Anda di halaman 1dari 32

Problem Based Learning Blok 25 Community Medicine

Program Skrining Kanker Serviks dengan Inspeksi Visual Asam


Asetat di Puskesmas

Disusun oleh : Kelompok A3

Yudia Mahardika

102009028

Dhanny Sutrisna

102009085

Prilia Pratiwi Munda

102010150

Flavianus R.L Wayan

102010237

Elizabeth Magdalena Purba

102011026

Ary Adolf Mananue

102011065

Imania Lidya Pratiwi

102011124

Patricia Stephanie

102011262

Gio Vano Beril Karel Naihonam

102011268

Orisma Agnes Pongtuluran

102011360

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


2011
1

BAB I
Pendahuluan
Latar belakang
Kesehatan wanita dari berbagai golongan umur di Indonesia, terutama terkait
kesehatan reproduksi, masih sangatlah buruk. Hal ini kemungkinan dikarenakan rendahnya
kesadaran wanita terhadap pentingnya memiliki organ reproduksi yang sehat dan fungsinya
yang baik. Penyebab lainnya adalah budaya di masyarakat Indonesia yang masih
menganggap segala pembahasan mengenai sistem reproduksi khususnya sistem reproduksi
wanita, adalah sesuatu yang tabu.
Kesehatan reproduksi wanita tidaklah terutama pada wanita hamil, melainkan
wanita yang akan hamil juga sangat penting, karena sistem reproduksinya yang akan
memiliki tugas tugas utama dalam hal, persiapan kehamilan, proses kehamilan, proses
persalinan, dan pada masa nifas/puerperium.
Puskesmas sebagai penyedia jasa pelayanan kesehatan strata pertama di
Indonesia, memiliki enam program wajib, salah satunya adalah Kesehatan Ibu dan Anak dan
Keluarga Berencana (KB) dimana di dalamnya terdapat program kesehatan reproduksi wanita
beserta pencegahannya. Salah satu jenis kegiatannya adalah skrining kanker serviks (Ca
Cerviks) untuk mengetahui seorang wanita apakah terkena kanker serviks atau tidak,
dikarenakan di Indonesia kanker serviks merupakan salah satu penyebab kematian terbesar
wanita di Indonesia. Di Indonesia, kasus baru kanker serviks ditemukan 40 45 kasus per
hari. Diperkirakan setiap satu jam, seorang perempuan meninggal karena kanker serviks,
dimana ini berarti, dalam waktu 24 jam, terjadi kematian sebanyak 24 orang perempuan.1
Permasalahan
Permasalahan dalam skenario yang telah diberikan adalah adanya program
skrining yang perlu direncanakan dan akan dijalankan, bagaimana cara menjalankan program
skrining melalui test yang spesifisitas dan sensitifitasnya baik, dan kegiatan penyuluhan yang
diberikan dalam deteksi dini penyakit.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah mencari tahu mengenai program Inspeksi
Visual Asam Asetat (IVA), pendekatannya ke masyarakat, dan mencoba menyelesaikan
masalah pada skenario yang diberikan.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian pada makalah ini adalah untuk memberikan gambaran
mengenai program skrining dari perencanaan sampai evaluasi kegiatan yang dijalankan, dan

juga memberikan pengetahuan tambahan kepada setiap dokter umum karena mereka haruslah
menjadi public health worker di masyarakat.

BAB II
Metodologi Penelitian
Penelusuran Kepustakaan
Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan
elektronik: Pubmed, British Medical Journal, Cochrane, dan Medscape, serta kepustakaan
non elektronik: textbook, laporan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, laporan World
Health Organization (WHO), semuanya diambil dalam kurun waktu penerbitan 10 tahun
terakhir (2004-2014).
Kata kunci yang digunakan adalah kanker leher rahim, kanker serviks,
cervical cancer, visual inspection with aceto-acetat (VIA), screening for cervical cancer, dan
cervical cancer early detection.

BAB III
Tinjauan Pustaka
Skenario
Sebelum kami membahas mengenai skenario ini, kami akan terlebih dahulu
menulis ulang kasus yang saya dapatkan. Dokter A di Puskesmas Warnasari melakukan
skrining Ca cerviks pada kelompok wanita di lokalisasi tuna susila dengan menggunakan tes
IVA. Dari 100 orang yang diperiksa, didapatkan 30 orang terdeteksi positif tes IVA. Setelah
diperiksa lebih lanjut dengan menggunakan PAPs smear ternyata dari yang positif tes IVA
ternyata 6 orang dinyatakan sakit kanker cervix dan yang tes IVA (-) ternyata ada 3 orang
yang dinyatakan sakit kanker cerviks.
Istilah yang tidak dimengerti
Dalam skenario tidak terdapat kata yang tidak dimengerti.
Definisi
Kanker leher rahim adalah kanker primer yang terjadi pada jaringan leher
rahim (serviks). Sementara lesi prakanker adalah kelainan pada epitel serviks akibat
terjadinya perubahan sel sel epitel, namun kelainannya belum menembus lapisan basal
(membrana basalis).
Etiologi
Penyebab primer kanker leher rahim adalah infeksi kronik leher rahim oleh
satu atau lebih virus HPV (Human Papiloma Virus) tipe onkogenik yang beresiko tinggi
menyebabkan kanker leher rahim yang ditularkan melalui hubungan seksual (sexually
transmitted disease). Perempuan biasanya terinfeksi virus ini saat usia belasan tahun, sampai
tigapuluhan, walaupun kankernya sendiri baru akan muncul 10-20 tahun sesudahnya. Infeksi
virus HPV yang berisiko tinggi menjadi kanker adalah tipe 16, 18, 45, dan 56, dimana HPV
tipe 16 dan 18 ditemukan pada sekitar 70% kasus. Infeksi HPV tipe ini dapat mengakibatkan
4

perubahan sel sel leher rahim menjadi lesi intra-epitel derajat tinggi (high-grade
intraepithelial lesion/LISDT) yang merupakan lesi prakanker. Sementara HPV yang berisiko
sedang dan rendah menyebabkan kanker (tipe non-onkogenik) berturut turut adalah tipe 30,
31, 33, 35, 39, 51, 52, 58, 66 dan 6, 11, 42, 43, 44, 53, 54, dan 55.2
Predisposisi
Faktor risiko terjadinya infeksi HPV adalah hubungan seksual pada usia dini,
berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, dan memiliki pasangan yang suka
berganti-ganti pasangan. Infeksi HPV sering terjadi pada usia muda, sekitar 25-30% nya
terjadi pada usia kurang dari 25 tahun. Beberapa ko-faktor yang memungkinkan infeksi HPV
berisiko menjadi kanker leher rahim adalah:
A. Faktor HPV:
a. Tipe virus
b. Infeksi beberapa tipe onkogenik HPV secara bersamaan
c. Jumlah virus (viral load)
B. Faktor host/ penjamu:
a. Status imunitas, dimana penderita imunodefisiensi (misalnya penderita HIV
positif) yang terinfeksi HPV lebih cepat mengalami regresi menjadi lesi
prekanker dan kanker.
b. Jumlah paritas, dimana paritas lebih banyak lebih berisiko mengalami kanker
C. Faktor eksogen
a. Merokok
b. Ko-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya
c. Penggunaan jangka panjang ( lebih dari 5 tahun) kontrasepsi oral
Epidemiologi
Kanker leher rahim adalah keganasan dari leher rahim (serviks) yang
disebabkan oleh virus HPV (Human Papiloma Virus). Diseluruh dunia, penyakit ini
merupakan jenis kanker kedua terbanyak yang diderita perempuan. Saat ini di seluruh dunia
diperkirakan lebih dari 1 juta perempuan menderita kanker leher rahim dan 3-7 juta orang
perempuan memiliki lesi prekanker derajat tinggi (high grade dysplasia). Penelitian WHO
tahun 2005 menyebutkan, terdapat lebih dari 500.000 kasus baru, dan 260.000 kasus
kematian akibat kanker leher rahim, 90% diantaranya terjadi di negara berkembang. Angka
insidens tertinggi ditemukan di negara-negara Amerika bagian tengah dan selatan, Afrika
timur, Asia selatan, Asia tenggara dan Melanesia. Di Indonesia, kanker leher rahim
merupakan keganasan yang paling banyak ditemukan dan merupakan penyebab kematian
utama pada perempuan dalam tiga dasa warsa terakhir. Diperkirakan insidens penyakit ini
adalah sekitar 100 per 100.000 penduduk. Data patologi dari 12 pusat patologi di Indonesia
menunjukkan bahwa kanker leher rahim menduduki 26,4% dari 10 jenis kanker terbanyak

pada perempuan. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, 39,5% penderita kanker
pada tahun 1998 adalah kanker serviks.3,4
Perjalanan Alamiah Kanker Leher rahim
Pada perempuan saat remaja dan kehamilan pertama, terjadi metaplasia sel
skuamosa serviks. Bila pada saat ini terjadi infeksi HPV, maka akan terbentuk sel baru hasil
transformasi dengan partikel HPV tergabung dalam DNA sel. Bila hal ini berlanjut maka
terbentuklah lesi prekanker dan lebih lanjut menjadi kanker. Sebagian besar kasus displasia
sel servix sembuh dengan sendirinya, sementara hanya sekitar 10% yang berubah menjadi
displasia sedang dan berat. Sebanyak 50% kasus displasia berat akan berubah menjadi
karsinoma. Biasanya waktu yang dibutuhkan suatu lesi displasia untuk menjadi keganasan
adalah 10-20 tahun. Kanker leher rahim invasif berawal dari lesi displasia sel sel leher
rahim yang kemudian berkembang menjadi displasia tingkat lanjut, karsinoma in-situ dan
akhirnya kanker invasif. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa prekursor kanker adalah lesi
displasia tingkat lanjut (high-grade dysplasia) yang sebagian kecilnya akan berubah menjadi
kanker invasif dalam 10-15 tahun, sementara displasia tingkat rendah (low-grade dysplasia)
mengalami regresi spontan.
Gambar 1. Patofisiologi kanker

NIS: Neoplasma Intraepitel Serviks


Waktu yang dibutuhkan untuk progresivitas lesi tipe NIS2 menjadi karsinoma in-situ paling
cepat terjadi pada kelompok perempuan usia 26-50 tahun yaitu 40-41 bulan, sementara pada
kelompok perempuan usia dibawah 25 tahun dan diatas 50 tahun berturut-turut adalah 54-60
bulan, dan 70-80 bulan.
Klasifikasi dan Stadium
Sistem Klasifikasi Lesi Prakanker

Ada beberapa sistem klasifikasi lesi prakanker yang digunakan saat ini,
dibedakan berdasarkan pemeriksaan histologi dan sitologinya. Berikut tabel klasifikasi lesi
prakanker:
Tabel 1. Klasifikasi lesi prakanker

ASC-US: atypical squamous cell of undetermined significance


ASC-H: atypical squamous cell: tidak bisa tidak memasukkan high grade squamous
epithelial lesion
LISDR: lesi intraepitel skuamosa derajat rendah
LISDT: lesi intraepitel skuamosa derajat tinggi
Stadium kanker rahim
International Federation of Gynecologist and Obstetricians Staging System for
Cervical Cancer (FIGO) pada tahun 2000 menetapkan sebagai berikut
Tabel 2. Stadium kanker rahim menurut FIGO
Skrining kanker leher rahim

Berbagai metode skrining kanker leher telah dikenal dan diaplikasikan,


dimulai sejak tahun 1960-an dengan pemeriksaan tes Pap. Selain itu dikembangkan metode
visual dengan gineskopi, atau servikografi, kolposkopi. Hingga penerapan metode yang
dianggap murah yaitu dengan tes IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat). Skrining DNA
HPV juga ditujukan untuk mendeteksi adanya HPV tipe onkogenik, pada hasil yang positif,
dan memprediksi seorang perempuan menjadi berisiko tinggi terkena kanker serviks.
Gejala dan tanda
Lesi prakanker dan kanker stadium dini biasanya asimtomatik dan hanya dapat
terdeteksi dengan pemeriksaan sitologi. Boon dan Suurmeijer melaporkan bahwa sebanyak
76% kasus tidak menunjukkan gejala sama sekali. Jika sudah terjadi kanker akan timbul
gejala yang sesuai dengan tingkat penyakitnya, yaitu dapat lokal atau tersebar. Gejala yang
timbul dapat berupa perdarahan pasca sanggama atau dapat juga terjadi perdarahan diluar
masa haid dan pasca menopause. Jika tumornya besar, dapat terjadi infeksi dan menimbulkan
cairan berbau yang mengalir keluar dari vagina. Bila penyakitnya sudah lanjut, akan timbul
nyeri panggul, gejala yang berkaitan dengan kandung kemih dan usus besar. Gejala lain yang
timbul dapat berupa gangguan organ yang terkena misalnya otak (nyeri kepala, gangguan
kesadaran), paru (sesak atau batuk darah), tulang (nyeri atau patah), hati (nyeri perut kanan
atas, kuning, atau pembengkakan) dan lain-lain.

Penegakan Diagnosis
Diagnosis definitif harus didasarkan pada konfirmasi histopatologi dari hasil
biopsi lesi sebelum pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut dilakukan. Tindakan penunjang
diagnostik dapat berupa kolposkopi, biopsi terarah, dan kuretase endoservikal
Tatalaksana lesi prakanker serviks
Penatalaksanaan lesi prakanker serviks yang pada umumnya tergolong NIS
(Neoplasia Intraepitelial Serviks) dapat dilakukan dengan observasi saja, medikamentosa,
terapi destruksi, dan/atau terapi eksisi. Tindakan observasi dilakukan pada tes Pap dengan
hasil HPV, atipia, NIS I yang termasuk dalam Lesi Intraepitelial Skuamousa Derajat Rendah
(LISDR). Terapi NIS dengan destruksi dapat dilakukan pada LISDR dan LISDT (Lesi Intra
epitelial Skuamousa Derajat Tinggi). Demikian juga, terapi eksisi dapat ditujukan pada
LISDR dan LISDT. Perbedaan antara terapi destruksi dan terapi eksisi adalah pada terapi
destruksi tidak mengangkat lesi, tetapi pada terapi eksisi ada spesimen lesi yang diangkat.
Tabel 3. Garis besar penanganan lesi prakanker serviks

Terdapat beberapa metode pengobatan lesi prakanker serviks


1. Terapi NIS dengan Destruksi Lokal
Yang termasuk pada metode terapi ini adalah

krioterapi,

elektrokauter,

elektrokoagulasi, dan CO2 laser. Penggunaan setiap metode ini bertujuan untuk

memusnahkan daerah-daerah terpilih yang mengandung epitel abnormal, yang kelak


akan digantikan dengan epitel skuamosa yang baru.
A. Krioterapi
Krioterapi ialah suatu usaha penyembuhan penyakit dengan cara mendinginkan
bagian yang sakit sampai dengan suhu di bawah nol derajat Celcius. Pada suhu
sekurang kurangnya 25 derajat Celcius sel sel jaringan termasuk NIS akan
mengalami nekrosis. Sebagai akibat dari pembekuan tersebut, terjadi perubahanperubahan tingkat seluler dan vaskuler, yaitu (1) sel-sel mengalami dehidrasi dan
mengerut; (2) konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu; (3) syok termal dan
denaturasi kompleks lipid protein; (4) status umum sistem mikrovaskular. Pada
awalnya digunakan cairan Nitrogen atau gas CO2, tetapi pada saat ini hampir
semua alat menggunakan N2O
B. Diatermi Elektrokoagulasi Radikal
Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan efektif jika
dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan anestesi umum.
Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan jaringan serviks sampai
kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi, terutama jika lesi
tersebut sangat luas. Dianjurkan penggunaannya hanya terbatas pada kasus NIS
1/2 dengan batas lesi yang dapat ditentukan
C. Metode elektrokauter
Metode elektrokauter dapat dilakukan pada pasien rawat jalan. Penggunaan
elektrokauter memungkinkan untuk pemusnahan jaringan dengan kedalaman 2
atau 3 mm. Lesi NIS I yang kecil di lokasi yang keseluruhannya terlihat pada
umumnya dapat disembuhkan dengan efektif
D. CO2 Laser
Penggunaan sinar laser (light amplication by stimulation emission of radiation),
suatu muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi campuran gas
helium, gas nitrogen, dan gas CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser yang
mempunyai panjang gelombang 10,6 u. Perubahan patologis yang terdapat pada
serviks dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu penguapan dan nekrosis. Lapisan
paling luar dari mukosa serviks menguap karena cairan intraselular mendidih,
sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik terletak di bawahnya. Volume
jaringan yang menguap atau sebanding dengan kekuatan dan lama penyinaran
2. Terapi NIS dengan Eksisi
A. LEEP (Loop Electrosurgical Excision Procedures)
Ada beberapa istilah dipergunakan untuk LEEP ini. Cartier dengan menggunakan
kawat loop kecil untuk biopsi pada saat kolposkopi yang menyebutnya dengan
10

istilah diatermi loop, namun ada juga yang menyebutnya LLETZ (Large Loop
Excisional Transformation Zona)
B. Konisasi
Tindakan konisasi dapat dilakukan dengan berbagai teknik:
a. Konisasi cold knife
b. Konisasi diatermi loop (LLETZ)
c. Konisasi laser
C. Histerektomi
Tindakan histerektomi pada NIS kadang kadang merupakan terapi terpilih pada
beberapa keadaan, antara lain, sebagai berikut:
a. Histerektomi pada NIS dilakukan pada keadaan kelanjutan konisasi
b. Konisasi akan tidak adekuat dan perlu dilakukan histerektomi dengan
mengangkat bagian atas vagina
c. Karena ada uterus miomatosus, kecurigaan invasif harus disingkirkan
d. Masalah teknis untuk konisasi, misalnya porsio mendatar pada usia lanjut
Tatalaksana Kanker Rahim Invasif
Pada prinsipnya tatalaksana kanker leher rahim disesuaikan dengan kebutuhan
penderita untuk memberikan hasil yang terbaik (tailored to the best interest of patients).
Terapi lesi prakanker leher rahim dapat berupa bedah krio (cryotherapy), atau loop
electrosurgical excision procedure (LEEP), keduanya adalah tindakan yang relatif sederhana
dan murah, namun sangat besar manfaatnya untuk mencegah perburukan lesi menjadi kanker.
Sementara terapi kanker leher rahim dapat berupa pembedahan, radioterapi, atau kombinasi
keduanya. Kemoterapi tidak digunakan sebagai terapi primer, namun dapat diberikan
bersamaan dengan radioterapi. Terapi kanker leher rahim lebih kompleks, memiliki risiko dan
efek samping, dan tentu saja lebih mahal. Maka dari itu pencegahan lesi prakanker menjadi
kanker sangat penting dan sangat bermanfaat

******Program Skrining dan deteksi penyakit di dalam populasi


Misi epidemiologi adalah untuk menunjang program kesehatan masyarakat.
Tujuan ahli epidemiologi adalah untuk memahami kausalitas (hubungan sebab-akibat) suatu
penyakit sehingga program pengendalian penyakit, pencegahan dan program perlindungan
dapat diterapkan dan dikembangkan untuk melindungi populasi. Program skrining merupakan
salah satu alat yang digunakan untuk mencapai misi dan sasaran epidemiologi tersebut.
Program skrining dapat dilakukan secara pasif seperti pemeriksaan mata disekolah dasar atau
secara ambisius seperti skrining multifase yang diadakan di mal perbelanjaan atau bazar
kesehatan.

11

Skrining didefinisikan sebagai pelaksanaan prosedur sederhana dan cepat


untuk mengidentifikasi dan memisahkan orang yang tampaknya sehat, tetapi kemungkinan
berisiko terkena penyakit, dari mereka yang mungkin tidak terkena penyakit tersebut.
Skrining dilakukan untuk mengidentifikasi orang yang diduga mengidap penyakit sehingga
mereka dapat dikirim untuk menjalani pemeriksaan medis dan studi diagnostik yang lebih
pasti. Skrining multifase adalah penggunaan suatu kombinasi tes dan diagnostik yang
dilakukan secara berurutan oleh teknisi dibawah arahan medis terhadap sekelompok besar
orang yang sehat. Skrining multifase menggunakan serangkaian tes skrining tersebut sebagai
upaya pencegahan untuk mengidentifikasi penyakit atau kondisi apapun pada populasi yang
kelihatannya sehat.
Skrining terkadang dipertukarkan maknanya dengan diagnosis, tetapi skrining
itu sendiri merupakan prekursor untuk diagnosis. Tes skrining seperti tes penglihatan,
pengukuran tekanan darah, pap smear, pemeriksaan darah, dan X-Ray dada dilakukan pada
kelompok besar atau populasi. Tes skrining memiliki titik potong yang digunakan untuk
menentukan mana orang yang berpenyakit dan mana yang tidak. Diagnosis diberikan kepada
pasien secara perorangan oleh dokter atau institusi perawatan kesehatan berkualitas lainnya.
Dalam menentukan diagnosis, selain menggunakan hasil tes, juga dapat melibatkan evaluasi
tanda dan gejala, dan mungkin melibatkan penilaian yang subjektif berdasarkan pengalaman
dokternya. Diagnosis adalah hak prerogatif seorang dokter dalam menangani pasien. Tes
skrining dapat dilakukan oleh teknisi medis di bawah pengawasan dokter. Skrining tidak
ditujukan untuk menyaingi diagnosis, tetapi lebih sebagai proses yang digunakan untuk
mendeteksi kemungkinan suatu kondisi penyakit sehingga dapat dirujuk untuk diagnosis
secara tepat. Diagnosis tidak hanya memperkuat atau menyanggah tes skrining, tetapi juga
dapat membantu menetapkan validitas, sensitivitas, dan spesifisitas uji.
Pertimbangan program skrining
Wilson dan junger menetapkan beberapa hal yang harus dipertimbangkan ahli
epidemiologi saat merencanakan dan melaksanakan program skrining. Dari sudut pandang
kesehatan masyarakat, skrining paling efektif jika dapat mencapai sebagian besar populasi.
Berikut faktor yang perlu dipertimbangkan ketika merencanakan program skrining untuk
kelompok populasi yang besar:
1. Penyakit atau kondisi yang sedang diskrining harus merupakan masalah medis utama di
masyarakat luas
2. Pengobatan yang dapat diterima (sesuai dengan pedoman klinis yang berlaku) harus
tersedia untuk individu yang terungkap berpenyakit saat proses skrining dilakukan

12

3. Harus tersedianya akses ke fasilitas dan pelayanan perawatan kesehatan untuk


diagnosis dan pengobatan lanjut jika ditemukannya penyakit melalui skrining
4. Penyakit harus memiliki perjalanan yang dapat dikenali, dengan keadaan awal dan
lanjutannya yang dapat diidentifikasi
5. Harus tersedia tes atau pemeriksaan yang tepat dan efektif untuk penyakit yang akan
diskrining
6. Tes dan proses uji harus dapat diterima oleh masyarakat umum
7. Riwayat alami penyakit atau kondisi harus cukup dipahami, termasuk fase reguler dan
perjalanan penyakit, dengan periode awal yang dapat diidentifikasi melalui uji uji
yang ada
8. Kebijakan, prosedur, dan tingkatan uji harus ditentukan untuk menentukan siapa yang
harus dirujuk untuk pemeriksaan, diagnosis dan tindakan lebih lanjut.
9. Proses harus sederhana sehingga sebagian besar kelompok mau berpartisipasi ke dalam
program skrining
10. Skrining haruslah menjadi suatu kegiatan yang dilakukan berulang kali, tetapi harus
dilakukan dalam proses yang teratur dan berkelanjutan, serta memperbaiki kekurangan
yang ada dari program skrining sebelumnya
Tes skrining
Skrining mengandalkan tes yang tidak hanya satu melainkan melalui beberapa
tes, oleh karena itu, kegiatan skrining hanya akan efektif, bila tes dan pemeriksaan yang
digunakan juga efektif. Dengan demikian, setiap tes skrining memerlukan validitas dan
reabilitas yang kuat. Validitas tes ditunjukkan melalui seberapa baik tes tersebut secara aktual
mengukur apa yang harus diukur. Jika ini adalah tes skrining kolesterol, pertanyaannya
adalah: Dapatkah tes itu memberikan informasi yang cukup akurat sehingga individu dapat
mengetahui tinggi atau rendahnya kadar kolesterol sekarang? Validitas ditentukan oleh
sensitivitas dan spesifisitas uji. Realibilitas didasarkan pada seberapa baik uji dilakukan pada
waktu itu dalam hal keterulangannya (repeatibility). Dapatkah uji memberikan hasil yang
dapat dipercaya setiap kali digunakan dan dalam lokasi atau populasi yang berbeda? Yield
(hasil) merupakan istilah lain yang terkadang digunakan untuk menyebut tes skrining. Yield
adalah angka atau jumlah skrining yang dapat dilakukan suatu tes dalam suatu periode waktu
jumlah penyakit yang dapat terdeteksi dalam proses skrining. Validitas suatu uji dapat
dipengaruhi oleh keterbatasan uji dan sifat individu yang diuji. Status penyakit, keparahan,
tingkat dan jumlah pajanan, kesehatan gizi, kebugaran fisik, dan faktor lain yang
mempengaruhi status kesehatan individu juga dapat mempengaruhi dan berdampak pada
respons dan temuan tes.
Sensitivitas dan spesifisitas uji validitas

13

Sensitivitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar


mereka yang terkena penyakit, presentase mereka yang terkena penyakit, dan telah terbukti
terkena penyakit seperti yang diperhatikan melalui uji. Sensitivitas memperlihatkan proporsi
orang yang benar-benar sakit dalam suatu populasi yang menjalani skrining dan
teridentifikasi secara tepat terkena penyakit melalui tes skrining
positif benar
positif benar
sensitivitas=
=
positif benar +negatif palsu
semua orang berpenyakit
Spesifisitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar
presentase mereka yang tidak terkena penyakit, orang yang tidak terkena penyakit dan
terbukti tidak terkena penyakit seperti yang ditunjukkan melalui suatu uji. Spesifisitas
menunjukkan proporsi orang yang tidak terkena penyakit dalam populasi yang menjalani
skrining dan mereka yang diidentifikasi dengan benar sebagai orang yang tidak terkena
penyakit melalui uji skrining.
negatif benar
negatif benar
spesifisitas=
=
X 100
negatif benar + positif palsu
semua orang berpenyakit
Sensitivitas dan spesifisitas bukan nilai yang mutlak, setiap uji perorangan
akan menghasilkan respons yang berbeda. Sensitivitas dan spesifisitas terbentuk untuk setiap
tes melalui penggunaan tes yang berulang kali dalam satu rentang waktu. Penggunaan tes
dalam jangka panjang dapat menetapkan reliabilitas, validitas dan mengetahui kelemahan tes
tersebut. Ahli epidemiologi juga harus mengetahui seberapa baik tes tersebut dapat berfungsi
dan apakah tes itu cukup efektif untuk menskrining orang yang sakit dari orang yang sehat
dalam populasi umum. Ahli epidemiologi juga ingin mengetahui kemampuan uji untuk
mengetahui positif palsu (false positive) dan negatif palsu (false negatif). Bagaimana uji
sensitifitas tersebut? Hasil tes skrining dapat dibandingkan dengan diagnosis yang dibuat oleh
dokter, yang akan membantu menetapkan validitas, sensitivitas dan spesifisitas uji sekaligus
membantu standardisasi tes tersebut. Disebut positif palsu jika tes skrining memperlihatkan
bahwa individu terkena penyakit, tetapi sebenernya dia tidak terkena penyakit. Tes itu keliru
dalam mengindikasikan bahwa seseorang terkena penyakit, sementara pada kenyataanya dia
sehat dan tidak berpenyakit. Hasil tes telah keliru mengatakannya terkena penyakit, melabel
orang yang sehat terkena penyakit. Sedangkan negatif palsu adalah kebalikan dari positif
palsu, negatif palsu adalah ketika uji skrining mengindikasikan bahwa seseorang tidak
terkena penyakit, tetapi pada kenyataanya orang itu terkena penyakit. Tes telah keliru dalam
mengindikasikan bahwa seseorang sehat sementara dia sakit atau terkena penyakit. Tes telah
keliru mengatakan tidak terkena penyakit, melabeli orang yang sakit sebagai orang yang
sehat. Dikatakan positif benar, jika uji menyatakan seseorang terkena penyakit dan orang itu

14

memang benar terkena penyakit. Negatif benar adalah jika uji menyatakan seseorang sehat
dan tidak terkena penyakit sementara pada kenyataanya memang sehat dan bebas dari
penyakit.
Standardisasi uji adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa
suatu tes telah digunakan selama waktu yang lama, sudah banyak yang digunakan, batasan
nilainya sudah pasti, dan tes itu memiliki bukti catatan pemakaian yang ditunjukan dalam
data normatif. Program skrinning harus menggunakan uji yang sudah terstandarisasi, karena
penting untuk melakukan uji yang memiliki prediktabilitas, relibialitas, validitas yang tinggi,
dan fungsi jangka panjang. Hal ini berarti bahwa tes telah diperbaiki dan di uji-ulangkan
untuk membuatnya seselektif dan seakurat mungkin dalam mengeluarkan hasil.
Pemahaman hasil skrining, sensitifitas dan spesifisitas
Dari setiap program skrining, setiap orang diklasifikasikan sebagai negatif
(mereka yang tidak terkena penyakit) atau positif (mereka yang terkena penyakit). Akan
tetapi, karena sensitivitas dan spesifisitas suatu uji sering kali kurang dari 100%, negatif palsu
dan positif palsu akan terjadi. Dengan demikian, ahli epidemiologi mengklasifikasikan
partisipasi ke dalam 4 kategori, yaitu
1.
2.
3.
4.

Negatif Palsu (NP)


Negatif Benar (NB)
Positif Palsu (PP)
Positif Benar (PB)

Keempat kategori itu digunakan untuk memahami dan mengevaluasi hasil program skrining.
Kategori itu juga digunakan untuk mengkaji hasil uji dan untuk analisis data populasi studi.
Agar lebih mudah memahami keempat kategori itu, sebaiknya digunakan presentasi grafik
dari proses skrining dan letakkan masing masing dari keempat hasil yang mungkin dari
suatu uji pada posisi yang sesuai.
Decision Tree yang menyajikan visualisasi penempatan empat hasil yang
mungkin (NP, PP, NB, PB). Informasi dalam Decision Tree digunakan bersamaan dengan
matriks tabel empat sel (2x2), sehingga ahli epidemiologi dapat menentukan tempat dan efek
keempat hasil skrining. Baik Decision Tree maupun matriks memungkinkan dilakukannya
penyajian keempat efek dalam bentuk gambar untuk membantu memahami hasil analisis.
Sensitivitas dan spesifisitas merupakan ukuran yang sebanding sehingga dapat dinyatakan
dalam presentase. Idealnya, ahli epidemiologi ingin melihat suatu uji yang berfungsi sangat
baik, yaitu yang sensitivitas maupun spesifisitasnya mencapai 100%. Namun pada
kenyataannya, tidak ada satupun tes di dunia ini yang memiliki tingkat sensitivitas dan
spesifisitas 100% pada keduanya.
Sensitivitas: persentase orang dengan penyakit yang terdeteksi melalui tes uji
15

PB
X 100
PB+ NP
Negatif Palsu: persentase orang dengan penyakit yang tidak terdeteksi uji
NP
X 100
NP+ PB
Spesifisitas: persentase orang tanpa penyakit yang dengan benar dinyatakan tidak terkena
penyakit melalui uji
NB
X 100
NB+ PP
Positif Palsu: persentase orang tanpa penyakit yang saat diuji, keliru sehingga dinyatakan
terkena penyakit
PP
X 100
PP+ NB
Untuk membantu analisis, beberapa observasi tentang sensitivitas dan
spesifisitas akan sangat membantu. Jika presentase Negatif Benar (NB) dan Positif Benar
(PB) meningkat, sensitivitas dan spesifisitasnya pun meningkat. Jika presentase negatif palsu
(NP) dan positif palsu (PP) meningkat, sensitivitas dan spesifisitas menurun. Secara
singkatnya, sensitivitas adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dengan benar mereka
yang terkena penyakit. Spesifisitas adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dengan benar
mereka yang tidak terkena penyakit. Hubungan berbanding terbalik terbentuk antara positif
benar dan positif palsu. Selain itu, hubungan berbanding terbalik terbentuk antara negatif
palsu dan negatif benar. Presentase negatif palsu adalah pelengkap sensitivitas. Sebaliknya,
presentase positif palsu adalah pelengkap spesifisitas. Ahli epidemiologi menginginkan
sebuah uji yang sensitif sehingga uji itu dapat mengidentifikasi jumlah yang cukup tinggi dari
mereka yang terkena penyakit, dan juga sebuah uji yang dapat menghasilkan beberapa
Negatif Palsu. Selain itu, ahli epidemiologi juga menginginkan uji yang cukup spesifik untuk
mendeteksi penyakit, sehingga dihasilkan respons yang terbatas hanya pada kelompok studi
yang memang terkena penyakit dan beberapa positif palsu. Begitu proses skrining selesai,
sebuah diagnosis diperlukan untuk menegakkan penyakit diantara mereka yang diduga
memiliki penyakit dan mengeluarkan mereka yang diduga terkena penyakit tetapi sebenarnya
tidak.
Nilai prediktif suatu tes
Nilai prediktif tes skrining merupakan aspek terpenting suatu uji. Kemampuan
suatu uji untuk memprediksi ada atau tidaknya penyakit merupakan penentu kelayakan suatu
tes. Semakin tinggi angka prevalensi suatu penyakit dalam populasi, semakin tinggi pengaruh
sensitivitas dan spesifisitas uji tersebut terhadap nilai prediktifnya. Semakin tinggi angka
prevalensi suatu penyakit dalam populasi, semakin besar kemungkinan terjadinya positif
16

benar. Semakin sensitif suatu uji, semakin tinggi nilai prediktif dan semakin rendah jumlah
positif palsu dan negatif palsu yang dihasilkan uji tersebut, yang juga menentukan nilai
prediktifnya. Ketika melakukan sebuah uji negatif, nilai prediktif adalah presentasi orang
yang tidak sakit diantara partisipan yang memiliki hasil uji negatif.
Nilai prediktif uji positif adalah presentase positif benar diantara individu yang hasil ujinya
positif. Nilai prediktif dari uji negatif adalah presentase orang yang tidak sakit diantara
mereka yang hasil ujinya negatif. Suatu penyakit harus mencapai tingkat 15% sampai 20%
dalam populasi sebelum nilai prediktif yang berguna tercapai. Informasi prevalensi digunakan
untuk menghitung dan membagi kelompok studi menjadi mereka yang terkena penyakit dan
mereka yang tidak terkena penyakit.5
Rumus nilai prediktif uji positif
positif benar
nilai prediktif uji positif =
X 100 =
positif benar + positif palsu
Rumus nilai prediktif uji negatif
negatif benar
nilai prediktif uji negatif =
X 100 =
negatif benar+ negatif palsu
Contoh :
Tes
(radiologis)
Positif
Negatif
Total
Perhitungan

skrining Prosedur diagnosa (pemeriksaan lab)


BTA (+)
BTA (-)
75
15
90

50
850
900

Total
125
865
990

1. Sensitivitas dan spesifisitas


Sensitivitas = 75/90 x 100= 83%
Negatif palsu= 15/90 x 100 = 17%
Spesifisitas = 850/900 x 100= 94%
Positif palsu = 50/900 x 100= 6%
2. Nilai prediksi
Nilai prediksi tes (+) = 75/125 = 60%
Nilai prediksi tes (-)= 850/865= 93%
Interpretasi data
1. Sensitivitas dan spesifisitas
Sensitivitas
Sensitivitas dari orang yang positif menderita sakit TBC yang dideteksi oleh

tes skrining adalah 83%


Negatif palsu
Presentase dari orang yang negatif tetapi sebenarnya menderita sakit TBC
adalah 17%
Spesifisitas

17

Spesifisitas dari orang yang tidak atau negatif menderita sakit yang dideteksi

dengan tes skrining adalah 94%


Positif palsu
Presentase dari orang yang dinyatakan positif tetapi tidak menderita sakit TBC

adalah 6%
2. Nilai prediksi
Menurut perkiraan secara sederhana tanpa melakukan tes skrining maka yang
dinyatakan positif hanya sekitar 60% sedangkan negatif sebesar 93%.6
Jenis-jenis skrining untuk kanker serviks
Ada beberapa metode skrining yang dapat digunakan, tergantung dari ketersediaan sumber
daya. Metode skrining yang baik, memiliki beberapa persyaratan yaitu akurat, dapat diulangi
(reproducible), murah, mudah dikerjakan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta aman.
Beberapa metode yang diakui WHO adalah sebagai berikut.
1. Metode sitology
a. Tes pap konvensional
Tes pap atau pemeriksaan sitology diperkenalkan oleh dr. George Papanicolau
sejak tahun 1943. Sejak tes ini dikenal luas, kejadian kanker leher Rahim di
Negara Negara maju menurun drastis. Pemeriksaan ini merupakan suatu
prosedur pemeriksaan yang mudah, murah dan non-invasif. Beberapa penulis
melaporkan sensitivitas pemeriksaan ini berkisar antara 78 93%, tetapi
pemeriksaan ini tak luput dari hasil positif palsu sekitar 15 37% dan negatif
palsu 7 40%. Sebagian besar kesalahan tersebut disebabkan oleh pengambilan
sediaan yang tidak adekuat, kesalahan dalam proses pembuatan sediaan dan
kesalahan interpretasi.
b. Pemeriksaan sitologi cairan (Liquid Base Cytology/LBC)
Dikenal juga dengan thin prep atau monolayer. Tujuan metode ini adalah
mengurangi hasil negative palsu dari pemeriksaan tes pap konvensional dengan
cara optimalisasi teknik koleksi dan preparasi sel. Pada pemeriksaan ini sel
dikoleksi dengan sikat khusus yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah berisi
larutan fiksasi. Keuntungan pengunaan teknik monolayer ini adalah sel abnormal
lebih tersebar dan mudah tertangkap dengan fiksasi monolayer sehingga mudah
dikenali. Kerugiannya adalah butuh waktu yang cukup lama untuk pengolahan
slide dan biaya yang lebih mahal.
2. Metode pemeriksaan DNA-HPV
Deteksi DNA-HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi, melalui berbagai cara
seperti dari cara southern blot yang dianggap sebagai baku emas, filter in situ, dot

18

blot, hibridisasi in situ yang memerlukan jaringan biopsy, atau dengan cara
pembesaran seperti PCR (Polymerase Chain Reaction) yang sangat sensitif.
3. Metode inspeksi visual
a Inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI)
b Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)
Selain dua metode visual ini, dikenal juga metode visual kolposkopi dan
servikografi.
Setiap metode skrinning mempunyai sensitifitas dan spesifisitas berbeda. Sampai saat ini
belum ada metode yang ideal dimana sensitivitas dan spesifisitas 100% (absolut). Oleh
karena itu, dalam pemeriksaan skrinning, setiap wanita harus mendapat penjelasan dahulu
mengenai program skrining yang akan dilakukan dan diminta persetujuannya (Informed
Consent).
Berikut adalah tabel perbandingan metode dengan kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Table 1. Perbedaan Beberapa Metode Skrinning7
Metode
Sitology

Prosedur
Kelebihan
Sampel diambil Metode

Kekurangan
Status
yang Hasil tes tidak Telah

konvensio

oleh

lama

nal
Pap)

tenaga

(test kesehatan

telah

dan

diperiksa

oleh

sitoteknis

di

laboratorium

didapatkan

digunakan

dengan segera
Diperlukan

banyak negara

sistem

efektif untuk

1950
Terbukti

hasil

meng-

menurunkan

pemeriksaan

followup

angka

permanen
Training dan

wanita

dipakai
Diterima

secara luas
Pencatatan

mekanisme
kontrol
kualitas

telah

baku

Investasi yang
sederhana pada
program yang
telah ada dapat
meningkatkan

lama

pelayanan
Spesifisitas
tinggi

yang

yang

diperiksa
setelah

sejak

di

tahun

kematian
akibat kanker

ada

leher Rahim di

hasil

Negara-negara

pemeriksaan
Diperlukan

maju

transport
bahan sediaan
dari

tempat

pemeriksaan
ke
laboratorium,
dan transport
19

hasil
pemeriksaan

Liquid

Sampel

Base

oleh

Citology

kesehatan

diambil
tenaga
dan

Jarang

ke klinik
Sensitivitas

sedang
Hasil

diperlukan

didapat

pengambilan

tidak

dimasukkan

sampel

ulang

dengan segera
Fasilitas

dalam

cairan

bila

bahan

laboratorium

fiksasi

lalu

sediaan

untuk

adekuat
Waktu

dikirim
diproses

dan

diperiksa

di

lebih

tidak

mahal

dan canggih
yang

dibutuhkan
pembacaan

laboratorium

hasil

lebih

singkat

oleh

sitotekhnis
yang

berpengalaman
Sampel dapat
digunakan juga
untuk

tes

molekuler
(misalnya HPV
Tes
HPV

DNA Tes DNA HPV

tes)
Pengambilan

secara molekuler,

sampel

pengambilan

mudah
Proses

sampel

dapat

lebih

dilakukan sendiri

pembacaan

oleh wanita dan

otomatis

dibawa
laboratorium

ke

oleh

Hasil tes tidak

Digunakan

didapat

secara

dengan segera
Biaya
lebih

komersial di
negara

mahal
Fasilitas

negara

maju

alat khusus
Dapat

laboratorium

dikombinasika

dan canggih

lebih

mahal

sebagai
tambahan
pemeriksaan
sitology
20

n dengan tes

Perlu

Pap

khusus
Spesifisitas

untuk

meningkatkan

sensitivitas
Spesifisitas

rendah

tinggi terutama

muda

pada

tahun)

reagen

pada

perempuan
(35

perempuan
Metode

Pemulasan leher

Visual

Rahim

(IVA

dan dilakukan

VILI)

dapat
oleh

tenaga kesehatan
yang

terlatih

(bidan/dokter/per
awat)

>35 tahun
Mudah
dan

Spesifisitas

Belum cukup

murah
Hasil didapat

rendah,

data

sehingga

penelitian

dengan segera
Sarana yang

berisiko

yang

overtreatment
Tidak
ada

mendukung,

sederhana

dokumentasi

dapat

sehubungan

hasil

dengan

pemeriksaan
Tidak cocok

efeknya

dibutuhkan

dikombinasi

dengan
tatalaksana

untuk skrining

segera lainnya

pada

yang

perempuan

cukup

dan

terutama

terhadap
penurunan
angka
kejadian dan

dengan

pasca

pendekatan

menopause
Belum
ada

rahim.

standarisasi
Seringkali
perlu training

direkomendas

ulang

ikan

sekali
kunjungan
(Single

Visit

Approach)

untuk

tenaga

kematian
kanker leher
ini

Saat
hanya
pada

daerah proyek

kesehatan
Tes Pap
Pemeriksaan apusan Pap saat ini merupakan suatu kewajiban bagi wanita,
sebagai sarana pencegahan dan deteksi dini kanker serviks, yang sebaiknya dilaksanakan oleh
setiap wanita yang telah menikah sampai dengan umur kurang lebih 65 tahun, bila dua kali
pemeriksaan apusan Pap terakhir negatif dan tidak pernah mempunyai riwayat hasil
21

pemeriksaan abnormal sebelumnya. Pemeriksaan ini harus dilakukan secara berkala minimal
satu tahun sekali, walaupun wanita itu tidak mempunyai keluhan pada organ saluran genital,
karena kanker serviks pada stadium dini biasanya tanpa keluhan dan dengan mata biasa tidak
mungkin dapat dideteksi. Pemeriksaan skrining apusan pap secara berkala, diharapkan dapat
menemukan kasus-kasus kanker serviks dini atau lesi prakanker yang belum menimbulkan
gejala secara klinik, sehingga dapat dilakukan terapi dengan tuntas. Ketepatan diagnosis
sitology pada skrining deteksi kanker serviks terutama sangat tergantung pada representatif
atau tidaknya sediaan apusan Pap yang dibuat, disamping faktor faktor lain seperti, fiksasi,
pulasan sediaan, dan kemahiran interpretasi. Representatif atau tidaknya sebuah sediaan
apusan Pap sangat dipengaruhi oleh cara/teknik pengambilan bahan pemeriksaan, cara
pembuatan sediaan dan alat pengambil sekret yang digunakan. Oleh karena itu sebelum
melangkah kepada penilaian sitologi apusan Pap perlu dipahami terlebih dahulu mengenai
cara pengambilan dan cara pembuatan sediaan sitologi apusan Pap yang tepat dan benar
dngan cara seksama. Pemeriksaan skrining deteksi kanker serviks dengan hanya memeriksa
sekret vagina saja didapatkan hasil negatif palsu sebesar 45%, jika dengan hanya memeriksa
sekret servikal saja menurunkan hasil negatif palsu menjadi 6%, dan dengan memeriksa
sekret endoservikal saja, yang diambil dengan lid kapas atau aspirator, menurunkan hasil
negative palsu menjadi 45%. Bila pemeriksaan skrinning deteksi kanker serviks dilakukan
dengan memeriksa sediaan servikal dan endoservikal maka tidak didapatkan hasil negatif
palsu.
Dalam penggunaan apusan Pap untuk tujuan diagnosis dan deteksi dini kanker
serviks sering timbul masalah yaitu apabila diagnosis klinik tidak sesuai dengan diagnosis
sitologi, dan hal ini sering terjadi akibat hasil negatif palsu dari pemeriksaan sitologi apusan
Pap (False Negative). Menurut literatur, hasil negatif palsu disebabkan oleh kesalahan lokasi
pengambilan sekret, kesalahan dalam proses pembuatan sediaan fiksasi, dan kesalahan dalam
interpretasi sediaan sitologi. Untuk mendapat hasil pemeriksaan skrining sitologi apusan Pap
yang akurat, maka perlu diperhatikan hal hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
sitologi menjadi negatif palsu seperti diatas. Faktor kesalahan lokasi pengambilan dapat
diatasi dengan memperhatikan lebih cermat lokasi pengambilan sewaktu mengambil sekret,
yaitu untuk sekret servikal harus diambil seluruh permukaan portio serviks dan untuk sekret
endoservikal harus diambil dari permukaan mukosa endoserviks, sedangkan sekret vagina
tidak bermanfaat sama sekali untuk pemeriksaan skrining, karena nilai negatif palsunya
sangat besar. Hal ini perlu ditekankan pada dokter atau bidan yang biasa mengambil sediaan
Pap. Kegunaan diagnostik sitologi apusan pap:
22

1. Evaluasi sitohormonal :
Penilaian hormonal pada seorang wanita dapat dievaluasi melalui pemeriksaan
sitologi apusan Pap yang bahan pemeriksaannya adalah sekret vagina yang berasal
dari dinding lateral vagina sepertiga bagian atas.
2. Mendiagnosa peradangan
Peradangan pada vagina dan serviks pada umumya dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan sitologi apusan Pap, karena baik peradangan akut maupun kronis,
sebagian besar akan memberikan gambaran perubahan sel yang khas pada sediaan
apusan Pap sesuai dengan organisme penyebabnya, walaupun kadang-kadang ada
pula organisme yang tidak menimbulkan reaksi yang khas pada sediaan apusan Pap.
3. Identifikasi organisme penyebab peradangan
Dalam vagina ditemukan beberapa macam organisme/kuman yang sebagian
merupakan flora normal vagina yang bermanfaat bagi organ tersebut misalnya bakteri
doderlein.
4. Mendiagnosis kelainan prakanker (dysplasia) serviks dan kanker serviks dini atau
lanjutan (karsinoma insitu/invasive)
5. Memantau terapi
Dalam penggunaan apusan Pap untuk penilaian hormonal, untuk dapat
menghasilkan interpretasi hormonal yang akurat, diperlukan bahan pemeriksaan sekret vagina
yang representatif untuk penilaian hormonal. Untuk itu ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi sebelum dilakukan pengambilan bahan pemeriksaan, yaitu sebagai berikut:
1. Wanita tersebut sudah pernah melakukan hubungan seksual dan dalam 24 jam terakhir
wanita tersebut tidak melakukan hubungan seksual
2. Wanita tersebut tidak sedang hamil
3. Sekret vagina harus benar benar berasal dari dinding vagina sepertiga bagian atas
4. Pengambilan sekret harus dilaksanakan pada keadaan vagina normal tanpa infeksi dan
tanpa pengobatan lokal paling sedikit dalam waktu 48 jam terakhir
5. Untuk penilaian hormonal siklus menstruasi pada infertilitas, pengambilan sekret
harus dilaksanakan pada hari siklus tertentu, sesuai dengan fase fase pada siklus
haid. Sediaan vagina biasanya harus diambil pada hari ke 8, 14, dan 22 atau hari
siklus ke 8, 15 dan 22
6. Untuk penilaian pos maturitas, pengambilan sekret vagina dilakukan bila umur
kehamilan telah melewati waktu dua minggu melebihi dari tanggal tafsiran partus dan
ketuban janin harus masih utuh (belum pecah).
7. Dalam penggunaan apusan Pap untuk deteksi dan diagnosis lesi prakanker dan kanker
serviks8
Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
1. Definisi
23

Tes visual dengan menggunakan larutan asam cuka asam asetat 2% dan larutan
iodium lugol pada serviks dan melihat perubahan warna yang terjadi setelah
dilakukan olesan. Tujuannya untuk melihat adanya sel yang mengalami dysplasia
sebagai salah satu metode skrining kanker mulut rahim. Tes ini lebih cocok digunakan
di negara yang berkembang, misalnya Indonesia, Laos, Vietnam, Kamboja, dan lain
lain.
2. Indikasi
Skrining kanker mulut Rahim
3. Kontraindikasi
Tidak direkomendasikan pada wanita pasca menopause, karena daerah zona
transisional seringkali terletak di kanalis servikalis dan tidak tampak dengan
pemeriksaan inspekulo.
4. Persiapan dan syarat
Persiapan alat dan bahan
Sabun dan air untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
Lampu yang terang untuk melihat serviks
Speculum dengan desinfeksi tingkat tinggi
Sarung tangan sekali pakai atau desinfeksi tingkat tinggi
Meja ginekologi
Lidi kapas
Asam asetat 3-5% atau anggur putih (white vinegar)
Larutan iodium lugol
Larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi instrument dan sarung tangan
Format pencatatan
Persiapan tindakan

Menerangkan prosedur tindakan, bagaimana akan dikerjakan prosedurnya, dan


apa artinya jika hasil test positif. Meyakinkan bahwa pasien telah memahami

dan mau untuk menandatangani Informed Consent.


Pemeriksaan inspekulo secara umum meliputi dinding vagina, serviks, dan

forniks.
5. Teknik prosedur
Sesuaikan pencahayaan untuk mendapatkan gambaran terbaik dari serviks
Gunakan lidi kapas untuk membersihkan dari darah, mucus, dan kotoran lain

pada serviks
Identifikasi daerah sambungan skuamo-columnar (zona transformasi) dan area

di sekitarnya.
Oleskan larutan asam cuka atau lugol, tunggu 1-2 menit untuk terjadinya
perubahan warna. Amati setiap perubahan pada serviks, diperhatikan dengan
cermat daerah di sekitar zona transformasi.
24

Lihat dengan cermat dan yakinkan area ini dapat semuanya terlihat. Catat bila
serviks mudah berdarah. Lihat adanya plak berwarna putih dan tebal atau
epitel acetowhite bila menggunakan larutan asam asetat atau warna
kekuningan bila menggunakan larutan lugol. Bersihkan segala darah dan

debris pada saat pemeriksaan


Bersihkan sisa larutan asam asetat dan larutan lugol dengan lidi kapas atau

kasa bersih
Lepaskan speculum dengan hati-hati
Catat hasil pengamatan, dan gambar denah temuan
6. Komplikasi/efek samping
Tidak ada
7. Interpretasi
IVA positif bila ditemukan adanya area berwarna putih (cetonwhite) dan
permukaannya meninggi dengan batas yang jelas disekitar zona transformasi. IVA
negatif bila ditemukan pertemuan polos dan halus, berwarna merah jambu (ektropion,
polip, servisitis, inflamasi, dan kista Nabothian). Hasil klinis yang diduga kanker
adalah ditemukannya massa mirip kembang kol atau bisul.
Tes pelengkap
1. Tes HPV-DNA
1. Definisi
Pengambilan sampel untuk mengetahui adanya infeksi HPV dengan menggunakan
lidi kapas atau sikat
2. Indikasi
Kelompok risiko tinggi paparan terhadap infeksi human papiloma virus
3. Kontraindikasi
Tidak ada
4. Persiapan
1. Persiapan alat
Sabun dan air mengalir untuk cuci tangan
Lampu
Meja ginekologi
Spekulum dengan desinfeksi tingkat tinggi (tidak harus steril)
Sarung tangan disposabel atau desinfeksi tingkat tinggi
Sikat kecil, lidi kapas
Botol kecil dengan cairan pengawet (alkohol 96%), untuk menyimpan
sampel
Kaleng berisi air hangat untuk menghangatkan spekulum
Formulir pencatatan
Larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi instrumen dan sarung tangan
2. Persiapan pasien

25

Terangkan tentang tes HPV DNA dan menjelaskan arti positif hasil

pemeriksaan dan lakukan Informed Consent


Sebaiknya tidak dilakukan pada saat menstruasi, tetapi adanya

pendarahan sedikit tidak menghalangi dilakukannya pemeriksaan


Lakukan pemeriksaan inspikulo secara umum
5. Teknik/prosedur
Ambil sampel dari bagian atas vagina dan ostium serviks dengan
menggunakan lidi kapas dan sikat kecil
Masukan lidi kapas atau sikat ke dalam wadah yang berisi cairan pengawet
Tutup spekulum dan keluarkan dengan gentle
Beri label nama, register dan tanggal pemeriksaan
Catat semua kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan inspekulo
6. Komplikasi/efek samping
Tidak ada
7. Interpretasi
Tes HPV DNA lebih berguna bila dikombinasikan dengan pemeriksaan sitologi.
Pasien dengan hasil tes positif sebaiknya dilakukan pemeriksaan kolposkopi.
Penderita dengan HPV positif dengan tes Pap menunjukkan adanya displasia
(ASCUS) termasuk kelompok risiko tinggi dan harus dilakukan pemeriksaan
kolposkopi dan bila perlu biopsi.9
Promosi Kesehatan
Promosi

Kesehatan

adalah

upaya

untuk

meningkatkan

kemampuan

masyarakat melalui pembelajaran oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat
menolong diri sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat,
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dan didukung kebijakan publik yang
berwawasan kesehatan. Pengertian lain promosi kesehatan adalah, ilmu dan seni yang
membantu masyarakat menjadikan gaya hidupnya sehat dan optimal. Kesehatan yang optimal
didefinisikan sebagai keseimbangan kesehatan fisik, emosi, sosial, spiritual, dan intelektual.
Hal ini bukan berarti sekedar terjadinya perubahan gaya hidup saja, melainkan berkaitan
dengan perubahan lingkungan yang diharapkan dapat lebih mendukung, dalam membuat
keputusan untuk masyarakat yang sehat. Ruang lingkup promosi kesehatan masyarakat
meliputi usaha usaha10:
1. Promotif (Peningkatan kesehatan)
Usaha yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan yang meliputi usaha usaha,
peningkatan gizi, pemeliharaan kesehatan lingkungan, olahraga secara teratur,
istirahat yang cukup dan rekreasi sehingga seseorang dapat mencapai tingkat
kesehatan yang optimal
26

2. Preventif (Pencegahan penyakit)


Usaha yang ditujukan untuk mencegah terjadinya penyakit melalui usaha usaha
pemberian imunisasi pada bayi dan anak, Ibu hamil (Bumil), pemeriksaan kesehatan
secara berkala untuk mendeteksi penyakit secara dini
3. Kuratif (Pengobatan)
Usaha yang ditujukan terhadap orang yang sakit untuk dapat diobati secara tepat
sehingga dalam waktu singkat dapat dipulihkan kesehatannya
4. Rehabilitatif (Pemeliharaan Kesehatan)
Usaha yang ditujukan terhadap pemulihan penyakit yang baru dideritanya
Lima tingkat pencegahan penyakit menurut Leavel dan Clerk11:
1. Upaya peningkatan kesehatan (Health Promotion)
2. Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit penyakit tertentu (Specific
Protection)
3. Menegakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat (Early
Diagnosis and Prompt Treatment)
4. Pembatasan kecacatan (Disability Limitation)
5. Pemulihan kesehatan (Rehabilitation)
Kelima upaya tersebut diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok besar dan dijabarkan sebagai
berikut:
1. Upaya pencegahan primer
A. Upaya peningkatan kesehatan
Merupakan upaya pencegahan yang umumnya bertujuan meningkatkan taraf
kesehatan individu/keluarga/masyarakat, misalnya:
a. Penyuluhan kesehatan, perbaikan gizi, penyusunan pola gizi memadai,
pengawasan pertumbuhan anak balita dan usia remaja
b. Perbaikan rumah yang memenuhi syarat rumah sehat
c. Kesempatan memperoleh hiburan sehat yang memungkinkan
pengembangan kesehatan mental dan sosial
d. Pendidikan kependudukan, nasihat perkawinan, pendidikan seks dan
sebagainya
e. Pengendalian faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan.
B. Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit penyakit tertentu
Perlindungan khusus terhadap kesehatan, golongan masyarakat serta keadaan
tertentu yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat
kesehatan. Upaya-upaya yang termasuk perlindungan umum dan khusus antara
lain:

27

a. Peningkatan higiene perorangan dan perlindungan terhadap lingkungan yang


tidak menguntungkan
b. Perlindungan tenaga kerja terhadap setiap kemungkinan timbulnya penyakit
akibat kerja
c. Perlindungan terhadap bahan-bahan beracun, korosif, alergen, dan sebagainya.
d. Perlindungan terhadap sumber sumber makanan
2. Upaya pencegahan sekunder
Pada pencegahan sekunder termasuk upaya upaya yang bersifat penegakkan
diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat (Early Diagnosis and
Prompt Treatment) serta pembatasan kecacatan (Disability Limitations) seperti:
A. Melakukan general check up rutin pada tiap individu
B. Melakukan berbagai survei (survei sekolah, rumah tangga) dalam rangka
pemberantasan penyakit menular
C. Pengawasan obat-obatan, termasuk obat terlarang yang diperdagangkan bebas,
golongan narkotika, psikofarmaka dan obat-obat bius lainnya.
3. Upaya pencegahan tersier
Pencegahan tersier berupa pencegahan terjadinya komplikasi penyakit yang lebih
parah. Bertujuan untuk menurunkan angka kejadian cacat fisik maupun mental yang
antara lain:
A. Penyempurnaan cara pengobatan serta perawatan lanjut
B. Rehabilitasi sempurna setelah penyembuhan penyakit (rehabilitasi fisik dan
mental)
C. Mengusahakan pengurangan beban sosial penderita, sehingga mencegah
kemungkinan terputusnya kelanjutan rehabilitasi dan sebagainya
Selain pengetahuan dasar mengenai konsep dasar kesehatan masyarakat, perlu juga kita
mengetahui konsep dasar sehat sakit.12,13 Sehat menurut UU nomor 23 tahun 1992 adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomis.14

Pencegahan Kanker Serviks


Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat dilakukan kaum perempuan dalam
hal mencegah kanker serviks agar tidak menimpa dirinya, antara lain:

Jalani pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan yang cukup nutrisi dan

bergizi
Selalu menjaga kesehatan tubuh dan sanitasi lingkungan
Hindari pembersihan bagian genital dengan air yang kotor
28

Jika anda perokok, segera hentikan kebiasaan buruk ini


Hindari berhubungan intim saat usia dini
Selalu setia kepada pasangan anda, jangan bergonta-ganti apalagi diikuti

dengan hubungan intim.


Lakukan pemeriksaan pap smear minimal lakukan selama 2 tahun sekali,

khususnya bagi yang telah aktif melakukan hubungan intim


Jika anda belum pernah melakukan hubungan intim, ada baiknya melakukan
vaksinasi HPV

Program IVA di puskesmas


Pemeriksaan IVA dapat dilakukan oleh tenaga perawat yang sudah terlatih
seperti oleh bidan, dokter umum, atau oleh dokter spesialis. Adapun pelatihannya, telah ada
kesepakatan antara pihak yang berpengalaman dan berkecimpung dalam kegiatan pelatihan
deteksi dini dengan metode IVA ini, hingga disepakati IVA selama 5 (lima) hari. Dua hari
untuk pembekalan teori dan juga dry workshop. Adapun tiga hari untuk pelatihan di klinik
dan di lapangan bersifat wet workshop, latihan dengan memeriksa langsung pada subjek.
Sangat disarankan setelah pelatihan tersebut tetap dilanjutkan dengan pendamping atau
supervisi, hingga dapat dicapai suatu kemampuan yang dinilai kompeten jika personil yang
bersangkutan telah melakukan pemeriksaan pada 100 orang klien dan mendapatkan 3 hasil
pemeriksaan yang positif dan benar.
Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa IVA menjadi alternatif
metode skrining kanker leher rahim di daerah daerah yang memiliki sumber daya terbatas.
Namun demikian, akurasi metode ini dalam penerapan klinis masih terus dikaji di berbagai
negara berkembang. Penelitian Universitas Zimbabwe dan JHPIEGO Cervical Cancer
Project yang melibatkan 2.203 perempuan di Zimbabwe melaporkan bahwa skrining dengan
metode IVA dapat mengidentifikasi sebagian besar lesi prakanker dan kanker. Sensitivitas
IVA dibanding dengan pemeriksaan sitologi (tes Pap) berturut-turut adalah 76,7% dan 44,3%.
Meskipun begitu, dilaporkan juga bahwa IVA kurang spesifik, angka spesifisitas IVA hanya
64,1% dibanding sitologi 90,6%. Penelitian lainnya mengambil sampel 1997 perempuan di
daerah pedesaan cina, dilakukan oleh belinson JL dan kawan-kawan untuk menilai
sensitivitas metode IVA pada lesi prakanker tahap NIS 2 atau yang lebih tinggi, dikonfirmasi
dengan kolposkopi dan biopsi leher raim. Hasilnya penelitian menunjukkan bahwa
sensitivitas IVA untuk NIS 2 atau yang lebih tinggi adalah 71% sementara angka spesifisitas
74%.
Berbagai metode skrining kanker rahim telah dikenal dan diaplikasikan,
dimulai sejak tahun 1960-an dengan pemeriksaan tes Pap. Selain itu dikembangkan metode
29

visual dengan gineskopi, atau servikografi dan kolposkopi. Hingga penerapan metode yang
dianggap murah yaitu dengan tes IVA (inspeksi visual dengan asam asetat). Skrining DNA
HPV juga ditujukan untuk mendeteksi adanya HPV tipe onkogenik, pada hasil yang positif
dan memprediksi seorang perempuan menjadi berisiko tinggi terkena kanker serviks.
Ameran Cancer Society (ACS) merekomendasikan idealnya skrining dimulai
3 tahun setelah dimulainya hubungan seksual melalui vagina. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa risiko munculnya lesi prakanker baru terjadi setelah 3-5 tahun setelah
paparan HPV pertama. Interval yang ideal untuk dilakukan skrining adalah 3 tahun. Skrining
3 tahun sekali memberi hasil yang hampir sama dengan skrining tiap tahun. ACS
merekomendasikan skrining tiap tahun dengan metode tes Pap konvensional atau 2 tahun
sekali bila menggunakan pemeriksaan sitologi cairan (Liquid Based Cytology) setelah
skrining yang pertama. Setelah perempuan berusia 30 tahun, atau setelah 3 kali berturut
turut skrining dengan hasil negatif, skrining cukup dilakukan 2-3 tahun sekali. Bila dana
sangat terbatas skrining dapat dilakukan tiap 10 tahun atau sekali seumur hidup dengan tetap
memberikan hasil yang signifikan. WHO merekomendasikan :

Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka sebaiknya

dilakukan pada perempuan antara 35-45 tahun


Untuk perempuan usia 25-49 tahun, bila sumber daya memungkinkan skrining

hendaknya dilakukan 3 tahun sekali


Untuk perempuan dengan usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun sekali
Bila 2 kali berturut turut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan usia diatas
65 tahun, tidak perlu menjalani skrining

Tidak semua perempuan direkomendasikan melakukan skrining setahun sekali.

30

BAB IV
Penutup/Kesimpulan
Meningkatnya Angka Kematian Ibu (AKI) salah satunya disebabkan oleh rendahnya
wanita Indonesia yang memiliki kesehatan reproduksi yang baik. Penyakit yang memiliki
sumbangsih cukup besar adalah kanker serviks, penyakit ini merupakan penyakit pembunuh
pertama pada wanita yang disebabkan oleh kanker. Untuk menurunkan AKI demi
terwujudnya kesehatan masyarakat khususnya wanita Indonesia yang lebih baik dilakukanlah
program skrining kanker serviks dengan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA),
yang dapat ditemukan bukan di Rumah Sakit (RS) di kota kota besar, melainkan di
puskesmas yang sampai ke pelosok desa. Terbuktinya skrining kanker serviks yang telah
memberikan dampak yang baik terhadap penurunan angka kematian wanita akibat kanker
serviks. Penurunan jumlah penderita kanker serviks dikarenakan skrining yang dilakukan
pada wanita yang memiliki faktor resiko, cukup berhasil dalam menekan AKI. Sebuah
skrining haruslah memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dan berguna untuk
menentukan nilai prediksi uji positif dan nilai prediksi uji negatif. Skrining kanker serviks
dengan IVA memiliki nilai sensitifitas yang lebih baik dari pada spesifisitasnya. Secara
keseluruhan, skrining kanker serviks dengan IVA merupakan skrining yang cukup baik,
namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari alat skrining baru yang lebih
baik serta skrining IVA ini haruslah dilaksanakan secara konsisten serta menjangkau seluruh
wanita Indonesia.

31

Daftar Pustaka
1. Nurwijaya H, Andrijono, Suheimi HK. Cegah dan deteksi kanker serviks. Edisi ke-1.
Jakarta: Elex Media Komputindo; 2010. h. 13-16.
2. World Health Organization. Comprehensive Cervical Cancer Control: A Guide to
Essential Practice. Geneva: WHO; 2006. P. 27-253.
3. Fletcher RW, Fletcher SW. Clinical Epidemiology the Esentials. 4th edition. Baltimore:
Lippincot Williams & Wilkins; 2005. P. 35-56.
4. Gordis L. Epidemiology. 3rd edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2004. P. 71-94.
5. Timmreck TC. Epidemiologi: suatu pengantar. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004. h.
337-345.
6. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas. Edisi ke-1. Jakarta: EGC;
2009. h. 159-160.
7. Nurana L, et al. Skrining kanker rahim dengan metode inspeksi visual asam asetat
(IVA). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. H. 3-36.
8. Petignat P, Roy M. Diagnosis and management of cervical cancer. BMJ 2007; 335:
765-768.
9. Rasjidi I. Manual prakanker serviks. Edisi ke-1. Jakarta: CV Sagung Seto; 2008. h.
49-54.
10. Syafrudin, Theresia, Jomina. Ilmu kesehatan masyarakat untuk kebidanan. Jakarta:
Trans Info Media; 2009. H. 115-7.
11. Mubarak WI, Chayanti N. Ilmu kesehatan masyarakat: teori dan aplikasi. Edisi ke-1.
Jakarta: Salemba Medika; 2009. H. 361-7.
12. Notoatmodjo S. Kesehatan masayarakat ilmu dan seni. Edisi ke-1. Jakarta: Rineka
Cipta; 2007. H. 143-6.
13. Maulana HDJ. Promosi kesehatan. Edisi ke-1. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran
EGC; 2007. H. 297-9.
14. Giri EM. Undang undang republik indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang
kesehatan dan undang undang republik indonesia nomor 29 tahun 2004 tentang
praktik kedokteran. Edisi ke-1. Jakarta: Visimedia; 2007. H. 33.
15.

32

Anda mungkin juga menyukai