PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Prevalensi Hipertensi atau tekanan darah di Indonesia cukup tinggi. Selain itu,
akibat yang ditimbulkannya menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi,
merupakan salah satu faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian
penyakit jantung dan pembuluh darah. Hipertensi sering tidak menunjukkan gejala,
sehingga baru disadari bila telah menyebabkan gangguan organ seperti gangguan
fungsi jantung atau stroke. Tidak jarang hipertensi ditemukan secara tidak sengaja
pada waktu pemeriksaan kesehatan rutin atau datang dengan keluhan lain.
Demikian disampaiakan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (PP dan PL), Kemenkes, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama mengenai
beberapa Masalah Hipertensi di Indonesia.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan, sebagian besar
kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis. Hal ini terlihat dari hasil
pengukuran tekanan darah pada usia 18 tahun ke atas ditemukan prevalensi hipertensi
di Indonesia sebesar 31,7%, dimana hanya 7,2% penduduk yang sudah mengetahui
memiliki hipertensi dan hanya 0,4% kasus yang minum obat hipertensi. "Ini
menunjukkan, 76% kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis atau 76%
masyarakat belum mengetahui bahwa mereka menderita hipertensi", kata Prof Tjandra
Yoga.
I.2 Rumusan Masalah
Belum diketahuinya Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Penderita
Hipertensi dalam Upaya Mencapai Tekanan Darah Terkontrol di wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Kembangbahu, Kota Lamongan, Provinsi Jawa Timur.
o Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang mempunyai angka
kejadian tinggi pertama di Kembangbahu
o Sebagian besar masyarakat Kembangbahu belum mengetahui bahaya
komplikasi penyakit hipertensi.
o Sebagian besar penderita hipertensi di Kembangbahu mengalami
komplikasi seperti stroke iskemik, perdarahan, dan vertigo sentral.
o Belum ada media maupun perencanaan promosi penyakit hipertensi
dan
mengaplikasikan
ilmu mengenai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah.
Tekanan darah (TD) ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung dan
resistensi perifer. Curah jantung adalah hasil kali denyut jantung dan isi sekuncup.
Besar ini sekuncup ditentukan oleh kekuatan kontraksi miokard dan alir balik vena.
Resistensi perifer merupakan gabungan resistensi pada pembuluh darah (arteri dan
arteriol) dan viskositas darah. Resistensi pembuluh darah ditentukan oleh tonus otot
polos arteri dan arteriol dan elastisitas dinding pembuluh darah.
Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakan berdasarkan sekali pengukuran,
kecuali bila tekanan darah diastolik (TDD) 120 mmHg dan atau tekanan darah
sistolik (TDS) 210 mmHg. Pengukuran pertama harus dikonfirmasi pada sedikitnya
dua kunjungan lagi dalam waktu satu sampai beberapa minggu (tergantung dari
tingginya tekanan darah tersebut). Diagnosis hipertensi ditegakan bila dari
pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai rata-rata TDD 90 mmHg dan
atau TDS 140 mmHg.
II.2 Klasifikasi Hipertensi
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut The Sevent Joint National Committee on
Prevention Detection Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC7)
II.3 Epidemiologi
Pada tahun 2010 data jumlah penderita hipertensi yang diperoleh dari dinas
kesehatan provinsi Jawa Timur terdapat 275.000 jiwa penderita hipertensi. Jumlah
penderita hipertensi terbanyak di Jawa Timur terdapat di kota Pasuruan, sedangkan
kota Kediri menduduki urutan keempat setelah kota Pasuruan, Probolinggo dan
Madiun dengan jumlah penderita hipertensi sebanyak 38.626 jiwa.
Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan pada oktober 2014 di Desa
Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan terdapat 512 jiwa dengan jumlah lansia 245
orang. Data yang terdapat di Puskesmas Tikung Kabupaten Lamongan pada bulan
januari oktober 2014 terdapat 112 orang penderita hipertensi dengan jumlah 22
orang 19% penderita hipertensi berusia 30-45 tahun, 65 orang 59% berusia 45-60 dan
25 orang 22% penderita hipertensi berusia >60 tahun. Masih banyak lansia yang
menderita hipertensi. Para lansia hanya akan melakukan terapi pengobatan
farmakologi apabila penyakit hipertensi sudah menunjukkan gejala yang khas seperti
sering pusing, mual bahkan muntah. Selain itu hanya sebagian kecil para lansia yang
mengetahui terapi non farmakologi untuk menurunkan tekanan darah.
II.4 Etiologi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua golongan yaitu:
a) Hipertensi Primer atau Esensial
Hipertensi yang tidak atau belum diketahui penyebabnya (terdapat sekitar 90%
- 95% kasus). Penyebab hipertensi primer atau esensial adalah multifaktor,
terdiri dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik
dan terlihat dari adanya riwayat penyakit kardiovaskuler dalam keluarga.
Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitifitas terhadap natrium,
kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas vaskuler (terhadap
vasokonstriksi) dan resistensi insulin (Setiawati dan Bustami,1995:315-342).
b) Hipertensi sekunder atau Renal Hipertensi
yang disebabkan atau sebagai akibat dari adanya penyakit lain (terdapat sekitar
5% - 10% kasus) penyebabnya antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal
(hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obat dan lainlain.
II.5 Patogenesis Hipertensi
Pada geriatri patogenesis terjadinya hipertensi usia lanjut sedikit berbeda
dengan yang terjadi pada dewasa muda. Faktor yang berperan pada geriatri adalah:
a) Penurunan kadar rennin karena menurunya jumlah nefron akibat proses
menua.
b) Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium.
c) Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer akibat proses menua akan
meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer yang pada akhirnya akan
mengakibatkan hipertensi
d) Sistolik saja (ISH = Isolated Systolic Hypertension).
II.6 Faktor Risiko Hipertensi
Faktor risiko hipertensi dapat dibagi menjadi 2 yaitu faktor risiko yang dapat
diubah dan yang tidak dapat diubah.
a. faktor yang tidak dapat diubah
1. Umur
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin
besar risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai
risiko terkena hipertensi.
2. Jenis kelamin
Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat
angka yang cukup bervariasi. Para Ahli mengatakan pria lebih banyak
menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,29
mmHg untuk peningkatan darah sistolik.38 Sedangkan menurut Arif
Mansjoer, dkk, pria dan wanita menapouse mempunyai pengaruh yang
sama untuk terjadinya hipertensi.37 Menurut MN. Bustan bahwa wanita
lebih banyak yang menderita hipertensi dibanding pria, hal ini
disebabkan karena terdapatnya hormon estrogen pada wanita.
3. Riwayat Keluarga
Orang-orang dengan riwayat keluarga yang mempunyai hipertensi lebih
sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat yang menderita
hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi
terutama pada hipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan
penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat
4. Genetika
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan
ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar
monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur).
Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer
(esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi,
bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang
dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan
timbul tanda dan gejala.
b. faktor yang dapat diubah
1. Kebiasaan merokok
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap
melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan
Manifestasi Klinik
a) Gejala hipertensi
Peninggian tekanan darah kadang kadang merupakan satu-satunya
gejala. Hipertensi tidak memberikan gejala khas, baru setelah beberapa tahun
adakalanya pasien merasakan nyeri kepala pagi hari sebelum bangun tidur,
nyeri ini biasanya hilang setelah bangun (Tan dan Raharja, 2001). Pada survai
hipertensi di Indonesia tercatat berbagai keluhan yang dihubungkan dengan
hipertensi seperti pusing, cepat marah, telinga berdenging, sukar tidur, sesak
nafas, rasa berat ditekuk, mudah lelah, sakit kepala, dan mata berkunangkunang. Gejala lain yang disebabkan olehkomplikasi hipertensi seperti :
gangguan penglihatan, gangguan neurologi, gagal jantung dan gangguan
fungsi ginjal tidak jarang dijumpai. Timbulnya gejala tersebut merupakan
pertanda bahwa tekanan darah perlu segera diturunkan (Susalit et al,
2001:453-472).
b) Hasil Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada pasien hipertensi
meliputi:
1) Pemeriksaan ureum dan kreatinin dalam darah dipakai untuk menilai
fungsi ginjal.
2) Pemeriksaan kalium dalam serum dapat membantu menyingkirkan
kemungkinan aldosteronisme primer pada pasien hipertensi.
3) Pemeriksaan kalsium penting untuk pasien hiperparatiroidisme primer dan
dilakukan sebelum memberikan diuretik karena efek samping diuretik
adalah peningkatan kadar kalsium darah.
4) Pemeriksaan glukosa dilakukan karena hipertensi sering dijumpai pada
pasien diabetes mellitus.
Diagnosis
Diagnosis hipertensi didasarkan pada peningkatan tekanan darah yang
terjadi pada pengukuran yang berulang. Joint National Committee VII
menuliskan diagnosis hipertensi ditegakan berdasarkan sekurang-kurangnya
dua kali pengukuran tekanan darah pada saat yang berbeda. pengukuran
pertama harus dikonfirmasi pada sedikitnya dua kunjungan lagi dalam waktu
satu sampai beberapa minggu (tergantung dari tingginya tekanan darah
tersebut). Diagnosis hipertensi ditegakan bila dari pengukuran berulang-ulang
tersebut diperoleh nilai rata-rata tekanan darah diastolik 90 mmHg dan atau
tekanan darah sistolik 140 mmHg. Diagnosis hipertensi boleh ditegakan bila
tekanan darah sistolik 210 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 120
mmHg (Ganiswara,1995:317).
Evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga tujuan:
a) Mengidentifikasi penyebab hipertensi.
b) Menilai
adanya
kerusakan
organ
target
dan
penyakit
Terapi Hipertensi
Terapi pengobatan hipertensi adalah untuk mencegah terjadinya
morbiditas dan mortalitas akibat tekanan darah tinggi, ini berarti tekanan darah
harus diturunkan serendah mungkin yang tidak mengganggu fungsi, ginjal,
otak, jantung maupun kualitas hidup. Terapi hipertensi dapat dilakukan dengan
9
dua cara yaitu terapi Non farmakologi (tanpa obat) dan terapi farmakologi
(dengan obat).
a) Terapi non farmakologi ditujukan untuk menurunkan tekanan darah pasien
dengan jalan memperbaiki pola hidup pasien. Terapi ini sesuai untuk
segala jenis hipertensi. Modifikasi pola hidup terbukti dapat menurunkan
tekanan darah lain penurunan tekanan darah pada kasus obesitas, diet
asupan kalium dan kalsium, pengurangan asupan natrium, melakukan
kegiatan fisik, dan mengurangi konsumsi alcohol (Chobanian et al, 2003).
b) Terapi farmakologi sedikit berbeda dibanding dengan pasien usia muda.
Perubahan-perubahan
fisiologis
yang
terjadi
pada
usia
lanjut
Obat-Obat Antihipertensi
10
Semua obat antihipertensi bekerja pada salah satu atau lebih dari empat
tempat kontrol anatomis dan efek tersebut terjadi dengan mempengaruhi
mekanisme normal regulasi tekanan darah. Obat-obat antihipertensi yang
sering digunakan diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Diuretik
Khasiat hipertensi diuretik berawal dari efeknya meningkatkan ekskresi
natrium, klorida, dan air, sehingga mengurangi volume plasma dan cairan
ekstrasel. Tekanan darah turun akibat berkurangnya curah jantung,
sedangkan resistensi perifer tidak berubah pada awal terapi. pada
pemberian kronik, volume plasma kembali tetapi masih kira-kira 5%
dibawah nilai sebelum pengobatan curah jantung kembali mendekati
normal. Tekanan darah tetap turun karena sekarang resistensi perifer
menurun. Vasodilatasi perifer yang terjadi kemudian ini tampaknya bukan
efek langsung tetapi karena adanya penyesuaian pembuluh darah perifer
terhadap pengurangan volume plasma yang terus menerus. Kemungkinan
lain adalah berkurangnya volume cairan intestisial yang berakibat pada
berkurangnya kekakuan. Dinding pembuluh darah dan bertambahnya daya
lentur (Ganiswara, 1995).
b) -Bloker (beta-bloker).
Mekanisme kerja beta-bloker sebagai antihipertensi masih belum jelas,
diperkirakan ada beberapa cara, cara pertama adalah pengurangan denyut
jantung dan kontraktilitas miokard menyebabkan denyut berkurang.
Refleks baroreseptor serta hambatan reseptor B2 Vaskuler menyebabkan
resistensi perifer menurun, mungkin sebagai penyesuaian terhadap
pengurangan curah jantung yang kronik. Cara yang kedua adalah
hambatan sekresi rennin melalui reseptor B1 di ginjal (Ganiswara,
1995:330). Penurunan tekanan darah oleh beta bloker yang diberikan per
oral berlangsung lambat. Efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1
minggu setelah terapi dimulai, dan tidak diperoleh penurunan tekanan
darah lebih lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Efek samping obat
golongan beta bloker dapat diperkirakan selain itu juga terdapat banyak
pilihan sehingga beta bloker sering digunakan sebagai obat pilihan
pertama. Khususnya pada kasus hipertensi dengan aritmia atau ischaemia
heart disease. Kontra indikasi pemakaian beta bloker adalah obstruksi
11
13
menilai
gaya
hidup
dan
mengidentifikasikan
faktor
resiko
14
II.9
Komplikasi Hipertensi
Pada umumnya komplikasi terjadi pada hipertensi berat yaitu jika tekanan
darah (TD) diastolik 130 mmHg atau kenaikan tekanan darah (TD) yang terjadi
mendadak dan tinggi. Pada hipertensi ringan dan sedang komplikasi yang sering
terjadi adalah pada mata, ginjal, jantung, dan otak. Pada mata berupa pendarahan
retina, gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan
kelainan yang sering dijumpai pada hipertensi berat disamping kelainan koroner dan
miokard. Pada otak sering terjadi pendarahan yang disebabkan pecahnya
mikroaneurisma yang dapat mengakibatkan kematian. Kelainan lain yang terjadi
adalah proses tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara. Gagal ginjal sering
dijumpai sebagai komplikasi hipertensi. Komplikasi lain yang sering terjadi adalah
15
perdarahan otak. Perdarahan pada otak dapat menyebabkan stroke hemoragik ataupun
dapat juga hanya menimbulkan gangguan pada organ.
II.9.1 Perdarahan Otak
Pada makalah ini ada sedikit membahas tentang komplikasi perdarahan pada
otak. Stroke hemoragik merupakan penyebab utama ketidak mampuan penderita atau
disability. Hanya sekitar 20% penderita yang dapat berdiri sendiri/independent dalam
6 bulan dan 10% yang dapat berdiri sendiri setelah 30 hari kejadian. Sekitar 20-30%
perdarahan akan bertambah dalam 24 jam dan ini dapat diketahui dengan bertambah
jeleknya keadaan umum penderita serta gejala neurologis yang timbul. Hasil akhir
dari stroke hemoragik ini antara lain: volume hematome,ini merupakan hal yang
paling penting dalam menentukan hasil akhirnya, efek kompresi, efek destruksi,
ischemia, kemampuan neurotoxic dari hasil degradasi darah.
Lokasi perdarahan 60% deep subcortical, 30% superfisial atau lobar dan 10%
terletak infra tentorial/cerebellum. Massa perdarahan menyebabkan destruksi dan
kompresi langsung terhadap jaringan otak sekitarnya. Volume perdarahan
menyebabkan tekanan dalam otak meninggi dan mempunyai efek terhadap perfusi
jaringan otak serta drainage pembuluh darah. Perubahan pembuluh darah ini lebih
nyata/berat pada daerah perdarahan karena efek mekanik langsung,menyebabkan
iskhemik dan jeleknya perfusi sehingga terjadi kerusakan gel-gel otak. Volume
perdarahan merupakan hal yang paling menentukan dari hasil akhirnya. Hal lain yang
paling menentukan yaitu status neurologis dan volume darah didalam ventrikel.
Volume darah lebih dari 60 ml,mortalitasnya 93% bila lokasinya deep
subcortical dan 71 % bila lokasinya lobar superfisial. Untuk perdarahan cerebellum,
bila volumenya 30-60ml 75% fatal dan pada perdarahan didaerah pons lebih dari 5ml
berakibat fatal. Bagaimanapun kerusakan jaringan otak dan perubahan-perubahan
karena perdarahan didalam otak tidak statis.
Volume hematome selalu progresif. Dalam satu jam setelah kejadian, volume
darah akan bertambah pada 25% penderita; sekitar 10% dari semua penderita
volumenya bertambah setelah 20 jam. Pada CT Scan tampak daerah hipodensitas
disekitar hematom, ini disebabkan karena extravasasi serum dari hematome tersebut.
II.9.2 Stroke Cerebellar
16
Kolesterol Tinggi
Aterosklerosis
Kegemukan;
Sindrom metabolik;
Diabetes Tipe 2
Penyalahgunaan zat
Merokok;
17
Gempa;
Mendengar masalah;
Masalah penglihatan (misalnya, mata bergerak cepat, dan sulit untuk mengontrol
gerakan mereka);
Penurunan kesadaran.
18
mengurangi oedem, efek desak ruang dari hematom, juga mengurangi residu nekrotik
akibat hematom di jaringan otak. Beberapa pendapat beranggapan bahwa tindakan
operasi tidak memberikan perbaikan pada klinis pasien.
Oleh karena itu keputusan operasi sangat ditentukan oleh beberapa kondisi yang
mendasari pasien seperti :
a
Status klinis
Lokasi perdarahan
Usia pasien
Lesi dengan efek desak ruang yang jelas, edema, atau midline shifting pada radiologis
dengan ancaman terjadinya herniasi.
Volume hematom :
< 10cc biasanya tidak significan untuk dilakukan operasi
> 30cc biasanya kandidat operasi dengan deficit neurologis yang menyertai
> 85cc biasanya tidak memiliki prognosa yang baik untuk di operasi
Lokasi dipermukaan akan memiliki prognosa yang lebih baik dibandingkan
lokasi yang dalam. Pada lobar hematom perdarahan berada pada tepi jaringan otak
sehingga merupakan kandidat yang baik untuk dilakukan operasi. Perdarahan dengan
lokasi di cerebellum memiliki beberapa catatan khusus yaitu :
GCS > = 14 dan volume perdarahan < 4 cm : konservatif
GCS < = 13 atau dengan hematom > = 4cm perlu dilakukan evakuasi hematom
Pasien dengan penekanan batang otak : konservatif
Usia pasien muda memiliki prognosa yang lebih baik dibandingkan usia
19
lanjut. Ada beberapa perbedaan parameter usia yang dapat dijadikan patokan. Factor
usia ini memiliki kontribusi karena otak pada usia muda memiliki daya akomodasi
yang lebih baik terhadap adanya masa bekuan darah dibandingkan usia tua atau
dengan atrofi serebri.
B. PENGGUNAAN OBAT HIPERTENSI
Dampak negatif pemakaian obat yang tidak rasional sangat luas dan kompleks seperti
halnya faktor-faktor pendorong atau penyebab terjadinya. Tetapi secara ringkas
dampak tersebut dapat digambarkan seperti berikut:
1)
2)
3)
4)
20
pemberian dan lama pemberian, Sampai kepemilihan cara pemakaian yang paling
mudah diikuti oleh pasien dan paling aman serta efektif untuk pasien.
4. Ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien atau tindak lanjut efek pengobatan.
Ketepatan pasien serta penilaianya mencangkup pertimbangan apakah ada
kontraindikasi atau adakah kondisi-kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian
dosis secara individual. Apakah ada keadaan yang merupakan faktor konstitusi
terjadinya efek samping obat pada penderita. Jika kemudian terjadi efek samping
tertentu, bagaimana menentukan dan menanganinya
C. USIA LANJUT/GERIATRI
Geriatri berasal dari kata-kata geros (usia lanjut) dan iatreia (mengobati).
Geriatri merupakan cabang Gerontologi. Gerantologi ini dibagi menjadi tiga yaitu
Biology of aging, social gerontology, dan geriatri medicine, yang mengupas problem
klinik orang-orang lanjut usia (Darmojo dan pranaka, 2001).
Menua (menjadi tua=aging) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan
mempertahankan struktur serta fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap jejas (termasuk infeksi) dan kerusakan yang diderita (Darmojo dan Martono,
2006).
Prinsip dan tujuan terapi pada usia lanjut antara lain:
5. Menghindari obat yang tidak perlu, misalnya pada pasien hipertensi yang
belum begitu parah mungkin bisa diberi tanpa obat yang telah terbukti
efikasinya.
6. Penggunaan obat golongan sedative hipnotik sebaiknya dihindari.
7. Tujuan terapi dari para pasien usia lanjut antara lain tidak hanya
memperpanjang umurnya tetapi juga mengubah kualitas hidupnya.
8. Terapi sebaiknya ditujukan pada penyebab penyakit, bukan terhadap gejala
yang timbul.
9. Riwayat penggunaan obat, untuk memastikan bahwa pasien tidak alergi
terhadap obat tersebut.
10. Pemilihan obat, obat yang diberikan pada usia lanjut hendaknya yang sudah
terbukti efikasinya dan mungkin terjadinya Adverse Drug Reactions kecil
atau tidak ada.
11. Titrasi dosis (walker dan Edwards, 2003).
21
BAB III
METODE
III.1 Rancangan Mini Project
Mini project ini dilakukan dengan pengumpulan data melalui data rekam
medis elektronik maupun fisik di Puskesmas Kembangbahu
III.2 Waktu dan Tempat Mini project
Mini project ini dilaksanakan pada bulan Januari 2016 di Puskesmas
Kembangbahu dan diwilayah kerja Puskesmas Kembangbahu.
III.3 Populasi Mini project
Populasi mini project adalah masyarakat secara umum di wilayah kerja
Puskesmas Kembangbahu.
III.4 Subjek Mini project
22
23
BAB IV
HASIL
IV.1 DATA GEOGRAFIS DAN DEMOGRAFIK
Kecamatan Kembangbahu adalah salah satu kecamatan dari 27 Kecamatan
yang berada di Kabupaten Lamongan dengan jarak orbitasi kurang lebih 15 KM dari
Ibukota Kabupaten Lamongan atau 14 KM dari arah kota Lamongan (Kota terdekat).
Batas wilayah: Sebelah Utara Kecamatan Sukodadi Sebelah timur Kecamatan
Tikung Sebelah Selatan Kecamatan Mantup sebelah Barat Kecamatan Sugio.
Pembagian Wilayah : Kecamatan Kembangbahu terdiri atas 18 desa 77 dusun 100
RW 354 RT dengan komposisi jumlah penduduk 21.939 Jiwa laki-laki dan 22.360
Jiwa Perempuan, Luas wilayah 6.384,320 Ha dengan tataguna tanah 3.795,430 Ha
untuk sawah, 1.890,020 Ha tegal, 476,250 Ha Pekarangan, Tanah Hutan Negara 16
Ha dan lain-lain 205,720 Ha. Tanah data bagian utara dengan kemiringan 65% sisanya
35 % bagian selatan. Adapun struktur tanah secara uimum dengan jenis alovial 10 %,
Gromosol 90 % dan kedalaman air tanah rata-rata 20 meter. Data data di wilayah
Kembangbahu, jumlah SD 31 unit, MI 18 unit, SMPN 3 unit, Tsanawiyah 3 unit,
SMA 1 unit, Aliyah 3 unit dan Bank Pasar I unit, BRI I Unit, LKURK I1 Unit
Koperasi 5 unit bank desa I unit serta pasar desa 2 unit.
A. SUMBER DAYA KESEHATAN
NO
JENIS TENAGA
JUMLAH
1.
Dokter Umum
2.
Dokter Gigi
3.
Perawat
4.
Bidan
21
5.
Perawat Gigi
6.
Ahli Gizi
7.
Apoteker
8.
Asisten Apoteker
9.
Analis
24
10.
Koordinator Imunisasi
11.
Sanitarian
12.
13.
Administrasi Umum
14.
Administrasi Loket
15.
JUMLAH
43
Sarana Prasarana
Jumlah
T T UGD
T T Rawat Inap
20
VIP
Klas I
Klas II
Klas III
ECG
Spectrofotometri
PONED kit
Ambulance
USG
UGD Set
25
BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan studi observasi data primer bersumber dari pencatatan pasien di
instalasi rawat inap Puskesmas Kembangbahu bulan Januari-Februari 2016 masih
banyak terdapat pasien penderita hipertensi dan diantaranya terkena stroke atau
terjadi komplikasi perdarahan pada otak. Penderita wanita dan laki-laki hampir
setara. Penyebab hipertensi pada sebagian pasien adalah gaya hidup yang kurang
baik yakni dari pola makan sedangkan sebagian besar pasien belum diketahui secara
pasti penyakit yang mendasari.
Sedangkan pada rawat jalan bulan Januari-Februari hampir semuanya adalah
usia 50 tahun ke atas. Hal ini menunjukkan kesesuaian antara teori yang mengatakan
adanya resiko lebih tinggi kejadian hipertensi pada usila. Pasien sebagian besar
diterapi dengan obat antihipertensi. Kondisi yang seringkali mengakibatkan pasien
kembali dengan kondisi hipertensi yang tidak terkontrol karena tidak rutin
mengkonsumsi obat antihipertensi.
Hasil tersebut diatas menunjukkan masih banyaknya kasus hipertensi tidak
terkontrol di wilayah kerja Puskesmas Kembangbahu. Untuk itu perlu dilakukan
intervensi promotif dan preventif yang efektif dan efisien sebagai upaya menurunkan
prevalensi anemia, dan meningkatkan pengetahuan masyarakat usila yang merupakan
kelompok usia yang beresiko menderita hipertensi.
Langkah yang dapat ditempuh sebagai strategi penyuluhan antara lain:
1. Kerjasama yang rutin dan terjadwal antara tenaga kesehatan Puskesmas dengan
kader desa
2. Penggunaan media pamflet, poster, dan brosur sebagai sarana penyuluhan yang
minim biaya namun efektif dan efisien.
26
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Jumlah penderita hipertensi periode Januari-Februari 2016 masih banyak
2. Terdapat beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam pemeriksaan dan pelayanan
sehubungan dengan kasus hipertensi.
B. Saran
1. Petugas kesehatan di Puskesmas perlu memanfatkan internet, jejaring social
media layanan pesan singkat sebagai sarana penyuluhan hipertensi.
2. Perlu diadakan penyuluhan hipertensi
3. Perlu diadakan skrining yang sistematis dan tepat sasaran untuk deteksi dini
hipertensi di masyarakat.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Arora. 2008.5 langkah mencegah dan mengobati tekanan darah tinggi. Jakarta :
Bhauana Ilmu Populer.
2. Bustan. 2000 .Epidemiologi Penyakit tidak Menular. Jakarta : Rineka Cipta
3. Gunawan Lany. 2000. Hipertensi Tekanan darah tinggi. Yogjakarta : Kanisus
4. Hidayat, Aziz Alimul. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa
Data. Jakarta :Salemba Medika
5. Kompas Cyber Media. 2007. http/www depkes. Go.id/index, diakses 09-03-2009
pukul 08.50 WIB
6. Macnair, Trisha. 2001. Tekanan Darah Tinggi. Jakarta : Erlangga
7. Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius: FKUI
8. Notoatmodjo, Soekidjo. 1993. Ilmu Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu
Perilaku Kesehatan edisi pertama. Yogjakarta : Andi Offset
9. Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta
10. Sarwono Warpadzi, Soeparman,dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam jilid VI. Jakarta :
Balai Penerbitan FKUI.
11. Wolf Harf Peter. 2006.Hipertensi. Jakarta : Buana Ilmu Populer
12.
anonym.
Masalah
Hipertensi.
Available
at:
http://www.depkes.go.id/article/view/1909/masalah-hipertensi-diindonesia.html#sthash.8deZCOUx.dpuf
28