Anda di halaman 1dari 25

Makassar,15 Desember 2014

LAPORAN HASIL TUTORIAL


LESU

KELOMPOK 10
Anggota :
Rezky Andika Putry

(11020120007)

Shilla Humairah

(11020120030)

Al Husna Pratiwi A

(11020120031)

Abdul Rahman

(11020120062)

Slamet Salam Iwan M

(11020120063)

A. Dwi Rahayu

(11020120091)

Gina Puspita Sari

(11020120092)

Nurkhaerani Ali Anshar

(11020120120)

Arisca Ade Tahir

(11020120121)

Andi Arfiah Haj S

(11020120143)

Ayudini Oktavia

(11020120159)

Dosen Pembimbing:
dr. Berry Erida Hasbi

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2013

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya
sehingga laporan hasil tutorial pertama modul Lesu pada Skenario A dari
kelompok 10 ini dapat terselesaikan dengan baik. Dan tak lupa kami kirimkan
salam dan shalawat kepada nabi junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW.
yang telah membawa kita dari alam yang penuh kebodohan ke alam yang penuh
kepintaran.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang telah membantu
dalam pembuatan laporan ini dan yang telah membantu selama masa tutorial
khususnya kepada dosen pembimbing kami, dr. Berry Erida Hasbi yang telah
banyak membantu selama proses PBL berlangsung. Dan kami juga mengucapkan
permohonan maaf kepada setiap pihak jika dalam proses PBL telah berbuat salah
baik disengaja maupun tidak disengaja.
Semoga Laporan hasil tutorial ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak yang telah
membaca laporan ini dan khusunya bagi tim penyusun sendiri. Diharapkan setelah
membaca laporan ini dapat memperluas pengetahuan pembaca mengenai tropis.

Kelompok 10

SKENARIO A
Seorang laki-laki berumur 28 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan lesu.
Gejala ini juga disertai dengan penurunan nafsu makan dan rasa ingin muntah,
tidak mempunyai keinginan beraktivitas dan kadang demam ringan. Keluhan
dialami sejak 4 bulan yang lalu setelah pergi berlibur di Kabupaten Mamuju
selama 1 bulan. Pada pemeriksaan fisis ditemukan pembesaran kelenjar limfe
inguinal dan kaki kanan tampak sedikit bengkak.
KATA SULIT
Tidak ada
KATA KUNCI
1. Laki-laki umur 28 tahun
2. Lesu 4 bulan lalu
3. Mual, nafsu makan turun, rasa ingin muntah, malas beraktifitas
4. Kadang demam ringan
5. Riwayat berlibur di Kabupaten Mamuju
6. Pemeriksaan fisis : pembesaran kelenjar limfe inguinal dan kaki kanan
tampak sedikit bengkak
PERTANYAAN
1. Jelaskan patomekanisme lesu, mual, dan penurunan nafsu makan !
2. Mengapa terjadi limfadenopati inguinal ?
3. Mengapa terjadi pembengkakan di kaki kanan pasien ?
4. Apa hubungan gejala dengan tempat yang dikunjungi pasien ?
5. Sebutkan penyakit di daerah tropis yang memberikan gejala utama lesu !
6. Bagaimana langkah-langkah diagnosis yang sesuai untuk skenario ?
7. Sebut dan jelaskan diferensial diagnosis untuk skenario !
8. Bagaimana tindakan pencegahan penyakit yang ada di daerah tropis ?

JAWABAN
1. Jelaskan patomekanisme kelemahan, mual, dan penurunan nafsu makan!
Infeksi merupakan bagian dari kehidupan yang universal. Tumbuhan dan
hewan dari segala ukuran dan bentuk pernah diduduki oleh bebrbagai mikroba
hidup, tidak terkecuali manusia. Syarat timbulnya infeksi adalah bahwa organism
yang menular harus mampu melekat, menduduki atau memasuki hospes dan
berkembang biak paling tidak sampai taraf tertentu.1
Lapisan mulut dan sebagian besar faring serupa dengan kulit karena terdiri
dari epitel berlapis yang merupakan bagian dari barier mekanis untuk mencegah
invasi mikroba. Namun, narrier mekanis ini sebenarnya memiliki kelemahan
disepanjang gusi dan daerah tonsil. Mukosa orofaring juga didekontaminasi oleh
aliran saliva yang dengan muda menghanyutkan partikel-partikel yang ada.1
Mukosa lambung adalah tipe kelenjar dan bukan merupakan barier mekanis
yang baik. Sering terjadi luka-luka kecil atau erosi pada lapisan lambung. Selain
itu, lambung cenderung memindahkan isinya ke usus halus dengan proses yang
relative cepat. Lapisan usus halus jugan barier mekanik yang baik, dan secaara
mudah dapat ditembus dan juga bila motilitas usus terganggu, maka jumlah
mikroba dalam usus halus akan meningkat tajam dan kemudian dapat menginvasi
mukosa.1
Jika agen yang menular berhasil menembus salah satu barier tubuh dan
memasuki jaringan, maka barisan pertahan berikutnya adalah reaksi peradangan
akut. Maka aliran limfe dipercepat pada keadaan radang akut. Sayangnya, hakini
berarto bahwa agen-agen menular kadang-kadang juga ikut menyebar dengan
cepat sepanjang pembuluh limfe persamaan dengan aliran limfe tersebut. Kadangkadang mengakibatkan limfangitis.1
Jika penyebaran agen menular tidak terhent pada kelenjar limfe atau jika egen
tersebut langsung memasuki vena pada saat pertama kali, maka dapat terjadi
infeksi pada liran darah. Tapi ditangani oleh makrofag dari system monosit,namun
jika organism yang masuk in berjumlah sangat besar dan jika organism tersebut
cukup resiten, maka system makrofag daoat ditaklukan. Hal ini mengakibatkan
organisem tersebut dapat menetap dalam darah, dan menimbulkan gejala-gejala

malaise, kelemahan dan tanda demam, menggigil da sebagainya. Keadaan ini


dinamakan sepsis.1
2. Mengapa terjadi limfadenopati inguinal ?
Karena akibat inflamasi yang ditimbulkan oleh cacing dewasa. Cacing
dewasa hidup di pembuluh getah bening aferen atau sinus kelenjar getah bening
dan menyebabkan pelebaran pembuluh getah bening dan penebalan dinding
pembuluh. Infiltrasi sel plasma, eosinofil dan makrofag didalam dan sekitar
pembuluh getah bening yang mengalami inflamasi bersama dengan proliferasi sel
endotel dan jaringan penunjang, menyebabkan berliku likunya sistem limfatik dan
kerusakan katup getah bening.2
Limfedema dan perubahan kronik akibat statis bersama dengan edema keras
terjadi pada kulit yang mendasarinya. Perubahan perubahan yang terjadi akibat
filarisasi ini disebabkan oleh efek langsung dari cacing ini dan oleh respon imun
terhadap parasit. Respon imun ini dipercaya menyebabkan proses granulomatosa
dan proliferasi yang menyebabkan obstruksi total pembuluh getah bening. Diduga
bahwa pembuluh-pembuluh tersebut tetap paten selama cacing tetap hidup dan
bahwa kematian cacing tersebut menyebabkan reaksi granulomatosa dan fibrosis.
Dengan demikian terjadilah obstruksi limfatik dan penurunan fungsi limfatik.2
3. Mengapa terjadi pembengkakan di kaki kanan pasien ?
Karena adanya larva infektif yang masuk melalui kulit dan kemudian kulit
dalam aliran limfe dan bersarang di kelenjar limfe inguinal. Larva infektif ini
kemudian tumbuh menjadi dewasa dan membuang sisa-sisa metabolisme dari
tubuhnya yang menyebabkan terjadinya bengkak atau pembesaran kelenjar
limfeinguinal.3

4. Apa hubungan gejala dengan tempat yang dikunjungi pasien ?

Dari data 10 penyakit terbesar diatas umumnya disebabkan oleh faktor


lingkungan yang kurang sehat, penyebab lain yaitu perilaku hidup bersih dan
sehat, serta sebagian diantaranya adalah penyakit degenaratif yang faktor
determinan disebabkan oleh perubahan pola hidup dan pola makan yang tidak
seimbang yang memberikan keluhan dan kelainan yang dirasakan oleh tubuh
seperti Hipertensi/Tekanan darah tinggi serta kelalaian dalam beraktifitas seperti
terjadinya kecelakaan dan ruda paksa, Penyakit pada sistem otot dan jaringan
pengikat. Tingginya angka penyebab penyakit yang bersumber dari lingkungan
yang kurang sehat dan pola perilaku hidup bersih dan sehat adalah tidak lepas dari
kemampuan ekonomi masyarakat dalam memperbaiki kondisi kehidupan baik
lingkungan pemukiman maupun lingkungan rumah tempat tinggal, 123.356
penduduk masih tergolong dalam masyarakat miskin, walaupun masyarakat telah
mampu memikirkan bagaimana upaya dalam meningkatkan kesejahteraannya,
namun masih terbatas pada kemampuan ekonomi yang dimiliki sehingga pola
pikir sebahagian masyarakat masih memprioritaskan pada kebutuhan pokok
pangan, sandang dan papan dan belum terlalu menjadi prioritas utama masalah
kesehatan.
Diketahui bahwa dari sepuluh penyakit terbesar tersebut yang peringkat
pertama adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA ) dengan persentase

24,89% disusul penyakit malaria klinis dengan persentase 10.36% dan penyakit
pada kulit alergi dan dengan persentase 10,28%.4
Dalam modul eliminasi penyakit gajah yang diterbitkan oleh Depkes RI
melalui ditjen PPM dan PL direktorat P2B2 subdit filariasis dan scistosomiasis
.endemisitas kejadian filariasis salah satunya juga terdapat di kabupaten Mamuju,
Sulbar . Terbukti sampai pada tahun 2010 pemerintah setempat (berkoordinasi
dengan subdit filariasis dan Schistosomatis , Direktorat P2B2 ,ditjen PP dan PL .
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia ) masih memberikan obat anti filaria
secara massal ada warganya. Hal ini menunjukkan bahwa masih tingginya
kejadian filariasis di derah tersebut.5
Pada skenario Kab.Mamuju merupakan tempat liburan pasien . Sedangkan
kab.mamuju adalah salah satu daerah yang endemis dengan penyakit menular
salah satunya adalah filariasis . Dapat dicurigai pasien digigit nyamuk(vektor)
yang telah terjangkit oleh mikrofilaria sehingga menimbulkan gejala-gejala klinis
seperti yang dipaparkan pada skenario.5

I.

5. Bagaimana langkah-langkah diagnosis yang sesuai untuk skenario ?


Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan untuk melakukan evaluasi pada pasien terkait

skenario yang ada ialah :


a) Menanyakan keluhan utama
b) Menggali riwayat penyakit sekarang :
a. Onsetnya
b. Frekuensi
c. Sifatnya
d. Yang membuat keluhan semakin bertambah sakitnya dan yang

c)

d)
e)
f)

membuat keluhannya ringan


e. Awal mula perjalanan sakit yang dikeluhkan muncul
Gejala lain yang menyertai
a. Adakah mual muntah yang dirasakan
b. Bagaimana buang air besar dan buang air kecil
c. Adakah demam atau tidak
d. Apakah ada penurunan nafsu makan
e. Ada penurunan berat badan atau tidak
Apakah pernah berobat kedokter sebelumnya atau tidak ?
Riwayat minum obat apa sebelum dan selama keluhan sakit muncul
Riwayat penyakit terdahulu

II.

f. Apakah pasien pernah menderita ini sebelumnya atau tidak


g) Riwayat penyakit keluarga/lingkuhan
h) Riwayat kontak/bepergian kedaerah yang endemik sebelumnya
Pemeriksaan fisis
a) Inspeksi : keadaan umum, pucat, anemis, ikterus, pembesaran organ atau
pembesaran bagian tubuh yang nampak abnormal
b) Palpasi : nyeri tekan, pembesaran organ (hepatomegali, splenomegali,
dsb), pengukuran IMT, pengukuran suhu, nadi, pernapasan serta tekanan
darah
c) Perkusi : apabila terdapat kelainan maka perkusi abdomen yang

III.

seharusnya timpani akan berbeda


d) Auskultasi : untuk mendengar bising usus.
Pemeriksaan penunjang
a) Apusan darah tepi : ditemukan leukositosis dengan eosinophilia 10-30%,
serta akan ditemukan makrofilaria tetapi pada umumnya makrofilaria aktif
pada malam hari terutama dari pukul 22.00 hingga 02.00 dini hari. Dan
akan sangat Nampak jika diwarnai pakai pewarnaan Giemsa atau wright.
Spesimen yang diambil sebaiknya darah kapiler dibanding dengan darah
vena
b) Urine dan feses
c) Serologi ELISA dan ICT : sensitivitas keduanya berkisar antara 96-100%
dan spesifitas mendekati 100%. Teknik pemeriksaan menggunakan
antibodi monoclonal. 6
6. Sebut dan jelaskan diferensial diagnosis untuk skenario !

FILARIASIS
Filariasis adalah penyakit menular (Penyakit Kaki Gajah) yang disebabkan
oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini
bersifat menahun ( kronis ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat
menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin
baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara
optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban
keluarga, masyarakat dan negara.7

Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di seluruh provinsi.


Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat
sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi
sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Hasil
survei laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata mikrofilaria rate
(Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan
sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan karena vektornya
tersebar luas.7
WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global (The Global Goal of
Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year
2020). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan DEC
dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun di lokasi yang endemis dan
perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan
dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan eliminasi penyakit
kaki gajah secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten. Perluasan
wilayah akan dilaksanakan setiap tahun. Penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga
spesies cacing filarial yaitu; Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori.
Vektor penular : di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies
nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang
dapat berperan sebagai vektor penular penyakit kaki Gajah.7
DEFINISI FILARIASIS
Filariasis adalah suatu penyakit yang sering pada daerah subtropik dan tropik,
disebabkan oleh parasit nematoda pada pembuluh limfe seperti Wuchereria
Bancrofti. Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing yang menyerang jaringan
viscera,

parasit

ini

termasuk

kedalam

superfamili

Filaroidea,

family

onchorcercidae. Menurut lokasi kelainan yang ditimbulkan, terdapat dua golongan


filariasis, yaitu yang menimbulkan kelainan pada saluran limfe (filariasis limfatik)
dan jaringan subkutis (filariasis subkutan).7

Penyebab utama filariasis limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Brugia


malayi dan Brugia timori sedangkan filariasis subkutan disebabkan oleh
Onchorcercia spp. Filariasis limfatik yang disebabkan oleh W.bancrofti disebut
juga sebagai Bancroftian filariasis dan yang disebabkan oleh Brugia malayi
disebut sebagai Malayan filariasis. Filariasis limfatik ditularkan melalui gigitan
nyamuk Anopheles spp., Culex spp., Aedes spp. dan Mansonia spp. Filariasis
limfatik merupakan penyebab utama dari kecacatan didaerah endemic sehingga
merupakan masalah kesehatan masyarakat utama.Pada tahun 1997, diperkirakan
paling tidak 128 juta orang terinfeksi, diantaranya adalah anak usia dibawah 15
tahun, 115 juta oleh W. bancrofti dan 15 juta oleh Brugia spp. Penyakit ini tidak
dijumpai lagi di Amerika Utara, Australia, Jepang, dan di beberapa negara
termasuk China.7
Di Indonesia, filariasis merupakan penyakit menular yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Di Jawa Barat, hingga November 2008, sebanyak
875 orang telah positif terjangkit filariasis, bahkan 420 orang di antaranya
termasuk penderita kronik,dengan penyebab utama W.bancrofti. Pada beberapa
tahun belakangan terjadi peningkatan kasus limfatik filariasis di daerah perkotaan
( urban lymphatic filariasis) yang disebabkan oleh peningkatan populasi penderita
di per- kotaan akibat urbanisasi dan tersedianya vektor di daerah tersebut.7

DAUR HIDUP FILARIASIS


Larva infektif ( larva stadium 3 ) ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk, beberapa jam setelah masuk kedalam darah, larva berubah menjadi
stadium 4 yang kemudian bergerak menuju kelenjar limfe. Sekitar 9 bulan
kemudian larva ini berubah menjadi cacing dewasa jantan dan betina, cacing
dewasa ini terutama tinggal di saluran limfe aferens, terutama di saluran limfe
ekstremitas bawah ( inguinal dan obturator ), ekstremitas atas ( saluran limfe
aksila ), dan untuk W.bancrofti ditambah dengan saluran limfe di daerah genital
laki-laki ( epididimidis, testis, korda spermatikus ). Melalui kopulasi, cacing

betina mengeluarkan larva stadium 1 (bentuk embrionik/mikrofilaria ) dalam


jumlah banyak, dapat lebih dari 10.000 per hari. Mikrofilaria masuk ke dalam
sirkulasi darah mungkin melalui duktus thoracicus, mikrofilaremia ini terutama
sering ditemukan pada malam hari antara tengah malam sampai jam 6 pagi.7
Pada saat siang hari hanya sedikit atau bahkan tidak ditemukan
mikrofilaremia, pada saat tersebut mikrofilaria berada di jaringan pembuluh darah
paru. Penyebab periodisitas nokturnal ini belum diketahui, namun diduga sebagai
bentuk adaptasi ekologi lokal, saat timbul mikrofilaremia pada malam hari, pada
saat itu pula kebanyakan vektor menggigit manusia. Diduga pula pH darah yang
lebih rendah saat malam hari berperan dalam terjadinya periodisitas nokturnal.
Darah yang mengandung mikrofilaria dihisap nyamuk, dan dalam tubuh nyamuk
larva mengalami pertumbuhan menjadi larva stadium 2 dan kemudian larva
stadium 3 dalam waktu 10 12 hari. Cacing dewasa dapat hidup sampai 20 tahun
dalam tubuh manusia, rata-rata sekitar 5 tahun . 7

KLASIFIKASI
Limfedema pada filariasis bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai.
Limfedema tungkai ini dapat dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:
Tingkat 1.
Edema pitting pada tungkai yang dapat kembali normal (reversibel) bila tungkai
diangkat.
Tingkat 2.
Pitting/ non pitting edema yang tidak dapat kembali normal (irreversibel) bila
tungkai diangkat.

Tingkat 3.
Edema non pitting, tidak dapat kembali normal (irreversibel) bila tungkai
diangkat, kulit menjadi tebal.
Tingkat 4.
Edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit
(elephantiasis).
GEJALA KLINIS FILARIASIS
Manifestasi gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem
limfatik dengan konsekuensi limfangitis dan limfadenitis. Selain itu, juga oleh
reaksi hipersensitivitas dengan gejala klinis yang disebut occult filariasis. Dalam
proses perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan limfangitis dan limfadenitis
akut berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem
limfatik. Perjalanan penyakit berbatas kurang jelas dari satu stadium ke stadium
berikutnya, tetapi bila diurutkan dari masa inkubasi dapat dibagi menjadi:
1. Masa prepaten
Merupakan masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya
mikrofilaremia yang memerlukan waktu kira-kira 37 bulan. Hanya sebagian dari
penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok
mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat
bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang asimtomatik baik mikrofilaremik
ataupun amikrofilaremik.
2. Masa inkubasi
Merupakan masa antara masuknya larva infektif hingga munculnya gejala
klinis yang biasanya berkisar antara 8-16 bulan.
3. Gejala klinik akut

Gejala klinik akut menunjukkan limfadenitis dan limfangitis yang disertai


panas dan malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan
gejala klinis akut dapat mikrofilaremik ataupun amikrofilaremik.
Filariasis bancrofti
Pada filariasis yang disebabkan Wuchereria bancrofti pembuluh limfe alat
kelamin laki-laki sering terkena disusul funikulitis, epididimitis dan orchitis.
Limfadenitis inguinal atau aksila, sering bersama dengan limfangitis retrograd
yang umumnya sembuh sendiri dalam 3-15 hari. Serangan biasanya terjadi
beberapa kali dalam setahun. 8
Filariasis brugia
Pada filariasis yang disebabkan Brugia malayi dan Brugia timori limfadenitis
paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah bekerja keras.
Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh limfe menjadi keras dan
nyeri, dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Penderita
tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12 kali dalam
satu tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat
menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas,
setelah 3 minggu hingga 3 bulan. 8
4. Gejala menahun
Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama.
Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan limfadenitis masih
dapat terjadi. Gejala kronis ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu
aktivitas penderita serta membebani keluarganya.8
Filariasis bancrofti
Keadaan yang sering dijumpai adalah hidrokel. Di dalam cairan hidrokel
dapat ditemukan mikrofilaria. Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh

tungkai atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dengan ukuran
pembesaran di tungkai dapat 3 kali dari ukuran asalnya.C hyl uri a dapat terjadi
tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita menyebabkan penurunan berat
badan dan kelelahan.8
Filariasis brugia
Elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan bawah.
Ukuran pembesaran ektremitas umumnya tidak melebihi 2 kali ukuran asalnya.8
DIAGNOSA
1.

Diagnosis Klinik
Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik.

Diagnosis klinik penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan


menahun(Acute and Chronic Disease Rate). Pada keadaan amikrofilaremik, gejala
klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis adalah gejala dan tanda
limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan gejala menahun. 8
2.

Diagnosis Parasitologik
Diagnosis parasitologik ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria pada

pemeriksaan darah kapiler jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat dilakukan
siang hari, 30 menit setelah diberi DEC 100 mg. Dari mikrofilaria secara
morfologis dapat ditentukan species cacing filaria.8
3.

Radiodiagnosis
Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar limfe

inguinal penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak- gerak


(filarial dance sign). Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran
atau albumin yang dilabel dengan radioaktif akan menunjukkan adanya

abnormalitas sistem limfatik, sekalipun pada penderita yang mikrofilaremia


asimtomatik.8
4.

Diagnosis Immunologi
Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi,

amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi antibodi


dan/atau antigen dengan cara immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang
diagnosis. Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan
mikrofilaremia, tidak membedakan infeksi dini dan infeksi lama. Deteksi antigen
merupakan deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih
mendekati diagnosis parasitologik. Gib 13, antibodi monoklonal terhadapO.
Gibsoni menunjukkan korelasi yang cukup baik dengan mikrofilaremiaW.bancr
ofti di Papua New Guinea.8
DIAGNOSA BANDING FILARIASIS
Pasien yang datang dengan pitting edema, lihat apakah kurang dari 40 detik
atau lebih dari 40 detik. Jika kurang dari 40 detik maka hipoalbuminemia yang
dapat disebabkan oleh penurunan sintesis protein atau peningkatan kehilangan
protein. Jika lebih dari 40 detik maka normoalbuminemia yang dapat disebabkan
olehv e nous hypertension dan identifikasi apakah ada peningkatan tekanan vena
leher. Jika ada maka systemic venous hypertension (cardiac diseases) dan jika
tidak makav e nous insufficiencyata u obstruction.8
Selain itu, perlu kita ketahui apakah edema unilateral atau bilateral. Jika
edema unilateral maka lihat apakahn onpitting dannont e nde r? Jika ya, maka
kemungkinan adalah limfedema, obstruksi oleh filariasis, infeksi streptokokkus
yang berulang, dan malignancy. Jikapitti ng dant ender, maka kemungkinan
adalah trombosis, kista Baker, dan akut selulitis.8
Bilateral edema, perlu diketahui apakah non pitting dan non tender? Jika ya,
maka kemungkinan adalah limfedema. Jika pitting dan tender, lihat apakah cepat

atau lambat. Jika lambat maka kemungkinan adalah oleh venous hypertension dan
identifikasi apakah ada peningkatan tekanan vena leher. Jika ada maka edema
jantung. Jika tidak maka venous hypertension atau occlusion. Jika cepat maka
apakah ada penurunan protein. Jika ada maka kemungkinan penurunan sintesis
protein atau peningkatan kehilangan protein. Selain itu, diagnosa banding dari
filariasis adalah hernia inguinalis, knobs, kiluria, pembesaran ekstremitas.
Diagnosa banding untuk TPE.8
OBAT FILARIASIS
Dietilkarbamasin sitrat (DEC) merupakan obat filariasis yang ampuh, baik
untuk filariasis bancrofti maupun brugia, bersifat makrofilarisidal dan
mikrofilarisidal. Obat ini ampuh, aman dan murah, tidak ada resistensi obat, tetapi
memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara. Reaksi
sistemik dengan atau tanpa demam, berupa sakit kepala, sakit pada berbagai
bagian tubuh, persendian, pusing, anoreksia, kelemahan, hematuria transien,
alergi, muntah dan serangan asma.8
Reaksi lokal dengan atau tanpa demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi,
limfedema transien, hidrokel, funikulitis dan epididimitis. Reaksi samping
sistemik terjadi beberapa jam setelah dosis pertama, hilang spontan setelah 2-5
hari dan lebih sering terjadi pada penderita mikrofilaremik. Reaksi samping lokal
terjadi beberapa hari setelah pemberian dosis pertama, hilang spontan setelah
beberapa hari sampai beberapa minggu dan sering ditemukan pada penderita
dengan gejala klinis. Reaksi sampingan ini dapat diatasi dengan obat simtomatik.8
Reaksi samping ditemukan lebih berat pada pengobatan filariasis brugia,
sehingga dianjurkan untuk menurunkan dosis harian sampai dicapai dosis total
standar, atau diberikan tiap minggu atau tiap bulan. Karena reaksi samping DEC
sering menyebabkan penderita menghentikan pengobatan, maka diharapkan dapat
dikembangkan penggunaan obat lain (seperti Ivermectin) yang tidak/kurang
memberi efek samping sehingga lebih mudah diterima oleh penderita. DEC tidak

dapat dipakai untuk khemoprofilaksis. 8


Pengobatan diberikan peroral sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai
konsentrasi puncak dalam darah dalam 3 jam, dan diekskresi melalui air kemih.
DEC tidak diberikan pada anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil/menyusui,
dan penderita sakit berat atau dalam keadaan lemah. Pada filariasis bancrofti,
Dietilkarbamasin diberikan selama 12 hari sebanyak 6 mg/kg berat badan,
sedangkan untuk filariasis brugia diberikan 5 mg/kg berat badan selama 10 hari.
Pada occult filariasis dipakai dosis 5 mg/kg berat badan selama 23 minggu.
Pengobatan sangat baik hasilnya pada penderita dengan mikrofilaremia, gejala
akut, limfedema, chyluria dan elephantiasis dini. Sering diperlukan pengobatan
lebih dari 1 kali untuk mendapatkan penyembuhan sempurna.8
Elephantiasis dan hidrokel memerlukan penanganan ahli bedah. Pengobatan
nonfarmako pada filariasis adalah istirahat di tempat tidur, pengikatan di daerah
pembendungan untuk mengurangi edema, peninggian tungkai, perawatan kaki,
pencucian dengan sabun dan air, ekstremitas digerakkan secara teratur untuk
melancarkan aliran, menjaga kebersihan kuku, memakai alas kaki, mengobati luka
kecil dengan krim antiseptik atau antibiotik, dekompresi bedah, dan terapi nutrisi
rendah lemak, tinggi protein dan asupan cairan tinggi Pemberantasan filariasis
ditujukan pada pemutusan rantai penularan, dengan cara pengobatan untuk
menurunkan morbiditas dan mengurangi transmisi oleh vektor.8
Pemberantasan filariasis di Indonesia dilaksanakan oleh Puskesmas dengan
tujuan:
1. Menurunkan Acute Disease Rate (ADR) menjadi 0%
2. Menurunkan microfilarial(mf) rate menjadi < 5%
3. Mempertahankan Chronic Disease Rate (CDR)
Sasaran pemberantasan adalah daerah endemis lama yang potensial masih ada
penularan dan daerah endemis baru. Dengan prioritas sasaran ditujukan pada:
1. Daerah endemis lama dengan mf rate> 5%

2. Daerah

endemis

lama

dan

baru

yang

merupakan

daerah

pembangunan,transmigrasi, pariwisata dan perbatasan .


Kegiatan pemberantasan meliputi pengobatan, pemberantasan nyamuk dan
penyuluhan. Pengobatan merupakan kegiatan utama dalam pemberantasan
filariasis, yang akan menurunkan ADR dan mf rate. Di suatu daerah yang
diperkirakan

endemik

filariasis,

perlu

diselenggarakan

suatu

surveilans

epidemiologis.
Pada daerah tersebut 10% dari penduduknya perlu diperiksa untuk
menentukan Acute Disease Rate dan mf rate. Pengobatan massal dilakukan bila
ADR> 0%, dan mf rate > 5%; sedangkan pengobatan selektif dilakukan bila ADR
= 0%, dan mf rate < 5%. Dalam pelaksanaan pemberantasan dengan pengobatan
menggunakan DEC ada beberapa cara yaitu dosis standard, dosis bertahap dan
dosis rendah. Dianjurkan Puskesmas menggunakan dosis rendah yang mampu
menurunkan mf rate sampai < 1%. Pelaksanaan melalui peran serta masyarakat
dengan prinsip dasa wisma. Penduduk dengan usia kurang dari 2 tahun, hamil,
menyusui dan sakit berat ditunda pengobatannya.
DEC diberikan setelah makan dan dalam keadaan istirahat.
1. Dosis standar
Dosis tunggal5 mg/kg berat badan; untuk filariasis bancrofti selama 15 hari, dan
untuk filariasis brugia selama 10 hari.
2. Dosis bertahap
Dosis tunggal 1 tablet untuk usia lebih dari 10 tahun, dan 1/2 tablet untuk usia
kurang dari 10 tahun; disusul 5 mg/kg berat badan pada hari 5-12 untuk filariasis
bancrofti dan pada hari 5-17 untuk filariasis brugia.
3. Dosis rendah

Dosis tunggal 1 tablet untuk usia lebih dari 10 tahun, 1/2 tablet untuk usia < 10
tahun, seminggu sekali selama 40 minggu.
Kegiatan pemberantasan nyamuk terdiri atas:
1. Pemberantasan nyamuk dewasa
a. .Anopheles : residual indoor spraying
b. Aedes : aerial spraying
2.

Pemberantasan jentik nyamuk

a. Anopheles : Abate 1%
b. Culex : minyak tanah
c. Mansonia : melenyapkan tanaman air tempat perindukan, mengeringkan rawa
dan saluranair
3. Mencegah gigitan nyamuk
a. Menggunakan kawat nyamuk/kelambu
b. Menggunakan repellent
Penyuluhan tentang penyakit filariasis dan penanggulangannya perlu
dilaksanakan sehingga terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk menunjang
penanggulangan filariasis. Sasaran penyuluhan adalah penderita filariasis beserta
keluarga dan seluruh penduduk daerah endemis, dengan harapan bahwa penderita
dengan gejala klinik filariasis segera memeriksakan diri ke Puskesmas, bersedia
diperiksa darah kapiler jari dan minum obat DEC secara lengkap dan teratur serta
menghindarkan diri dari gigitan nyamuk. Evaluasi hasil pemberantasan dilakukan
setelah 5 tahun, dengan melakukan pemeriksaan vektor dan pemeriksaan darah
tepi untuk deteksi mikrofilaria.8
PROGNOSIS FILARIASIS
Pada kasus kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien
pindah dari daerah endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut dapat

dilakukan dengan pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus


kasus lanjut terutama dengan edema tungkai, prognosis lebih buruk.
ASCARIASIS
DEFINISI
Biasanya penyakit ini disebabkan oleh cacing Ascarias Lumbrocoides .
infeksi pada manusia terjadi kalau larva cacing ini mengkontiminasi makanan dan
minuman. Di dalam usus halus larva cacing akan keluar menembus dinding usus
halus dan kemudian menuju pembuluh darah dan limfe menuju paru. Setelah itu
larva cacing ini akan bermigrasi ke bronkus, faring, dan kemudian turun ke
esofagus dan usus halus. Lama perjalanan ini sampai menjadi bentuk cacing
dewasa 60-75 hari.
Panjang cacing dewasa 20-40 cm dan hidup di dala usus halus manusia untuk
bertahun-tahun lamanya. Sejak telur matang tertelan sampai vaving dewasa
bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan.
ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh Ascaris lumbricoides atau cacing gelang.
Ascaris lumbricoides adalah cacing bulat yang besar dan hidup dalam usus halus
manusia.
EPIDEMIOLOGI
Cacing ini terutama tumbuh dan berkembang pada penduduk di daerah
beriklim panas dan lembab dengan sanitasi yang buruk. Di Indonesia prevalensi
askariasis tinggu terutama pada anak. Kurangnya pemakaian jamban keluarga
menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah
pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah.
GEJALA KLINIS
Biasanya terjadinya perdarahan, penggumpalan sel leukosit dan pneumonitis
Askaritis. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang mirip pneumonia viral yang
menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaanini disebut sindrom Loeffler. Pada
pemeriksaan darah akan didapatkan eosinifilia.

Larva cacing ini dapat menyebar dan menyerang organ lain seperti otak,
ginjal, mata, sumsum tulang belakang dan kulit. Dalam jumlah yang sedikit
cacing dewasa tidak akan menimbulkan gejala. Kadang-kadang pendertia
mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang,
diare atau konstipasi. Bila infestasi tersebut berat dapat menyebabkan cacingcacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus ( ileus ).
Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual,
nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Cacing dewasa dapat juga
menyebabkan gangguan nutrisi terutama pada anak-anak. Cacing ini dapat
mengadakan sumbatan pada saluran empedu, saluran pankreas, divertikel dan usus
buntu. Selain hal tersebut di atas, cacing ini dapat juga eosinofilifa. Cacing
dewasa dapat keluar melalui mulut dengan perantaraan batuk, muntah atau
langsung keluar melalui hidung.
PENATALAKSANAAN
Piperazin
Merupakan obat pilihan utama, diberikan dengan dosis sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Berat badan 0-15 kg: 1g sekali sehari selama 2 hari berturut-turut


Berat badan 15-25 kg: 2 g sekali sehari selama 2 hari berturut-turut
Berat badan 25-50 kg: 3 g sekali sehari selama 2 hari berturut-turut
Berat badan lebih dari 50 kg: 3 sekali sehari selama 2 haru berturut-turut
Satu tablet obat ini mengandung 250 dan 500 mg piperazin. Efek samping

penggunaan obat ini adalah pusing, rasa melayang dan gangguan penglihatan.
Heksilresorsinol
Obat ini baik infeksi Ascaris lumbricoides dalam usus. Obat ini diberikan
setelah pasien dipuasakan terlebih dahulu, baru kemudian diberikan 1
gheksiresorsinol sekaligus disusul dengan pemberian laksans sebanyak 30 g
MgSO4, yang diulangi lagi 3 jam kemudian untuk tujuan mengeluarkan cacing.
Bila diperlukan pengobatan ini dapat diulang 3 hari kemudian.
Pirantel Pamoat
Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan,
maksimum 1 g. Efek samping obat ini adalah rasa mual, mencret, pusing, ruam
kulit dan demam.

Levamisol
Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 150 mg.
Albendazol
Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 400 mg
Mebendazol
Obat ini cukup bila diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 3
hari.
KOMPLIKASI
Selama larva sedang bermigrasi dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergik
yang berat dan pneumonitis dan bahkan dapat menyebabkan timbulnya
pneumonia.
PROGNOSIS
Selama tidak terjadi obstruksi oleh cacing dewasa yang bermigrasi, prognosis
baik. Tanpa pengobatan infeksi cacing ini dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5
tahun.9
TRIKURIASIS
DEFINISI
Trikuriasis (trichuriasis) disebut juga trikosefaliasis (trichocephaliasis).
Penyebab penyakit ini adalah Trichuris trichiura atau threadworm atau whip
worm. Terdapat di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis; frekuensi
infekasi trikuris ini cukup tinggi di Jakarta.10
GAMBARAN UMUM
Trichuris trichiura ini bisa disebut sebagai cacing non patogen dan komensal,
hidup dalam usus besar terutama sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di
kolon ascendens. Bila investasi cacing berada dalam jumlah yang besar dan daya
tahan pasien kurang baik, maka cacing ini akan menimbulkan gejala klinis.
Bagian posterior cacing melekat pada mukosa usus menyebabkan perdarahan
kronik dan kerusakan pada mukosa usus.10
Telur yang dikeluarkan melalui tinja berkembang menjadi infektif di dalam
tanah dalam waktu 1-2 minggu. Infeksi terjadi karena pasien menelan telur yang

infektif dan larvanya melekat pada usus halus, kemudian setelah menjadi dewasa
akan menetap di sekum dan kolon bagian proksimal.10
GEJALA KLINIS
Investasi cacing yang ringan tidak menimbulkan gejala klinis yang jelas. Pada
investasi yang berat (>1000 telur/ gram tinja) timbul keluhan, karena iritasi pada
mukosa seperti nyeri perut, sukar buang air besar, mencret, kembung, sering
flatus, rasa mual, muntah, ileus dan turunnya berat badan. Bahkan pada keadaan
yang berat sering menimbulkan malnutrisi, terutama pada anak muda, dan
kadang-kadang terjadi perforasi usus dan prolaps rekti.11
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Terjadi anemia hipokromik yang disebabkan karena perdarahan kronis. Pada
tiap-tiap infeksi didapatkan eosinofilia sebesar 5-10%. Di dalam tinja pasien
didapatkan telur atau cacing dewasa.10
PENGOBATAN
1) Perawatan Umum
Higiene pasien diperbaiki dan diberikan diet tinggi kalori, sedangkan anemia
dapat diatasi dengan pemberian preparat besi.10
2) Perawatan Khusus
Bila keadaan ringan dan tak menimbulkan gejala, penyakit ini tidak
diobati.Tetapi bila menimbulkan gejala, dapat diberikan obat-obat:
a) Diltiasimin Jodida. Diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg berat badan/hari,
selama 3-5 hari.
b) Stilbazium Yodida. Diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan/hari, 2
kali sehari selama 3 hari dan bila diperlukan dapat diberikan dalam waktu
yang lebih lama. Efek samping obat ini adalah rasa mual, nyeri pada perut
dan warna tinja menjadi merah.
c) Heksiresorsinol 0,2%. Dapat diberikan 500 ml dalam bentuk enema, dalam
waktu 1 jam.
d) Mebendazole. Diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari,
atau dosis tunggal 600 mg.
KOMPLIKASI
Bila infeksi berat dapat terjadi perforasi usus atau prolapsus rekti.10
PROGNOSIS

Dengan pengobatan yang adekuat, prognosis baik.10


7. Bagaimana pencegahan dari penyakit yang ada di daerah tropis ?
Pencegahan massal
Kontrol penyakit pada populasi adalah melalui kontrol vector (nyamuk).
Namun hal ini terbukti tidak efektif mengingat panjang masa hidup parasite (4-8
tahun ). Baru-baru ini khususnya dengan dikenalnya pengobatan dosis tunggal,
sekali pertahun. 2 regimen obat ( albendazol 400 mg dan ivermectin 200 mg/kg
cukup efektif. Hal ini merupupakan pendekatan alternative dalam menurunkan
jumlah mikrofilaria dalam populasi .
Pada pengobatan massal program pemberian filariasis pemberian DEC dosis
standar tidak dianjurkan lagi mengingat efek sampingnya.11
DAFTAR PUSTAKA
1. Price, A.Silvia. Patofisiologi:Konsep Klinis Proses Proses Penyakit volume 1
edisi 6.EGC. Jakarta: 2012. Hal.110-113
2. Pohan, Herdiman T. 2007. Filariasis. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi,
IdrusAlwi,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi IV. . Jakarta:
BalaiPenerbit FKUI.546-547
3. Sutanto, inge. 2013. Parasitologi Kedokteran ed 4. Jakarta:FK UI. Hal.40
4. http://ppsp.nawasis.info/dokumen/perencanaan/sanitasi/pokja/bp/kab.mamuju
/Bab%20lll%20baru.docx, diakses tanggal 14 Desember 2014
5. Rencana Nasional ,program akselerasi eliminasi filariasis di Indonesia . 20102014 .www.pppl.depkes.go.id, diakses tanggal 14 Desember 2014
6. Pohan, Herdiman T. 2007. Filariasis. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi,
IdrusAlwi,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi IV. . Jakarta:
BalaiPenerbit FKUI.1767-1770
7. Partono, Felix dan Agnes Kurniawan. 2006. Wuchereria bancrofti. Srisasi
Gandahusada, Herry D. Ilahude, dan Wita pribadi. Parasitologi Kedokteran
edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.35-44.
8. Pohan, Herdiman T. 2007. Filariasis. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi,
IdrusAlwi,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi IV. . Jakarta:
BalaiPenerbit FKUI.1767-1770

9. Pohan, Herdiman T. 2007. Filariasis. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi,


IdrusAlwi,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi III. . Jakarta:
BalaiPenerbit FKUI.2938-2939
10. Setiadi, Siti, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6, 2014, Jakarta:
Interna Publishing. Halaman 654, 655
11. Pohan, Herdiman T. 2007.Aru W. Sudoyo,

Bambang

Setiyohadi,

IdrusAlwi,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi IV. . Jakarta:
BalaiPenerbit FKUI.2935

Anda mungkin juga menyukai