Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Pengertian Tenaga Kerja
Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna
menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
masyarakat.
Tenaga kerja merupakan modal utama serta pelaksanaan dari pembangunan
masyarakat pancasila. Tujuan terpenting dari pembangunan masyarakat tersebut
adalah kesejahteraan rakyat termasuk tenaga kerja. Tenaga kerja sebagai pelaksana
pembangunan harus di jamin haknya, diatur kewajibannya dan dikembangkan daya
gunanya. Dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER-04/MEN/1994
pengertian tenaga kerja adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan yang
belum wajib mengikuti program jaminan social tenaga kerja karena adanya
pentahapan kepesertaan.

B. Perlindungan Tenaga Kerja


Perlindungan tenaga kerja sangat mendapat perhatian dalam Hukum
Ketenagakerjaan. Beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, diantaranya mengatur hal itu.
1. Salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan (Pasal 4
huruf c).
2. Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi
untuk memperoleh pekerjaan (Pasal 6).
3. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa
diskriminasi dari pengusaha (Pasal 6).
4. Setiap tenaga kerja berhak memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya melalui pelatihan kerja (Pasal 11)
5. Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti
pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya (Pasal 12 ayat (3)).
6. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk
memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan

yang layak di dalam atau di luar negeri (Pasal 31).


7. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlindungan atas keselamatan dan
kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan
harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Pasal 86 ayat (1)).
8. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat (1)).
9. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan
sosial tenaga kerja (Pasal 99 ayat (1)).
10.Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh (Pasal 104 ayat (1)).

Secara yuridis Pasal 5 memberikan perlindungan bahwa setiap tenaga kerja


berhak mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan
lairan politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang
bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.
Sedangkan Pasal 6 mewajibkan kepada pengusaha untuk memberikan hak dan
kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama,
warna kulit, dan aliran politik.
Mengenai asas pemberlakuan ketentuan ketenagakerjaan terhadap semua
pekerja, dimana disebutkan bahwa semua ketentuan ketenagakerjaan berlaku
terhadap semua pekerja tanpa membedakan statusnya (Pasal 3 Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor PER-06/MEN/1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas),
Lingkup perlindungan terhadap pekerja/buruh menurut Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 meliputi:
1. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan
pengusaha;
2. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;
3. Perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang
cacat; dan
4. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja.

Perlindungan tenaga kerja bertujuan untuk menjamin berlangsungnya sistem


hubungan kerja secara harmonis tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang
kuat kepada pihak yang lemah. Untuk ini pengusaha wajib melaksanakan ketentuan
perlindungan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun dasar hukum perlindungan tenaga kerja sebagai berikut:


1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan.
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1950 tentang Waktu Kerja dan Wktu
Istirahat.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1954 tentang Istirahat Tahunan bagi
Buruh.
7. Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia dan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia Nomor KEP-275/MEN/1989 dan Nomor
POL.04/V/1989 tentang Pengaturan Jam Kerja, Shift dan Kerja Istirahat, serta
Pembinaan Tenaga Kerja Satuan Pengaman (Satpam).

Menurut Soepomo, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3 (tiga )


macam, yaitu :
1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di
luar kehendaknya.
2. Perlindungan sosial, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan
kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk
berorganisasi.
3. perlindungan teknis, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
keamanan dan keselamatan kerja.

C. Jenis Perlindungan kerja

1. Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja


Kesehatan kerja sebagaimana telah dikemukakan di atas termasuk jenis
perlindungan sosial karena ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini
berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, yaitu aturan-aturan yang bermaksud

mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pengusaha untuk


memperlakukan pekerja/buruh semaunya tanpa memperhatikan norma-norma
yang berlaku, dengan tidak memandang pekerja/buruh sebagai mahluk Tuhan yang
mempunyai hak asasi.
Karena sifatnya yang hendak mengadakan pembatasan ketentuanketentuan perlindungan sosial dalam UU No. 13 Tahun 2003, Bab X Pasal 68 dan
seterusnya bersifat memaksa, bukan mengatur. Akibat adanya sifat memaksa
dalam ketentuan perlindungan sosial UU No. 13 Tahun 2003 ini, pembentuk undangundang memandang perlu untuk menjelaskan bahwa ketentuan yang berkaitan
dengan perlindungan sosial ini merupakan hukum umum (Publiek-rechtelijk)
dengan sanksi pidana
Jadi, jelasnya kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga
pekerja/buruh dari kejadian/keadaan hubungan kerja yang merugikan kesehatan
dan kesusilaannya dalam hal pekerja/buruh melakukan pekerjaannya. Adanya
penekanan dalam suatu hubungan kerja menunjukkan bahwa semua tenaga kerja
yang tidak melakukan hubungan kerja dengan pengusaha tidak mendapatkan
perlindungan sosial sebagaimana ditentukan dalam Bab X UU No 13 Tahun 2003.

2.

Perlindungan Teknis Atau Keselamatan Kerja

Keselamatan kerja termasuk dalam apa yang disebut perlindungan teknis,


yaitu perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang dapat
ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan.
Berbeda dengan perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan untuk
kepentingan pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan
perlindungan kepada pekerja/buruh, tetapi kepada pengusaha dan pemerintah.
Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan
menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga pekerja/buruh dapat
memusatkan perhatian pda pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa
khawatir
sewaktu-waktu
akan
tertimpa
kecelakaan
kerja.
Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam
perusahaannya akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat
mengakibatkan pengusaha harus memberikan jaminan sosial.
Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya peraturan
keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah untuk
mensejahterakan masyrakat akan tercapai dengan meningkatnya produksi
perusahaan baik kualitas maupun kuantitas.
Dasar pembicaraan masalah keselamatan kerja ini sampai sekarang adalah UU No 1
Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Namun, sebagian besar peraturan
pelaksanaan undang-undang ini belum ada sehingga beberapa peraturan warisan

Hindia Belanda masih dijadikan pedoman dalam pelaksanaan keselamatan kerja di


perusahaan. Peraturan warisan Hindia Belanda itu dalah sebagai berikut :
a. Veiligheidsreglement, S 1910 No. 406 yang telah beberapa kali dirubah,
terakhir dengan S. 1931 No. 168 yang kemudian setelah Indonesia merdeka
diberlakukan dengan Peraturan Pemerintah No. 208 Tahun 1974. Peraturan ini
menatur tentang keselamatan dan keamanan di dalam pabrik atau tempat
bekerja.
b. Stoom Ordonantie, S 1931 No. 225, lebih dikenal dengan peraturan Uap
1930.
c. Loodwit Ordonantie, 1931 No. 509 yaitu peraturan tentang pencegahan
pemakaian timah putih kering.

3. Perlindungan ekonomis atau Jaminan Sosial


Penyelenggara program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab
dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada
masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara, Indonesia
seperti halnya berbagai Negara berkembang lainnya, mengembangkan program
jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai
oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.
Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja
dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang
hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang
dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua
dan meninggal dunia.
Dari pengertian diatas jelaslah bahwa jaminan sosial tenaga kerja adalah
merupakan perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang
( jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan tabungan hari tua ), dan pelyanan
kesehatan yakni jaminan pemeliharaan kesehatan.
Jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang Undang Nomor. 3 Tahun
1992 adalah :
a. Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhanhidup minimal
bagi tenaga kerja beserta keluarganya.
b. Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja mendidik kemandirian pekerja
sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasihan orang lain jika dalam
hubungan kerja terjadi resiko resiko seperti kecelakaan kerja, sakit, hari tua
dan lainnya.

D. Rumusan Masalah

1. Perlindungan Perkerja Perempuan


2. Perlindungan Perkerja Anak
3. Perlindungan Perkerja Cacat

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perlindungan Perkerja Perempuan


Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
disebutkan bahwa,Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk masyarakat.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan Pekerja
Wanita adalahTenaga Kerja Wanita dalam jangka waktu tertentu berdasarkan
perjanjian kerja denganmenerima upah.Aturan hukum untuk pekerja perempuan
ada yang berbeda dengan pekerja laki-laki,seperti cuti melahirkan, pelecehan
seksual di tempat kerja, jam perlindungan dan lain-lain
Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita berpedoman pada
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya Pasal
76, 81, 82,83, 84, Pasal 93, Kepmenaker No. 224 tahun 2003 serta Peraturan
Perusahaan atau perjanjian kerja bersama perusahaan yang meliputi:

a. Perlindungan Jam Kerja


Perlindungan dalam hal kerja malam bagi pekerja wanita (pukul 23.00 sampai
pukul07.00). Hal ini diatur pada pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentangKetenagakerjaan. Tetapi dalam hal ini ada pengecualiannya yaitu pengusaha
yangmempekerjakan wanita pada jam tersebut wajib:

1. Memberikan makanan dan minuman bergizi


2. Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
3. Menyediakan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan
pulang bekerjaantara pukul 23:00 05:00

Tetapi pengecualian ini tidak berlaku bagi pekerja perempuan yang berumur
di bawah 18 (delapan belas) tahun ataupun perempuan hamil yang berdasarkan
keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya
apabila bekerja antara pukul 23.00 07:00.
Dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak memberikan
makanan dan minuman bergizi tetapi diganti dengan uang padahal ketentuannya
tidak boleh digantidengan uang.

b. Perlindungan dalam masa haid


Padal Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan diaturmasalah perlindungan dalam masa haid. Perlindungan
terhadap pekerja wanita yangdalam masa haid tidak wajib bekerja pada hari
pertama dan kedua pada waktu haiddengan upah penuh. Dalam pelaksanaanya
lebih banyak yang tidak menggunakanhaknya dengan alasan tidak mendapatkan
premi hadir.

c. Perlindungan Selama Cuti Hamil


Sedangkan
pada
pasal
82
Undang-Undang
Nomor
13
tahun
2003
tentangKetenagakerjaan mengatur masalah cuti hamil. Perlindungan cuti hamil
bersalin selama1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah
melahirkan dengan upah penuh,.

d.

Pemberian Lokasi Menyusui

Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


mengaturmasalah ibu yang sedang menyusui. Pemberian kesempatan pada pekerja
wanita yanganaknya masih menyusui untuk menyusui anaknya hanya efektif untuk
yang lokasinyadekat dengan perusahaan

e. Peranan Penting Dinas tenaga Kerja

Peran Dinas Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan hukum terhadap


pekerja wanit yakni dengan melalui pengesahan dan pendaftaran PP & PKB
Perusahaan pada Dinas Tenaga Kerja, Sosialisasi Peraturan Perundangan di bidang
ketenagakerjaan dan melakukan pengawasan ke Perusahaan.

f.

Hambatan-Hambatan Hukum Bagi Pekerja Wanita

Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum


terhadap pekerja wanita adalah adanya kesepakatan antara pekerja dengan
pengusaha yang kadang menyimpang dari aturan yang berlaku, tidak adanya
sanksi dari peraturan perundangan terhadap pelanggaran yang terjadi, faktor
pekerja sendiri yang tidak menggunakan haknya dengan alasan ekonomi.
Agar langkah ini dapat efektif maka negara harus menjabarkannya dan
mengusahakan untuk memasukkan jabaran konvensi tersebut ke dalam rumusan
undang-undang negara dan menegakkannya dengan cara mengajukan para
pelanggarnya ke muka sidang pengadilan. Namun demikian, perempuan sendiri
masih belum banyak yang sadar bahwa hak-haknya dilindungi dan bahwa hal
tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan perempuan. Adalah sangat
prematur untuk mengadakan bahwa CEDAW sudah dihormati dan dilaksanakan
secara universal.
CEDAW memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak
melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan bahwa
diskriminasi terhadap perempuan adalah perlakuan yang berbeda berdasarkan
gender yang:
a. Secara sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan;
b. Mencegah masyarakat secara keseluruhan memberi pengakuan terhadap hak
perempuan baik di dalam maupun di luar negeri; atau
c. Mencegah kaum perempuan menggunakan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar yang dimilikinya.
Perempuan mempunyai atas perlindungan yang khusus sesuai dengan fungsi
reproduksinya sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat (1) CEDAW huruf f bahwa
hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja termasuk usaha
perlindungan terhadap fungsi reproduksi.
Selain itu seringkali adanya pemalsuan dokumen seperti nama, usia, alamat
dan nama majikan sering berbeda dengan yang tercantum di dalam paspor. Tenaga
kerja yang tidak berdokumen tidak diberikan dokumen perjanjian kerja. Hal ini juga
sering terjadi pada pekerja perempuan yang bekerja di luar negeri. Maka untuk itu
CEDAW pada pasal 15 ayat (3) mengatur yaitu negara-negara peserta bersepakat
bahwa semua kontrak dan semua dokumen yang mempunyai kekuatan hukum,
yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan hukum para wanita, wajib dianggap
batal dan tidak berlaku.

g. Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan Konvensi ILO


Konvensi ILO Nomor 45 tentang Kerja wanita dalam semua macam tambang
di bawah tanah. Isi Pasal 2 menyebutkan bahwa setiap wanita tanpa memandang
umurnya tidak boleh melakukan pekerjaan tambah di bawah tanah.
Pengecualiannya terdapat pada pasal 3.
Dalam konvensi ILO Nomor 100 mengenai Pengupahan Bagi Laki-Laki dan
Wanita untuk Pekerjaan yang Sama nilainya menyebutkan, Pengupahan meliputi
upah atau gaji biasa, pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan tambahan
apapun juga, yang harus dibayar secara langsung atau tidak, maupun secara tunai
atau dengan barang oleh pengusaha dengan buruh berhubung dengan pekerjaan
buruh.
Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan
berakhir pada saat hubungan kerja putus. Pengusaha dalam menetapkan upah tidak
boleh diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang
sama nilainya.

B. Perlindungan Perkerja Anak

a.

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68), yaitu setiap orang yang berumur dibawah
18 (delapan belas) tahun (Pasal 1 nomor 26).

b.

Ketentuan tersebut dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 tahun sampai 15 tahun
untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dari kesehatan
fisik, mental dan sosial (Pasal 69 ayat( 1)).

c.

Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan tersebut harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a) Ijin tertulis dari orang tua/wali.
b) Perjanjian kerja antara orang tua dan pengusaha
c) Waktu kerja maksimal 3 (tiga) jam
d) Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.
e) Keselamatan dan kesehatan kerja

f) Adanya hubungan kerja yang jelas


g) Menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku.

d. Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak
harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa (Pasal 72).
e.

Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya
(Pasal 73).

f.

Siapapun dilarang mempekerjakan anak pada pekerjaan yang buruk, tercantum dalam Pasal 74

ayat (1). Yang dimaksud pekerjaan terburuk seperti dalam Pasal 74 ayat (2), yaitu :
a) Segala pekerjaan dalam bentuk pembudakan atau sejenisnya.
b) Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi

dan perdagangan minuman keras,narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.Segala


pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk pelacuran,
produksi pornografi, pertunjukan porno, perjudian.

Segala pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.

C. Perlindungan Perkerja Cacat

Pasal 67 UU No. 13 th 2003 menyatakan bahwa, pengusaha yang


mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Perlindungan dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perlindungangan terhadap penyandang cacat ini pengaturannya selai dalam
undang-undang ketenagakerjaan ini juga diatur dalam UU No. 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, disebutkan dalam pasal 13, bahwa setiap penyandang cacat
mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan
jenis dan derajat kecacatanya.
Perlindungan ini antara lain :

peneyediaan

aksesibilitas,

yaitu

kemudahan

yang

disediakan

bagi

penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala


-

aspek kehidupan dan penghidupan


pemberian alat kerja, dan
pemebrian alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat
kecacatannya.

Perlindungan ini merupakan bentuk pengakuan HAM yang memenuhi ketentuan UU


HAM No. 39 th 1999 yaitu dalam pasal 41 ayat 2 dan pasal 42.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan pada Bab II dapat disimpulkan:
1. Pelaksanaan peraturan perundangan tentang ketenagakerjaan tersebut,
khususnya dalam perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan

dilaksanakan oleh pemerintah, pengusaha dan pekerja pada perusahaanperusahaan.


2. Pemerintah dan pelaksana peraturan perundangan tersebut telah melakukan
pengawasan dalam pelaksanaan peraturan perundangan tersebut, dengan
memperhatikan aspek sosial, ekonomi, politik, budaya dan kultur yang
berkembang dalam masyarakat.
3. Peraturan perundangan yang dibuat pemerintah tentang perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja sudah cukup untuk mengatur dan
memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja
perempuan, yaitu memberikan perempuan berserikat dan berdemokrasi di
tempat kerja, perlindungan tenaga kerja perempuan terhadap diskriminasi,
perlindungan terhadap pemenuhan hak-hak dasar pekerja, perlindungan
terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.

B. SARAN
Mengingat masih banyak perusahaan dalam hal ini pengusaha meskipun
sudah

mengetahui

peraturan

yang

berlaku

tetapi

tidak

melaksanakannya

sebagaimana mestinya, perlu dikenakan sanksi bagi pengusaha yang tidak


melaksanakan peraturan tersebut oleh pihak yang berwenang demi tercapainya
hubungan industrial, adanya saling membutuhkan antara pihak pengusaha dan
tenaga kerja khususnya tenaga kerja wanita. Selain itu pemerintahan harus
meningkatkan pengawasannya terhadap pengusaha yang mempekerjakan pekerja
wanita apakah sudah mentaati peraturan yang ada atau belum. Dan peran aktif
kesadaran pekerja wanita sendiri serta perusahaan juga sangat diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Asyhadie, Zaeni. 2005. Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya Di Indonesia.


Jakarta: RajaGrafindo Persada (Rajawali Perss).

Agusmidah, 2010. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia: Dinamika & Kajian Teori.


Jakarta: Ghalia Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai