Anda di halaman 1dari 10

SOSIOLOGI dan POLITIK

Tanggal 1 November 2016


MATERI 6
Integrasi Nasional
Dosen Pengampu: Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.si

COVER

OLEH :
KELOMPOK 6
Nama Anggota:
I.B.P Satriya Wibawa P.G
Ni Wayan Dea Dharmala
Ni Ketut Riska Astari

(1506305133/20)
(1506305148/21)
(1506305165/22)

REGULER
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2016

2.1 Pengertian Integrasi Nasional


Integrasi berasal dari bahasa inggris integration yang berarti kesempurnaan atau
keseluruhan. Intergasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang
saling berbeda dalam kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi. Integrasi sosial
akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki kesepakatan tentang batas-batas
teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial.
Di Indonesia istilah integrasi masih sering disamakan dengan istilah pembauran atau
asimilasi, padahal kedua istilah tersebut memiliki perbedaan. Integrasi diartikan dengan
integrasi kebudayaan, integrasi sosial, dan pluralisme sosial. Sementara pembauran dapat
berarti penyesuaian antar dua atau lebih kebudayaan mengenai berapa unsur kebudayaan
(cultural traits) mereka yang berbeda atau bertentangan, agar dapat dibentuk menjadi suatu
sistem kebudayaan yang selaras (harmonis)
Integrasi nasional adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan perbedaan yang
ada pada suatu negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan secara nasional.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik dari
kebudayaan ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak positif bagi bangsa
karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau mengelola budaya
budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain menimbulkan sebuah
keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang baru.
Sunyoto Usman (1998) menyatakan bahwa suatu kelompok masyarakat dapat terintegrasi
apabila :
1. Masyarakat dapat menentukan dan menyepapakati nilai-nilai fundamental yang dapat
dijadikan rujukan bersama
2. Masyarakat terhimpun dalam unit sosial sekaligus memiliki croos cutting loyality
3. Masyarakat berada saling ketergantungan diantara unit-unit sosial yang terhimpun di
dalamnya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi.
Faktor-Faktor Pendorong Integrasi Nasional sebagai berikut:
1. Faktor sejarah yang menimbulkan rasa senasib dan seperjuangan.
2. Keinginan untuk bersatu di kalangan bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan
dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.

3. Rasa cinta tanah air di kalangan bangsa Indonesia, sebagaimana dibuktikan


perjuangan merebut, menegakkan, dan mengisi kemerdekaan.
4. Rasa rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, sebagaimana dibuktikan
oleh banyak pahlawan bangsa yang gugur di medan perjuangan.
5. Kesepakatan atau konsensus nasional dalam perwujudan Proklamasi Kemerdekaan,
Pancasila dan UUD 1945, bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya,
bahasa kesatuan bahasa Indonesia.
Contoh-Contoh Pendorong Integrasi Nasional :
a) Adanya rasa keinginan untuk bersatu agar menjadi negara yang lebih maju dan
tangguh di masa yang akan datang.
b) Rasa cinta tanah air terhadap bangsa Indonesia
c) Adanya rasa untuk tidak ingin terpecah belah, karena untuk mencari kemerdekaan itu
adalah hal yang sangat sulit.
d) Adanya sikap kedewasaan di sebagian pihak, sehingga saat terjadi pertentangan pihak
ini lebih baik mengalah agar tidak terjadi perpecahan bangsa.
e) Adanya rasa senasib dan sepenanggungan
f) Adanya rasa dan keinginan untuk rela berkorban bagi bangsa dan negara demi
terciptanya kedamaian
Faktor-Faktor Penghambat Integrasi Nasional sebagai berikut:
1) Masyarakat Indonesia yang heterogen (beraneka ragam) dalam faktor-faktor
kesukubangsaan dengan masing-masing kebudayaan daerahnya, bahasa daerah,
agama yang dianut, ras dan sebagainya.
2) Wilayah negara yang begitu luas, terdiri atas ribuan kepulauan yang dikelilingi oleh
lautan luas.
3) Besarnya kemungkinan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang
merongrong keutuhan, kesatuan dan persatuan bangsa, baik yang berasal dari dalam
maupun luar negeri.
4) Masih besarnya ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil
pembangunan menimbulkan berbagai rasa tidak puas dan keputusasaan di masalah
SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan), gerakan separatisme dan
kedaerahan, demonstrasi dan unjuk rasa.
5) Adanya paham etnosentrisme di antara beberapa suku bangsa yang menonjolkan
kelebihan-kelebihan budayanya dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain.
Contoh Wujud Integrasi Nasional, antara lain sebagai berikut:
3

a) Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta oleh Pemerintah


Republik Indonesia yang diresmikan pada tahun 1976. Di kompleks Taman Mini
Indonesia Indah terdapat anjungan dari semua propinsi di Indonesia (waktu itu ada 27
provinsi). Setiap anjungan menampilkan rumah adat beserta aneka macam hasil
budaya di provinsi itu, misalnya adat, tarian daerah, alat musik khas daerah, dan
sebagainya.
b) Sikap toleransi antarumat beragama, walaupun agama kita berbeda dengan teman,
tetangga atau saudara, kita harus saling menghormati.
c) Sikap menghargai dan merasa ikut memiliki kebudayan daerah lain, bahkan mau
mempelajari budaya daerah lain, misalnya masyarakat Jawa atau Sumatra, belajar
menari legong yang merupakan salah satu tarian adat Bali. Selain anjungan dari
semua propinsi di Indonesia, di dalam komplek Taman Mini Indonesia Indah juga
terdapat bangunan tempat ibadah dari agama-agama yang resmi di Indonesia, yaitu
masjid (untuk agama Islam), gereja (untuk agama Kristen dan Katolik), pura (untuk
agama Hindu) dan wihara (untuk agama Buddha). Perlu diketahui, bahwa waktu itu
agama resmi di Indonesia baru 5 (lima) macam.
2.2 Pentingnya Integrasi Nasional
Masyarakat yang terintegrasi dengan baik merupakan harapan bagi setiap negara.
Sebab integrasi masyarakat merupakan kondisi yang diperlukan bagi negara untuk
membangun kejayaan nasional demi mencapai tujuan yang diharapkan. Ketika masyarakat
suatu negara senantiasa diwarnai oleh pertentangan atau konflik, maka akan banyak kerugian
yang diderita, baik kerugian berupa fisik materill seperti kerusakan sarana dan prasarana yang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maupun kerugian mental spiritual seperti perasaan
kekawatiran, cemas, ketakutan, bahkan juga tekanan mental yang berkepanjangan. Disisi lain
banyak pula potensi sumber daya yang dimiliki oleh negara, yang mestinya dapat digunakan
untuk melaksanakan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat, harus dikorbankan untuk
menyelesaikan konflik tersebut. Dengan demikian negara yang senantiasa diwarnai konflik di
dalamnya akan sulit untuk mewujudkan kemajuan.
Integrasi masyarakat yang sepenuhnya memang sesuatu yang tidak mungkin
diwujudkan, karena setiap masyarakat disamping membawakan potensi integrasi juga
menyimpan potensi konflik atau pertentangan. Persamaan kepentingan, kebutuhan untuk
bekerja sama, serta konsensus tentang nilai-nilai tertentu dalam masyarakat, merupakan
4

potensi yang mengintegrasikan. Sebaliknya perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat


seperti perbedaan suku, perbedaan agama, perbedaan budaya, dan perbedaan kepentingan
adalah menyimpan potensi konflik, terlebih apabila perbedaan-pebedaan itu tidak dikelola
dan disikapi dengan cara dan sikap yang tepat. Namun apapun kondisi integrasi masyarakat
merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk membangun kejayaan bangsa dan negara,
dan oleh karena itu perlu senantiasa diupayakan. Kegagalan dalam mewujudkan integrasi
masyarakat berarti kegagalan untuk membangun kejayaan nasional, bahkan dapat
mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara yang bersangkutan.
Sejarah indonesia adalah sejarah yang merupakan proses dari bersatunya suku-suku
bangsa menjadi sebuah bangsa. Ada semacam proses konvergensi, baik yang desengaja
maupun tidak disengaja, ke arah menyatunya suku-suku tersebut menjadi satu kesatuan
negara dan bangsa.
2.3 Pluralitas Masyarakat Indonesia
Kenyataan bahawa masyarakat indonesia merupakan suatu hal yang sudah sama-sama
dimengerti. Dengan meminjam istilah yang digunakan oleh clifford geertz, masyarakat
majemuk adalah merupakan masyarakat yang terbagi-bagi kedalam sub-sub sistem yang
kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing sub sistem terikat ke dalam
oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial. (geertz,1963: 105 dst). Apa yang dikatakan
sebagai ikatan primordial disini adalah ikatan yang muncul dari perasaan yang lahir dari apa
yang ada dalam kehidupan sosial, yang sebagian besar berasal dari hubungan kelurga, ikatan
kesukuan tertentu, keangootaan dalam keagamaan tertentu, yang membawakan ikatan yang
sangat kuat dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan menurut pierre L. Van den berghe masyarakat majemuk memiliki karakteristik:
a. Terjadinya segementasi kedalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali
memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
b. Memiliki struktur sosial yang terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer,
c. Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai
yang bersifat dasar,
d. Secara relatif seringkali mengalami konflik diantara kelompom yang satu dengan
yang lainnya,

e. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
ketergantungan dalam bidang ekonomi,
f. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Walaupun karakteristik masyarakat majemuk sebagaimana dikemukakan olehn pierre
L. Van berghe sebagaimana diatas tidak sepenuhnya mewakili kenyataan yang ada dalam
mayarakat dalam masyarakat indonesia, akan tetapi pendapat tersebut setidak-tidaknya dapat
digunakan sebagai acuan berfikir dalam menganalisis keadaan masyarakat indonesia.
2.4 Integrasi Nasional Indonesia
Dimensi Integrasi Nasional
Integrasi nasional dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi
horizontal. Dimensi vertikal dari integrasi adalah dimensi yang berkenaan dengan upaya
menyatukan persepsi, keinginan, dan harapan yang ada antara elite dan massa atau antara
pemerintah dan rakyat. Jadi integrasi vertikal merupakan upaya mewujudkan integrasi
dengan menjebatani perbedaan-perbedaan antara pemerintah dan rakyat. Integrasi nasional
dalam dimensi yang demikian biasa disebut dengan integrasi politik. Sedangkan dimensi
horisontal dari integrasi adalah dimensi yang berkenaan dengan upaya mewujudkan persatuan
di antara perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat itu sendiri, baik perbedaan
wilayah tempat tinggal, perbedaan suku, perbedaan agama, perbedaan budaya dan perbedaanperbedaan lainnya. Jadi integrasi horisontal merupakan upaya mewujudkan integrasi dengan
menjembatani perbedaan antar kelompok dalam masyarakat. Integrasi nasional dalam
dimensi ini biasa disebut dengan integrasi teritorial.
Pengertian integrasi nasional mencakup dimensi vertikal maupun dimensi horizontal.
Dengan demikian persoalan integrasi nasional menyangkut keserasian hubungan antara
pemerintah dan rakyat, serta keserasian hubungan di antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat dengan latar belakang perbedaan di dalamnya. Dalam upaya mewujudkan
integrasi nasional indonesia, tantangan yang di hadapi datang dari keduanya. Dalam dimensi
horizontal tantangan yang ada berkenaan dengan pembelahan horizontal yang berakar pada
perbedaan suku, agama, ras, dan geografi. Sedangkan dalam dimensi vertikal tantangan yang
ada adalah berupa celah perbedaan antara elite dan massa, dimana latar belakang pendidikan
kekotaan menyebabkan kaum elite berbeda dari massa yang cenderung berpandangan
tradisional. Masalah yang berkenaan dengan dimensi vertikal lebih sering muncul ke
6

permukaan setelah berbaur dengan dimensi horizontal, sehingga memberikan kesan bahwa
dalam kasus indonesia dimensi horizontal lebih menonjol dari pada dimensi vertikalnya.
Tantangan integrasi nasional tersebut lebih menonjol ke permukaan setelah memasuki
era reformasi tahun 1998. Konflik horizontal maupun vertikal sering terjadi bersamaan
dengan melemahnya otoritas pemerintahan di pusat. Kebebasan yang digulirkan pada era
reformasi sebagai bagian dari proses demokratisasi yang telah banyak disalahgunakan oleh
kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk bertindak seenaknya sendiri, tindakan mana
kemudian memunculkan adanya gesekan-gesekan antar kelompok dalam masyarakat dan
memicu terjadinya konflik atau kerusuhan antar kelompok. Bersamaaan dengan itu
demontrasi menentang kebijakan pemerintah juga banyak terjadi, bahkan seringkali
demonstrasi itu diikuti oleh tindakan-tindakan anarkis.
Keinginan yang kuat dari pemerintah untuk mewujudkan aspirasi masyarakat,
kebijakan pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat, dukungan
masyarakat terhadap pemerintah yang sah, dan ketaatan warga masyarakat melaksanakan
kebijakan pemerintah adalah pertanda adanya integrasi dalam arti vertikal. Sebaliknya
kebijakan demi kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang tidak atau kurang sesuai
dengan keinginan dan harapan masyarakat serta penolakan sebagian besar warga masyarakat
terhadap kebijakan pemerintah menggambarkan kurang adanya integrasi vertikal. Memang
tidak ada kebijakan pemerintah yang melayani dan memuaskan seluruh warga masyarakat,
tetapi setidak-tidaknya kebijakan pemerintah hendaknya dapat melayani keinginan dan
harapan sebagian besar warga masyarakat.
Sedangkan jalinan hubungan dan kerjasama di antara kelompok-kelompok yang
berbeda dalam masyarakat, kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai dan saling
menghargai antara kelompok-kelompok masyarakat dengan pembedaaan yang ada satu sama
lain, merupakan pertanda adanya integrasi dalam arti horizontal. Pertentangan atau konflik
antar kelompok dengan berbagai latar belakang perbedaan yang ada, tidak pernah tertutup
sama sekali kemungkinannya untuk terjadi. Namun yang diharapkan bahwa konflik itu dapat
dikelola dan dicarikan solusinya dengan baik, dan terjadi dalam kadar yang tidak terlalu
mengganggu upaya pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat dan pencapaian tujuan
nasional.
Mewujudkan integrasi nasional indonesia
Salah satu persoalan yang dialami oleh negara-negara berkembang termasuk
indonesia dalam mewujudkan integrasi nasional adalah masalah primordialisme yang masih

kuat. Titik pusat goncangan primordial biasanya berkisar pada beberapa hal, yaitu masalah
hubungan darah (kesukuan), jenis bangsa (ras), bahasa, daerah, agama, dan kebiasaan.
Di era globalisasi, tantangan itu bertambah oleh adanya tarikan global dimana
keberadaan negara dan bangsa sering dirasa terlalu sempit untuk mewadahi tuntunan dan
kecenderungan global. Dengan demikian keberadaan negara berada dalam dua tarikan
sekaligus, yaitu tarikan dari luar berupa globalisasi yang cenderung mengabaikan batas-batas
negara-bangsa, dan tarikan dari dalam berupa kecenderungan menguatnya ikatan-ikatan yang
sempit seperti ikatan etnis, kesukuan, atau kedaerahan. Disitulah nasionalisme dan
keberadaan negara nasional mengalami tantangan yang semakin berat.
Namun demikian harus tetap diyakini bahwa nasionalisme sebagai karakter bangsa
tetap diperlukan di era indonesia merdeka sebagai kekuatan untuk menjaga eksistensi,
sekaligus mewujudkan taraf peradaban yang luhur, kekuatan yang tangguh, dan mencapai
negara-bangsa yang besar. Nasionalisme sebagai karakter semakin diperlukan dalam menjaga
harkat dan martabat bangsa di era globalisasi karena gelombang peradaban kesejagatan
ditandai oleh semakin kaburnya batas-batas teritorial negara akibat gempuran informasi dan
komunikasi.
Dengan kondisi masyarakat indonesia yang diwarnai oleh berbagai keanekaragaman,
harus disadari bahwa masyarakat indonesia menyimpan potensi konflik yang sangat besar,
baik konflik yang bersifat vertikal maupun bersifat horizontal. Dalam dimensi vertikal,
sepanjang sejarah sejak proklamasi indonesia hampir tidak pernah lepas dari gejolak
kedaerahan berupa tuntutan untuk memisahkan diri. Sedangkan dalam dimensi horizontal,
sering pula dijumpai adanya gejolak atau pertentangan diantara kelompok-kelompok dalam
masyarakat, baik konflik yang bernuansa ras, kesukuan, keagamaan, atau antar golongan.
Disamping itu juga konflik yang bernuansa kecemburuan sosial.
Dalam skala nasional, kasus aceh, papua, ambon, merupakan konflik yang bersifat
vertikal dengan target untuk memisahkan diri dari negara republik indonesia. Kasus-kasus
tersebut dapat dilihat sebagai konflik antara masyarakat daerah dengan otoritas kekuasaan
yang ada di pusat. Disamping masuknya kepentingan-kepentingan tertentu dari masyarakat
yang ada di daerah, munculnya konflik tersebut merupakan ekspresi ketidakpuasan terhadap
kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan di daerah. Kebijakan pemerintah pusat
dianggap memunculkan kesenjangan antar daerah, sehingga ada daerah-daerah tertentu yang
sangat maju pembangunannya, sementara ada daerah-daerah yang masih terbelakang. Dalam
hubungan ini isu dikhotomi jawa dan luar jawa sangat menonjol, dimana jawa dianggap
mempresentasikan pusat kekuasaan yang kondisinya sangat maju, sementara hanya daerah8

daerah di luar jawa yang merasa menyumbangkan pendapatan yang besar pada negara,
kondisinya masih terbelakang. Dengan mengacu pada faktor-faktor terjadinya konflik
kedaerahan sebagaimana disebutkan diatas, konflik kedaerahan di indonesia terkait secara
akumulatif dengan berbagai faktor tersebut.
Sejalan dengan itu dipakailah semboyan bhineka tunggal ika, yang artinya walaupun
berbeda-beda tetapi tetap satu adanya. Semboyan tersebut sama maknanya dengan istilah
unity in diversity:, yang artinya bersatu dalam keanekaragaman, sebuah ungkapan yang
menggambarkan cara menyatukan secara demokratis suatu masyarakat yang didalamnya
diwarnai oleh adanya berbagai perbedaan. Dengan semboyan bhineka tunggal ika tersebut
segala perbedaan dalam masyarakat ditanggapi bukan sebagai keadaan yang menghambat
persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan sebagai kekayaan budaya yang dapat dijadikan
sumber pengayaan kebudayaan nasional kita.
Untuk terwujudnya masyarakat yang menggambarkan semboyan bhineka tunggal ika,
diperlukan pandangan atau wawasan multikulturalisme. Multikulturalisme adalah pandangan
bahwa setiap kebudayaan memiliki nilai dan kedudukan yang sama dengan kebudayaan lain,
sehingga setiap kebudayaan berhak mendapatkan tempat sebagaimana kebudayaan lainnya.
(baidhawy. 2005:5). Perwujudan dari multikulturalisme adalah kesediaan orang-orang dari
kebudayaan yang beragam untuk hidup berdampingan secara damai. Disini diperlukan sikap
hidup yang memandang perbedaan di antara anggota masyarakat sebagai kenyataan wajar
dan tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai alasan untuk berkonflik. Disamping itu
perlu memandang kebudayaan orang lain dari perspektif pemilik kebudayaan yang
bersangkutan, dan bukan memandang kebudayaan orang lain dari perspektif dirinya sendiri.
Oleh karena itu multikulturalisme menekankan pentingnya belajar tentang kebudayaankebudayaan lain dan mencoba memahaminya secara penuh dan empatik sehingga dapat
menghargai kebudayaan-kebudayaan lain disamping kebudayaannya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Wibowo, I, 2000, Negara dan Mayarakat : Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina,
gramedia, Jakarta.
Winarno. 2007, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi. Bumi
aksara, jakarta.
Buku Panduan Kewarganegaraan Tahun 2014. Universitas Sriwijaya. UPT Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian.

10

Anda mungkin juga menyukai