Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Prevalensi Hipertensi atau tekanan darah di Indonesia cukup tinggi. Selain itu,
akibat yang ditimbulkannya menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi,
merupakan salah satu faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian
penyakit jantung dan pembuluh darah. Hipertensi sering tidak menunjukkan gejala,
sehingga baru disadari bila telah menyebabkan gangguan organ seperti gangguan
fungsi jantung atau stroke. Tidak jarang hipertensi ditemukan secara tidak sengaja
pada waktu pemeriksaan kesehatan rutin atau datang dengan keluhan lain.
Demikian disampaiakan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (PP dan PL), Kemenkes, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama mengenai
beberapa Masalah Hipertensi di Indonesia.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan, sebagian besar
kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis. Hal ini terlihat dari hasil
pengukuran tekanan darah pada usia 18 tahun ke atas ditemukan prevalensi hipertensi
di Indonesia sebesar 31,7%, dimana hanya 7,2% penduduk yang sudah mengetahui
memiliki hipertensi dan hanya 0,4% kasus yang minum obat hipertensi. "Ini
menunjukkan, 76% kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis atau 76%
masyarakat belum mengetahui bahwa mereka menderita hipertensi", kata Prof Tjandra
Yoga.
I.2 Rumusan Masalah
Belum diketahuinya Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Penderita
Hipertensi dalam Upaya Mencapai Tekanan Darah Terkontrol di wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Kembangbahu, Kota Lamongan, Provinsi Jawa Timur.
o Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang mempunyai angka
kejadian tinggi pertama di Kembangbahu
o Sebagian besar masyarakat Kembangbahu belum mengetahui bahaya
komplikasi penyakit hipertensi.
o Sebagian besar penderita hipertensi di Kembangbahu mengalami
komplikasi seperti stroke iskemik, perdarahan, dan vertigo sentral.
o Belum ada media maupun perencanaan promosi penyakit hipertensi

I.3 Tujuan Penelitian


1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan tindakan
Penderita Hipertensi dalam Upaya Mencapai Tekanan Darah Terkontrol di
wilayah kerja UPTD Puskesmas Kembangbahu, Kota Lamongan, Provinsi
Jawa Timur.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya Gambaran Tingkat Pengetahuan Penderita Hipertensi di
wilayah kerja UPTD Puskesmas Kembangbahu, Kota Lamongan, Provinsi
Jawa Timur dalam Upaya Mencapai Tekanan Darah terkontrol.
b. Diketahuinya Gambaran Tingkat Sikap Penderita Hipertensi di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Kembangbahu, Kota Lamongan, Provinsi Jawa
Timur dalam Upaya Mencapai Tekanan Darah terkontrol.
c. Diketahuinya Gambaran Tindakan Penderita Hipertensi di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Kembangbahu, Kota Lamongan, Provinsi Jawa Timur
dalam Upaya Mencapai Tekanan Darah terkontrol.
d. Diketahuinya Gambaran sikap dan pengetahuan penderita Hipertensi dan
komplikasi tersring yang dapat terjadi di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Kembangbahu, Kota Lamongan, Provinsi Jawa Timur.
e. Mengidentifikasi sejauh mana pasien dengan hipertensi mengetahui
mengenai penyakit hipertensi.
f. Para kader untuk mengadakan kegiatan kelas hipertensi secara rutin.
I.4 Manfaat Penelitian
o Bagi Pelaksana
Meningkatkan keterampilan

dan

mengaplikasikan

ilmu mengenai

penyakit hipertensi dan melakukan penerapan klinis kelas hipertensi untuk


menekan angka kekambuhan hipertensi.
o Bagi masyarakat
Diharapkan kegiatan ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat

tentang penyakit hipertensi, komplikasi, pencegahan hipertensi dan


latihan yang efektif bagi penderita hipertensi.
o Bagi Instansi
Diharapkan kegiatan ini dapat menjadi kegiatan rutin yang bermanfaat dan
dapat mengurangi jumlah penderita hipertensi khususnya pada lansia di
puskesmas Kembangbahu.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah.
Tekanan darah (TD) ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung dan
resistensi perifer. Curah jantung adalah hasil kali denyut jantung dan isi sekuncup.
Besar ini sekuncup ditentukan oleh kekuatan kontraksi miokard dan alir balik vena.
Resistensi perifer merupakan gabungan resistensi pada pembuluh darah (arteri dan

arteriol) dan viskositas darah. Resistensi pembuluh darah ditentukan oleh tonus otot
polos arteri dan arteriol dan elastisitas dinding pembuluh darah.
Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakan berdasarkan sekali pengukuran,
kecuali bila tekanan darah diastolik (TDD) 120 mmHg dan atau tekanan darah
sistolik (TDS) 210 mmHg. Pengukuran pertama harus dikonfirmasi pada sedikitnya
dua kunjungan lagi dalam waktu satu sampai beberapa minggu (tergantung dari
tingginya tekanan darah tersebut). Diagnosis hipertensi ditegakan bila dari
pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai rata-rata TDD 90 mmHg dan
atau TDS 140 mmHg.
II.2 Klasifikasi Hipertensi
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut The Sevent Joint National Committee on
Prevention Detection Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC7)

II.3 Epidemiologi
Pada tahun 2010 data jumlah penderita hipertensi yang diperoleh dari dinas
kesehatan provinsi Jawa Timur terdapat 275.000 jiwa penderita hipertensi. Jumlah
penderita hipertensi terbanyak di Jawa Timur terdapat di kota Pasuruan, sedangkan
kota Kediri menduduki urutan keempat setelah kota Pasuruan, Probolinggo dan
Madiun dengan jumlah penderita hipertensi sebanyak 38.626 jiwa.
Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan pada oktober 2014 di Desa
Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan terdapat 512 jiwa dengan jumlah lansia 245
orang. Data yang terdapat di Puskesmas Tikung Kabupaten Lamongan pada bulan
januari oktober 2014 terdapat 112 orang penderita hipertensi dengan jumlah 22
orang 19% penderita hipertensi berusia 30-45 tahun, 65 orang 59% berusia 45-60 dan
25 orang 22% penderita hipertensi berusia >60 tahun. Masih banyak lansia yang
menderita hipertensi. Para lansia hanya akan melakukan terapi pengobatan

farmakologi apabila penyakit hipertensi sudah menunjukkan gejala yang khas seperti
sering pusing, mual bahkan muntah. Selain itu hanya sebagian kecil para lansia yang
mengetahui terapi non farmakologi untuk menurunkan tekanan darah.
II.4 Etiologi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua golongan yaitu:
a) Hipertensi Primer atau Esensial
Hipertensi yang tidak atau belum diketahui penyebabnya (terdapat sekitar 90%
- 95% kasus). Penyebab hipertensi primer atau esensial adalah multifaktor,
terdiri dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik
dan terlihat dari adanya riwayat penyakit kardiovaskuler dalam keluarga.
Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitifitas terhadap natrium,
kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas vaskuler (terhadap
vasokonstriksi) dan resistensi insulin (Setiawati dan Bustami,1995:315-342).
b) Hipertensi sekunder atau Renal Hipertensi
yang disebabkan atau sebagai akibat dari adanya penyakit lain (terdapat sekitar
5% - 10% kasus) penyebabnya antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal
(hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obat dan lainlain.
II.5 Patogenesis Hipertensi
Pada geriatri patogenesis terjadinya hipertensi usia lanjut sedikit berbeda
dengan yang terjadi pada dewasa muda. Faktor yang berperan pada geriatri adalah:
a) Penurunan kadar rennin karena menurunya jumlah nefron akibat proses
menua.
b) Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium.
c) Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer akibat proses menua akan
meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer yang pada akhirnya akan
mengakibatkan hipertensi
d) Sistolik saja (ISH = Isolated Systolic Hypertension).
II.6 Faktor Risiko Hipertensi
Faktor risiko hipertensi dapat dibagi menjadi 2 yaitu faktor risiko yang dapat
diubah dan yang tidak dapat diubah.
a. faktor yang tidak dapat diubah

1. Umur
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin
besar risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai
risiko terkena hipertensi.
2. Jenis kelamin
Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat
angka yang cukup bervariasi. Para Ahli mengatakan pria lebih banyak
menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,29
mmHg untuk peningkatan darah sistolik.38 Sedangkan menurut Arif
Mansjoer, dkk, pria dan wanita menapouse mempunyai pengaruh yang
sama untuk terjadinya hipertensi.37 Menurut MN. Bustan bahwa wanita
lebih banyak yang menderita hipertensi dibanding pria, hal ini
disebabkan karena terdapatnya hormon estrogen pada wanita.
3. Riwayat Keluarga
Orang-orang dengan riwayat keluarga yang mempunyai hipertensi lebih
sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat yang menderita
hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi
terutama pada hipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan
penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat
4. Genetika
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan
ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar
monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur).
Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer
(esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi,
bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang
dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan
timbul tanda dan gejala.
b. faktor yang dapat diubah
1. Kebiasaan merokok
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap
melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan

endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis


dan hipertensi.
2. Kebiasaan konsumsi garam/asin
Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis
hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa
dengan asupan garam yang minimal. Garam menyebabkan penumpukan
cairan dalam tubuh, karena menarik cairan diluar sel agar tidak keluar,
sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
3. Konsumsi lemak jenuh
Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat
badan yang berisiko terjadinya hipertensi
4. Penggunaan jelantah
Pentingnya membatasi penggunaan minyak goreng terutama jelantah
karena akan meningkatkan pembentukan kolesterol yang berlebihan yang
dapat menyebabkan aterosklerosis dan hal ini dapat memicu terjadinya
penyakit tertentu, seperti penyakit jantung, darah tinggi dan lain-lain.
5. Kebiasaan konsumsi alkohol
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas.
Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel
darah merah serta kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan
tekanan darah
6. Obesitas
Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang
obesitas lebih tinggi dari penderita hipertensi yang tidak obesitas. Pada
obesitas tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf
simpatis meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah.
7. Kurang aktifitas fisik
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena
olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan
menurunkan tekanan darah.
8. Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila

stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi


tetap tinggi.
9. Penggunaan estrogen
Estrogen meningkatkan risiko hipertensi tetapi secara epidemiologi belum
ada data apakah peningkatan tekanan darah tersebut disebabkan karena
estrogen dari dalam tubuh atau dari penggunaan kontrasepsi hormonal
estrogen
II.7

Manifestasi Klinik

a) Gejala hipertensi
Peninggian tekanan darah kadang kadang merupakan satu-satunya
gejala. Hipertensi tidak memberikan gejala khas, baru setelah beberapa tahun
adakalanya pasien merasakan nyeri kepala pagi hari sebelum bangun tidur,
nyeri ini biasanya hilang setelah bangun (Tan dan Raharja, 2001). Pada survai
hipertensi di Indonesia tercatat berbagai keluhan yang dihubungkan dengan
hipertensi seperti pusing, cepat marah, telinga berdenging, sukar tidur, sesak
nafas, rasa berat ditekuk, mudah lelah, sakit kepala, dan mata berkunangkunang. Gejala lain yang disebabkan olehkomplikasi hipertensi seperti :
gangguan penglihatan, gangguan neurologi, gagal jantung dan gangguan
fungsi ginjal tidak jarang dijumpai. Timbulnya gejala tersebut merupakan
pertanda bahwa tekanan darah perlu segera diturunkan (Susalit et al,
2001:453-472).
b) Hasil Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada pasien hipertensi
meliputi:
1) Pemeriksaan ureum dan kreatinin dalam darah dipakai untuk menilai
fungsi ginjal.
2) Pemeriksaan kalium dalam serum dapat membantu menyingkirkan
kemungkinan aldosteronisme primer pada pasien hipertensi.
3) Pemeriksaan kalsium penting untuk pasien hiperparatiroidisme primer dan
dilakukan sebelum memberikan diuretik karena efek samping diuretik
adalah peningkatan kadar kalsium darah.
4) Pemeriksaan glukosa dilakukan karena hipertensi sering dijumpai pada
pasien diabetes mellitus.

5) Pemeriksaan urinalisis diperlukan untuk membantu menegakan diagnosis


penyakit ginjal, juga karena proteinuria ditemukan pada hampir separuh
pasien. sebaiknya pemeriksaan dilakukan pada urine segar.
6) Pemeriksaan elektrokardiogram dan foto pada yang bermanfaat untuk
mengetahui apakah hipertensi telah berlangsung lama. Pembesaran
ventrikel kiri dan gambaran kardiomegali dapat dideteksi dengan
pemeriksaan ini (Suyono, 2001:461-462).
2.7

Diagnosis
Diagnosis hipertensi didasarkan pada peningkatan tekanan darah yang
terjadi pada pengukuran yang berulang. Joint National Committee VII
menuliskan diagnosis hipertensi ditegakan berdasarkan sekurang-kurangnya
dua kali pengukuran tekanan darah pada saat yang berbeda. pengukuran
pertama harus dikonfirmasi pada sedikitnya dua kunjungan lagi dalam waktu
satu sampai beberapa minggu (tergantung dari tingginya tekanan darah
tersebut). Diagnosis hipertensi ditegakan bila dari pengukuran berulang-ulang
tersebut diperoleh nilai rata-rata tekanan darah diastolik 90 mmHg dan atau
tekanan darah sistolik 140 mmHg. Diagnosis hipertensi boleh ditegakan bila
tekanan darah sistolik 210 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 120
mmHg (Ganiswara,1995:317).
Evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga tujuan:
a) Mengidentifikasi penyebab hipertensi.
b) Menilai
adanya
kerusakan
organ

target

dan

penyakit

kardiovaskuler,beratnya penyakit,serta respon terhadap pengobatan.


c) Mengidentifikasi adanya faktor resiko kardiovaskuler lain atau penyakit
penyerta, yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan
pengobatan. Data yang diperlukan untuk evaluasi tersebut diperoleh dengan
cara anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan penunjang (Susalit et al, 2001).
II.8

Terapi Hipertensi
Terapi pengobatan hipertensi adalah untuk mencegah terjadinya
morbiditas dan mortalitas akibat tekanan darah tinggi, ini berarti tekanan darah
harus diturunkan serendah mungkin yang tidak mengganggu fungsi, ginjal,
otak, jantung maupun kualitas hidup. Terapi hipertensi dapat dilakukan dengan
9

dua cara yaitu terapi Non farmakologi (tanpa obat) dan terapi farmakologi
(dengan obat).
a) Terapi non farmakologi ditujukan untuk menurunkan tekanan darah pasien
dengan jalan memperbaiki pola hidup pasien. Terapi ini sesuai untuk
segala jenis hipertensi. Modifikasi pola hidup terbukti dapat menurunkan
tekanan darah lain penurunan tekanan darah pada kasus obesitas, diet
asupan kalium dan kalsium, pengurangan asupan natrium, melakukan
kegiatan fisik, dan mengurangi konsumsi alcohol (Chobanian et al, 2003).
b) Terapi farmakologi sedikit berbeda dibanding dengan pasien usia muda.
Perubahan-perubahan

fisiologis

yang

terjadi

pada

usia

lanjut

menyebabkan konsentrasi obat menjadi tinggi dan waktu eliminasi


menjadi panjang. Juga terjadi penurunan fungsi dan respon organ-organ,
adanya penyakit lain, adanya obat-obat untuk penyakit lain yang
sementara dikonsumsi, harus diperhitungkan dalam pemberian obat antihipertensi.
Prinsip pemberian obat pada pasien usia lanjut:
1) Sebaiknya dimulai dengan satu macam obat dengan dosis kecil.
2) Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan,untuk
penyesuaian autoregulasi guna mempertahankan perfusi ke organ
vital.
3) Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali sehari.
4) Antisipasi efek samping obat.
5) Pemantauan tekanan darah itu sendiri di rumah untuk evaluasi
fektivitas pengobatan.
Pengobatan harus segera dilakukan pada hipertensi berat dan apabila
terdapat kelainan target organ. Oleh karena itu fungsi ginjal telah menurun
dan terdapat gangguan metabolisme obat,sebaiknya dosis awal dimulai
dengan dosis yang lebih rendah pada hipertensi tanpa komplikasi.
Hipertensi pada usia lanjut perlu diobati seperti pada usia yang lebih
muda,secara hati-hati sampai tekanan sistolik 140 mmHg dan diastolik 80
mmHg atau kurang. Selain itu perlu diobati faktor resiko kardiovaskuler
yang lain: dislipedemia, merokok, obesitas, diabetes melitus dan lain-lain
(Suharjono,Syakib,2001: 484-485).
II.9

Obat-Obat Antihipertensi

10

Semua obat antihipertensi bekerja pada salah satu atau lebih dari empat
tempat kontrol anatomis dan efek tersebut terjadi dengan mempengaruhi
mekanisme normal regulasi tekanan darah. Obat-obat antihipertensi yang
sering digunakan diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Diuretik
Khasiat hipertensi diuretik berawal dari efeknya meningkatkan ekskresi
natrium, klorida, dan air, sehingga mengurangi volume plasma dan cairan
ekstrasel. Tekanan darah turun akibat berkurangnya curah jantung,
sedangkan resistensi perifer tidak berubah pada awal terapi. pada
pemberian kronik, volume plasma kembali tetapi masih kira-kira 5%
dibawah nilai sebelum pengobatan curah jantung kembali mendekati
normal. Tekanan darah tetap turun karena sekarang resistensi perifer
menurun. Vasodilatasi perifer yang terjadi kemudian ini tampaknya bukan
efek langsung tetapi karena adanya penyesuaian pembuluh darah perifer
terhadap pengurangan volume plasma yang terus menerus. Kemungkinan
lain adalah berkurangnya volume cairan intestisial yang berakibat pada
berkurangnya kekakuan. Dinding pembuluh darah dan bertambahnya daya
lentur (Ganiswara, 1995).
b) -Bloker (beta-bloker).
Mekanisme kerja beta-bloker sebagai antihipertensi masih belum jelas,
diperkirakan ada beberapa cara, cara pertama adalah pengurangan denyut
jantung dan kontraktilitas miokard menyebabkan denyut berkurang.
Refleks baroreseptor serta hambatan reseptor B2 Vaskuler menyebabkan
resistensi perifer menurun, mungkin sebagai penyesuaian terhadap
pengurangan curah jantung yang kronik. Cara yang kedua adalah
hambatan sekresi rennin melalui reseptor B1 di ginjal (Ganiswara,
1995:330). Penurunan tekanan darah oleh beta bloker yang diberikan per
oral berlangsung lambat. Efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1
minggu setelah terapi dimulai, dan tidak diperoleh penurunan tekanan
darah lebih lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Efek samping obat
golongan beta bloker dapat diperkirakan selain itu juga terdapat banyak
pilihan sehingga beta bloker sering digunakan sebagai obat pilihan
pertama. Khususnya pada kasus hipertensi dengan aritmia atau ischaemia
heart disease. Kontra indikasi pemakaian beta bloker adalah obstruksi
11

saluran nafas (asma bronkhial), penyakit pembuluh darah perifer, dan


gagal jantung (Raharjo, 2001).
c) - Bloker (Alfa-bloker).
Antagonis adrenoreseptorm memblok reseptor adrenergic dipembuluh
darah sehingga vasodilatasi. obat ini tidak menimbulkan toleransi pada
penggunaan janka panjang sebagai antihipertensi. Alfa bloker merupakan satusatunya golongan antihipertensi yang memberikan efek positif terhadap lipid
darah (menurunkan kolesterol LDL dan trigliserida dan meningkatkan
kolesterol HDL). Alfa bloker juga dapat menurunkan resistensi insulin
(disamping penghambat ACE), memberikan sedikit efek bronkodilatasi dan
mengurangi serangan asma akibat latihan fisik, dan tidak berinteraksi dengan
AINS. Karena itu, alfa bloker dianjurkan penggunaanya pada penderita
hipertensi yang disertai diabetes, dislipidemia, obesitas, gangguan resistensi
perifer, asma, dan perokok. Merokok meningkatkan trigliserida dan
menurunkan kolesterol HDL dalam darah. Alfa bloker juga dapat dianjurkan
untuk penderita muda yang aktif secara fisik, dan mereka yang menggunakan
AINS (Ganiswara,1995:321).
d) Antagonis kalsium
Pada otot jantung ada otot vaskuler, ion kalsium terutama berperan dalam
peristiwa kontraksi. Meningkatnya kadar ion kalsium dalam sitosol akan
meningkatkan kontraksi. Masuknya ion kalsium dalam ruang ekstrasel
kedalam ruang intrasel dipacu oleh perbedaan kadar (kadar kalsium ekstrasel
10. 000 kali lebih tinggi disbanding kadar ion kalsium intrasel sewaktu
diastole). Obat antihipertensi golongan antagonis kalsium bekerja dengan jalan
memblok kanal kalsium yang terletak pada otot polos sehingga mencegah
terjadinya vasokonstriksi (Ganiswara, 1995:325). Antagonis kalsium makin
banyak digunakan karena efek sampingnya pada kardiovaskuler, bronkus, dan
metabolism tubuh lebih kecil dibandingkan dengan beta bloker. Berdasarkan
efek tersebut, antagonis kalsium ini terutama digunakan pada hipertensi,
apabila diuretik dan atau beta bloker kurang efektif. Golongan obat
antihipertensi ini menurunkan darah secara efektif, dan umumnya dapat
ditoleransi dengan baik serta menekan kejadian stroke. Indikasi terutama
hipertensi sistolik pada lansia.
e) Penghambat Enzim konversi Angiotensin (ACE-inhibitor)
12

Mekanisme kerja penghambat ACE adalah mengurangi pembentukan


angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldostero
yang menyebabkan terjadinya ekresi natrium dan air, serta retensi kalium.
Akibatnya terjadi penurunan tekanan darah akibat penghambat ACE disertai
dengan penurunan resistensi perifer. Tampaknya kerja golongan obat ini tidak
hanya melalui system rennin-angiotensinaldosteron, tetapi juga melalui system
rennin. Hambatan inaktivasi bradikinin oleh penghambat ACE meningkatkan
bradikinin dan prostaglandin vasodilator sehingga meningkatkan vasodilatasi
akibat hambatan pembentukan angiotensin II (Ganiswara,1995).
f) Obat Antihipertensi Kerja Sentral
Kelompok ini termasuk metildopa, yang mempunyai keuntungan karena aman
bagi pasien asma, gagal jantung, dan kehamilan. Efek sampingnya diperkecil
jika dosis perharinya dipertahankan tetap dibawah 1g. Klonidin mempunyai
kerugian karena penghentian pengobatan secara tiba-tiba bisa menyebabkan
krisis hipertensif. Maksonidin, obat yang bekerja sentral, belum lama ini
diperkenalkan untuk hipertensi esensial ringan sampai sedang (DepKes RI,
2000).
g) Antagonis Reseptor Angiotensin II.
Ada dua tipe reseptor angiotensin II. tipe I Mengontrol vasokonstriksi dan
sintesis aldosteron, dan tipe 2 yang aksinya kurang spesifik. Antagonis
angiotensin II menghambat pada reseptor tipe I dan memiliki tipe yang sama
dengan penghambat ACE dan menurunkan tekanan darah namun efek
sampingnya lebih kecil (Clarke and Hebron,1999).
h) Vasodilator
Obat antihipertensi golongan ini dapat mengembangkan dindingdinding
arteriola sehingga daya tahan pembuluh perifer berkurang dan tekanan darah
menurun. Mekanisme kerjanya langsung terhadap obat-obat licin pembuluh
yang daya kontraksinya dikurangi, tanpa hubungan dengan saraf-saraf
adrenergic. (Tan Raharja, 2002). Beberapa contoh obat anti hipertensi dari tiap
golongan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel: 2 Golongan obat Antihipertensi

13

Evaluasi pasien dengan riwayat hipertensi memiliki 3 tujuan yaitu:


1) Untuk

menilai

gaya

hidup

dan

mengidentifikasikan

faktor

resiko

kardiovaskuler atau dengan penyakit yang mungkin mempengaruhi prognosis


dan pedoman pengobatan.
2) Untuk menyatukan penyebab tingginya tekanan darah.
3) Menilai parahnya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler.
Pemberian dua atau lebih obat pada waktu bersamaan dapat memberikan
efeknya tanpa saling mempengaruhi atau bisa jadi saling berinteraksi.
Kemungkinan interaksi obat yang dapat terjadi pada terapi pasien hipertensi.
Tabel 3. Interaksi obat yang mungkin terjadi antara obat yang mungkin terjadi
antara obat Antihipertensi dengan Antihipertensi yang lain.

14

Tabel 4. Interaksi obat yang mungkin terjadi obat Antihipertensi


dengan obat lain.

II.9

Komplikasi Hipertensi
Pada umumnya komplikasi terjadi pada hipertensi berat yaitu jika tekanan

darah (TD) diastolik 130 mmHg atau kenaikan tekanan darah (TD) yang terjadi
mendadak dan tinggi. Pada hipertensi ringan dan sedang komplikasi yang sering
terjadi adalah pada mata, ginjal, jantung, dan otak. Pada mata berupa pendarahan
retina, gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan
kelainan yang sering dijumpai pada hipertensi berat disamping kelainan koroner dan
miokard. Pada otak sering terjadi pendarahan yang disebabkan pecahnya
mikroaneurisma yang dapat mengakibatkan kematian. Kelainan lain yang terjadi
adalah proses tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara. Gagal ginjal sering
dijumpai sebagai komplikasi hipertensi. Komplikasi lain yang sering terjadi adalah

15

perdarahan otak. Perdarahan pada otak dapat menyebabkan stroke hemoragik ataupun
dapat juga hanya menimbulkan gangguan pada organ.
II.9.1 Perdarahan Otak
Pada makalah ini ada sedikit membahas tentang komplikasi perdarahan pada
otak. Stroke hemoragik merupakan penyebab utama ketidak mampuan penderita atau
disability. Hanya sekitar 20% penderita yang dapat berdiri sendiri/independent dalam
6 bulan dan 10% yang dapat berdiri sendiri setelah 30 hari kejadian. Sekitar 20-30%
perdarahan akan bertambah dalam 24 jam dan ini dapat diketahui dengan bertambah
jeleknya keadaan umum penderita serta gejala neurologis yang timbul. Hasil akhir
dari stroke hemoragik ini antara lain: volume hematome,ini merupakan hal yang
paling penting dalam menentukan hasil akhirnya, efek kompresi, efek destruksi,
ischemia, kemampuan neurotoxic dari hasil degradasi darah.
Lokasi perdarahan 60% deep subcortical, 30% superfisial atau lobar dan 10%
terletak infra tentorial/cerebellum. Massa perdarahan menyebabkan destruksi dan
kompresi langsung terhadap jaringan otak sekitarnya. Volume perdarahan
menyebabkan tekanan dalam otak meninggi dan mempunyai efek terhadap perfusi
jaringan otak serta drainage pembuluh darah. Perubahan pembuluh darah ini lebih
nyata/berat pada daerah perdarahan karena efek mekanik langsung,menyebabkan
iskhemik dan jeleknya perfusi sehingga terjadi kerusakan gel-gel otak. Volume
perdarahan merupakan hal yang paling menentukan dari hasil akhirnya. Hal lain yang
paling menentukan yaitu status neurologis dan volume darah didalam ventrikel.
Volume darah lebih dari 60 ml,mortalitasnya 93% bila lokasinya deep
subcortical dan 71 % bila lokasinya lobar superfisial. Untuk perdarahan cerebellum,
bila volumenya 30-60ml 75% fatal dan pada perdarahan didaerah pons lebih dari 5ml
berakibat fatal. Bagaimanapun kerusakan jaringan otak dan perubahan-perubahan
karena perdarahan didalam otak tidak statis.
Volume hematome selalu progresif. Dalam satu jam setelah kejadian, volume
darah akan bertambah pada 25% penderita; sekitar 10% dari semua penderita
volumenya bertambah setelah 20 jam. Pada CT Scan tampak daerah hipodensitas
disekitar hematom, ini disebabkan karena extravasasi serum dari hematome tersebut.
II.9.2 Stroke Cerebellar
16

Deskripsi Stroke cerebellar


Otak kecil terletak di bagian bawah otak, lebih dekat ke belakang. Hal ini
memainkan peran penting dalam mengendalikan gerakan tubuh, mata, dan menjaga
keseimbangan. Stroke terjadi serebelar, dimana aliran darah otak ke daerah ini dari
otak terganggu. Tanpa oksigen dan nutrisi, yang berasal dari darah, jaringan otak mati
cepat. Hal ini menyebabkan hilangnya beberapa fungsi dari organisme.
Penyebab stroke cerebellar
Ada dua jenis utama stroke Iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik (bentuk
paling umum) disebabkan oleh penurunan tajam dalam aliran darah ke area otak, yang
dapat menyebabkan: Bekuan, yang terbentuk di bagian tubuh lainnya (misalnya, atau
dekat leher) dan blok aliran darah di pembuluh darah, memasok otak (emboli),
Bekuan, yang terbentuk di arteri, yang membawa darah ke otak (trombus), dan
Angiorrhexis, memasok darah ke otak (diseksi arteri).
Faktor risiko stroke cerebellar
Faktor risiko, yang dapat dipengaruhi:

Gangguan tertentu, seperti:Tekanan darah tinggi;

Kolesterol Tinggi

Aterosklerosis

Fibrilasi atrium (gangguan irama jantung);

Kegemukan;

Sindrom metabolik;

Diabetes Tipe 2

Penyalahgunaan zat

Masalah dengan sirkulasi darah;

Obat-obatan (misalnya, penggunaan jangka panjang pil KB);

Faktor gaya hidup:

Merokok;

Kurangnya aktivitas fisik;

Diet tinggi natrium dan makanan olahan.

17

Gejala stroke cerebellar


Gejala cerebellar stroke yang datang tiba-tiba dan dapat mencakup:

Kurangnya koordinasi anggota badan atau trunk (ataxia);

Kesulitan berjalan, termasuk masalah dengan keseimbangan;

Refleks yang abnormal;

Gempa;

Pusing (perasaan rotasi atau berputar, ketika Anda tidak bergerak);

Mual dan muntah;

Sakit kepala intens;

Masalah dengan rasa sakit dan sensasi suhu;

Mendengar masalah;

Masalah penglihatan (misalnya, mata bergerak cepat, dan sulit untuk mengontrol
gerakan mereka);

Masalah mata (misalnya, chuzhenie zrachkom, jatuh kelopak mata);

Penurunan kesadaran.

Diagnosis Stroke cerebellar


Karena Stroke cerebellar adalah keadaan darurat, dokter membuat diagnosis secepat
mungkin. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan CT Scan.
Penatalaksanaan Bedah pada Stroke Perdarahan
Tidak semua stroke perdarahan memerlukan tindakan operasi oleh bedah
saraf, ada beberapa pertimbangan tertentu yang perlu diperhatikan sebelum dokter
bedah saraf memutuskan untuk operasi.
1.Indikasi Operasi
Indikasi operasi pada kasus stroke hemoragik dan non hemoragik masih
bersifat kontroversi. Keputusan operasi dan tidak sangat tergantung berbagai faktor.
Para ahlipun membuat berbagai tulisan yang berbeda-beda mengenai outcome operasi
pada kasus stroke. Ada yang berpendapat bahwa tindakan bedah akan sangat
bermanfaat menurunkan angka terjadinya rebleeding pada kasus Intra Cerebral
Hemorragik yang disebabkan oleh aneurisma, AVM. Operasi juga membantu

18

mengurangi oedem, efek desak ruang dari hematom, juga mengurangi residu nekrotik
akibat hematom di jaringan otak. Beberapa pendapat beranggapan bahwa tindakan
operasi tidak memberikan perbaikan pada klinis pasien.
Oleh karena itu keputusan operasi sangat ditentukan oleh beberapa kondisi yang
mendasari pasien seperti :
a

Status klinis

Ukuran volume perdarahan

Lokasi perdarahan

Usia pasien

Dukungan keluarga pasien


Indikasi operasi antara lain :

Lesi dengan efek desak ruang yang jelas, edema, atau midline shifting pada radiologis
dengan ancaman terjadinya herniasi.

Lesi Intracranial dengan gejala deficit neurologis seperti penurunan kesadaran,


hemiparese, afasia, yang disebabkan peningkatan tekanan intracranial khususnya oleh
hematom intraserebral.

Volume hematom :
< 10cc biasanya tidak significan untuk dilakukan operasi
> 30cc biasanya kandidat operasi dengan deficit neurologis yang menyertai
> 85cc biasanya tidak memiliki prognosa yang baik untuk di operasi
Lokasi dipermukaan akan memiliki prognosa yang lebih baik dibandingkan
lokasi yang dalam. Pada lobar hematom perdarahan berada pada tepi jaringan otak
sehingga merupakan kandidat yang baik untuk dilakukan operasi. Perdarahan dengan
lokasi di cerebellum memiliki beberapa catatan khusus yaitu :
GCS > = 14 dan volume perdarahan < 4 cm : konservatif
GCS < = 13 atau dengan hematom > = 4cm perlu dilakukan evakuasi hematom
Pasien dengan penekanan batang otak : konservatif
Usia pasien muda memiliki prognosa yang lebih baik dibandingkan usia

19

lanjut. Ada beberapa perbedaan parameter usia yang dapat dijadikan patokan. Factor
usia ini memiliki kontribusi karena otak pada usia muda memiliki daya akomodasi
yang lebih baik terhadap adanya masa bekuan darah dibandingkan usia tua atau
dengan atrofi serebri.
B. PENGGUNAAN OBAT HIPERTENSI
Dampak negatif pemakaian obat yang tidak rasional sangat luas dan kompleks seperti
halnya faktor-faktor pendorong atau penyebab terjadinya. Tetapi secara ringkas
dampak tersebut dapat digambarkan seperti berikut:
1)
2)
3)
4)

Dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan.


Dampak terhadap biaya pelayanan pengobatan.
Dampak terhadap kemungkinan efek samping obat.
Dampak psikososial.

Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa criteria tertentu.


Kriteria ini mungkin akan bervariasi tergantung interpretasi masing-masing, Tetapi
paling tidak akan mencangkup hal-hal berikut:
1) Ketepatan indikasi
Indikasi pemakaiann obat secara khusus adalah indikasi medik dimana
intervensi dengan obat (farmakoterapi) memang diperlukan dan telah
diketahui memberikan manfaat terapetik. Pada banyak keadaan, Ketidakrasionalan pemakaian obat terjadi oleh karena keperluan intervensi
farmakoterapi dan kemanfaatanya tidak jelas.
2) Ketepatan Pemilihan obat
Pemilihan jenis obat harus memenuhi beberapa segi pertimbangan yakni:
a. Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti.
b. Risiko dari pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasien dan imbang
dengan manfaat yang akan diperoleh.
c. Biaya obat paling sesuai untuk alternatif-alternatif obat dengan manfaat
dan keamanan yang sama dan paling terjangkau oleh pasien (affordable).
d. Jenis obat yang paling mudah didapat (available).
e. Cara pemakaian paling cocok dan paling mudah diikuti pasien.
f. Sedikit mungkin kombinasi obat atau jumlah jenis obat.
3. Ketepatan cara pemakaian dan dosis obat
Banyak ketidakrasionalan bersumber pada pemilihan obat-obat dengan
manfaat dan keamanan yang samar-samar atau obat-obat yang mahal pada alternatif
yang sama dengan harga lebih murah juga tersedia. Cara pemakaian obat memerlukan
pertimbangan farmakokinetika yakni : Cara pemberian, besar dosis, frekuensi

20

pemberian dan lama pemberian, Sampai kepemilihan cara pemakaian yang paling
mudah diikuti oleh pasien dan paling aman serta efektif untuk pasien.
4. Ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien atau tindak lanjut efek pengobatan.
Ketepatan pasien serta penilaianya mencangkup pertimbangan apakah ada
kontraindikasi atau adakah kondisi-kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian
dosis secara individual. Apakah ada keadaan yang merupakan faktor konstitusi
terjadinya efek samping obat pada penderita. Jika kemudian terjadi efek samping
tertentu, bagaimana menentukan dan menanganinya
C. USIA LANJUT/GERIATRI
Geriatri berasal dari kata-kata geros (usia lanjut) dan iatreia (mengobati).
Geriatri merupakan cabang Gerontologi. Gerantologi ini dibagi menjadi tiga yaitu
Biology of aging, social gerontology, dan geriatri medicine, yang mengupas problem
klinik orang-orang lanjut usia (Darmojo dan pranaka, 2001).
Menua (menjadi tua=aging) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan
mempertahankan struktur serta fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap jejas (termasuk infeksi) dan kerusakan yang diderita (Darmojo dan Martono,
2006).
Prinsip dan tujuan terapi pada usia lanjut antara lain:
5. Menghindari obat yang tidak perlu, misalnya pada pasien hipertensi yang
belum begitu parah mungkin bisa diberi tanpa obat yang telah terbukti
efikasinya.
6. Penggunaan obat golongan sedative hipnotik sebaiknya dihindari.
7. Tujuan terapi dari para pasien usia lanjut antara lain tidak hanya
memperpanjang umurnya tetapi juga mengubah kualitas hidupnya.
8. Terapi sebaiknya ditujukan pada penyebab penyakit, bukan terhadap gejala
yang timbul.
9. Riwayat penggunaan obat, untuk memastikan bahwa pasien tidak alergi
terhadap obat tersebut.
10. Pemilihan obat, obat yang diberikan pada usia lanjut hendaknya yang sudah
terbukti efikasinya dan mungkin terjadinya Adverse Drug Reactions kecil
atau tidak ada.
11. Titrasi dosis (walker dan Edwards, 2003).

21

BAB III
METODE
III.1 Rancangan Mini Project
Mini project ini dilakukan dengan pengumpulan data melalui data rekam
medis elektronik maupun fisik di Puskesmas Kembangbahu
III.2 Waktu dan Tempat Mini project
Mini project ini dilaksanakan pada bulan Januari 2016 di Puskesmas
Kembangbahu dan diwilayah kerja Puskesmas Kembangbahu.
III.3 Populasi Mini project
Populasi mini project adalah masyarakat secara umum di wilayah kerja
Puskesmas Kembangbahu.
III.4 Subjek Mini project

22

Subjek mini project adalah masyarakat secara umum di wilayah kerja


Puskesmas Kembangbahu.

23

BAB IV
HASIL
IV.1 DATA GEOGRAFIS DAN DEMOGRAFIK
Kecamatan Kembangbahu adalah salah satu kecamatan dari 27 Kecamatan
yang berada di Kabupaten Lamongan dengan jarak orbitasi kurang lebih 15 KM dari
Ibukota Kabupaten Lamongan atau 14 KM dari arah kota Lamongan (Kota terdekat).
Batas wilayah: Sebelah Utara Kecamatan Sukodadi Sebelah timur Kecamatan
Tikung Sebelah Selatan Kecamatan Mantup sebelah Barat Kecamatan Sugio.
Pembagian Wilayah : Kecamatan Kembangbahu terdiri atas 18 desa 77 dusun 100
RW 354 RT dengan komposisi jumlah penduduk 21.939 Jiwa laki-laki dan 22.360
Jiwa Perempuan, Luas wilayah 6.384,320 Ha dengan tataguna tanah 3.795,430 Ha
untuk sawah, 1.890,020 Ha tegal, 476,250 Ha Pekarangan, Tanah Hutan Negara 16
Ha dan lain-lain 205,720 Ha. Tanah data bagian utara dengan kemiringan 65% sisanya
35 % bagian selatan. Adapun struktur tanah secara uimum dengan jenis alovial 10 %,
Gromosol 90 % dan kedalaman air tanah rata-rata 20 meter. Data data di wilayah
Kembangbahu, jumlah SD 31 unit, MI 18 unit, SMPN 3 unit, Tsanawiyah 3 unit,
SMA 1 unit, Aliyah 3 unit dan Bank Pasar I unit, BRI I Unit, LKURK I1 Unit
Koperasi 5 unit bank desa I unit serta pasar desa 2 unit.
A. SUMBER DAYA KESEHATAN
NO

JENIS TENAGA

JUMLAH

1.

Dokter Umum

2.

Dokter Gigi

3.

Perawat

4.

Bidan

21

5.

Perawat Gigi

6.

Ahli Gizi

7.

Apoteker

8.

Asisten Apoteker

9.

Analis

24

10.

Koordinator Imunisasi

11.

Sanitarian

12.

Administrasi Keuangan dan Barang

13.

Administrasi Umum

14.

Administrasi Loket

15.

Penjaga gedung/Tukang Kebun

JUMLAH

43

B. SARANA PELAYANAN KESEHATAN


No

Sarana Prasarana

Jumlah

T T UGD

T T Rawat Inap

20

VIP

Klas I

Klas II

Klas III

ECG

Spectrofotometri

Hematologi Analyzer / Laboratorium

PONED kit

Ambulance

USG

UGD Set

25

BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan studi observasi data primer bersumber dari pencatatan pasien di
instalasi rawat inap Puskesmas Kembangbahu bulan Januari-Februari 2016 masih
banyak terdapat pasien penderita hipertensi dan diantaranya terkena stroke atau
terjadi komplikasi perdarahan pada otak. Penderita wanita dan laki-laki hampir
setara. Penyebab hipertensi pada sebagian pasien adalah gaya hidup yang kurang
baik yakni dari pola makan sedangkan sebagian besar pasien belum diketahui secara
pasti penyakit yang mendasari.
Sedangkan pada rawat jalan bulan Januari-Februari hampir semuanya adalah
usia 50 tahun ke atas. Hal ini menunjukkan kesesuaian antara teori yang mengatakan
adanya resiko lebih tinggi kejadian hipertensi pada usila. Pasien sebagian besar
diterapi dengan obat antihipertensi. Kondisi yang seringkali mengakibatkan pasien
kembali dengan kondisi hipertensi yang tidak terkontrol karena tidak rutin
mengkonsumsi obat antihipertensi.
Hasil tersebut diatas menunjukkan masih banyaknya kasus hipertensi tidak
terkontrol di wilayah kerja Puskesmas Kembangbahu. Untuk itu perlu dilakukan
intervensi promotif dan preventif yang efektif dan efisien sebagai upaya menurunkan
prevalensi anemia, dan meningkatkan pengetahuan masyarakat usila yang merupakan
kelompok usia yang beresiko menderita hipertensi.
Langkah yang dapat ditempuh sebagai strategi penyuluhan antara lain:
1. Kerjasama yang rutin dan terjadwal antara tenaga kesehatan Puskesmas dengan
kader desa
2. Penggunaan media pamflet, poster, dan brosur sebagai sarana penyuluhan yang
minim biaya namun efektif dan efisien.

26

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Jumlah penderita hipertensi periode Januari-Februari 2016 masih banyak
2. Terdapat beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam pemeriksaan dan pelayanan
sehubungan dengan kasus hipertensi.

B. Saran
1. Petugas kesehatan di Puskesmas perlu memanfatkan internet, jejaring social
media layanan pesan singkat sebagai sarana penyuluhan hipertensi.
2. Perlu diadakan penyuluhan hipertensi
3. Perlu diadakan skrining yang sistematis dan tepat sasaran untuk deteksi dini
hipertensi di masyarakat.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Arora. 2008.5 langkah mencegah dan mengobati tekanan darah tinggi. Jakarta :
Bhauana Ilmu Populer.
2. Bustan. 2000 .Epidemiologi Penyakit tidak Menular. Jakarta : Rineka Cipta
3. Gunawan Lany. 2000. Hipertensi Tekanan darah tinggi. Yogjakarta : Kanisus
4. Hidayat, Aziz Alimul. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa
Data. Jakarta :Salemba Medika
5. Kompas Cyber Media. 2007. http/www depkes. Go.id/index, diakses 09-03-2009
pukul 08.50 WIB
6. Macnair, Trisha. 2001. Tekanan Darah Tinggi. Jakarta : Erlangga
7. Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius: FKUI
8. Notoatmodjo, Soekidjo. 1993. Ilmu Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu
Perilaku Kesehatan edisi pertama. Yogjakarta : Andi Offset
9. Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta
10. Sarwono Warpadzi, Soeparman,dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam jilid VI. Jakarta :
Balai Penerbitan FKUI.
11. Wolf Harf Peter. 2006.Hipertensi. Jakarta : Buana Ilmu Populer
12.

anonym.

Masalah

Hipertensi.

Available

at:

http://www.depkes.go.id/article/view/1909/masalah-hipertensi-diindonesia.html#sthash.8deZCOUx.dpuf

28

Anda mungkin juga menyukai