Anda di halaman 1dari 18

Diagnosis Limfoma Non-Hodgkins dan Penatalaksanaannya

KELOMPOK F4

Pendahuluan
Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup sistem limfatik dan
imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu pembesaran
kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat
juga dijumpai ekstra nodul yaitu diluar sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus
digestivus, paru, kulit dan organ lain.1
Dua jenis utama pada kondisi tersebut adalah limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin. Walaupun
kedua kanker ini berasal dari jaringan limfoid, terdapat perbedan

pada gambaran

histopatologisnya.. Limfoma Hodgkin memiliki karakteristik berupa adanya sel Reed-Steinberg


yang merupakan sel kanker berukuran besar sedangkan Limfoma non-Hodgkin tidak memiliki
sel itu. Kebanyakan dari jenis penyakit Hodgkin lebih responsif pada radiasi dan kemoterapi
meskipun hal tersebut tidak berlaku untuk limfoma non-Hodgkin.
Di Indonesia sendiri, LNH bersama-sama dengan LH dan leukemia menduduki urutan keenam
tersering. Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya mengapa angka kejadian penyakit ini
terus meningkat. Adanya hubungan yang erat antara penyakit AIDS dan penyakit ini memperkuat
dugaan adanya hubungan antara kejadian limfoma dengan kejadian infeksi sebelumnya.
Pengobatan terdekat masa kini buat kasus limfoma maligna adalah kemoterapi dan radioterapi.1

Anamnesis
Pemeriksaan ke atas pasien dimulai dengan wawancara atau anamnesis. Anamnesis adalah
wawancara antara dokter, penderita atau keluarga penderita yang mempunyai hubungan dekat
dengan pasien, mengenai semua data tentang penyakit. Dalam anamnesis, harus diketahui adalah
identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang dan dulu, riwayat kesihatan keluarga,
riwayat peribadi dan riwayat ekonomi. Dalam rekam medik, perlu ada anamnesis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis kerja, penatalaksanaan dan prognosis. Maka seorang
dokter sering menemukan informasi penting tentang kemungkinan penyebab gejala melalui
sebuah diskusi tentang riwayat kesehatan pasien. Ia juga adalah pintu pembuka untuk
membangun hubungan antara dokter dan pasien sehingga dapat membawa kepada keterbukaan
dan kerjasama dari pasien untuk tahap-tahap pemeriksaan selanjutnya. Ada 2 jenis anamnesis
yang umum dilakukan, yakni autoanamnesis dan alloanamnesis. Pada umumnya anamnesis
dilakukan dengan teknik autoanamnesis yaitu anamnesis yang dilakukan langsung terhadap
pasiennya. Anamnesis yang didapat dari informasi orang lain serta ahli keluarga disebut
alloanamnesis.
1. Identitas
Ditanyakan nama lengkap, usia, tempat tinggal dan pekerjaan pasien.
2. Apa yang menjadi keluhan utamanya atau apa yang menyebabkan pasien untuk datang
berobat.
berapa lama keluhan ini telah diderita, sejak kapan?
karakteristik dari benjolan. Pada bagian mana? Apakah ada rasa nyeri, konsistensi
nya, mobile atau imobile.
3. Keluhan penyerta apakah ada keluhan sistemik?
demam, keringat dingin, mual, muntah, sakit kepala.
Apakah ada nyeri tulang?
4. Riwayat penyakit dahulu apakah sebelumnya pernah mengalami sakit seperti ini? Apakah
sudah sembuh atau belum? Apakah ada riwayat TB?
5. Riwayat keluarga apakah ada anggota keluarga mengeluhkan hal yang sama ?
6. Riwayat sosial ekonomi
lingkungan tempat tinggal, kebersihan lingkungannya
bagaimana kebiasaan makan, bagaimana kebiasaan kebersihan.
bagaimana dengan pekerjaannya
adakah orang sekitar mempunya keluhan yang sama? Atau ada penderita TB?
7. Riwayat obat-obatan, apakah pasien sedang mengkonsumsi obat yang secara teratur
dihidupnya ? Apakah pasien sudah pernah meminum obat untuk menghilangkan
benjolannya ? Jika ya, obat apa yang diminum dan apakah ada perkembangan setelah
meminum obat ?
Hasil anamnesis :
2

Keluhan utama : Pasien merasakan adanya benjolan pada leher sejak 2 bulan SMRS
Riwayat penyakit sekarang : Benjolan tidak nyeri
Keluhan penyerta : Pasien keringat dingin pada waktu malam, demam dan batuk
Riwayat penyakit dahulu : Riwayat penyakit keluarga : Riwayat social : Tidak ada kontak dengan pasien TB atau terpapar radioaktif, pasien
mempunyai kebiasaan konsumsi makanan alami tanpa pengawet

Pemeriksaan Fisik
Pertama kita nilai keadaan umum pasien kemudian lakukan pemeriksaan tanda tanda vital,
keadaan dan kesadaran umum. Kemudian dilanjutkan pemeriksaan fisik di daerah sekitar leher
dan abdomen.
Inspeksi: kelenjar getah bening leher terletak di sepanjang bagian anterior dan posterior dari
leher tepat di bagian bawah dagu. Jika kelenjar getah bening cukup besar, dapat terlihat adanya
pembengkakan di bawah kulit dan lebih mudah lagi jika pembesarannya asimetris (akan lebih
mudah untuk melihat adanya pembesaran kelenjar getah bening jika hanya satu bagian saja yang
membesar).
Palpasi: palpasi kelenjar getah bening harus menggunakan empat ujung-ujung jari karena ujung
jari adalah bagian yang paling sensitif. Palpasi dilakukan dengan membandingkan antara bagian
kiri dan kanan secara simultan, dari atas ke bawah dan dengan sedikit tekanan.
Palpasi kelenjar limfe submental dan submandibular yaitu pemeriksa berada dibelakang
penderita kemudian palpasi dilakukan dengan kepala penderita condong ke depan sehingga
ujung-ujung jari-jari meraba di bawah tepi mandibula. Kepala dapat dimiringkan dari satu sisi ke
sisi yang lain sehingga palpasi dapat dilakukan pada kelenjar yang superficial maupun yang
profunda. Juga dapat dilakukan dengan palpasi bimanual.

Palpasi pada bagian abdomen juga dilakukan.

Hasil pemeriksaan :

Pembesaran kelanjar getah bening cervival anterior dextra dan subcavicula multiple
Benjolan tidak merah, mobile dan tidak nyeri

Pemeriksaan penunjang1
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Yang pertama-tama yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap. Ia terdiri
daripada pemeriksaan haemoglobin, hematocrit, leukosit, trombosit, retikulosit, MCV,
MCH, MCHC
b. Urinalisis
c. Kimia klinik faal hati, protein total, albumin, asam urat, elektrolit

2. Radiologi
Dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks untuk meliat apakah ada kelainan pada bagian
toraks, seperti benjolan pada bagian tersebut. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
rontgen thoraks, CT-scan dan MRI seluruh abdomen.
3. Biopsi
a. Biopsi KGB dilakukan hanya 1 kelenjar yang paling representative, superfisial dan
perifer. Specimen kelenjar diperiksa :
Rutin histopatologi : REAL WHO dan Working Formulation
Khusus immunoglobulin permukaan, sitokimia
4. Immunophenotyping : Parafin panel : CD 20 , CD 3
Hasil pemeriksaan :
Lab : Hb : 9g/Dl, Ht : 33%, Leuko : 8,000/ul, Trombo : 250,000/ul, Retik : 2,5 , MCV : 80Fl,
MCH 28 pg, MCHC : 34G/dl
Foto thoraks : Pembesaran KGB paraaorta dextra
Biopsi : KGB ditemukan sel limfoid blast.
4

Working diagnosis

Limfoma maligna non-hodgkin

Differential diagnosis
1. Limfoma maligna Hodgkin
Terbagi atas 4 jenis, yaitu:
1. Nodular Sclerosing limfosit
2. mixed cellularity
3. rich limphocyte
4. limphocyte depletio
Tabel 1 : Jenis Limfoma Hodgkin2
Kejadian

Perjalanan
Penyakit

Jenis

Gambaran Mikroskopik

Limfosit
Predominan

Sel Reed-Stenberg sangat sedikit tapi 3%


dari
Lambat
ada banyak limfosit
kasus

Sklerosis
Noduler

Sejumlah kecil sel Reed-Stenberg &


67% dari
campuran sel darah putih lainnya;
Sedang
kasus
daerah jaringan ikat fibrosa

Selularitas
Campuran

Sel Reed-Stenberg dalam jumlah yang


25% dari
sedang & campuran sel darah putih
Agak cepat
kasus
lainnya

Deplesi
Limfosit

Banyak sel Reed-Stenberg & sedikit


5%
dari
limfosit
Cepat
kasus
jaringan ikat fibrosa yang berlebihan

LH lebih bersifat lokal, berekspansi dekat, cenderung intra nodal, hanya di mediastinum, dan
jarang metastasis ke sumsum tulang. ia juga dapat terjadi metastasis melalui darah. Jika
5

dibandingkan dengan NHL, NHL lebih bersifat tidak lokal, expansi jauh, cenderung extranodal,
berada di abdomen, dan sering metastasis ke sum-sum tulang. Secara staging, dan pengobatan,
sama saja dengan NHL.2

Gejala Klinis
1. Pembengkakan kelenjar getah bening
Pada limfoma Hodgkin, 80% terdapat pada kelenjar getah bening leher, kelenjar ini tidak lahir
multiple, bebas atas konglomerasi satu sama lain. Pada limfoma non-Hodgkin, dapat tumbuh
pada kelompok kelenjar getah bening lain misalnya pada traktus digestivus atau pada organorgan parenkim.2
2. Demam tipe pel Ebstein
3. Gatal-gatal
4. Keringat malam
5. Berat badan menurun lebih dari 10% tanpa diketahui penyebabnya.
6. Nafsu makan menurun.
7. Daya kerja menurun
8. Terkadang disertai sesak nafas
9. Nyeri setelah mendapat intake alkohol (15-20%)
10. Pola perluasan limfoma Hodgkin sistematis secara sentripetal dan relatif lebih lambat,
sedangkan pola perluasan pada limfoma non-Hodgkin tidak sistematis dan relatif lebih cepat
bermetastasis ke tempat yang jauh.

2. Limfadenitis tuberculosis
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening. Jadi, limfadenitis tuberkulosis
(TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil
tuberkulosis. Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula .
Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering terjadi. Istilah scrofula
diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar.

Infeksi M.tuberculosis pada kulit

disebabkan oleh perluasan langsung tuberkulosis ke kulit dari struktur dasar atau terpajan melalui kontak
dengan tuberkulosis disebut dengan scrofuloderma.

Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner. Limfadenitis TB juga
dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang dengan
keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan
HIV-negatif, limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai yaitu
sekitar dua pertiga pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu
diagnosis banding dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang
endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian diikuti
berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus,
perihepatik dan kelenjar inguinalis. Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadangkadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus.3

Limfoma Non-Hodgkins
Limfoma Non-Hodgkins adalah kelompok keganasan primer limfosit yang berasal dari limfosit
B, limfosit T dan kadang berasal dari sel NK (Natural Killer) yang berada dalam system limfe ;
yang sangat heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan
maupun prognosis. Pada LNH sebuah limfosit berproliferasi secara tak terkendali yang
mengakibatkan terbentuknya tumor. Seluruh sel LNH berasal dari satu sel limfosit, sehingga
semua sel dalam tumor pasien LNH sel B memiliki immunoglobulin yang sama pada permukaan
selnya.2,4

Epidemiologi
Insiden penyakit ini khususnya LNH terlihat terus mengalami peningkatan sekitar 3,4%
setiap tahunnya. The American Cancer Society memperkirakan terdapat 65.980 kasus baru setiap
tahun dan 19.500 di antaranya meninggal dunia akibat LNH pada tahun 2009.
Di Indonesia, LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak, bahkan Badan Koordinasi
Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia (BAKORNAS HOMPEDIN)
7

menyatakan, insiden Limfoma lebih tinggi dari leukemia dan menduduki peringkat ketiga kanker
yang tumbuh paling cepat setelah melanoma dan paru.
Lebih sering berbanding Limfoma Hodgkin, dan sering menyerang usia lanjut, yaitu usia
40 hingga 60 tahun.1

Etiologi
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui,
tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan pada limfoma
Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin pada
kelompok penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV,
tampaknya mendukung teori yang menganggap bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus. Awal
pembentukan tumor pada gangguan ini adalah pada jaringan limfatik sekunder (seperti kelenjar
limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat timbul penyebaran ke sumsum tulang dan jaringan lain.
Etiologi NHL sebagian besar belum diketahui. Pada tipe NHL tertentu,yang pertama
infeksi virus tampaknya memegang peran. Yang paling banyak diketahui adalah peran virus
Epstein-Barr (EBV). Kaitan langsung untuk terjadinya NHL terdapat pada limfoma Burkitt (tipe
endemik) pada anak-anak kecil di Afrika Tengah. Dalam hal ini terdapat kerjasama infeksi EBV,
infeksi malaria, dan deregulasi onkogen karena translokasi kromosomal t(8; 14), yang
menyebabkan berkembangnya limfoma Burkitt. Juga di dunia Barat, EBV dapat ditunjukkan
dalam berbagai tipe NHL (yaitu NHL sel-B besar dan NHL sel-T). Tetapi, peran langsung EBV
dalam genesis NHL ini jauh kurang jelas daripada untuk limfoma Burkitt tipe endemik.3,4
HTLV-1 adalah virus yang ada hubungannya dengan HIV-I (AIDS). Ada hubungan
dengan terjadinya limfoma sel-T dan leukemia di Jepang dan daerah Karibia. Di Eropa, virus ini
tidak atau hampir sama sekali tidak terdapat. Di samping infeksi virus imunosupresi yang lama
merupakan faktor etiologi yang lain. Ini dapat merupakan imunodefisiensi congenital, seperti
misalnya pada ataksia, teleangiektasia, atau kelainan akuisita, seperti pada AIDS atau pada terapi
imunosupresif pada penderita transplantasi. Pada umumnya penderita ini mendapat limfoma selB derajat tinggi. Dibanding dengan tumor solid telah lebih banyak diketahui mengenai peran
onkogen dalam terjadinya NHL.
8

Seterusnya, paparan lingkungan dan pekerjaan juga mempengaruhi. Beberapa pekerjaan


yang sering dihubungkan dengan risiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian.
Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organik.
Risiko LNH juga meningkat pada orang mengkonsumsi makanan tinggi lrmak hewani,
merokok dan terpapar sinar UV.1

Patofisiologi
Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas. Perkembangan limfosit terbagi
dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen (antigent independent) dan tahap
yang tergantung anrigent (antigent dependent).
Pada tahap I, sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B, kemudian menjadi sel B
imatur dan sel B matur, yang beredar dalam sirkulasi, dikenal sebagai naive B-cell. Apabila sel B
terkena rangsangan antigen, maka proses perkembangan akan masuk tahap 2 yang terjadi dalam
berbagai kopartemen folikel kelenjar getah bening, dimana terjadi immunoglobuline gene
rearrangement. Pada tahap akhir menghasilkan sel plasma yang akan pulang kembali ke sumsum
tulang.
Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan tubuh seperti sel
limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi suatu sel yang disebut imunoblas T atau
imunoblas B. Pada LNH, proses proliferasi ini berlangsung secara berlebihan dan tidak
terkendali. Hal ini disebabkan akibat terjadinya mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi
berlebihan ini menyebabkan ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya membesar,
kromatinnya menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, dan protein permukaan selnya mengalami
perubahan.
Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiv B cell. Sebagian besar naiv B
cell mengalami transformasi melalui mantle cell, follicular B-blast, centroblast, centrocyte,
monocyte B cell dan sel plasma.
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi
gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses
transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Proses ini terjadi

di dalam kelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua berada dlluar "centrum germinativum"
sedangkan imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum germinativum" Beberapa
perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya makin besar; 2). Kromatin
inti menjadi lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein permukaan sel mengalami
perubahan reseptor.1

Klasifikasi Limfoma Non-Hodgkin


Secara umum klasifikasi LNH dibuat berdasarkan kemiripan sel-sel pada suatu tipe LNH
dengan limfosit normal dalam berbagai kompartemen diferensiasi. Klasifikasi histopatologik
harus disesuaikan dengan kemampuan patologis serta fasilitas yang tersedia.

Tabel 2 : klasifikasi LNH menggunakan working formulation4

Manifestasi klinis
a. Gejala klinik limfoma non-hodgkin1,2
1. Limfadenopati superfisial. Sebagian besar pasien datang dengan pembesaran kelenjar
getah bening asimetris yang tidak nyeri pada satu atau lebih regio kelenjar getah
bening perifer.
10

2. Gejala konstutisional. Demam, keringat pada malam hari, dan penurunan berat badan
lebih jarang terjadi pada penyakit Hodgkin. Dapat terjadi anemia dan infeksi dengan
jenis yang ditemukan pada penyakin Hodgkin
3. Gangguan orofaring. Pada 5-10% pasein, terdapat penyakit di struktur orofaringeal
(cincin Waldeyer) yang dapat menyebabkan timbulnya keluhan sakit tenggorok atau
nafas berbunyi atau tersumbat.
4. Anemia, netropenia dengan infeksi, atau trombositopeni dengan purpura merupakan
gambaran pada penderita penyakit sumsum tulang difus. Sitopenia juga dapat
disebabkan oleh autoimun.
5. Penyakit abdomen. Hati dan limpa seringkali membesar dan kelenjar getah bening
retroperitonela atau mesentrika sering terkena. Saluran gastrointestinal adalah lokasi
ekstranodal yang paling sering terkena setelah sumsum tulang, dan pasien bisa datang
gejala nyeri abdomen akut.
6. Gejala pada organ lain. kulit, otak, testis, atau tiroid sering terkena. Kulit juga secara
primer terkena pada dua jenis limfoma sel T yang tidak umum dan terkait erat:
mikosis fungoides dan sindrom Sezary.

b. Petanda imunologik
Pemeriksaan petanda imunologik (immunological marker) untuk melihat ekspresi
antigen pada permukaan sel sangat penting untuk menentukan jenis sel (sel B atau sel
T) serta tingkat perkembangannya. Antigen diferensiasi kelompok yang berguna dalam
penegakan diagnosis limfoma dapat dilihat pada tabel.

Tabel 3. Antigen diferensiasi kelompok (cluster differentiation, CD)


Sel T

Sel B

Petanda aktivasi

Antigen umum leokosit

11

CD2
CD3
CD5
CD7

CD19
CD20
CD22
CD24

Subset sel T
CD4
CD8

Sel B langka
CD5

CD23
CD25
CD30

CD45

Berbagai subtipe limfoma non-hodgkin dikaitkan dengan translokasi kromosom khas yang
mempunyai nilai diagnostik dan prognostik. Kalainan yang sangat khas adalah t(8;4) pada
limfoma Butkitt, t(14;18) pada limfoma folikular, t(11;14) pada limfoma sel selubung, t(2;5)
pada sel besar anaplastik.

c. Kimia Darah
Dapat terjadi peningkatan asam urat serum. Uji fungsi hati yang abnormal mengesankan adanya
penyakit diseminata. Kadar LDH serum meningkat pada penyakit yang lebih cepat berproliferasi
dan kuas serta dapat digunakan sebagai suatu petanda prognostik.4

Stadium penyakit
Penentuan stadium didasarkan pada jenis patologi dan tingkat keterlibatan. Jenis patologi
(tingkat rendah, sedang atau tinggi) didasarkan pada formulasi kerja.1,5
yang baru. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor.
Stadium I:
Keterlibatan satu daerah kelenjar getah bening (I) atau keterlibatan satu organ atau satu tempat
ekstralimfatik(IIE)
Stadium II:
Keterlibatan 2 daerah kelenjar getah bening atau lebih pada sisi diafragma yang sama. II2:
pembesaran 2 regio KGB dalam 1 sisi diafragma. II3: pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisi
diafragma. IIE: pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalam 1 sisi diafragma dan 1 organ ekstra
limfatik tidak difus / batas tegas.
Stadium III:
12

Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma (III), yang juga dapat
disertai dengan keterlibatan lokal pada organ atau tempat ekstralimfatik (IIIE) atau keduanya
(IIIE+S)
Stadium IV:
Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara difus.

Penatalaksanaan
I. LNH INDOLEN (FOLIKULAR)
A. LNH INDOLEN STADIUM I DAN II
Radioterapi memperpanjang disease free survival pada beberapa pasien. Standar pilihan terapi :
1. Iradiasi 2. Kemoterapi + radiasi
3. Extended (regional) iradiasi
4. Kemoterapi (terutama pada stadium 2 menurut kriteria GELF)
5. Kombinasi kemoterapi dan imunoterapi
B. LNH INDOLEN STADIUM II, III, IV
Standar pilihan terapi:
1. Tanpa terapi
2. Rituximab dapat diberikan sebagai kombinasi terapi lini pertama yaitu R-CVP. Pada
kondisi dimana Rituximab tidak dapat diberikan maka kemoterapi kombinasi merupakan
pilihan pertama misalnya : COPP, CHOP dan FND.
3. Purine nucleoside analogs (Fludarabin) pada LNH primer

13

4. Alkylating agent oral (dengan/tanpa steroid), bila kemoterapi kombinasi tidak dapat
diberikan/ditoleransi ( (cyclofosfamid, chlorambucil)
5. Rituximab maintenance dapat dipertimbangkan
6. Kemoterapi intensif Total Body irradiation (TBI) diikuti dengan stem cell resque
dapat dipertimbangkan pada kasus tertentu
7. Raditerapi paliatif, diberikan pada tumor yang besar (bulky) untuk mengurangi
nyeri/obstruksi.

Tabel 4. Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada limfoma non-Hodgkin4

CVP
Vinkristin

Dosis

Hari

(mg/m2)

ke-

1 2 3 4 5 8 15

1,4

p.o.

Siklofosfamid 300

p.o.

Prednisone
50-100
CHOP
Siklofosfamid 750

p.o.

i.v.

Prednisone

50

i.v.

Vinkristin

1,4

i.v.

60-100

p.o.

i.v.

Prednisone
CHVmP/VCR

bleo
Siklofosfamid 600
Adriamisin

50

i.v.

VM 26

60

i.v.

Prednisone

60

p.o.

Vinkristin

1,4

i.v.

i.v.

Bleomisin
10
Keterangan : + dosis sekali

diminum tiap hari berkelanjutan


14

C. LNH INDOLEN RELAPS


Standar pilihan terapi:
1. Radiasi paliatif
2. Kemoterapi
3. Transplantasi sumsum tulang

II. LNH AGRESIF (DIFFUSE LARGE B CELL LYMPHOMA)


A. LNH STADIUM I DAN II
Pada kondisi tumor non bulky (diameter tumor< 10 cm) dengan kriteria: pasien muda risiko
rendah atau rendah menengah (aaIPI score 1) dan risiko tinggi atau menengah tinggi (aaIPI 2),
bila fasilitas memungkinkan, kemoterapi kombinasi R-CHOP 6-8 siklus merupakan protokol
standar saat ini serta dapat dipertimbangkan pemberian radioterapi (untuk konsolidasi).
B. LNH STADIUM I-II (BULKY), III DAN IV
Bila memungkinkan, pemberian kemoterpi RCHOP 6-8 siklus radioterapi konsolidasi,
dipertimbangkan pada stadium I dan II
Uji klinik pada stadium II dan IV
C. LNH REFRAKTER/RELAPS
Pasien LNH refrakter yang gagal mencapai remisi, dapat diberikan terapi salvage dengan
radioterapi jika area yang terkena tidak ekstensif. Terapi pilihan bila memungkinkan adalah
kemoterapi salvage diikuti dengan transplantasi sumsum tulang
Kemoterapi salvage seperti R-DHAP maupun R-ICE
High dose chemotherapy plus radioterapi diikuti dengan transplantasi sumsum tulang

Komplikasi

15

Komplikasi yang dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan dengan


penanganan dan berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang merugikan berkaitan dengan
kemoterapi meliputi : alopesia, mual, muntah, supresi sumsum tulang, stomatitis dan gangguan
gastrointestinal. Infeksi adalah komplikasi potensial yang paling serius yang mungkin dapat
menyebabkan syok sepsis. Efek jangka panjang dari kemoterapi meliputi kemandulan,
kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal.
Efek samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati. Bila pengobatan pada
nodus limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut : mulut kering,
disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan penurunan produksi saliva.
Bila dilakukan pengobatan pada nodus limfa abdomen, efek yang mungkin terjadi adalah
muntah, diare, keletihan, dan anoreksia.6

Prognosis
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik yaitu Indolent Lymphoma dan Agresif
Lymphoma. LNH Indolen memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median survival I0
tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen
adalah noduler atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih
pendek, namun lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi
intensif. Risiko kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologis "divergen" baik
pada kelompok Indolen maupun Agresif.
International Prognostik Index (IPI) digunakan untuk memprediksi outcome pasien
dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi regimen kombinasi yang mengandung
Antrasiklin, namun dapat pula digunakan pada hampir semua subtipe LNH. Terdapat 5 faktor
yang mempengaruhi prognosis, yaitu usia, serum LDH, status performans, stadium anatomis, dan
jumlah lokasi ekstra nodal.
Setiap faktor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga abnormalitas
dijumlahkan untuk mendapatkan indeks prognostik. Skor yang didapat arfiara 0-5. Pada pasien
usia <60 (age adjusted lPl), indeks yang digunakan lebih sederhana yaitu hanya meliputi faktor
stadium anatomis, serum LDH, dan status performance, tanpa status ekstra nodal.7,
Tabel 5. Indeks Prognostik Pasien LNH9
16

Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien tersebut
menderita limfoma maligna tipe Non-Hodgkin yaitu yang lebih agresif dari tipe Hodgkin.
Justeru, hipotesis diterima.

Daftar pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi D, Simadibrata K, Setiati S. Limfoma Non Hodgkins. In
Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta : FKUI, 2007.p.1251-1261
2. Ann Fullick. Immunology system. In : A-Level Biology. United Kingdom : Pearsons
Company, 2010
3. R. Sjamsuhidayat, Wim DJ. Limfadenitis tuberkulosa. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed. 2.
Jakarta : EGC, 2006.
4. Lymphoma.
Cancer

Council.

Cited

on

2016.

Available

from

http://www.cancercouncil.com.au/non-hodgkin-lymphoma/
5. John T. Hansen and David R. Lambert. Clinical correlation of lymphoma. In: Paul Kelly,
Jennifer Surich, editors. Netters clinical anatomy. Published by Icon learning System LLC.
2007. p.399
6. Drake RL, Vogl AW, Mitchell ADM. In : Grays Anatomy For Students. 2 nd ed. Canada :
Churchill Livingstone Elsevier, 2010
7. Hall JE, Guyton CG. Immunology . In : Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology.
12th ed. Canada : Saunders Elsevier, 2011 : 45-94
17

8. Non Hodgkin Lymphoma. American Cancer Society. Cited on : 2016 April 24. Available
from : http://www.cancer.org/cancer/non-hodgkinlymphoma/detailedguide/non-hodgkinlymphoma-types-of-non-hodgkin-lymphoma
9. Lymphoma Non-Hodgkin. Pubmed Health. Cited on : 2016 April 24. Available from :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMHT0024533/

18

Anda mungkin juga menyukai