Anda di halaman 1dari 11

TUGAS ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

WARISAN BUDAYA

Oleh :
PRATAMA DANANG MAHESHA
26020212140082
OSEANOGAFI-A

Dosen Pengampu :
DRS. HERYOSO SETIYONO, M.SI

DEPARTEMEN OSEANOGRAFI
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016

1. Apakah sesungguhnya kebudayaan itu ? Sampai saat ini banyak sekali definisi
mengenai konsep kebudayaan tersebut. Namun demikian, pada intinya definisi-definisi
tersebut tidak jauh berbeda. Kebudayaan yang terdapat di seluruh permukaan bumi
adalah hasil budidaya manusia. Kebudayaan tersebut muncul karena manusia saling
berinteraksi.
Interaksi antarmanusia tersebut lalu membentuk suatu komunitas sosial. Dari
komunitas sosial tersebut lalu terciptalah berbagai pola tindakan yang akhirnya
membentuk suatu kebudayaan.
Hari Poerwanto mengatakan bahwa culture (bahasa Inggris) dan colere (bahasa Latin)
jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah kebudayaan. Namun, secara
lengkap kebudayaan memiliki definisi yang lebih dalam. Melalui buku Kebudayaan
dan Lingkungan dalam Persepektif Antropologi, Hari Poerwanto menjelaskan banyak
hal mengenai kebudayaan.
Demikian halnya dengan Koentjaraningrat banyak menjelaskan kebudayaan di dalam
bukunya Pengantar Antropologi. Kebudayaan memiliki definisi yang beragam. Banyak
ahli yang mencoba membuat definisi kebudayaan tersebut. Penekanannya terletak pada
manusia menjalani kehidupan dengan berbagai cara dan tercermin di dalam kehidupan
mereka melalui pola tindakan (action) dan kelakuan (behavior).

Koentjaraningrat mengatakan bahwa beberapa pakar antropologi terkenal


seperti C.C. Wissler (1916), C. Kluckhohn (1941), A. Davis, atau A. Hoebel
menjelaskan bahwa tindakan kebudayaan adalah suatu learned behavior, yakni
suatu hasil budidaya berupa kebiasaan yang di dapat melalui proses belajar.
Jadi, manusia di dalam kehidupannya selalu melakukan tindakan belajar untuk
menjalani kehidupannya. Kebiasaan belajar tersebut dilakukan terus secara
berkelanjutan hingga manusia mampu menjalani kehidupannya dengan segala

proses pembelajaran tersebut.


Koentjaraningrat berikutnya

menjelaskan

bahwa

kebudayaan

adalah

keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka

kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.


Lebih lanjut beliau merinci bahwa kata kebudayaan berasal dari kata
Sanskerta buddhayah. Buddhayah adalah bentuk jamak dari buddhi. Buddhi

memiliki arti budi atau akal. Di dalam antropologi budaya, budaya dan
kebudayaan memiliki makna yang sama. Budaya hanyalah suatu bentuk singkat
dari kata kebudayaan. Namun demikian, menurut sosiologi ada perbedaan
antara budaya dan kebudayaan. Budaya adalah suatu daya dari budi berupa
cipta, karsa, dan rasa. Adapun kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan

rasa tersebut.
E.B. Tylor (1881) melalui Hari Poerwanto mengatakan bahwa melihat suatu
kebudayaan adalah melihat perubahan budaya berdasarkan atas teori evolusi.
Menurutnya, kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat, dan berbagai
kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota

masyarakat.
C. Kluckhohn (1952) melalui Hari Poerwanto mengatakan bahwa kebudayaan
adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku, baik eksplisit maupun implisit yang
diperoleh dan diturunkan melalui simbol yang akhirnya mampu membentuk
sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya

dalam benda-benda materi.


Linton (1936) dan A.L. Kroeber (1948) melalui Hari Poerwanto mengatakan
bahwa melihat kebudayaan melalui pemikiran historical particularism, budaya,
dan personalitas. Dalam bukunya The Study of Man (1936), Linton mengatakan
bahwa di dalam kehidupan ada dua hal pentingbudaya dan kebudayaan.
Budaya adalah suatu daya dari budi berupa cipta, karsa, dan rasa. Adapun
kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut.

Seorang antropolog lain, E.B. Tylor (1871), dalam bukunya yang berjudul Primitive
Culture (New York ; Brentano's, 1924), hal 1, yang mendefinisikan pengertian
kebudayaan bahwa kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan
serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soenardi, pada bukunya Setangkai Bunga Sosiologi (,
1964), , merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta, dan rasa
masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan
atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk

menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk
keperluan masyarakat.
teori Erns Cassirer, seorang ahli lingustik asal Swiss, dalam bukunya An Essay on Man
menyatakan bahwa kebudayaan atau budaya merupakan ciri penting (khas) dari
manusia, yang membedakan manusia dengan binatang. Mengapa hanya manusia yang
memiliki kebudayaan, sedangkan binatang atau makhluk lainnya tidak? Pendapat ini
berangkat dari pemahaman bahwa manusia merupakan animal symbolicum atau
binatang yang mengkreasi simbol. Sebab itu, hanya manusia yang dapat melakukan
simbolisasi terhadap

sesuatu.

Manusia

merupakan

makhluk

yang

mampu

menggunakan, mengembangkan, dan menciptakan lambang-lambang atau simbolsimbol untuk berkomunikasi dengan sesamanya (Ahimsa-Putra, 2004). Sementara itu,
apa yang dimaksud dengan simbol? Definisi konsep simbol atau lambang ialah segala
sesuatu yang dimaknai di mana makna dari suatu simbol itu mengacu pada sesuatu
(konsep) yang lain. Wujud lambang-lambang ini bisa berupa teks (tulisan), suara,
bunyi, gerak, gambar, dan lain sebagainya (Ibid).
Oleh karena hanya manusia yang dapat melakukan pemaknaan terhadap sesuatu dan
sesuatu yang dimaknai ini merupakan sebuah lambang hasil kreasi manusia sendiri,
dan proses simbolisasi ini melahirkan kebudayaan, maka kebudayaan dalam hal ini
dapat didefinisikan sebagai: seperangkat atau keseluruhan simbol yang digunakan atau
dimiliki manusia dalam hidupnya untuk bisa melakukan reproduksi dan menghadapi
lingkungannya, yang diperoleh lewat proses belajar dalam kehidupannya sebagai
anggota suatu masyarakat atau komunitas (Ibid). Di sini perlu dicatat bahwa setiap
manusia beserta komunitasnya memiliki perangkat simbol (baca: kebudayaan) dan
prosses simbolisasinya (proses berkembangnya kebudayaan) masing-masing,
sehingga pemaknaan atau penafsiran yang lahir juga beragam (lihat juga Geertz, 1973).
Hal inilah yang kemudian melahirkan diversitas budaya dalam kehidupan manusia.
Lebih lanjut, perlu diketahui bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan menurut
Koentjaraningrat. Pertama adalah gagasan, ide, atau sistem nilai. Karena gagasan ini
beroperasi pada tataran kognitif, maka agak sulit mengidentifikasinya. Selain itu, dapat
diketahui simbol-simbol lain yang wujudnya lebih konkret dari wujud pertama untuk
dapat menjadi pembeda atau berlaku sebagai cultural traits antara kebudayaan yang

satu dengan lainnya. Wujud konkret dari simbol-simbol tersebut ialah perilaku,
kebiasaan, habitus (sebagaimana sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menyebutnya),
atau yang kita kenal dengan istilah adat-istiadat sebagai wujud kedua dari kebudayaan.
Selain adat-istiadat, elemen lainnya ialah budaya material. Budaya material (material
culture) atau artefak atau benda-benda hasil produksi suatu kebudayaan merupakan
hal-hal dalam kebudayaan yang paling konkret (empirik). Jika disepakati bahwa
pengertian kebudayaan adalah perangkat simbol-simbol dalam tiga wujudnya tersebut
yang digunakan manusia untuk menjalani kehidupannya, maka dalam tulisan ini
konteks warisan budaya kiranya tidak akan jauh berbeda dari pemahaman tentang
budaya di atas.

2. Akrab di telinga kita kata cultural heritage, heritage, atau warisan budaya. Kata-kata
ini muncul secara intens di tengah-tengah keseharian kita, melalui perbincangan
informal maupun melalui media massa. Kendati atensi kita banyak tercurah pada hal
ini, tidak banyak dari kita yang paham betul tentang makna di balik itu, atau paling
tidak mengetahui batasan pengertiannya. Berikut uraian mengenai warisan budaya
yang dimaksud.
Cultural heritage atau heritage dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan sebagai
warisan budaya, peninggalan budaya, atau tinggalan budaya (Ahimsa-Putra,2004).
Apabila berangkat dari pemahaman tentang budaya di atas, maka warisan atau
tinggalan budaya (apapun bentuknya) juga bagian dari kebudayaan karena ia
merupakan perangkat-perangkat simbol/lambang kolektif milik generasi sebelumnya.
Di sini, tinggalan budaya dapat didefinisikan sebagai perangkat-perangkat simbol
kolektif yang diwariskan oleh generasi-generasi sebelumnya dari kolektivitas pemiliki
simbol tersebut (Ibid, hlm. 35). Lantas seperti apa wujud atau manifestasi dari warisan
budaya itu?
Ada empat bentuk yang dapat diidentifikasi dan dikategorikan sebagai peninggalan
budaya. Pertama, benda-benda fisik atau material culture. Wujud pertama ini
mencakup seluruh benda-benda hasil kreasi manusia, mulai dari benda-benda dengan
ukuran yang relatif kecil hingga benda-benda yang sangat besar. Kemudian, wujud
kedua ialah pola-pola perilaku yang merupakan representasi dari adat-istiadat sebuah

kebudayaan tertentu. Bentuk kedua ini meliputi hal-hal keseharian, seperti pola makan,
pola kerja, pola belajar, pola berdoa, hingga pola-pola yang bersangkutan dengan
aktivitas sebuah komunitas,
Di dalam pola-pola keseharian itu, terkandung nilai-nilai atau tata-aturan dari adat
istiadat yang berlaku. Tata-aturan yang berlaku tersebut merupakan ejawantah dari
pandangan hidup atau sistem nilai dalam masyarakat tertentu, di mana pandangan
hidup ini merupakan wujud ketiga dari kebudayaan. Wujud ketiga ini bersifat lebih
abstrak dibanding kedua wujud sebelumnya. Sistem nilai atau pandangan hidup ini bisa
berupa falsafah hidup atau kearifan lokal dari suatu masyarakat dalam memandang
atau memaknai lingkungan sekitarnya. Hal ini tiada lain adalah representasi dari pola
pikir atau pengetahuan atau logika masyarakat pengampu kebudayaan tertentu.
Selain itu, dalam konteks tinggalan budaya di sini, terdapat satu lagi bentuk
peninggalan yang merupakan wujud keempat, yakni lingkungan. Barangkali, muncul
pertanyaan dalam benak kita mengapa lingkungan dapat dikategorikan sebagai warisan
budaya? Lantas, lingkungan seperti apa yang termasuk peninggalan budaya? Sebelum
masuk pada pemaparan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya bila
mengetahui terlebih dahulu pengertian lingkungan di dalam tulisan ini.
(Ahimsa-Putra, 2004) menjelaskan bahwa lingkungan atau environment secara garis
besar dapat dibedakan berdasarkan (1) sifat atau keadaannya dan (2) asal-usulnya.
Lingkungan atas dasar kategori sifat ini masih dapat dipilah lagi menjadi:

Lingkungan fisik. Lingkungan fisik berupa benda-benda yang ada di sekitar kita,

makhluk hidup, dan segala unsur-unsur alam;


Lingkungan sosial. Lingkungan sosial meliputi perilaku-perilaku manusia atau
pelbagai aktivitas sosial yang berupa interaksi antarindividu serta berbagai aktivitas

individu; dan
Lingkungan budaya.

Lingkungan

ini

mencakup

pandangan-pandangan,

pengetahuan, norma-norma serta aturan-aturan yang berlaku dalam suatu


masyarakat.
Sedangkan, lingkungan yang dilihat dari asal-usulnya berupa: (1) lingkungan alami
(natural environment), di mana lingkungan jenis ini memiliki pengertian keseluruhan

unsur di luar diri manusia yang bukan ciptaan manusia, dan (2) lingkungan buatan
(built environment) yakni lingkungan yang merupakan hasil kreasi manusia.
Kembali ke pertanyaan di atas, tentu ada alasan yang mendasari, sehingga lingkungan
dapat dimasukkan ke dalam kategori warisan budaya, padahal bila melihat salah satu
jenis lingkungan, terdapat lingkungan yang bukan merupakan kreasi manusia di mana
hal ini kontradiktif dengan pemahaman mengenai budaya dan warisan budaya yang
telah dijelaskan di atas. Di sini, kita akan segera mengetahui alasannya.
Lingkungan dapat menjadi bagian dari tinggalan budaya oleh karena lingkungan
memainkan peran sebagai bagian yang tak terpisahkan bagi terciptanya kebudayaan itu
sendiri. Sebagai ilustrasi, dapat dibandingkan masyarakat pesisir atau nelayan di
sepanjang Pantai Utara Jawa di Cirebon, masyarakat nelayan di Kepulauan
Karimunjawa, atau masyarakat Suku Laut di Thailand Selatan dengan masyarakat
agraris, seperti masyarakat petani salak di Yogyakarta atau masyarakat petani kopi di
kawasan pegunungan Minahasa. Letak perbedaan pertama yang tampak dengan jelas
ialah kawasan atau lingkungan di mana mereka menjalani siklus kehidupannya (lahir,
bekerja, berinteraksi, kawin, dan sebagainya), yakni pegunungan atau dataran tinggi
dan pesisir atau pantai. Perbedaan kedua ialah pola pikir masyarakatnya atau cara
pandang mereka terhadap hidupnya. Pola pikir masyarakat pesisir dengan masyarakat
pegunungan sudah tentu berlainan. Perbedaan ini terletak pada tataran perangkat
pengetahuan (sistem simbol) masyarakat yang pada gilirannya mempengaruhi cara
mereka memaknai persoalan-persoalan atau hal-hal yang berkaitan dengan
lingkungannya, dengan hidupnya. Inilah yang dinamakan kearifan lokal, sebuah
pengetahuan yang khas pada masyarakat tertentu, yang muncul lewat penghayatan
manusia atas lingkungannya. Penghayatan terhadap lingkungan inilah yang kemudian
menghasilkan kearifan lokal atau kebudayaan yang khas pula, yakni sistem nilai, adatistiadat, dan artefak-artefak budaya).
Dengan demikian, lingkungan sebagai salah satu entitas penting dalam pembentukan
sebuah kebudayaan dapat dikategorikan sebagai warisan atau tinggalan budaya,
sehingga ia harus dilindungi dan dilestarikan.
Salah satu tempat yang saya sarankan untuk menjadi warisan budaya nasional adalah
keratin kasepuhan Cirebun hal ini dikarenakan Cirebon merupakan salah satu wilayah

di nusantara yang memiliki sejarah panjang kebudayaan Islam. Hal tersebut dapat
dilihat dari bangunan Keraton Kasepuhan Cirebon. Berlokasi di Jalan Keraton
Kasepuhan No 43, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwunkuk, Keraton
Kasepuhan sudah berdiri sejak tahun 1529

.
Pada awal pembangunannya, Keraton Kasepuhan dibangun oleh Pangeran Emas Zainul
Arifin dengan maksud untuk memperluas bangunan pesanggerahan Keraton Pangkuwati,
yaitu keraton pertama yang berdiri pada tahun 1430 di Kota Cirebon.
Keraton Kasepuhan menempati lahan seluas 25 hektar yang terdiri dari berbagai macam
bangunan. Bangunan Siti Hinggil merupakan bangunan pertama atau bangunan paling
terdepan saat pengunjung memasuki kawasan keraton.
Siti Hinggil yang berarti tanah yang tinggi disebut juga lemah duwur dalam bahasa
Cirebon. Siti Hinggil terbuat dari susunan bata merah dan memiliki gaya arsitektur
Majapahit yang mengikuti perkembangan zaman pada saat itu.

Di dalam kompleks Siti Hinggil terdapat lima bangunan tanpa dinding, dengan bangunan
utama bernama Malang Semirang. Bangunan ini memiliki enam tiang yang melambangkan
rukun iman. Namun secara keseluruhan, bangunan ini memiliki tiang berjumlah dua puluh
yang melambangkan sifat-sifat Allah.

Masuk lebih ke dalam kompleks keraton, pengunjung akan disambut gapura bergaya
Majapahit. Kata Gapura diambil dari bahasa arab, yaitu Al Ghafur yang memiliki makna
maha pengampun.

Selain itu, pengunjung juga bisa menyaksikan kereta keraton dan benda-benda pusaka di
gedung museum yang terdapat di dalam kompleks.

Sementara pada bagian paling belakang Keraton Kasepuhan terdapat Keraton Pangkuwati.
Keraton ini merupakan bangunan pertama yang dibangun Pangeran Cakrabuana selaku
Kuwu. uwu merupakan sebutan bagi pemerintah yang turut menyebarkan Islam di Cirebon.
Di dalam kompleks Keraton Pangkuwati, pengunjung juga bisa melihat dan merasakan
petilasan peninggalan Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati. Semua bangunan dan
berbagai koleksi tersebut masih terjaga dengan apik.
Sehingga menurut saya keraton kasepuhan Cirebon layak di jadikan warisan budaya
nasional karena memiliki sejarah yang panjang dan luas terhadap kebudayaan Indonesia,
selain itu keratin kasepuhan juga memiliki manfaat dari aspek memori kolektif karena

keraton kasepuhan menyimpan benda-benda pusaka serta benda benda peninggalan sejarah
serta dapat menjadi sarana edukasi khususnya sejarah selain itu keraton kasepuhan juga
sering dijadikan tempat berkumpul untuk mengadakan acara keagamaan untuk mempererat
silaturahmi masyarakat sektiar. Untuk menjadikan keratin kasepuhan sebagai warisan
budaya nasional di perlukan perhatian pemerintah dan masyarakat untuk memjaga,
memelihara dan melestarikan area keratin kasepuhan, seperti untuk pengunjung tidak boleh
melakukan vndalisme seperti mencoret dinding keraton dan menjaga kebersihan area
keraton sedangkan upaya dari pemerintah adalah memelihara bangunan yang sudah tua dan
melakukan proteksi pada objek objek bersejaran di area keraton

Daftar Pustaka:

Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Banjarsari: Pustaka


Pelajar.
Ihromi, T.O. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Yayasan Obor Indonesia.
Keesing, Roger M dan Samuel Gunawan (alih bahasa). 1989. Antropologi Budaya: Suatu
Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 2009.Pengantar Ilmu Antropolgi. Jakarta: Rineka Cipta.
Masinambow, E.K.M (ed). 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Jakarta:
Asosiasi Antropologi Indonesia.
Poerwanto,

Hari.

2005. Kebudayaan

Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

dan

Lingkungan:

Dalam

Perspektif

Anda mungkin juga menyukai