Anda di halaman 1dari 15

Pencegahan dan Deteksi Dini Kanker Serviks

Pendahuluan
Kesehatan wanita dari berbagai golongan umur di Indonesia, terutama terkait kesehatan
reproduksi, masih sangatlah buruk. Hal ini kemungkinan dikarenakan rendahnya kesadaran
wanita terhadap pentingnya memiliki organ reproduksi yang sehat dan fungsinya yang baik.
Kesehatan reproduksi wanita tidaklah terutama pada wanita hamil, melainkan wanita
yang akan hamil juga sangat penting, karena sistem reproduksinya yang akan memiliki tugas
tugas utama dalam hal, persiapan kehamilan, proses kehamilan, proses persalinan, dan pada masa
nifas/puerperium.1
Kanker serviks merupakan kanker yang terbanyak diderita perempuan di negara berkembang
seperti Indonesia. Di negara maju, kanker serviks menduduki urutan ke-10 dan bila digabung, menduduki
urutan ke-5. Seperti penyakit kanker pada umumnya, kanker serviks akan menimbulkan masalah pada
kesakitan, penderitaan, kematian finansial dan ekonomi, masalah pada lingkungan kehidupan dan
masalah pada pemerintah. Dengan demikian, penanggulangan kanker serviks harus dilakukan secara
menyeluruh dan terintegrasi.

Dalam beberapa dekade, angka penderita kanker leher rahim di negara-negara maju
mengalami penurunan yang tajam. Di Amerika Serikat, dalam 50 tahun terakhir insidens kanker
leher rahim turun sekitar 70%. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya program deteksi dini
dan tatalaksana yang baik.1
Puskesmas sebagai penyedia jasa pelayanan kesehatan strata pertama di Indonesia,
memiliki enam program wajib, salah satunya adalah Kesehatan Ibu dan Anak dan Keluarga
Berencana (KB) dimana di dalamnya terdapat program kesehatan reproduksi wanita beserta
pencegahannya. Salah satu jenis kegiatannya adalah skrining kanker serviks (Ca Cerviks) untuk
mengetahui seorang wanita apakah terkena kanker serviks atau tidak.2
Definisi
Kanker leher rahim adalah kanker primer yang terjadi pada jaringan leher rahim (serviks).
Sementara lesi prakanker, adalah kelainan pada epitel serviks akibat terjadinya perubahan selsel epitel, namun kelainannya belum menembus lapisan basal (membrana basalis).1
Etiologi
1

Penyebab primer kanker leher rahim adalah infeksi kronik leher rahim oleh satu atau lebih virus
HPV (Human Papiloma Virus) tipe onkogenik yang beresiko tinggi menyebabkan kanker leher
rahim yang ditularkan melalui hubungan seksual (sexually transmitted disease). Perempuan
biasanya terinfeksi virus ini saat usia belasan tahun, sampai tiga puluhan, walaupun kankernya
sendiri baru akan muncul 10-20 tahun sesudahnya. Infeksi virus HPV yang berisiko tinggi
menjadi kanker adalah tipe 16 dan 18. Dimana HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada sekitar 70%
kasus. Infeksi HPV tipe ini dapat mengakibatkan perubahan sel-sel leher rahim menjadi lesi
intra-epitel derajat tinggi (high-grade intraepithelial lesion/ LISDT) yang merupakan lesi
prakanker. Sementara HPV yang berisiko sedang dan rendah menyebabkan kanker (tipe nononkogenik).1,2
Faktor risiko yang potensial menyebabkan terjadinya kanker leher rahim adalah.
a. Melakukan hubungan seks pada usia muda
b. Sering berganti-ganti pasangan dan dan memiliki pasangan yang suka berganti-ganti
pasangan
c. Sering menderita infeksi di daerah kelamin terutama infeksi oleh virus HPV (
Human Papilloma Virus),
d. Melahirkan banyak anak
e. Kebiasaan merokok (risiko 2x lebih besar).
Infeksi HPV sering terjadi pada usia muda, sekitar 25-30% nya terjadi pada usia kurang dari 25
tahun.

Epidemiologi Kanker Serviks


Untuk wilayah ASEAN, insidens kanker serviks di Singapore sebesar 25,0 pada ras Cina;
17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar 23,7 per 100.000 penduduk. Insidens dan angka
kematian kanker serviks menurun selama beberapa dekade terakhir di AS. Hal ini karena
skrining Pap menjadi lebih populer dan lesi serviks pre-invasif lebih sering dideteksi daripada
kanker invasif. Diperkirakan terdapat 3.700 kematian akibat kanker serviks pada 2006. Di
Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasusbaru kanker mulut rahim setiap tahunnya.
Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium patologi, kanker serviks

merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita terbanyak di Indonesia, yaitu lebih
kurang 36%.3
Relative survival pada wanita dengan lesi pre-invasif hampir 100%. Relative 1 dan 5
years survival masing-masing sebesar 88% dan 73%. Keterlambatan diagnosis pada stadium
lanjut, keadaan umum yang lemah, status sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber
daya, keterbatasan sarana dan prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta
dalam menentukan prognosis dari penderita.3
Perjalanan Alamiah Kanker Leher rahim
Pada perempuan saat remaja dan kehamilan pertama, terjadi metaplasia sel skuamosa serviks.
Bila pada saat ini terjadi infeksi HPV, maka akan terbentuk sel baru hasil transformasi dengan
partikel HPV tergabung dalam DNA sel. Bila hal ini berlanjut maka terbentuklah lesi prekanker
dan lebih lanjut menjadi kanker. Sebagian besar kasus displasia sel servix sembuh dengan
sendirinya, sementara hanya sekitar 10% yang berubah menjadi displasia sedang dan berat. 50%
kasus displasia berat berubah menjadi karsinoma. Biasanya waktu yang dibutuhkan suatu lesi
displasia menjadi keganasan adalah 10-20 tahun.1
Kanker leher rahim invasif berawal dari lesi displasia sel-sel leher rahim yang kemudian
berkembang menjadi displasia tingkat lanjut, karsinoma in-situ dan akhirnya kanker invasif.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa prekursor kanker adalah lesi displasia tingkat lanjut
(high-grade dysplasia) yang sebagian kecilnya akan berubah menjadi kanker invasif dalam 1015 tahun, sementara displasia tingkat rendah (low-grade dysplasia) mengalami regresi spontan.4

Gambar 1. Patofisiologi kanker cerviks.


Skrining Kanker Serviks
Berbagai metode skrining kanker leher telah dikenal dan diaplikasikan, dimulai sejak tahun 1960an dengan pemeriksaan tes Pap. Selain itu dikembangkan metode visual dengan gineskopi, atau
servikografi. Hingga penerapan metode yang dianggap murah yaitu dengan tes IVA (Inspeksi
Visual dengan Asam Asetat). Skrining DNA HPV juga ditujukan untuk mendeteksi adanya HPV
tipe onkogenik, pada hasil yang positif, dan memprediksi seorang perempuan menjadi berisiko
tinggi terkena kanker serviks.4

Pengertian Penyaringan kasus atau Skrining


Skrining adalah suatu penerapan uji/tes terhadap orang yang tidak menunjukkan gejala dengan
tujuan mengelompokkan mereka ke dalam kelompok yang mungkin menderita penyakit tertentu.
Skrining merupakan deteksi dini penyakit, bukan merupakan alat diagnostik. bila hasil skrining
positif, akan diikuti uji diagnostik atau prosedur untuk memastikan adanya penyakit.
Tujuan Skrining
Tujuan skrining adalah untuk mendapatkan keadaan penyakit dalam keadaan dini untuk
memperbaiki prognosis, karena pengobatan dilakukan sebelum penyakit mempunyai manifestasi
klinis.
Tujuan skrining secara lengkap :

Mendeteksi seseorang sedini mungkin sehingga dapat dengan segera memperoleh


pengobatan.

Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakal dengan mendidik dan membiasakan


masyarakat untuk memeriksakan diri sedini mungkin.

Mendapat keterangan epidemiologis yang berguna bagi klinisi dan peneliti.

Syarat-syarat Skrining
Jika ingin melakukan skrining terhadap suatu penyakit atau masalah, maka ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi, diantara nya :
o Tes harus cukup sensitive dan spesifik
o Tes dapat diterima oleh masyarakat, aman, tidak berbahaya, cukup murah, dan sederhana.
o Penyakit atau masalah yang akan diskrining merupakan masalah yang cukup serius,
plevalensi nya cukup tinggi, merupakan masalah kesehatan masyarakat.
o Kebijakan, intervensi atau pengobatan yang akan dilakukan setelah dilaksanakan skrining
harus jelas.
Kriteria evaluasi skrining
Suatu alat (test) skrining yang baik adalah yang mempunyai tingkat validitas dan reliabilitas
yang tinggi yaitu mendekati 100%. Selain kedua nilai tersebut, dalam memilih tes untuk skrining
dibutuhkan juga nilai prediktif (Predictive Values). Validitas adalah kemampuan dari test
penyaringan untuk memisahkan mereka yang benar sakit terhadap yang sehat. Validitas
merupakan petunjuk tentang kemampuan suatu alat ukur (test) dapat mengukur secara benar dan
tepat apa yang akan diukur. Validitas mempunyai 2 komponen, yaitu :
a. sensitivitas : kemampuan untuk menentukan orang sakit.
b. spesifisitas : kemampuan untuk menentukan orang yang tidak sakit.
Besarnya nilai kedua parameter tersebut tentunya ditentukan dengan alat diagnostik di luar tes
penyaringan Kedua nilai tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, yakni bila
sensitivitas meningkat, maka spesivitas akan menurun dan begitu pula sebaliknya. Untuk
menentukan batas standar yang digunakan pada tes penyaringan, harus ditentukan tujuan
penyaringan apakah mengutamakan semua penderita terjaring termasuk yang tidak menderita,
ataukah mengarah pada mereka yang betul-betul sehat.
Sedangkan reliabilitas adalah kemampuan suatu tes memberikan hasil yang sama/konsisten bila
tes diterapkan lebih dari satu kali sasaran (objek) sama dan pada kondisi yang sama pula.
Kesalahan (bias) dalam reliabilitas dipengaruhi oleh variasi observer, yaitu bias intraobserver dan
bias interobserver. Bias intraobserver adalah bias yang terjadi karena satu observer
5

menginterpretasi berbeda terhadap satu hasil test dalam waktu yang berbeda. Sedangkan bias
interobserver terjadi akibat dua observer menginterpretasi satu hasil test yang berbeda.
Nilai prediktif adalah besarnya kemungkinan dengan menggunakan nilai sensitivitas dan
spesivitas serta prevalensi dengan proporsi penduduk yang menderita. Nilai prediktif dapat
positif artinya mereka dengan tes positif juga menderita penyakit, sedangkan nilai prediktif
negatif artinya mereka yang dinyatakan negatif juga ternyata tidak menderita penyakit. Nilai
prediktif positif sangat dipengaruhi oleh besarnya prevalensi penyakit dalam masyarakat dengan
ketentuan, makin tinggi prevalensi penyakit dalam masyarakat, makin tinggi pula nilai prediktif
positif dan sebaliknya.

Contoh :
Dari suatu penyaringan yang dilakukan untuk penyakit A dengan mempergunakan jenis
pemeriksaan B ditemukan hasil sebagai berikut (lihat tabel 1) :
Tabel 1. Hubungan penyakit dan hasil pemeriksaan.

HASIL
PEMERIKSAA

POSITIF
NEGATIF

N
JUMLAH

PENYAKIT
POSITIF
NEGATIF
A
B
C
D

JUMLAH

A+C

A+B+C+D

B+D

A+ B
C+D

Dari tabel diatas dapat dihitung nilai-nilai yang dimaksud yakni : 5


Sensitivitas :

A
x 100
A+ C

Spesifisitas :

B
x 100
B+ D

True positive : A
False positive : B

% False positive :

B
B+ D

True negative : D
6

False negative : C

% False negative :

Postif predictive value :


Negatif predictive value :

C
A+ C

True positif
x 100
true positif + false positif
True negatif
x 100
true negatif + false negatif

Aplikasi Kasus
Dari kasus yang didapat maka dapat dimasukkan ke dalam tabel (lihat tabel 2), Dan kemudian
dapat didapatkan nilai-nilainya, yaitu :

Tabel 2. Hubungan penyakit ca serviks dengan tes IVA postif.

TES
IVA
JUMLAH

POSITIF
NEGATIF

Paps Smear
POSITIF
NEGATIF
6
24
3
467

JUMLAH

500

491

30
470

Nilai-nilai dari kasus :


Sensitivitas :

6
2
= =0,67
= 67%
6 +3 3

Spesifisitas :

467
467
=
=0,95=95
24 +467 491

True positive : 6
False positive : 24 (% FP
True negative : 467
False negative : 3 (% FN

24
24 +467

= 0,05 = 5%)

3
=0,33
33%)
6 +3

Postif predictive value :


Negatif predictive value :

6
x 100
6 +24

= 20%

467
x 100 =99,4
467+3

Sasaran yang akan menjalani skrining


Beberapa hal penting yang perlu direncanakan dalam melakukan deteksi dini kanker, supaya
skrining yang dilaksanakan terprogram dan terorganisasi dengan baik, tepat sasaran dan efektif,
terutama berkaitan dengan sumber daya yang terbatas. WHO mengindikasikan skrining dilakukan
pada kelompok berikut.1

Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani tes

Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau lebih.
Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumnya
Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca
sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala abnormal

lainnya
Perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya

Skrining test dalam upaya kesehatan masyarakat bertujuan untuk:

menurunkan angka kesakitan dan kematian.


Meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Menurunkan case fatality penyakit yang diskrining.
Meningkatkan presentase kasus yang terdeteksi secara dini.
Menurunkan komplikasi penyakit.
Mencegah dan atau mengurangi metastasis.

Jenis-jenis skrining untuk kanker serviks


Ada beberapa metode skrining yang dapat digunakan, tergantung dari ketersediaan sumber daya.
Metode skrining yang baik, memiliki beberapa persyaratan yaitu akurat, dapat diulangi
(reproducible), murah, mudah dikerjakan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta aman. Beberapa
metode yang diakui WHO adalah sebagai berikut.
1. Metode sitology
a. Tes pap konvensional
8

Tes pap atau pemeriksaan sitology diperkenalkan oleh dr. George Papanicolau sejak
tahun 1943. Sejak tes ini dikenal luas, kejadian kanker leher Rahim di Negara
Negara maju menurun drastis. Pemeriksaan ini merupakan suatu prosedur
pemeriksaan yang mudah, murah dan non-invasif. Beberapa penulis melaporkan
sensitivitas pemeriksaan ini berkisar antara 78 93%, tetapi pemeriksaan ini tak luput
dari hasil positif palsu sekitar 15 37% dan negatif palsu 7 40%. Sebagian besar
kesalahan tersebut disebabkan oleh pengambilan sediaan yang tidak adekuat,
kesalahan dalam proses pembuatan sediaan dan kesalahan interpretasi.
b. Pemeriksaan sitologi cairan (Liquid Base Cytology/LBC)
Dikenal juga dengan thin prep atau monolayer. Tujuan metode ini adalah mengurangi
hasil negative palsu dari pemeriksaan tes pap konvensional dengan cara optimalisasi
teknik koleksi dan preparasi sel. Pada pemeriksaan ini sel dikoleksi dengan sikat
khusus yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah berisi larutan fiksasi.
Keuntungan pengunaan teknik monolayer ini adalah sel abnormal lebih tersebar dan
mudah tertangkap dengan fiksasi monolayer sehingga mudah dikenali. Kerugiannya
adalah butuh waktu yang cukup lama untuk pengolahan slide dan biaya yang lebih
mahal.
2. Metode pemeriksaan DNA-HPV
Deteksi DNA-HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi, melalui berbagai cara
seperti dari cara southern blot yang dianggap sebagai baku emas, filter in situ, dot blot,
hibridisasi in situ yang memerlukan jaringan biopsy, atau dengan cara pembesaran seperti
PCR (Polymerase Chain Reaction) yang sangat sensitif.
3. Metode inspeksi visual
a Inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI)
b Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)
Selain dua metode visual ini, dikenal juga metode visual kolposkopi dan servikografi.
Setiap metode skrinning mempunyai sensitifitas dan spesifisitas berbeda. Sampai saat ini belum
ada metode yang ideal dimana sensitivitas dan spesifisitas 100% (absolut). Oleh karena itu,
dalam pemeriksaan skrinning, setiap wanita harus mendapat penjelasan dahulu mengenai
program skrining yang akan dilakukan dan diminta persetujuannya (Informed Consent).
Berikut adalah tabel perbandingan metode dengan kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Table 3. Perbedaan Beberapa Metode Skrinning6
Metode
Sitology

Prosedur
Kelebihan
Sampel diambil Metode

Kekurangan
Status
yang Hasil tes tidak Telah

lama
9

konvensio
nal

oleh

tenaga

(test kesehatan

Pap)

telah

dan

diperiksa

oleh

sitoteknis

di

laboratorium

lama

didapatkan

digunakan

dengan segera
Diperlukan

banyak negara

secara luas
Pencatatan

sistem

efektif untuk

1950
Terbukti

hasil

meng-

menurunkan

pemeriksaan

followup

angka

permanen
Training dan

wanita

dipakai
Diterima

telah

baku

Investasi yang
sederhana pada

tahun

kematian
akibat kanker

ada

leher Rahim di

hasil

Negara-negara

pemeriksaan
Diperlukan

maju

transport
bahan sediaan

program yang

dari

telah ada dapat

tempat

pemeriksaan

meningkatkan

yang

setelah

kontrol

yang

diperiksa

mekanisme
kualitas

sejak

di

ke

pelayanan
Spesifisitas

laboratorium,
dan transport

tinggi

hasil
pemeriksaan

ke klinik
Sensitivitas

dan

sedang
Spesifisitas

Metode

Pemulasan leher

Mudah

Visual

Rahim

murah
Hasil didapat

rendah,

data

sehingga

penelitian

dengan segera
Sarana yang

berisiko

yang

overtreatment
Tidak
ada

mendukung,

dokumentasi

sehubungan

(IVA
VILI)

dan dilakukan

dapat
oleh

tenaga kesehatan
yang

terlatih

(bidan/dokter/per
awat)

dibutuhkan
sederhana
dapat

Belum cukup
dan

terutama

10

dikombinasi

hasil

dengan

pemeriksaan
Tidak cocok

efeknya

segera lainnya

untuk skrining

penurunan

yang

pada

angka

dengan

perempuan

kejadian dan

pendekatan

pasca

kematian

sekali

menopause
Belum
ada

kanker leher

standarisasi
Seringkali

ini

dengan
tatalaksana

cukup

kunjungan
(Single

Visit
Approach)

terhadap

rahim.

Saat
hanya

perlu training

direkomendas

ulang

ikan

untuk

tenaga

pada

daerah proyek

kesehatan

Teknik Pemeriksaan IVA dan Interpretasi


Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih (acetowhite) pada lesi
prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat (asam cuka). Bila
ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai kanker, pengolesan asam asetat tidak dilakukan
namun segera dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Perempuan yang sudah menopause tidak
direkomendasikan menjalani skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher rahim
pada kelompok ini biasanya berada pada endoserviks rahim dalam kanalis servikalis sehingga
tidak bisa dilihat dengan inspeksi spekulum.5,6
Perempuan yang akan diskrining berada dalam posisi litotomi, kemudian dengan spekulum dan
penerangan yang cukup, dilakukan inspeksi terhadap kondisi leher rahimnya. Setiap
abnormalitas yang ditemukan, bila ada, dicatat. Kemudian leher rahim dioles dengan larutan asam
asetat 3-5% dan didiamkan selama kurang lebih 1-2 menit. Setelah itu dilihat hasilnya. Leher
11

rahim yang normal akan tetap berwarna merah muda, sementara hasil positif bila ditemukan area,
plak atau ulkus yang berwarna putih. Lesi prakanker ringan/jinak (NIS 1) menunjukkan lesi putih
pucat yang bisa berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar. Lesi yang lebih parah (NIS 23 seterusnya) menunjukkan lesi putih tebal dengan batas yang tegas, dimana salah satu tepinya
selalu berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar (SSK).
Pelaksana IVA dan Pelatihan Tenaga Kesehatan
Pemeriksaam IVA dapat dilakukan oleh tenaga perawat yang sudah terlatih, oleh bidan, dokter
umum atau oleh dokter spesialis.
Adapun pelatihannya, telah ada kesepakatan antara beberapa pihak yang berpengalaman dan
berkecimpung dalam kegiatan pelatihan deteksi dini dengan metode IVA ini, hingga disepakati
pelatihan IVA selama 5 (lima) hari. Dua hari untuk pembekalan teori dan juga 'dry workshop',
adapun tiga hari untuk pelatihan di klinik dan di lapangan bersifat 'wet workshop', dalam artian
latihan dengan memeriksa langsung pada klien. Sangat disarankan setelah pelatihan tersebut
tetap dilanjutkan dengan pendampingan atau supervisi, hingga dapat dicapai suatu kemampuan
yang dinilai kompeten jika personil yang bersangkutan telah melakukan pemriksaan IVA pada
100 orang klien dan mendapatkan 3 (tiga) hasil pemeriksaan yang positif dan benar. 7
Syarat-syarat yang sebaiknya diperhatikan jika akan melakukan skrining antara lain: tes harus
cukup sensitif dan spesifik; tes dapat diterima oleh masyarakat (aman, murah, sederhana);
penyakit atau masalah yang akan diskrining merupakan masalah yang cukup serius
(prevalensinya cukup tinggi, merupakan masalah kesehatan masyarakat); kebijakan, intervensi
atau pengobatan yang akan dilakukan setelah dilaksanakan skrining harus jelas, bila tidak hasil
skrining sia-sia belaka.
Berbagai penelitian telah menyatakan bahwa skrining dengan metode IVA lebih mudah, praktis
dan lebih sederhana, mudah, nyaman, praktis dan murah.
Jadwal skrining

12

Ameran cancer society (ACS) merekomendasikan idealnya skrining dimulai 3 tahun setelah
dimulainya hubungan seksual melalui vagina. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko
munculnya lesi prakanker baru terjadi setelah 3-5 tahun setelah paparan HPV pertama.8
Interval yang ideal untuk dilakukan skrining adalah 3 tahun. Skrining 3 tahun sekali memberi
hasil yang hampir sama dengan skrining tiap tahun. ACS merekomendasikan skrining tiap tahun
dengan metode tes Pap konvensional atau 2 tahun sekali bila menggunakan pemeriksaan sitologi
cairan (liquid-based cytology) setelah skrining yang pertama. Setelah perempuan berusia 30
tahun, atau setelah 3 kali berturut-turut skrining dengan hasil negatif, skrining cukup dilakukan
2-3 tahun sekali. Bila dana sangat terbatas skrining dapa tdilakukan tiap 10 tahun atau sekali
seumur hidup dengan tetap memberikan hasil yang signifikan.
WHO merekomendasikan :

Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka sebaiknya dilakukan

pada perempuan antara 35-45 tahun


Untuk perempuan usia 25-49 tahun, bila sumber daya memungkinkan skrining

hendaknya dilakukan 3 tahun sekali


Untuk perempuan dengan usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun sekali
Bila 2 kali berturut-turut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan usia diatas 65

tahun, tidak perlu menjalani skrining


Tidak semua perempuan direkomendasikan melakukan skrining setahun sekali.

Upaya Pencegahan Kanker Serviks


Lima tingkat pencegahan penyakit menurut Leavel dan Clerk:
1. Upaya peningkatan kesehatan (Health Promotion)
2. Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit penyakit tertentu (Specific
Protection)
3. Menegakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat (Early Diagnosis
and Prompt Treatment)
4. Pembatasan kecacatan (Disability Limitation)
5. Pemulihan kesehatan (Rehabilitation)

13

Kelima upaya tersebut diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok besar, yaitu primer, sekunder dan
tersier. Namun dalam kasus ini yang harus dijalankan adalah pencegahan yang primer yaitu
promotif dan preventif :
1. Upaya pencegahan primer
A. Peningkatan kesehatan (Health promotion)
Merupakan upaya pencegahan yang umumnya bertujuan meningkatkan taraf
kesehatan individu/keluarga/masyarakat, misalnya:
a. Penyuluhan kesehatan, perbaikan gizi, penyusunan pola gizi memadai,
pengawasan pertumbuhan anak balita dan usia remaja
b. Perbaikan rumah yang memenuhi syarat rumah sehat
c. Kesempatan memperoleh hiburan sehat yang

memungkinkan

pengembangan kesehatan mental dan sosial


d. Pendidikan kependudukan, nasihat perkawinan, pendidikan seks dan
sebagainya
e. Pengendalian faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan.
B. Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit penyakit tertentu. (Spesific
protection)
a. Specific protection dengan vaksin HPV.
Vaksinasi secara berulang dibutuhkan untuk merangsang tubuh membentuk antibodi (kekebalan
tubuh) yang kuat untuk melindungi tubuh dari serangan virus HPV yang akan masuk. Antibodi
akan menangkap virus yang akan masuk ke dalam tubuh sehingga tubuh terhindar dari infeksi
HPV.5,6 Idealnya vaksinasi diberikan sebelum adanya bahaya infeksi HPV. Vaksinasi ini paling
efektif apabila diberikan pada perempuan berusia 9 sampai 26 tahun yang belum aktif secara
seksual. Namun bukan berarti wanita yang sudah menikah atau berhubungan seksual tidak boleh
mendapatkannya. Hanya saja angka proteksinya tidak setinggi pada golongan sebelumnya.
Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu tertentu (bulan ke 0,1,dan 6). Dengan
vaksinasi, risiko terkena kanker serviks bisa menurun hingga 75%.
Kesimpulan
Skrining untuk ca cervix adalah sangat penting untuk wanita agar dapat dideteksi awal. IVA
mempunyai sensitifitas yang sebanding dengan pap smear meskipun spesifisitasnya lebih rendah
berbanding pap karena tes ini bersifat subyektif dari tenaga medis yang bertugas.
.
14

Daftar pustaka
1. Nurwijaya H, Andrijono, Suheimi HK. Cegah dan deteksi kanker serviks. Edisi ke-1.
Jakarta: Elex Media Komputindo; 2010. h. 13-16.
2. World Health Organization. Comprehensive cervical cancer control: A guide to essential
practice. Geneva: WHO; 2006. P. 27-253.
3. Fletcher RW, Fletcher SW. Clinical epidemiology the esentials. 4 th edition. Baltimore:
Lippincot Williams & Wilkins; 2006. P. 35-56.
4. Gordis L. Epidemiology. 3rd edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2004. P. 71-94.
5. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas. Edisi ke-1. Jakarta: EGC; 2009.
h. 159-160.
6. Nurana L, et al. Skrining kanker rahim dengan metode inspeksi visual asam asetat (IVA).
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. H. 3-36.
7. Petignat P, Roy M. Diagnosis and management of cervical cancer. BMJ 2007; 335: 765768.
8. Mubarak WI, Chayanti N. Ilmu kesehatan masyarakat: teori dan aplikasi. Edisi ke-1.
Jakarta: Salemba Medika; 2009. H. 361-7.

15

Anda mungkin juga menyukai