpengaruh oleh efek
sitokin antiproliferasi yang disebabkan pada sel imortal sitokin
proinflamasi tidak berpengaruh pada sel yang imortal. Setelah
transformasi malignansi, terjadi resistensi terhadap pengaruh IFN. Sel
yang terinfeksi HPV dapat lepas dari pengaruh sitokin proinflamasi.
Peningkatan tumorigenisitas menurunkan ekspresi TNF. Pelepasan
reseptor TNF solubel tipe-1 meningkat pada sel tumorigenik.
Pengukuran reseptor TNF solubel tipe 1 dan 2 meningkat dalam serum
penderita, sehingga disimpulkan bahwa reseptor solubel TNF
memfasilitasi pertumbuhan lesi. E7 mampu menghambat ekspresi
INF-, melalui penghambatan pada translokasi p48 yang merupakan
komponen ikatan DNA INF-. Dari berbagai bukti penelitian tersebut
diatas dapat disimpulkan bahwa sel tumor mempunyai kemampuan

38

untuk menghindari dan menghambat ekspresi sitokin proinflamasi


(Mark et al, 2013; Baratawidjaja et al, 2014; Kumar et al, 2015 ).
h. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kanker serviks terdiri atas:
1. kemoradiasi terapi
2. operasi dan terapi radiasi
kanker cerviks:
In situ karsinoma serviks
Pilihan pengobatan standar untuk in situ kanker serviks meliputi (Heffner,
2008):
1. konisasi, digunakan untuk mempertahankan rahim, menghindari terapi
radiasi, dan operasi yang lebih luas.
2. Histerektomi untuk pasien post reproductive
3. Terapi radiasi internal
Stadium IA1 dan IA2 pada kanker serviks
1. Stadium IA1 :
a. Konisasi jika invasi kurang dari 3 mm, tidak ada pembuluh darah
atau invasi saluran limfatik dan biopsi kerucut yang negatif
b. Histerektomi total jika kedalaman invasi kurang dari 3 mm yang
dibuktikan dengan biopsi kerucut dengan margin yang jelas
2.

(Heffner, 2008).
Stadium IA2 :
a. Histerektomi radikal ddimodifikasi dengan limfadenektomi,

dengan invasi tumor antara 3-5mm (Heffner, 2008).


Stadium IB dan IIA pada kanker serviks
Pilihan pengobatan standart untuk stadium IB dan IIA pada kanker
serviks meliputi:
a. Terapi radiasi bersamaan dengan kemoterapi
b. Histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvis bilateral dengan
atau tanpa terapi radiasi panggul janin ditambah dengan kemoterapi
(Heffner, 2008).
Stadium IIB, III. Dan IVA pada kanker serviks
Pilihan pengobatan standart untuk stadium IIB, III, dan tahap IVA kanker
serviks meliputi terapi radiasi bersamaan dengan kemoterapi (Heffner,
2008).
Stadium IVB pada kanker serviks
Terapi pengobatan standar untuk stadium IVB kanker serviks meliputi :
a. Terapi radiasi paliatif, digunakan untuk meringankan metastasis jauh
b. Kemoterapi paliatif (Heffner, 2008).

39

4.2 Hubungan Kanker Serviks dan Anemia


Anemia merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada
penderita kanker.

Anemia yang terjadi bisa disebabkan langsung oleh

keganasan pada kanker, atau akibat produksi dari zat - zat tertentu yang
dihasilkan pada penderita kanker dan dapat juga akibat dari pengobatan
kanker itu sendiri (Spivak, 2002).
Klasifikasi anemia berdasarkan World Health Organization (WHO)
dan National Cancer Institute (NCI) .
WHO (g/dl)
Grade 0 (normal)
11
Grade 1 (ringan)
9.5-10.9
Grade 2 (sedang)
8.0-9.4
Grade 3 (berat)
6.5-7.9
Grade 4 (mengancam kehidupan) <6.5
Pada penderita kanker terjadi aktivasi sistem

NCI (g/dl)
Normal
10.0-normal
8.0-10.0
6.5-7.9
<6.5
imun / sistem

inflamasi yang ditandai dengan peningkatan kadar interferon (INF - ),


Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan
komponen yang bisa merangsang terjadinya anemia. Adanya aktivasi sistem
infalamasi menimbulkan suatu mekanisme patogenetik yang menyebabkan
terjadinya anemia diantaranya adalah gangguan pemakaian besi, penekanan
terhadap sel progenitor eritrosit , produksi eritropoietin tidak memadai dan
pemendekan umur eritrosit (Spivak, 2002).

40

Sitokin inflamasi seperti TNF , IL-1 dan INF - mampu


menggangu proses metabolisme besi sehingga menyebabkan terjadinya
gangguan pada proses eritripoiesis dan menyebabkan terjadinya anemia. TNF
, IL-1 dan INF juga bisa menekan sel progenitor eritrosit di sumsum
tulang belakang sehingga bisa menekan proses terjadinya eritropoiesis.
Selain itu TNF , IL-1 dan INF juga menekan sel sel yang memproduksi
eritropoietin. Pada pasien kanker, produksi eritropoietin juga bisa tergangggu
oleh karena terapi yang dilakukan mengganggu fungsi ginjal, terutama obat
kemoterapi yang menginhibisi sintesis RNA. Beberapa jenis kanker ada yang
mengalami penurunan respon terhadap eritropoietin, sehingga defisiensi
relative eritropoietin ini mungkin merupakan faktor yang turut mengambil
peran terhadap menurunnya eritopoiesis sehingga terjadi anemia pada kanker
(Spivak, 2002).
Umur sel darah merah pada penderita biasanya lebih pendek dari
pada umur sel darah merah pada orang yang sehat. Rata rata umur sel darah
merah pada penderita kanker adalah 60 90 hari. Secara klinis ataupun
eksperimental hal tersebut terjadi diperantarai oleh IL-1 dan TNF yang
menyebabkan terjadinya diseritropoiesis dan memendekkan umur sel darah
merah pada penderita kanker. Pada plasma penderita kanker lanjut juga
ditemukan suatu substansi Anemia Inducing Substance (AIS) yang
menyebabkan terjadinya anemia. Selain itu anemia juga bisa disebabkan
langsung oleh sel kanker yang ada dalam tubuh. Sel kanker dalam tubuh
menyebabkan proses fibroid atau reaksi fibrotic , yaitu terjadinya fibrosis di
dalam sumsum tulang dan matrix sinusoid yang menyebabkan gangguan sel
darah merah yang matang (Spivak , 2002).

41

BAB V
KESIMPULAN
1.

Kanker serviks merupakan keganasan kedua yang paling sering terjadi pada

2.

wanita dan merupakan penyebab utama kematian akibat kanker pada wanita
Kanker serviks sering terjadi pada rentang usia 25-34 tahun dan

3.

menunjukkan puncaknya pada rentang usia 45-54


Sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat

4.

mencegah kanker
Terbanyak pasien datang pada stadium lanjut, yaitu stadium IIB-IVB, hal
tersebut disebabkan diantaranya karena deteksi dini kanker serviks belum

5.

berjalan dengan baik.


Penatalaksanaan kanker serviks yang sering dilakukan diantaranya dengan

6.

menggunakan radiasi dan kemoterapi


Anemia pada pasien kanker terjadi karena adanya aktivasi sistem imun oleh
keganasan tersebut, serta beberapa sitokin yang dihasilkan oleh sistem imun
dan inflamasi yang menyebabkan adanya gangguan pemakaian zat besi,
peekanan terhadap sel progenitor eritrosit, produksi eritropoietin yang tidak
memadai dan pemendekan dari umur sel darah merah yang menyebabkan
terjadinya anemia

42

DAFTAR PUSTAKA
Aziz M.F. 2001. Masalah pada Kanker Serviks. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran
Edisi 133. Jakarta.
Baba, Loan A., Catoi Cornel. 2007. Comparative Oncology. Roma : The
Publishing House of The Romanian Academy
Baratawidjaja, Karnen G. 2014. Imunologi Dasar. Ed-11. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI
Benson, R. C. , dan Pernoll, M. L. , 2009. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi.
Jakarta : EGC
Blair, John. 2010. Dna Methylation Studies Of Preeclampsia And Related
Conditions.

B.Sc,

McGill

University.

Available

in

http://circle.ubc.ca/bitstream/handle/2429/44801/ubc_2013_fall_blair_john
.pdf?sequence=3 diakses pada tanggal 1 Oktober 2015.
Burd E.M. 2003. Human Papillomavirus and Cervical Cancer. Clin Micr Rev. 1
17.
Canavan, T. P., dan Doshi, N. R. 2000. Cervical Cancer. Am Fam Physician. 61(5)
: 1369-1376
Chen, Y. D. , Jiang, Y. J. , Zhou, J. W. , Yu, Q. S. , You, Q. D. 2008. Identification
of ligand features essential for HDACs inhibitors by pharmacophore
modeling. Journal Mollecular Graphic Model. 26 : 1160-1168.
Cheng, H. L. , Gu, Y. , Mostoslavsky, R. , Saito, S. , et al. 2003. Developmental
defects and p53 hyperacetylation in Sir2 homolog (SIRT1) -deficient mice.
Proc Natl Academy Science. 100: 10794-10799.
Clifford G.M, Smith J.S, Plummer M, Munoz N & Franceshi S. 2003. Human
papillomavirus type in invasive servical cancer worldwide. A metaanalysis. Br J Cancer. 88: 63-73
43

Conway M.J & Meyers C. 2009. Replication and Assembly of Human


Papillomaviruses. J Dent Res. 88(4):307-317.
Cunningham FG. Mcdonald PC. Karsinoma serviks. Obstetric Williams. Edisi 21.
Vol 2. Jakarta. EGC. 2007;1622-1625.
Finnin, M. S., Donigian, J. R., Cohen, A. Richon, V. M., et al. 1999. Structures of
a histone deacetylase homologue bound to the TSA and SAHA inhibitors.
Nature Journal, 401: 188193
Globocan. 2008. International Agency of Research Cancer (IARC) Section of
Cancer

Information

http://globocan.

Iarc.fr/factsheets/populations/factsheet.asp?uno=900
Guanamony M, Peedicayil A & Abraham P. 2007. An overview of Human
papillomavirus and current vaccine strategies. Ind J Med Micr. 25(1): 1017.
Gui, C. Y, Ngo, L., Xu, W. S., et al. 2004. Histone deacetylase (HDAC) inhibitor
activation of p21WAF1 involves changes in promoter-associated proteins,
including HDAC1. Proc Natl Academy Science USA. 101: 12411246
Haberland M. , Montgomery, R. L, Olson, E. N. 2009. The many roles of histone
deacetylases in development and physiology: implications for disease and
therapy. Nat Review Genetic. 10: 32-42
Heffner, LJ., Schust, DJ. Kanker serviks. At a Glance Sistem Reproduksi. Edisi
Kedua. Jakarta : Erlangga 2008; 94-95.
Herberman RB, Santoni A. Regulation of Natural Killer Cell Activity. In : Mihich
E, eds. Biological Respond in cancer Progress Toward otential Application
Vol 2, New York : Plenum Press, 2004:121-37
Hsieh, T. F. dan R. L. Fischer. 2005. Biology of chromatin dynamics. Annual
Review of Plant Biology 56: 327-351.
Kumar, Vinay., Abul KA., Nelson F., Jon C.A. 2015. Robins and Cotran
pathologic basis of disease.-9th ed. Philadelphia, PA: Saunders Elsevier
Mannuaba, I. B. G., Mannuaba, I. A. C., Mannuaba, I. B. G. F. 2007. Pengantar
Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC

44

Mark E. Scoot., Yurrii B .Shvetsov., Pamela J., Thompson., Brenda Y.,


Hemandez., Xuemei Zhu., Lynne R., Wilkens et al. 2013. Cervical
cytokines and clearance of incident human papillomavirus infection :
Hawai HPV cohort study. International Journal Of Cancer 133, 1187-1196
Morshed, kamal., Dorota Polz-Gruszka., Marcin Szymanski., Malgorzata Polz
Dacewicz. 2013. Human Papillomavirus (HPV)- Structure, epidemiology
and pathogenesis. J.Otpol.68.213-219
Nuranna L. , 2005. Penanggulangan Kanker Serviks Yang Sahih dan Andal
Dengan Model Proaktif-VO (Proaktif, Koordinatif Dengan Skrining IVA
dan Terapi Krio) [Disertasi]. FKUI : Jakarta.
Norwitz, E., Schorge, J. Kanker Serviks. At a Glance Obstetri & Ginekologi. Edisi
kedua. Jakarta : Erlangga 2008; 62-63.
Pandey S. , Mishra M. , Chandrawati. 2012. Human Papillomavirus screening in
North Indian women. Asian Pacific Journal of Cancer Preview,13 : 26432646

Perroy A. C., Kotz H. L. 2010. Cervical Cancer. In Abraham J., Allegra C. J.,
Gulley J. L., Gulley J. Bethesda Handbook of Clinical Oncology Third
Edition. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins. p: 248
Pils, P., et al., 2013. Methylation status of TUSC3 is a prognostic factor in ovarian
cancer. 119:946954
Rasjidi, I. 2009. Epidemiologi Kanker Serviks. Indonesian Journal of Cancer. 3
(3) : 103-108
Rivlin, E, M.2010. Obstetrics and gynecologi, 5 th.Ed.Lippincott Williams
& Wilkins p.
Ruijter, A. J. M., Van, Gennip, A. H., Caron, H. N., Kemp, S., et al. 2003. Histone
deacetylases (HDACs): characterization of the classical HDAC family.
Biochemistry Journal. 370: 737749
Sogukopinar, N., et all. 2009, Cervical Cancer Prevention and Early Detection,
Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. Vol 4;15-21.
Spivak, Jerry L. 2002. Anemia and Erythropoiesis in Cancer. Advancaed Studies
in Medicine. Vol 2. No 17.

45

Sukardja IDG. 2000. Onkologi Klinik. 2nd ed. Surabaya : Airlangga University
Press
Sjamsuddin S. 2001. Pencegahan dan Deteksi Dini Kanker Serviks. Dalam:
Cermin Dunia Kedokteran Edisi 133. Jakarta. pp: 9-10
Sheu B.C, Chang W.C, Lin H.H, Chow S.N & Huan S.C. 2007. Immune concept
of human papillomavirus and related anatigens in local cancer milieu of
human cervical neoplasia. J. Obst. Gynecol. 2: 103-113.
Takai N., Narahara, H. 2010. Histone deacetylase inhibitor therapy in epithelial
ovarian cancer. Journal Oncology. 2 : 102-108
Takai, N, Narahara, H. 2010.Preclinical studies of chemotherapy using histone
deacetylase inhibitors in endometrial cancer. Obstetetry Gynecology
International. 6 : 234-240
Walboomers, J. M. , Jacobs, M. V. , Manos, M. M. , Bosch, F. X. , Kummer J. A. ,
Shah, K. V. , Snijders, P. J. , Peto, J. , Meijer, C. J. , Munoz, N. 1999.
Human papillomavirus is a necessary cause of invasive cervical cancer
worldwide. Journal Pathologic. 189 : 12-9
Weinberg, Robert A. 2014. The Biology of Cancer. USA : Garland Science,
Taylor and Francis Group, LCC.
Zhang, Y. , Gilquin, B. , Khochbin, S. , Matthias, P. 2008. Two catalytic domains
are required for protein deacetylation. Journal Biology Chemistry.
281:24012404
Zur H. H, 2002. Papillomaviruses and cervical cancer. Nat Review. 2 : 342-350
National

Cancer

Institute.

2011.

Cervical

Cancer.

http://www.cancer.gov/cancertopics/types/cervical

46

Anda mungkin juga menyukai