Anda di halaman 1dari 36

Status Pasien

Evaluasi Nasional

Untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar


Dokter Spesialis Anak

Diajukan oleh:
Yenny Kumalawati Santosoatmodjo
0906647015

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
2014

DIAGRAM WAKTU PEMERIKSAAN

20 Juli 2014
Anak masuk IGD RSCM

21 Juli 2014

27 Juli 2014

Pemeriksaan pertama oleh peserta


Pelaporan
ujian
Pemantauan dimulai

STATUS PASIEN EVALUASI NASIONAL

Agustus 2014
Nama peserta ujian : Yenny Kumalawati Santosoatmodjo
NPM : 0906647015

Identitas Pasien
Nama

: An. J

Jenis kelamin

: laki-laki

Usia

: 10 bulan

Nama ayah : Tn A
Usia ayah

: 29 tahun

Pendidikan : SMA

Tanggal lahir

:23 September 2013

Pekerjaan : Polisi

Alamat

: Ambon, Maluku

Nama Ibu : Ny A

Rekam medis

: 39195XX

Usia Ibu

Tanggal masuk RS

: 20 Juli 2014 jam07.15 Pendidikan : Sarjana

Lama rawat

: 8 hari

: 28 tahun

Pekerjaan : Guru

Pasien diterima oleh peserta tanggal 21 Juli 2014


ANAMNESIS (alloanamnesis terhadap ibu pasien), 21 Juni 2013
Keluhan Utama
Sesak yang memberat sejak 1 harisebelum masuk Rumah Sakit(RS).
Riwayat penyakit sekarang
Lima hari sebelum masuk RS, pasien batuk. Batuk sepanjang hari dan
berdahak. Batuk tidak dipengaruhi perubahan posisi.. Tidak didapatkan
keluhan demam, sesak, mengi maupun kebiruan. Intake pasien diberikan
melalui NGT. Pasien muntah 1-2 kali setelah periode batuk yang panjang.
Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) dalam batas normal.
Dua hari sebelum masuk RS, frekuensi batuk meningkat dan dahak
makin produktif. Pasien demam dengan suhu mencapai 38,9C. Demam
naik turun, suhu mencapai normal dengan pemberian obat penurun
panas. Tidak didapatkan keluhan menggigil dan kejang. Pasien masih
aktif, intake baik per NGT, tidak didapatkan keluhan sesak, mengi,

sianosis, dan diare. Pasien kontrol ke Poliklinik Nitrisi dan Penyakit


Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSCM, diberikan obat
penurun panas dan obat batuk, serta edukasi diet.
Satu hari sebelum masuk RS, pasien sesak. Tidak didapatkan suara
mengi dan kebiruan. Batuk makin produktif dan frekuensi makin
meningkat. Pasien masih mengalami demam naik turun dengan suhu
berkisar antara 38-39C.
Pada hari masuk RS, pasien semakin sesak. Pasien gelisah, batuk
semakin produktif dan satu periode batuk berlangsung beberapa menit.
Pola demam masih sama.
Riwayat penyakit dahulu

Usia 3 bulan : pasien mengalami diare selama 1 bulan , batukberdahak disertai sesak
napas. Keluhan lain yang dialami pasien adalah demam hilang timbul tanpa sebab
yang jelas selama 1 bulan. Keluhan tersebut tidak mengalami perbaikan dengan
pemberian antibiotik.

Usia 4 bulan: Pasien dirawat di RS selama 1 minggu dengan diagnosis pneumonia dan
diare. Pasien kembali dirawat setelah 4 hari pulang dari RS karena tersedak. Pasien
dirawat selama 3 minggu dengan diagnosis pneumonia aspirasi. Pasien disarankan
untuk berobat ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Usia 5 bulan: Pasien mengalami keluhan batuk berdahak dan sesak kembali. Pada
kepala muncul bisul multipel. Selain itu, pasien mengalami demam yang hilang
timbul. Berat badan semakin turun, pasien terlihat sangat kurus.Pasien dirujuk ke
RSCM.

Usia 6 bulan: Pasien dirawat di RSCM selama 2 bulan dengan diagnosis awal gizi
buruk marasmik (usia 6 bulan, berat badan(BB) 3,4 kg, panjang badan (PB) 60 cm),
kandidosis oral, dermatitis terinfeksi, furunkulosis. Selama perawatan dilakukan
eksplorasi ke arah tuberkulosis dan HIV. Hasil uji tuberkulin negatif. Hasil PCR RNA
HIV positif dengan CD4 16%. Hasil pemeriksaan PCR sitomegalovirus (CMV) urin
didapatkan hasil positif. Pasien didiagnosis HIV stadium klinis IV immunosupresi
sedang, gizi buruk marasmik, infeksi CMV, infeksi saluran kencing, infeksi jamur

sistemik, diare kronik, dan tersangka alergi susu sapi. Pasien mendapat diet susu
extensively hydrolyzed (Pregestimil) dilanjutkan dengan diet susu elemental
(Neocate), terapi antiretroviral (ARV, sejak 25 April 2014), profilaksis Tuberkulosis
(Isoniazid), profilaksis pneumonia pneumocystis jiroveci(kotrimoksazol), gansiklovir
(mulai 6 Mei 2014 selama 21 hari) dilanjutkan dengan valgansiklovir (mulai 28 Mei
2014), antibiotik, antijamur, dan suplementasi mikronutrien. Pasien pulang rawat pada
tanggal 30 Mei 2014.

Usia 8 bulan: Pasien mengalami sesak perburukan dan dirawat di IGD RSCM selama
6 hari dengan diagnosis pneumonia terkait rumah sakit, HIV stadium klinis IV
immunosupresi sedang, gizi buruk marasmik, dan CMV sistemik. Pasien mendapat
terapi antibiotik (seftazidim), ARV (Triommune junior baby), profilaksis
Tuberkulosis

(Isoniazid),

kotrimoksazol

valgansiklovir,

dan

suplementasi

mikronutrien.

Usia 8 bulan sekarang: Pasien kontrol rutin ke poliklinik alergi imunologi, nutrisi
metabolik, dan respirologi departemen IKA RSCM. Selama pengobatan, status gizi
pasien menjadi gizi kurang, tidak didapatkan keluhan diare, dan alergi susu sapi tidak
terbukti sehingga diberikan susu formula BBLR. Terapi rawat jalan yang diterima
pasien adalah ARV (Triommune junior baby), profilaksis Tuberkulosis (Isoniazid),
Kotrimoksazol profilaksis, valgansiklovir, dan suplementasi mikronutrien.

Kesan: pasien mengalami pneumonia berulang, berat badan sulit naik, dan infeksi
berulang. Pada perawatan di RSCM sebelumnya telah didiagnosis dengan pneumonia,
HIV stadium klinis IV immunosupresi sedang, gizi buruk marasmik, infeksi CMV
sistemik, infeksi saluran kencing dan infeksi jamur sistemik
Riwayat penyakit keluarga

Ibu pasien terdiagnosis HIV saat di RSCM dan sudah mulai


pengobatan ARV sejak Juni 2014.

Ibu didiagnosis TB kelenjar berdasarkan hasil biopsi kelenjar leher. Hasil pulasan
dahak menunjukkan basil tahan asam (BTA) positif. Ibu mendapatkan terapi obat anti
tuberkulosis (OAT) sejak Mei 2014.

Riwayat penggunaan narkoba suntik, berganti-ganti pasangan,


maupun transfusi darah pada ibu disangkal.

Hasil evaluasi status HIV pada ayah negatif.

Riwayat asma pada kakek pasien.

Kesan:infeksi HIV mungkin didapat dari Ibu, terdapat faktor risiko asma, dan terdapat
faktor risiko infeksi TB.
Corak reproduksi dan sosial ekonomi keluarga
Pasien adalah anak tunggal. Ayah pasien berusia 29 tahun, suku Ambon,
beragama Katolik. Ibu pasien berusia 28 tahun, suku Ambon, beragama
Kristen. Pernikahan ayah dan ibu merupakan pernikahan pertama. Ibu
menyangkal penggunaan obat-obatan yang disuntik, mempunyai tato
ataupun pernah berganti-ganti pasangan.
Orangtua pasien berasal dari golongan ekonomi menengah. Ayah pasien
adalah seorang polisi dengan penghasilan Rp 4.000.000,- Ibu pasien
adalah

seorang

guru

dengan

penghasilan

Rp.

2.000.000,-.Biaya

pengobatan pasien adalah menggunakan Badan Pelaksana Jaminan Sosial


(BPJS).
Kesan: keluarga berasal dari golongan ekonomi menengah

Data lingkungan
Sejak lahir pasien tinggal bersama ibu, bibi, paman, dan saudara sepupu
di Ambon di sebuah rumah berukuran 10 x 20 meter persegi. Ventilasi
dan pencahayaan rumah baik. Sumber air menggunakkan air sumur
dengan kualitas air cukup bersih. Sumber listrik adalah perusahaan
listrik negara (PLN). Di dalam rumah terdapat 3 kamar tidur, fasilitas
dapur dan kamar mandi. Ayah pasien bertugas di pulau yang berbeda
dan pulang saat mendapatkan ijin dari atasan (tidak ada jadwal rutin
untuk pulang).
Kesan: lingkungan tempat tinggal pasien memiliki higienitas yang
baik.
Riwayat kehamilan dan persalinan
Selama hamil, ibu rutin memeriksakan kandungannya ke bidan dan
dokter spesialis kandungan.

Ibu rutin mengkonsumsi vitamin yang

diberikan oleh bidan. Tidak didapatkan riwayat sakit selama kehamilan


dan asupan nutrisi terkesan

baik. Pasien lahir di rumah sakit melalui

bedah kaisar karena ketuban habis. Berat lahir pasien 3100 g, panjang
lahir lupa. Saat lahir, pasien langsung menangis, tidak tampak biru dan
tidak ada riwayat kuning.
Kesan: tidak didapatkan riwayat morbiditas saat kehamilan.
Pasien dilahirkan secara bedah kaisar.
Riwayat imunisasi
Pasien

hanya

mendapatkan imunisasi

BCG.

Imunisasi

lain

belum

diberikan.
Kesan: imunisasi dasar belum lengkap.
Riwayat nutrisi
Pasien mendapat air susu ibu (ASI) dengan menyusu langsung hingga
usia 6 bulan. Usia 1 bulan ditambahkan minuman pendamping ASI
(PASI), namun dihentikan karena pasien sering muntah. Makanan
pendamping mulai diperkenalkan saat usia 6 bulan (bubur susu) namun
hanya beberapa hari. Saat ini pasien mengkonsumsi susu BBLR 8 x 150
ml/NGT.
Kesan: selama 6 bulan terakhir asupan makanan kurang, baik
kuantitas maupun kualitas disertai dengan riwayat infeksi berulang
sehingga berat badan pasien sulit naik. Setelah mendapat intervensi
gizi terjadi perbaikan status gizi.

Riwayat tumbuh kembang


Pertumbuhan
Berat badan tidak naik sejak usia 3 bulan. Ibu pasien tidak ingat
kenaikan berat badan pasien setiap bulannya. Berat badan saat usia 6
bulan (pertama kali ke RSCM) adalah 3,4 kg dan panjang badan 60 cm.
Perkembangan
Pasien dapat mengangkat kepala tegak usia 4 bulan. Saat ini, pasien
belum dapat tengkurap (hanya miring-miring). Bicara babbling hingga
saat ini.

Kesan :tumbuhkembangterlambat
Ringkasan perawatan di RSCM sebelum pasien diterima (20 Juni 2014)
Pasien masuk perawatan di IGD RSCM dengan diagnosis pneumonia komunitas, HIV
stadium klinis IV immunosupresi berat, CMV sistemik, gizi kurang perawakan pendek. Pada
pemeriksaan fisis didapatkan dispnea laju napas 55 kali/menit disertai dengan retraksi
interkostal dan substernal, desaturasi tanpa oksigen saturasi O2 88%, dengan O2 nasal 2
liter/menit 95%, dan terdapat ronki basah halus pada kedua lapangan paru. Hasil laboratorium
bulan Maret 2014 PCR RNA HIV positif dengan CD4 16%.

Hasil pemeriksaan PCR

sitomegalovirus (CMV) urin pada bulan April 2014 didapatkan hasil positif.Pasien dirawatinap dengan terapi oksigen 2 liter per/menit, diet susu BBLR 8x150 mL, terapi antibiotik
empiris cefotaxime 3x170 mg iv, antiretroviral triommune triple baby 2-1, pencegahan PCP
kotrimoksazol 1x40 mg po, terapi CMV valgansiklovir 2x2 mL, dan inhalasi berkala agonis
2
PEMERIKSAAN FISIS (IGD, 21 Juli 2014)
Keadaan umum : tampak sakit sedang, lemah, kompos

mentis, sesak,

mengi, tidaksianosis
Tanda Vital
Laju nadi

: 120 kali/ menit, reguler, isi cukup

Laju napas

: 55kali/menit, reguler, kedalaman cukup, tidak ada

napas cuping hidung, didapatkan retraksi interkostal dan substernal.


Suhu

: 38C

Saturasi

: 88% tanpa oksigen,

95% dengan O2 nasal 2

liter/menit
Status Gizi dan Antropometri
BB

: 6,2 kg (BB/U: <-3 Z score kurva WHO 2007)

PB

: 66,5 cm (TB/U: <-3 Z score kurva WHO 2007)

BB/PB

: Z score antara -2 dan -3 kurva WHO 2007

Lingkar kepala

: 40 cm (<-2 SD kurva Nellhaus)

TB ayah
TB ibu

: 165,5 cm

TPG : 162,7-179,7 cm

: 164 cm

Klinis : kesan gizi kurang dan perawakan pendek, mikrosefal

Pemeriksaan Fisis per Sistem


Sistem
Kulit
Kepala

Deskripsi
Tidak pucat, turgor kulit cukup, tidak kering
Deformitas tidak ada, ubun-ubun besar datar, ukuran 1x1 cm,
lingkar kepala 40 cm
Rambut
Rambut hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut
Wajah
Wajah tidak dismorfik, tidak ada wajah orangtua susah,
tidak ada parese nervus kranialis
Mata
Palpebra tidak cekung, konjungtiva tidak pucat, sklera tidak
ikterik, tidak tampak bercak bitot. Pupil bulat isokor, diameter 3
mm/ 3 mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+,
Hidung
gerak bola mata baik, kontak mata baik.
Telinga
Tidak ditemukan sekret
Mulut
Tidak terdapat sekret, membran timpani intak
Tidak terdapat oral trush pada lidah dan mukosa bukal.
Gigi
Tonsil ukuran T1-T1, tidak hiperemis. Faring hiperemis, tidak
Leher
ada leukoplakia.
Dada
Terdapat gigi pada insisivus inferior dan superior.
Tidak teraba kelenjar getah bening. JVP 5+0 mmHg
Paru
Bentuk dan pergerakan simetris, tidak terlihat adanya iga
gambang, terlihat retraksi epigastrium dan interkostal
Jantung
Pergerakan simetris, perkusi sonor, bunyi napas vesikuler di
kedua lapang paru. Ronki basah halus di kedua lapang
Abdomen paru, tidak ada wheezing.
Iktus kordis tidak tampak, teraba di sela
iga 5 garis
Punggung midklavikularis sinistra. Tidak ada thrill. Bunyi jantung I dan II
Genitalia normal, tidak terdengar murmur dan irama derap
Ekstremita Datar, lemas, perkusi timpani, bising usus normal. Hati dan
s
limpa tidak teraba. Tidak teraba masa. Tidak ada nyeri tekan.
Turgor baik.
Tidak didapatkan dimple maupun hair tuft
Lelaki, tidak ada kelainan.
Akral teraba hangat, waktu pengisian kapiler kurang dari 3
KGB
detik. Tidak didapatkan wasting dan baggy pants. Paresis
tidak ada, refleks fisiologis normal di keempat ekstremitas,
refleks patologis tidak ada, tonus otot normal di keempat
ekstremitas. Tidak terdapat edema tungkai. Terdapat parut
BCG pada deltoid kanan.
Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal

20/7/2013

Darah
Hb (g/dL)

12,5

MCV (fL)

87,6

MCH (pg)

29,4

MCHC (g/dL)

33,6

Ht (%)

37,5

Leukosit (/L)

9860

Hitung jenis*

0/3/5/28/59/5

Trombosit (/L)

327000

*basofil/eosinofil/neutrofil/limfosit/monosit

Tanggal
Data

20/7/2013
Pukul 10.00

20/7/2013
Pukul 19.00

Arteri radialis sinistra Arteri radialis sinistra


dengan O2 2
dengan O2 2
liter/menit
liter/menit

pH

7,352

7,293

17,3

43,9

109,2

79,8

O2 Saturasi

97,1

92,9

BE

-13,6

-4,2

HCO3

13,7

20,8

Na

158

142

3,2

5,3

Cl

98

106

pCO2
pO2

Lain-lain
Rontgen toraks 20/7/2014 : Bentuk dan ukuran jantung normal
Infiltrat di kedua lapang paru

DAFTAR MASALAH
1. Pneumonia komunitas
2. HIV stadium klinis IV, imunosupresi sedang dalam ARV

3. Infeksi sitomegalovirus dalam terapi


4. TB kelas I
5. Gizi kurang perawakan pendek
6. Gagal tumbuh
7. Mikrosefali, keterlambatan perkembangan global (ensefalopati
HIV)
8. Imunisasi tidak lengkap
DIAGNOSIS KERJA
1. Pneumonia Komunitas
2. Infeksi HIV stadium klinis IV, imunosupresi sedangdalam ARV,
dengan ensefalopati HIV, imunisasi belum lengkap
3. Infeksi sitomegalovirus dalam terapi
4. Tuberkulosis kelas 1
5. Gizi kurang dengan gagal tumbuh
TATA LAKSANA
1. Penumonia komunitas

Diagnostik
o Rontgen toraks
o Darah perifer lengkap

Terapeutik
o Oksigen 2 liter/ menit
o Sefotaksim 3 x 200 mg/intravena
o Parasetamol 2,5 ml (60 mg) bila suhu 38C
o Inhalasi Salbutamol 1 respul : NaCl 0,9% 3 ml = 4x/hari
o Pemantauan tanda vital, saturasi oksigen.

Edukasi
o Mengenai

penyakit,

rencana

pemeriksaan

dan

pengobatan, efek samping pengobatan, manfaat terapi ,


serta prognosis

o Edukasi

orangtua

mengenai

tanda-tanda

perburukan

sesak
2. Infeksi HIV stadium klinis IV, imunosupresi sedang dalam ARV,
ensefalopati HIV, imunisasi belum lengkap

Diagnostik
o Pemeriksaan CD4 ulang
o Skrining perkembangan dengan Denver II bila keadaan
umum baik

Terapeutik
o Triomune junior 2 x 1 tablet
o Kotrimoksasol 1 x 20 mg per oral (profilaksis PCP)
o Pemantauan tanda vital
o Monitor perkembangan
o Melengkapi imunisasi setelah pulang

Edukasi
o Konseling orangtua mengenai HIV dan edukasi dampak
infeksi HIV terhadap tubuh, tata laksana komprehensif,
perlunya ketaatan konsumsi obat, dan prognosis.
o Penjelasan pada orangtua tentang pertumbuhan dan
perkembangan anak, pemberian stimulus yang

otimal

pada pasien dan prognosis.


o Penjelasan pentingnya imunisasi dan rencana imunisasi
kejar setelah pasien pulang.
3. Infeksi sitomegalovirus dalam terapi

Diagnostik : pemeriksaan PCR CMV urin ulang

Terapeutik : Valgansiklovir

Edukasi :
o Mengenai

penyakit,

rencana

pemeriksaan

dan

pengobatan, efek samping pengobatan, manfaat terapi


suportif, serta prognosis

4. Tuberkulosis kelas 1

Diagnostik
o Klinis
o Uji tuberkulin ulang
o Rontgen toraks

Terapeutik
o INH 1 x 60 mg per oral

Edukasi
o Penjelasan pada orangtua mengenai pentingnya minum
obat secara teratur bagi pasien dan ibu.

5. Gizi kurang dengan gagal tumbuh

Diagnostik
o Klinis dan antropometris
o Analisis diet

Terapeutik
o Diet susu BBLR 8 x 150 ml per NGT
o Pemantauan toleransi minum dan kenaikan berat badan
o Mengatasi infeksi primer

Edukasi
o Pemberian diet/ susu secara teratur sesuai anjuran dokter,
menjelaskan teknik pemberian susu per NGT termasuk
pengaturan kecepatan pemberian.

PEMANTAUAN
Senin, 21 Juli 2014 (hari rawat ke-2)
S
Masih terdapat demam, suhu 38C, masih terdapat
batuk dan sesak. Tidak terdapat muntah atau mencret,
BAK banyak. Diet susu BBLR diberikan lewat NGT
sebesar 8x150ml.
O
Anak kompos mentis, tampak sesak, tidak ada sianosis.
Laju nadi 94 kali per menit, laju nafas 36 kali per menit,

1.
2.
3.

4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

tampak usaha napas tambahan berupa retraksi


subkosta suhu tubuh 36,6oC. SaO2 98% dengan O2 2
LPM NK. Mata: konjungtiva tidak pucat, tidak ikterik.
Mulut: mukosa lembab. Jantung: pemeriksaan masih
sama. Paru: terdengar ronki basah halus dan wheezing
di kedua lapang paru. Abdomen: pemeriksaan masih
sama. Ekstremitas: akral hangat, waktu pengisian
kapiler kurang dari 3 detik.
Divisi Respirologi:
Inhalasi ganti dengan combivent 4x sehari, antibiotik
Cefotaxime dilanjutkan
Divisi Alergi Imunologi :
Periksa PCR CMV urin untuk evaluasi terapi
valgansiklovir
Pneumonia komunitas
Infeksi HIV stadiumm klinis IV imunosupresi sedang
dalam ARV, dengan ensefalopati HIV
Infeksi CMV sistemik dalam terapi valgansiklovir bulan
ke2
Tuberkulosis kelas 1
Gizi kurang perawakan pendek dengan gagal tumbuh
O2 2 LPM NK
Diet:susu BBLR 8x150 mL/NGT
Cefotaxime 3x200 mg IV (2)
Parasetamol 60 mg PO (bila S>38C)
Kotrimoksazol 1x40 mg (TMP)
Valgancyclovir 2 x 2ml
Triomune triple baby tab 2-1
INH 1 x 60 mg peroral
Inhalasi Combivent 2,5 ml dan NaCl 0,9% 2,5 ml, 4x
sehari
Monitor keadaan umum dan tanda vital

Selasa, 22 Juli 2014 (hari rawat ke-3)


S
Tidak terdapat demam, suhu 36,7C, masih terdapat
batuk dan sesak. Tidak terdapat muntah atau mencret,
BAK banyak. Toleransi minum baik
O
Anak kompos mentis, tampak sesak, tidak ada sianosis.
Laju nadi 96 kali per menit, laju nafas 38 kali per menit,
tampak usaha napas tambahan berupa retraksi subcostae,
suhu tubuh 36,7C. SaO2 97% dengan O2 2 LPM NK.
Jantung: pemeriksaan masih sama. Paru: terdengar
wheezing di kedua lapang paru. Abdomen: pemeriksaan
masih sama. Ekstremitas: akral hangat, waktu pengisian

kapiler kurang dari 3 detik.


Hasil Laboratorium (21/7/2013)
Limofosit (CD45+) absolut 3509
Sel T (CD3+) persen
58 %
Sel T (CD3+) absolut
2025 /uL
Sel T (CD4+) persen
26 %
Sel T (CD4+) absolut
921 /uL

(1000-4000)
(55-84)
(690-2540)
(31-60)
(410-1590)

Divisi Respirologi:
Karena
masih
terdapat
wheezing,
tambahkan
dexametason 0,5 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
Divisi Alergi Imunologi:
Lanjutkan tata laksana
1. Pneumonia Komunitas
2. Infeksi HIV stadium klinis IV, tanpa imunosupresi dalam
ARV, dengan ensefalopati HIV
3. Infeksi sitomegalovirus dalam terapi
4. Tuberkulosis kelas 1
5. Gizi kurang perawakan pendek dengan gagal tumbuh
1. O2 2 LPM NK
2. Diet: susu BBLR 8x150 mL/NGT
3. Cefotaxime 3x200 mg IV (3)
4. Parasetamol 60 mg PO (bila S>38C)
5. Kotrimoksazol 1x 40 mg (TMP)
6. Valgancyclovir 2 x 2ml
7. Triomune triple baby tab 2-1
8. INH 1 x 60 mg peroral
9. Inhalasi Combivent 2,5 ml dan NaCl 0,9% 2,5 ml, 4x sehari
10. Dexametason 3 x 1 mg iv
11. Monitor keadaanumumdantanda vital

Rabu, 23 Agustus 2014 (hari rawat ke-4)


S
Bebas demam 1 hari, suhu 36,8C, masih terdapat batuk dan
sesak. Tidak terdapat muntah atau mencret, BAK banyak.
Diet susu BBLR diberikan lewat NGT sebesar 8x150ml.
O
Anak kompos mentis, tampak sesak, tidak ada sianosis. Laju
nadi 92 kali per menit, laju nafas 34 kali per menit, retraksi
epigastrium (retraksi perbaikan), suhu tubuh 36,7C. SaO2
96% dengan O2 2 LPM NK. Jantung: pemeriksaan masih
sama. Paru: terdengar wheezing di kedua lapang paru.
Abdomen: pemeriksaan masih sama. Ekstremitas: akral
hangat, waktu pengisian kapiler kurang dari 3 detik.
Divisi Respirologi:
Diet susu ganti dengan pregestimil, konsultasikan juga

dengan divisi Nutrisi dan Metabolik mengenai penggantian


susu karena tersangka alergi susu sapi
Weaning oksigen, lanjutkan tata laksana
Periksa
SGOT,
SGPT,
untuk
evaluasi
penggunaan
valgancyclovir
A
1. Pneumonia Komunitas
2. Infeksi HIV stadium klinis IV, tanpa imunosupres dalam
ARV, dengan ensefalopati HIV
3. Infeksi sitomegalovirus dalam terapi
4. Tuberkulosis kelas 1
5. Gizi kurang perawakan pendek dengan gagal tumbuh
1. O2 2 LPM NK
P 2. Diet: susu BBLR 8x150 mL/NGT
3. Cefotaxime 3x170 mg IV (4)
4. Parasetamol 60 mg PO (bila S>38C)
5. Kotrimoksazol 1x5 ml
6. Valgancyclovir 2 x 2ml
7. Triomune triple baby tab 2-1
8. INH 1 x 60 mg peroral
9. Inhalasi Combivent 2,5 ml dan NaCl 0,9% 2,5 ml, 4x sehari
10. Dexametason 3 x 1 mg iv
11. Monitor keadaanumumdantanda vital

Kamis, 24 Juli 2014 (hari rawat ke-5)


S
Bebas demam 2 hari, suhu 36,8C, masih terdapat sesak tapi
perbaikan, batuk perbaikan. Tidak terdapat muntah atau
mencret, BAK banyak. Diet susu Pregestimil diberikan lewat
NGT sebesar 8x150ml.
O
Anak kompos mentis, tampak sesak, tidak ada sianosis. Laju
nadi 96 kali per menit, laju nafas 36 kali per menit, tampak
usaha napas tambahan berupa retraksi subcostae (retraksi
perbaikan), suhu tubuh 36,7C. SaO2 96% dengan O2 1 LPM
NK. Jantung: pemeriksaan masih sama. Paru: terdengar
wheezing (perbaikan) di kedua lapang paru. Abdomen:
pemeriksaan masih sama. Ekstremitas: akral hangat, waktu
pengisian kapiler kurang dari 3 detik.
Hasil kultur darah: belum ada
Hasil Laboratorium (23/7/2013)
SGOT : 100 /ul
SGPT : 162 /ul
Divisi Respirologi:
Follow up hasil kultur darah
Cari status lama pasien saat perawatan sebelumnya
Lanjutkan tata laksana

Divisi Alergi Imunologi:


Tidak setuju dengan penggantian susu dengan Pregestimil,
karena pada riwayat perawatan sebelumnya, pemberian susu
Neocate selama 10 hari masih terdapat wheezing.Dosis
triomune triple baby disesuaikan menjadi 1-1 tab. Follow up
hasil PCR CMV urin
A 1. Pneumonia komunitas
2. Infeksi HIV stadium klinis IV tanpa imunosupresidalam ARV,
dengan ensefalopati HIV
3. Infeksi CMV sistemik
4. Tuberkulosis kelas 1
5. Gizikurangperawakan pendek dengan gagal tumbuh
1. O2 2 LPM NK
P 2. Diet: susu BBLR 8x150 mL/NGT
3. Cefotaxime 3x170 mg IV (5)
4. Parasetamol 60 mg PO (bila S>38C)
5. Kotrimoksazol 1x5 ml
6. Valgancyclovir 2 x 2ml
7. Triomune triple baby tab 1-1
8. INH 1 x 60 mg peroral
9. Inhalasi Combivent 2,5 ml dan NaCl 0,9% 2,5 ml, 4x sehari
10. Dexametason 3 x 1 mg iv
11. Monitor keadaanumumdantanda vital

Jumat, 25 Juli 2014 (hari rawat ke-6)


S
Bebas demam 4 hari, suhu 36,7C, masih terdapat sesak tapi
perbaikan, batuk perbaikan. Tidak terdapat muntah atau
mencret, BAK banyak. Diet susu Pregestimil diberikan lewat
NGT sebesar 8x150ml.
O
Anak kompos mentis, tampak sesak, tidak ada sianosis. Laju
nadi 96 kali per menit, laju nafas 36 kali per menit, tampak
usaha napas tambahan berupa retraksi subcostae (retraksi
perbaikan), suhu tubuh 36,8C. SaO2 96% dengan O2 1 LPM
NK. Jantung: pemeriksaan masih sama. Paru: terdengar
wheezing (perbaikan) di kedua lapang paru. Abdomen:
pemeriksaan masih sama. Ekstremitas: akral hangat, waktu
pengisian kapiler kurang dari 3 detik.
Hasil Laboratorium (23/7/2013)
PCR CMV urin : negatif
Divisi Alergi Imunologi:
Stop terapi valgancyclovir
Periksa Lab darah perifer lengkap

Divisi Nutrisi dan Metabolik


Tidak perlu ganti susu dengan Pregestimil, karena dari
perawatan sebelumnya dengan pemberian Neocate selama
10 hari keluhan wheezing tidak membaik. Setelah diganti
dengan susu BBLR, wheezing menghilang. Jadi tidak sesuai
dengan alergi susu sapi
A 1. Pneumonia komunitas
2. Infeksi HIV stadium klinis IV tanpa imunosupresidalam ARV,
dengan ensefalopati HIV
3. Infeksi CMV sistemik
4. Tuberkulosis kelas 1
5. Gizikurang perawakan pendek dengan gagal tumbuh
1. O2 2 LPM NK
P 2. Diet: susu BBLR 8x150 mL/NGT
3. Cefotaxime 3x170 mg IV (6)
4. Parasetamol 60 mg PO (bila S>38C)
5. Kotrimoksazol 1x5 ml
6. Triomune triple baby tab 1-1
7. INH 1 x 60 mg peroral
8. InhalasiCombivent 2,5 ml danNaCl 0,9% 2,5 ml, 4x sehari
9. Dexametason 3 x 1 mg iv
10. Monitor keadaanumumdantanda vital

DISKUSI
Seorang anak lelaki berusia 10 bulan datang dengan keluhan sesak sejak
1 hari sebelum masuk RS disertai demam tinggi dan batuk. Pasien
mengalami sesak berulang sejak usia 3 bulan dan riwayat menjalani
rawat inap 2 kali dengan diagnosis pneumonia dan diare. Saat berusia 6
bulan pasien dirujuk ke RSCM dengan keterangan gizi buruk, diare
kronik, dan tersangka alergi susu sapi. Selama perawatan pertama di
RSCM, dilakukan perbaikan gizi dan pemeriksaan PCR RNA HIV dengan
hasil reaktif, CD4 16%. Ibu pasien menjalani skrining HIV dengan hasil
positif dan terdiagnosis TB paru dengan BTA (+) dan TB kelenjar. Ibu
pasien mendapat terapi OAT sejak April 2014 serta mulai pengobatan
ARV sejak Mei 2014. Pasien dirawat selama 1,5 bulan dengan diagnosis
gizi buruk marasmik dengan gagal tumbuh, HIV stadium klinis IV
imunosupresi sedang, infeksi sitomegalovirus sistemik, tuberkulosis kelas
1, kandiasis oral, infeksi saluran kemih, dan diare kronik. Pasien mulai
mendapatkan terapi ARV sejak 25 April 2014 (usia 7 bulan). Pada

perawata saat ini, pasien didiagnosis pneumonia komunitas, HIV stadium


klinis IV tanpa imunosupresi dengan ensefalopati HIV, infeksi CMV, gizi
kurang perawakan pendek dengan gagal tumbuh.
Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus HIV
(Human

Immunodeficiency

Virus).

Jumlah

kasus

HIV

di

dunia

berdasarkan laporan WHO (World Health Organization) pada bulan


Desember 2008 berkisar 33,4 juta jiwa dengan 15,7 juta adalah wanita,
2,1 juta adalah anak di bawah usia 15 tahun, dan 430.000 kasus baru
pada anak. Lebih dari 90% infeksi HIV pada anak didapat terjadi akibat
transmisi vertikal dari ibu.1 Penularan secara vertikal dapat terjadi
intrauterin (30-40%), intrapartum (60-70%), dan post-partum pada anak
yang mendapat ASI(14-29%).2 Pada bulan Desember 2005, Departemen
Kesehatan melaporkan angka kumulatif dari 5321 kasus AIDS di 31 dari
33 provinsi. Mayoritas (54,07%) berada pada kelompok usia 20-29. Anak
di bawah usia 14 tahun hanya 1.23

persen. Hampir setengah (48,9%)

dari kasus HIV ditularkan melalui penggunaan narkoba suntikan, dengan


transmisi heteroseksual untuk sebagian besar sisanya (39,4%). Estimasi
jumlah anak yang terinfeksi setiap tahunnya diproyeksikan

meningkat

dari 1.070 pada tahun 2008 menjadi 1,590 pada tahun 2014. (Country
report: Indonesia. East Asia and Pacific Regional Consultation on
Children and HIV/AIDS Hanoi, Viet Nam 22 24 March 2006. 2006:2)
Upaya pencegahan transmisi HIV pada bayi dan anak menurut WHO
dilakukan melalui 4 strategi, yaitu mencegah penularan HIV pada wanita
usia subur, mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita
HIV, mencegah penularan HIV dari ibu HIV hamil ke anak yang akan
dilahirkannya, dan memberikan dukungan, layanan, dan perawatan
berkesinambungan bagi pengidap HIV. Upaya ini dikenal sebagai PMTCT
(prevention of mother-to-child transmission)

1,3,4

Setelah dilaksanakan

program PMTCT, penularan secara vertikal dapat diturunkan secara


drastis dari 20-45% menjadi kurang dari 2%.1Pada strategi ketiga yaitu
pencegahan transmisi HIV dari ibu ke bayi yang dikandungnya meliputi
pemberian ARV pada ibu hamil, proses kelahiran melalui bedah kaisar,

pemberian ARV pada bayi, dan pemberian nutrisi dengan susu formula.
Konseling sudah harus dilakukan sejak masa antenatal. Studi di Tanzania
menilai transmisi pada wanita hamil mendapatkan ARV sejak kehamilan
trimester ketiga hingga 1 minggu pasca-melahirkan sedangkan bayi
mendapatkan ARV profilaksis sejak lahir hingga usia 6 bulan dan
mendapatkan air susu ibu (ASI). Angka transmisi secara keseluruhan
4,1% saat usia 6 minggu, 5,0% saat usia 6 bulan, dan 6,0% saat usia
18%.5 ( open label, non randomized, cohort study) Studi lain di Kenya
melaporkan efikasi pemberian 3 jenis ARV pada ibu hamil antara 28 dan
36 minggu usia kehamilan dan dilanjutkan dengan pemberian ASI selama
6 bulan. Angka kejadian infeksi HIV pada usia 1 tahun adalah sebesar
5,5 %.6 (RCT) Intervensi PMTCT yang disertai dengan pemberian susu
formula akan menurunkan transmisi menjadi kurang dari 2%.7 Di
Indonesia, pada akhir 2009 terdapat 37 pusat layanan PMTCT tersedia di
24 provinsi, namun layanan yang komprehensif (termasuk pengujian dan
konseling untuk hamil, persalinan dengan operasi caesar, pemberian
susu formula untuk bayi, tes PCR untuk bayi), hanya tersedia di 9
provinsi. Selain itu, terdapat masalah lain yaitu pelaporan yang tidak
konsisten sehingga sulit dilakukan evaluasi. (Country report: Indonesia.
East Asia and Pacific Regional Consultation on Children and HIV/AIDS
Hanoi, Viet Nam 22 24 March 2006. 2006:2). Pada suatu studi kohort
berbasis rumah sakit yang diselenggarakan selama satu tahun dari bulan
Januari hingga Desember 2004 (atau sebelum pemberian gratis ARV),
menunjukkan transmisi di 6 dari 17 bayi. Sedangkan penelitian di RSCM
pada akhir tahun 2009, ditemukan transmisi

infeksi pada hanya satu

kasus di antara 150 bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif. (Kurniati
N, Nilamsari T, Akib AAP. Incidence of HIV infected infants born to HIVinfected mothers with prophylactic therapy: Preelimenary report of
hospital birth cohort study. Paed Ind;46:9-10). Pada pasien, status HIV
ibu tidak diketahui hingga pasien menunjukkan gejala infeksi oprtunistik.
Jalur transmisi pada

pasien dapat terjadi intrauterin dan pasca

melahirkan. Ibu pasien tidak mendapatkan ARV selama kehamilan dan


pasien mendapatkan ASI hingga usia 6 bulan.

Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis


sampai penyakit berat yang dinamakan acquired immune deficiency
syndrome (AIDS), yaitu penyakit yang terjadi pada tahap lanjut infeksi
HIV dengan gambaran klinis berupa infeksi oportunistik, ensefalopati,
dan wasting syndrome.2,3 Manifestasi nonspesifik dapat berupa gagal
tumbuh, berat badan menurun, anemia, demam berulang, infeksi
berulang, limfadenopati dan hepatosplenomegali. 3 Pasien mengalami
diare dan pneumonia berulang sejak usia 3 bulan, berat badan tidak
meningkat sejak usia 4 bulan, dan sering mengalami bercak putih di
lidah dan rongga mulut. Jika kita menemukan seorang anak dengan
infeksi multipel berulang atau infeksi oportunistik maka perlu dicari
kelainan yang mendasari,

yaitu

kondisi imunokompromais. Pasien

sebenarnya terindikasi untuk menjalani pemeriksaan HIV lebih dini. 3,8


Diagnosis dini serta pengobatan optimal sangat berpengaruh terhadap
prognosis penderita HIV.
Manifestasi klinis HIV pada sistem respiratori secara garis besar dapat
dibagi

menurut

penyebabnya

menjadi

infeksi,

non

infeksi,

dan

malignansi. Penyakit infeksi tersering adalah pneumonia bakterialis,


pneumonia Pneumocystis jeroveci (PCP), dan tuberkulosis.Penyakit noninfeksi yaitu lymphocytic interstitial pneumonia (LIP), bronkiektasis, dan
penyakit alveolar difus. Masalah respiratori ini dapat bersifat akut atau
kronik. Pneumonia merupakan penyebab utama infeksi penyakit akut,
sedangkan bronkiektasis atau LIP merupakan manifestasi paru kronik. 9
Penyebab tersering pneumonia bakteri adalah Streptococcus pneumonia,
Haemophilus

influenza,

Staphilococcus

aureus,

dan

Klepsiella

pneumonia. Pneumonia virus paling banyak disebabkan oleh

virus

respiratory syncytial (RSV).9,10 Gejala dan tanda klinis dari masalah


respiratori tersebut hampir sama yaitu batuk, takipnea, dan sesak.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah foto toraks, dengan gambaran
yang bervariasi mulai dari hiperinflasi, infiltrat alveolar atau interstitial,
perpadatan dengan air bronchogram, pneumatocel, kista, bullae, atau
gambaran pneumotoraks.11 Penyakit respirasi baik akut maupun kronik
merupakan penyebab

utama kesakitan dan kematian yang dikaitkan

dengan penderita HIV.9,10,12 Infeksi HIV meningkatkan angka kematian


akibat pneumonia secara signifikan, dan manifestasi pneumonia terkait
HIV biasanya muncul pada masa bayi atau masa kanak. Case fatality rate
penderita HIV usia 2 bulan hingga 5 tahun yang menderita pneumonia
berat sebesar 3 hingga 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak
yang tidak menderita HIV.9 Pneumocystis jiroveci pneumonia merupakan
infeksi oprtinistik yang paling sering dijumpai pada pasien HIV yang
tidak mendapatkan profilaksis kotrimoksazol.11 Gejala PCP menyerupai
pneumonia pada umumnya, yaitu demam, batuk, takipnea, sesak. Empat
variabel klinis yang berkaitan dengan PCP adalah usia < 6 bulan,
frekuensi napas 60 kali/menit, saturasi oksigen < 92%, dan tidak ada
gejala muntah. gambaran radiologis yang khas adalah infiltrat interstisial
perihiler bilateral yang meningkat menjadi gambaran homogen dan difus
sesuai perjalanan penyakit.
Pada pasien, pneumonia merupakan infeksi oportunistik yang dialami
berulang sejak usia 3 bulan. Pneumonia berulang yang tidak respons
dengan

pengobatan

imunokompromais.

standar

Secara

patut

klinis

mengarah

pada

anak

pada
sulit

kecurigaan
membedakan

pneumonia akibat virus dengan bakteri, demikian pula pemeriksaan


radiologis dan laboratorium tidak menunjukkan perbedaan nyata. (Said
M. Pneumonia. Dalam:

Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB,

penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan


Penerbit IDAI;2008. h.350-65). Pneumonia pada pasien dipikirkan akibat
virus, karena terdapat riwayat demam yang tidak terlalu tinggi,
perbaikan klinis yang cepat, dan pasien memiliki keluhan wheezing.
Adanya keluhan wheezing menandakan adanya inflamasi akut pada
bronkiolus, sehingga diagnosis pada perjalanan penyakitnya pasien
didiagnosis dengan bronkopneumonia. Pasien tidak sesuai dengan
diagnosis PCP karena usianya sudah lebih dari 6 bulan, didapatkan gejala
muntah,

dan

pasien

telah

mendapatkan

profilaksis

kotrimoksazol.

Bronkopneumonia merupakan jenis tersering pneumonia pada bayi dan


anak

kecil.

Terapi

bronkopneumonia

ditujukan

untuk

eradikasi

mikroorganisme penyebab. Pada awal terapi pasien diberikan antibiotik

empiris, yang selanjutnya disesuaikan dengan data biakan dan resistensi.


Pasien mendapatkan antibiotik empiris berupa sefotaksim IV sambil
menunggu hasil biakan darah. Pilihan antibiotik lini pertama adalah
kombinasi dari antibiotik golongan beta-laktam dan kloramfenikol, akan
tetapi karena pasien memiliki status imunodefisiensi berat, pasien
mendapatkan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga. Walaupun
bronkopneumonia akibat virus dapat ditatalaksana tanpa antibiotik, tapi
umumnya sebagian besar pasien diberi antibiotik karena infeksi bakteri
sekunder tidak dapat disingkirkan. Selain itu, pasien dengan kondisi
imunokompromais lebih mudah terjadi infeksi oportunistik, sehingga
pada pasien tetap diberikan terapi antibiotik. (Said M. Pneumonia.
Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar
respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;2008.
h.350-65). Pasien juga mendapatkan terapi suportif, salah satunya adalah
terapi kortikosteroid yaitu deksametason. Pemberian kortikosteroid pada
bronkopneumonia

akut

masih

menjadi

perdebatan.

Teori

klasik

menyatakan bahwa penggunaan kortikosteroid pada kondisi infeksi dapat


mengganggu respon imun. Bagaimanapun, beberapa studi menemukan
bahwa

inflamasi

lokal

paru

dapat

dikurangi

dengan

pemberian

kortikosteroid sistemik. Pada suatu studi, pemberian rutin prednisolon


secara oral pada pneumonia bakteria tidak menunjukkan efek bermakna.
(Snijders D, Daniels JM, de Graaff CS, van der Werf TS, Boersma WG.
Efficacy

of

corticosteroids

in

community-acquired

pneumonia:

randomized double-blinded clinical trial. Am J Respir Crit Care Med.


2010;181:975-82).
Pada pasien dengan HIV, pemberian kortikosteroid dapat bermanfaat
pada

berbagai

kondisi

akibat

komplikasi

berat

HIV,

antara

lain

trombositopenia imun, pneumonitis interstitial limfoid, dan sebagai


terapi tambahan dari PCP. Telah dinyatakan bahwa terapi kortikosteroid
bermanfaat pada infeksi HIV dengan mengurangi komponen autoimun
dalam deplesi CD4. Bagaimanapun, terdapat beberapa efek samping
yang berbahaya pada penderita HIV termasuk imunosupresi akibat
kortikosteroid, yang dapat mengakibatkan meningkatnya insiden infeksi

bakteri, herpes simpleks dan reaktivasi heroes zoster, serta potensi


terjadinya Sarkoma Kaposi. Pada beberapa studi menyatakan bahwa
penggunaan kortikosteroid pada HIV aman diberikan dalam jangka
waktu pendek. (Hakim JG, Ternouth I, Mushangi E, Siziya S, Robertson V,
Malin A. Double blind randomised placebo controlled trialof adjunctive
prednisolone in the treatment of effusive tuberculous pericarditis in
HIVseropositive patients. Heart. 2000;84:183-8. DAN:

McComsey GA,

Whalen CC, Mawhorter SD, Asaad R, Valdez H,Patki AH, dkk. Placebocontrolled trial of prednisone in advanced HIV-1 infection. AIDS.
2001;15:321-7)
Klasifikasi klinis HIV digunakan untuk membantu menentukan diagnosis,
tata laksana dan prognosis. Pasien dikelompokkan ke dalam stadium
klinis IV (WHO) atau kategori C (CDC) berdasarkan adanya malnutrisi
berat, gagal tumbuh, dan ensefalopati HIV. Diagnosis definitif HIV pada
anak usia <18 bulan ditegakkan berdasarkan pemeriksaan PCR RNA HIV.
Status imun ditentukan dengan pemeriksaan jumlah sel T CD4.1,2
Diagnosis HIV pada pasien ditegakkan berdasarkan PCR RNA HIV yang
reaktif, sedangkan status imun pasien saat awal terdiagnosis sesuai
dengan imunosupresi sedang (CD4 16%) dan saat ini adalah tanpa
imunosupresi.
Tata laksana infeksi HIV bersifat komprehensif, meliputi pemantauan
tumbuh kembang, nutrisi, imunisasi, medikamentosa, dan psikososial. 8
Terapi medikamentosa mencakup obat profilaksis infeksi oportunistik dan
obat antiretroviral (ARV). Kriteria pemberian ARV meliputi klinis dan
imunologis.4,8 Kasus ini dengan stadium klinis IV dan CD4 16%
terindikasi mendapat ARV.
Berdasarkan WHO 2013, rejimen ARV yang digunakan pada anak kurang
dari tiga tahun adalah abakavir atau zidovudin ditambah lamivudin
ditambah lopinavir/ritonavir. Rejimen alternatif adalah abakavir atau
zidovudin ditambah lamivudin ditambah nevirapin. Rifampisin dapat
berinteraksi dengan protease inhibitor, sehingga rifampisin sebaiknya
diganti

oleh

rifabutin.

Jika

rifabutin

tidak

tersedia

maka

lopinavir/ritonavir dapat digunakan selama pengobatan TB, namun


dengan dosis dua kali lipat dari dosis standar. Toksisitas abakavir adalah
reaksi hipersensitivitas. Toksisitas idovudin meliputi anemia, netropenia,
miopati, lipotrofi atau lipodistrofi, asidosis laktat, dan hepatomegali
dengan steatosis. Toksisitas lopinavir/ritonavir adalah kelainan EKG
berupa pemanjangan interval QT, hepatoksisitas, pankreatitis, sindrom
metabolik, dislipidemia dan diare berat. Sedangkan toksisitas nevirapin
adalah hepatoksisitas dan reaksi hipersensitivitas berat. (Consolidated
guidelines on the use of antiretroviral drugs for treating and preventing
HIV infection. Geneva, World Health Organization, 2013.)
Sebelum memulai terapi ARV, harus dipastikan keluarga sudah siap dan
patuh. Evaluasi kerjasama keluarga meliputi siapa yang akan menjadi
pemberi obat, asupan nutrisi, dan kelompok pendukung keluarga bila
seandainya si pemberi obat lalai. Memulai ARV pada saat anak atau
orang tua belum siap dapat mengakibatkan kepatuhan yang buruk dan
resistensi ARV sehingga menyebabkan kegagalan pengobatan. 4 Infeksi
tuberkulosis pada penderita AIDS dapat membawa dampak perburukan
klinis AIDS karena akan terjadi aktivasi dan peningkatan replikasi virus
HIV. Sebaliknya pemberian ARV akan memperkuat aktivasi sistem imun
karena penurunan beban RNA HIV sehingga dapat terjadi reaksi
inflamasi berat. Untuk menghindarkan hal tersebut para peneliti
menganjurkan pemberian ARV sesuai dengan derajat berat defisiensi
imun penderita, dan setelah 4 minggu pengobatan anti tuberkulosis. 13
Pada kasus ini, pemberian ARV diberikan setelah infeksi oportunistik
teratasi dan orangtua sudah memahami betul pentingnya kepatuhan
dalam terapi ARV.Pemantauan efek samping ARV yang harus dilakukan
meliputi darah perifer lengkap, lipodistrofi, neuropati perifer (stavudin),
dan reaksi alergi (nevirapin).
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab tersering infeksi
respiratori pada anak dengan HIV. Koinfeksi TB-HIV akan menyebabkan
gangguan imunitas yang lebih cepat, peningkatan replikasi virus,
progresivitas infeksi HIV, dan terjadinya infeksi lain yang lebih berat. 11,14

Tuberkulosis menjadi penyebab utama kematian anak dengan infeksi HIV


di Afrika, dengan angka kejadian sebesar 12-18. 14Diagnosis TB paru pada
HIV hampir sama dengan TB non-HIV yaitu adanya sekumpulan gejala
klinis yang mengarah pada TB, uji tuberkulin, dan didukung oleh
pemeriksaan

radiologis

yang

menunjang

serta

adanya

bukti

mikrobiologis yang menyokong ke arah TB. Diagnosis definitif dapat


ditegakkan dengan konfirmasi biakan TB dari spesimen sputum, biakan
bronkus, atau biopsi paru atau kelenjar limfe. 11 Diagnosis TB pada anak
dengan HIV merupakan tantangan karena konfirmasi bakteriologik
jarang didapat, manifestasi klinis TB mirip dengan stadium awal HIV, dan
tes mantoux dapat negatif. ( Ministry of Health. Division of Leprosy,
Tuberculosis and Lung Disease. 2013.p 2). Akhir-akhir ini WHO
mendorong penggunaan GeneXpert untuk mendiagnosis TB. GeneXpert
mengandalkan pada teknik PCR-DNA untuk mendeteksi TB dan resistensi
yang

berhubungan

dengan

mutasi

terhadap

Rifampisin

secara

bersamaan. Pemeriksaan tersebut dilaporkan memiliki tingkat ketepatan


yang tinggi untuk mendiagnosis TB paru. Sensitivitas dan spesifitas
GeneXpert mendeteksi TB paru dengan dahak negatif sebesar 67% dan
98%. Pasien dengan TB dan presumtif HIV dengan hasil negatif pada
pemeriksaan

mikroskopik

dapat

dilakukan

pemeriksaan

dengan

GeneXpert ini. (Walusimbi S, Bwanga F, De Costa A, Haile M1, Joloba


M, Hoffner S. Meta-analysis to compare the accuracy of GeneXpert,
MODS and the WHO 2007 algorithm for diagnosis of smear-negative
pulmonary tuberculosis. BMC Infect Dis. 2013 Oct 30;13:50)
Modalitas pemeriksaan TB yang lain adalah interferon-g release assays
(IGRA). Pada review sistemik dan metaanalisis menunjukkan spesifitas
yang lebih baik pada IGRA bila dibandingkan uji tuberkulin dan akurasi
yang sama antara IGRA dengan uji tuberkulin. Namun terdapat
ketidaksesuaian pada pasien anak HIV positif. Pada penelitian di Afrika
Selatan yang membandingkan uji tuberkulin dengan IGRA pada pasien
rawat jalan, hasilnya adalah pasien anak dengan HIV positif lebih tidak
menunjukkan hasil IGRA positif secara bermakna dibandingkan pasien
anak dengan HIV negatif setelah dilakukan penyesuaian terhadap derajat

paparan TB. (Venturini E, Turkova A, Chiappini E, Luisa G, Martino


MD.Tuberculosis and HIV co-infection in children .BMC Infectious
Diseases.2014;14)
Pada perawatan pertama, pasien telah menjalani evaluasi TB melalui
penilaian klinis, pemeriksaan uji tuberkulin, dan rontgen toraks. Hasil uji
tuberkulin adalah 0 milimeter. Status gizi pasien mengalami perbaikan
dari gizi buruk menjadi gizi kurang. Ibu pasien juga menjalani evaluasi
TB di Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan didiagnosis TB paru dengan
BTA(+) dan TB kelenjar. Pasien didiagnosis sebagai TB kelas 1 dan
diputuskan

pemberian

direncanakan

selama

INH
9

profilaksis

bulan.Isoniazid

sebesar
efektif

10

mg/kgBB

dalam

dan

mencegah

tuberkulosis pada anak yang diketahui memiliki kontak dengan penderita


tuberkulosis. Sebuah meta-analisis mengenai pemberian profilaksis
tuberkulosis pada penderita HIV dewasa menunjukkan bahwa isoniazid
menurunkan insidens tuberkulosis hingga sebesar 62%. 15 Studi lain di
Cape Town melaporkan bahwa profilaksis isoniazid dihubungkan dengan
penurunan semua kasus kematian sebesar 54% dan menurunkan 72%
insidens tuberkulosis.16 Madhi dkk14 mendapatkan hasil yang berbeda
bahwa profilaksis isoniazid primer tidak dapat mencegah infeksi maupun
penyakit tuberkulosis pada anak yang terpapar HIV dan mendapatkan
vaksin BCG.
Infeksi

sitomegalovirus

(CMV)

merupakan

infeksi

yang

sering

ditemukan dan biasanya tidak menimbulkan gejala. Infeksi dapat terjadi


semasa bayi, kanak awal, atau remaja. Transmisi dapat terjadi secara
vertikal dari ibu ke bayi atau secara horisontal melalui kontak cairan
tubuh yang mengandung virus. Infeksi pada masa perinatal dapat
menyebabkan terjadinya infeksi CMV kongenital pada10% kasus. Bayi
baru lahir dengan infeksi CMV simptomatik biasanya lahir dalam
keadaan kecil masa kehamilan (KMK), terdapat purpura/ petekiae,
ikterik,

hepatosplenomegali,

korioretinitis,

mikrosefali,

kalsifikasi

intrakranial, dan gangguan pendengaran. Infeksi CMV simptomatik pada


masa bayi biasanya terjadi akibat infeksi saat intrapartum atau saat

menyusui.17 Pasien HIV berisiko tinggi terinfeksi CMV saat masa kanak
dibandingkan anak tanpa infeksi HIV. Sitomegalovirus adalah infeksi
oportunistik yang seringditemukan pada anak yang terinfeksi HIV. Angka
kejadian infeksi CMV pada HIV tinggi pada 1 tahun awal kehidupan. 17
Studi di New York melaporkan sebanyak 31% anak dengan infeksi HIV
juga mengalami infeksi CMV, dan 13% diantaranya merupakan penyakit
CMV yang siptomatik.18Sitomegalovirus sering disebut sebagai kofaktor
progresifitas HIV dan patogenesis AIDS.19
Infeksi CMV menyebabkan sindrom klinis pada pasien imunokompromis.
Manifestasi

klinis

bervariase

tergantung

derajat

imunokompromis.

Penyebaran virus meliputi beberapa organ yaitu pneumonitis, penyakit


saluran

cerna,

dan

Cytomegalovirus

retinitis.

(Schleiss

MR,

Infection Workup.

Steele

RW.Pediatric

Diunduh

dari

http://emedicine.medscape.com/article/963090-workup#showall. Diakses
tanggal

Agustus

2014.).

Manifestasi

berat

yang

paling

sering

ditemukan pada infeksi CMV dengan HIV adalah CMV retinitis. Anak
dengan CMV ekstraokular memberikan gejala yang tidak khas berupa
demam, peningkatan berat badan yang tidak adekuat, keterlambatan
perkembangan dengan abnormalitas laboratorium berupa anemia dan
trombositopenia.

Diagnosis

CMV

ditegakkan

melalui

pemeriksaan

antibodi atau biakan. Antibodi yang positif pada usia < 1 tahun
mengindikasikan infeksi maternal dan bukan serta merta infeksi pada
bayi, karena antibodi yang di transfer melalui plasenta. Antibodi CMV
yang positif pada usia > 12 bulan menunjukkan infeksi masa lampau dan
tidak memberikan informasi menganai kondisi infeksi aktif

saat ini.

Biakan CMV positif pada usia berapapun mengidentifikasi adanya infeksi.


Biakan CMV dapat di lakukan dengan spesimen cairan tubuh seperti
leukosit darah perifer atau urin. Pilihan terapi adalah gansiklovir dengan
dosis 5 mg/kgBB/dosis, diberikan setiap 12 jam intravena selama 2-3
minggu dan dilanjutkan dengan dosis rumatan dengan pilihan terapi
gansiklovir atau valgansiklovir oral. Pasien didiagnosis infeksi CMV saat
perawatan pertama dengan keluhan demam berkepanjangan yang tidak
respons dengan pemberian antibiotik dan hasil biakan darah dan urin

normal. Pada pasien dilakukan pemeriksaan PCR urin CMV dan


didapatkan hasil positif. Sensitivitas dan spesifitas PCR urin dalam
mendeteksi CMV adalah 100% dan 95,7%.(M J Miller, S Bovey, K Pado, D
A Bruckner, and E A Wagar. Application of PCR to multiple specimen
types for diagnosis of cytomegalovirus infection: comparison with cell
culture and shell vial assay. J Clin Microbiol. Jan 1994; 32:5-10)
Pasien telah menjalani pengobatan gansiklovir intravena selama 3
minggu dan dilanjutkan dengan valgansiklovir oral. Evaluasi PCR CMV
urin dilakukan setelah1 bulan pengobatan. Pada pasien HIV dewasa,
indikasi penghentian terapi CMV rumatan adalah CD4 > 200, namun
pada pasien anak belum ada panduannya. Kesepakatan yang dibuat
adalah penghentian pengobatan setelah pasien dalam kondisi tanpa
imunosupresi. Hasil evaluasi PCR CMV urin pasien negatif dan CD4
pasien 26% sehingga terapi valgansiklovir dihentikan.
Gagal tumbuh adalah terminologi yang menunjukkan anak tidak dapat
tumbuh mengikuti kurva pertumbuhan normal. Definisi yang sering
digunakan adalah bila terjadi perubahan pertumbuhan yang memotong 2
garis persentil mayor dalam kurun waktu 3-6 bulan, seperti yang terjadi
pada pasien.21 WHO menggunakan kurva pertumbuhan baru yaitu laju
berat badan. Kurva ini menunjukkan perubahan berat badan anak dalam
gram dengan interval satu hingga dua bulan dibandingkan dengan data
populasi anak sesuai umur. Perubahan berat badan dibawah persentil 5
mengindikasikan

anak

memiliki

resiko

gagal

tumbuh.

Kriteria

antropometri yang digunakan antara lain indeks massa tubuh sesuai


umur < p5, tinggi badan sesuai umur < p5, deselerasi berat badan
melewati 2 garis persentil mayor, berat badan sesuai umur < p5, berat
badan < 75% median berat badan sesuai umur, berat badan < 75%
median berat badan sesuai tinggi badan dan laju berat badan < p5.
(Cole, SZ. Failure to thrive: an update. American Fam Phy. 2011;83:82930).

Gagal

tumbuh

bukan

suatu

diagnosis

sehingga

diperlukan

penelusuran etiologi yang dapat disebabkan oleh faktor organik maupun

non-organik. Penyebab gagal tumbuh pada pasien ini adalah infeksi HIV,
pneumonia berulang, dan diare persisten.
Mikrosefali adalah lingkar kepala lebih kecil dari -2 standar deviasi
pada distribusi normal Kurva Nelhaus. Mikrosefali dapat diklasifikasikan
menjadi dua kategori, yaitu kongenital (primer) dan didapat (sekunder).
Mikrosefali didapat menggambarkan pembentukan otak yang normal
namun terganggu pertumbuhannya, yang dapat terjadi selama dalam
kandungan maupun setelah lahir. Pada kasus ini terdapat mikrosefali
dengan ditemukannya lingkar kepala pasien di bawah nilai normal (<-2
SD kurva Nelhaus). Dari anamnesis tidak diketahui lingkar kepala pasien
saat lahir. Mikrosefali pada pasien masih mungkin karena kondisi gizi
buruk yang dialami setelah lahir, namun perlu dimonitor dan dipikirkan
kemungkinan

berkaitan

dengan

infeksi

HIV

mengingat

pasien

sudahtegak didiagnosis HIV. Angka kejadian kelainan neurologis pada


pasien HIV anak berkisar antara 50-90%, dan kejadian pada anak usia di
bawah 3 tahun lebih besar dibandingkan anak yang lebih tua. Semua
aksis susunan saraf (otak, medulla spinalis, saraf perifer) dapat terkena
infeksi virus ini dan menyebabkan kerusakan saraf.20
Kelainan neurologis pada infeksi HIV disebabkan kemampuan virus
untuk menembus sawar darah otak dan menginfiltrasi makrofag,
mikroglia, serta astrosit. Selanjutnya terjadi kerusakan dan kematian
sel.Manifestasi

ensefalopati

keterlambatan

perkembangan,

HIV

dapat

berupa

gangguan

regresi

perkembangan

atau
otak

(mikrosefali), acquired symmetric motor deficit (paresis, hiperrefleksia,


hipertonia, refleks patologis, atau ataksia), gangguan perilaku dan
gangguan serebelar.21 Hamid dkk.22 melaporkan insidens ensefalopati
HIV

pada

anak

HIV

sebesar

18,2%.

Gupta

dkk. 23

mendapatkan

manifestasi klinis ensefalopati HIV paling sering pada anak balita adalah
keterlambatan perkembangan (43,8%) dan kejang (39,6%). Patel dkk. 24
melaporkan bahwa pemberian HAART (Highly active antiretroviral
treatment) pada anak dapat menurunkan insidens ensefalopati HIV
sampai 50% (level of evidence 2). Diagnosis ensefalopati HIV pada

pasien ditegakkan berdasarkan adanya keterlambatan perkembangandan


mikrosefal
Pada

pasien

ini

perlu

dilakukan

pemantauan

perkembangan

neurodevelopmental secara ketat agar dapat dilakukan intervensi dini


bila didapatkan keterlambatan perkembangan. Dengan perbaikan gizi
buruk

dan

pemberian

terapi

ARVdiharapkan

gangguan

dapat

diminimalkan. Untuk mengetahui kelainan intrakranial yang dialami


pasien, pemeriksaan CT-Scan kepala sebaiknya dilakukan pada pasien.
Anak dengan HIV mempunyai risiko lebih besar untuk terkena infeksi
sehingga memerlukan imunisasi walaupun mungkin respons imun tidak
optimal. Organisasi WHO menganjurkan pemberian imunisasi rutin untuk
anak HIV yang belum ada gejala (asimptomatik), kecuali BCG tidak
diberikan.25,26 Kebijakan WHO disesuaikan dengan tingkat keparahan
penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, keamanan vaksin dan
imunogenitas, dan derajat imunosupresi HIV. Jadwal imunisasi harus
disesuaikan

dengan

rekomendasi

negara

yang

bersangkutan. 26

Rekomendasi yang dianut Indonesia adalah pemberian imunisasi dasar


(hepatitis B, difteri-tetanus-pertusis (DTP), polio, hemofilus influensa tipe
B (HiB), dan campak), sedangkan BCG tidak diberikan.
Pada negara dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, vaksin BCG
bertujuan

untuk

melindungi

individu

dari

penyakit

berat

seperti

meningitis TB dan TB milier. Kondisi yang ideal adalah pemberian vaksin


BCG hanya pada bayi yang tidak terinfeksi HIV, namun pada kebanyakan
negara tidak semua ibu hamil menjalani skrining HIV dan identifikasi
infeksi HIV pada bayi tidak praktis dilakukan pada tiap individu karena
biaya yang mahal. Panduan imunisasi WHO memperbolehkan pemberian
vaksin BCG pada bayi yang terekspos HIV atau tersangka infeksi HIV
pada negara dengan angka kejadian tuberkulosis tinggi. 26 Penundaan
pemberian vaksin BCG hingga status infeksi HIV diketahui akan
meningkatkan risiko terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis berat
bagi bayi yang terpapar HIV namun tidak terinfeksi maupun yang
terinfeksi.27Pada negara dengan risiko tuberkulosis rendah, vaksin BCG

tidak diberikan pada anak dengan tersangka infeksi HIV. Vaksin BCG
dapat menimbulkan komplikasi dan angka kejadiannya meningkat pada
anak dengan infeksi HIV.28Komplikasi yang terjadi akibat vaksin BCG
berdasarkan Revised Paediatric Classification for BCG disease dibagi
menjadi penyakit lokal, penyakit regional, penyakit jauh, dan penyakit
diseminata. Penyakit lokal adalah abses dengan diameter diatas 10 mm
atau ulserasi jaringan parut berat. Penyakit regional melibatkan kelenjar
getah bening ipsilateral. Penyakit jauh melibatkan kelenjar getah bening
diatas sisi ipsilateral. Penyakit disemanata menunjukkan hasil biakan
BCGM. bovis pada darah atau sumsum tulang melalui pemeriksaan PCR
atau biakan disertai gejala sistemik berupa demam, penurunan berat
badan, anemia, atau kematian.27Angka kejadian komplikasi vaksin BCG
pada anak tanpa infeksi HIV sangat bervariasi. Studi kohort di Zairian
melaporkan sebesar 6% komplikasi regional terjadi pasca-vaksin BCG
baik pada kelompok terpapar HIV maupun tanpa paparan, dan tidak ada
perbedaan

bermakna

antar

kedua

kelompok.27Beberapa

studi

melaporkan kejadian limfadenitis regional, penyembuhan ulkus

lain
yang

buruk, dan fistula pada bayi yang terinfeksi HIV. 26Studi di Afrika Selatan
berbasis populasi yang menentukan insidens penyakit BCG diseminata
pada bayi dengan infeksi HIV usia 1 tahun melaporkan estimasi
insidens berkisar antara 778-1300 kasus diantara 100.000 bayi yang
divaksin.28 Pemberian vaksin BCG pada anak yang terinfeksi HIV saat
berusia 1 bulan dikaitkan dengan angka kejadian komplikasi yang relatif
rendah karena penekanan imun memerlukan waktu beberapa bulan. 26
Pada pasien, imunisasi yang didapat hanya BCG, imunisasi dasar lain
belum diberikan. Imunisasi BCG diberikan karena status HIVnya belum
diketahui. Hingga saat ini

tidak didapatkan keluhan atau kecurigaan

terjadinya komplikasi BCG. Hal ini dapat disebabkan karena vaksin BCG
diberikan padausia 1 bulan, sehingga status imun pasien masih baik.
Infeksi diseminata BCG lebih sering terjadi bila vaksin diberikan saat
individu berada pada keadaan imunosupresi berat.26Setelah pasien
pulang, direncanakan melengkapi imunisasi, yaitu hepatitis B, polio, DTP,
HiB, dan campak. Sebaiknya pada anak imunokompromais diberikan

imunisasi Hib dan pneumokokus, namun pada pasien terdapat kendala


biaya.
Infeksi HIV pada anak akan memengaruhi kehidupan keluarga dan
lingkungan, yang dapat berpotensi menimbulkan masalah psikososial
yang

akan

merugikan

penderita

dan

kelanjutan

pengobatannya.

Bimbingan dan konseling kepada orangtua perlu dilakukan secara


berkala oleh petugas kesehatan.4 Edukasi keluarga penting untuk
mencapai keberhasilan terapi, meliputi tata laksana infeksi HIV dan
penyakit penyerta yang memerlukan penanganan jangka panjang.
Konseling tentang infeksi HIV mencakup pencegahan penularan, rencana
pengobatan,

tujuan

pengobatan,

pentingnya

mematuhi

program

pengobatan dan kontrol teratur, perjalanan penyakit, serta prognosis.


Pasien saat ini tinggal bersama ayah dan ibu di sebuah kamar kos-kosan
di daerah Salemba, selanjutnya pasien akan kembali ke Ambon.
Ketersediaan ARV di Ambon patut menjadi pertimbangan. Hal ini
merupakan potensi masalah yang harus dipikirkan sejak dini.
Indikator prognosis anak dengan HIV adalah viral load dan persentase
CD4. Anak dengan HIV memiliki prognosis buruk bila viral load
>100.000 sel/L dan persentase CD4 <15%. Sirinavin dkk. 29 di Thailand
melaporkan five year survivalrate anak terinfeksi HIV yang mendapat
ARV adalah 91% sedangkan pada anak yang tidak mendapat ARV adalah
35%. Secara keseluruhan, prognosis ad vitam pasien adalah dubia ad
malam, ad functionam malam, dan ad sanationammalam.

Daftar Pustaka
1.

World Health Organization. PMTCT strategic vision 2010-2015.


Preventing mother-to-child transmission of HIV toreach the UNGASS
and millennium development goals. 2010. Switzerland.

2.

Yogev RA, Chadwick EG. Acquired immunodeficiency syndrome


(human immunodeficiency virus). Dalam: Kliegman RM, Behrman
RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007. h.1427-41.

3.

Matondang C, Kurniati N. Infeksi HIV pada bayi dan anak. Dalam:


Akip AP, Munazir A, Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergiimunologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2008. h.378-405.

4.

Munazir A, Muktiarti D. Tata laksana HIV pada anak. Dalam: Akip AP,
Munazir A, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, penyunting. HIV
infections in infants and children in Indonesia: current challenges in
management. Edisi ke-Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM; 2009. h.45-59.

5.

Kilewo C, Karlsson K, Ngarina M, Massawe A, Lyamuya E, Swai A


dkk. Prevention of mother-to-child transmission of HIV-1 through
breatfeeding by treating mothers with triple antiretroviral therapy in
Dar es Salaam, Tanzania: the MITRA plus study. J Acquir Immune
Defic Syndr. 2009;52:406-16.

6.

World Health Organization. Antiretroviral drugs for treating


pregnant women and preventing HIV infection in infants.
Recommendations for a public health approach. 2010. Switzerland.

7.

World Health Organization. Rapid advice. Use of antiretroviral drugs


for treating pregnant women and preventing HIV infection in infants.
2009. Switzerland.

8.

World Health Organization. Management of HIV infection and


antiretroviral therapy in infants and children: a clinical manual. New
Delhi. WHO. 2006.

9.

Graham SM, Coulter JBS, Gilks CF. Pulmonary disease in HIVinvected African children. Int J Tuberc Lung Dis. 2001;5:12-23.

10. Graham SM, Gibb DM. HIV disease and respiratory infection in
children. Br Med Bull. 2002;61:133-50.
11. Setyanto DB. Masalah respirologi pada anak dengan HIV-AIDS.
Dalam: Akip AP, Munazir A, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D,
penyunting. HIV infections in infants and children in Indonesia:
current challenges in management. Edisi ke-Jakarta: Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM; 2009. h.77-89.
12. Madhi SA, Petersen K, Madhi A, Khoosal M, Klugman KP. Increased
disease burden and antibiotic resistance of bacteria causing severe
community-acquired lower respiratory tract infections in human
immunodeficiency virus type 1-infected children. Clin Inf Dis.
2000;31:170-6.
13. Akip AP. Etiologi dan patogenesis infeksi HIV pada anak. Dalam: Akip
AP, Munazir A, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, penyunting.
HIV infection in infants and children in Indonesia: current challenges

in management. Edisi ke-Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak;


2009. h.17-28.
14. Madhi SA, Nachman S, Violari A, Kim S, Cotton MF, Bobat R dkk.
Primary isoniazid prophylxis against tuberculosis in HIV-exposed
children. N Engl J Med. 2011;365:21-31.
15. Akolo C, AdetifaI, Shepperd V, Volmick J. Treatment of latent
tuberculosis infection in HIV infected person. Cochrane Database
Syst Rev. 2010.
16. Zar HJ, Cotton MF, Strauss S. Effect of isoniazid prophylaxis on
mortality and
incidence of tuberculosis in children with HIV:
randomized controlled trial. BMJ. 2007;334:1-7.
17. Mofenson LM, Oleske J, Serchuck L, Van Dyke R, Wilfert C. treating
opportunistic infections among HIV-exposed and infected children.
CDC. 2014.
18. Chandwani S, Kaul A, Bebenroth D, Kim M, John D, Fidelia A dkk.
Cytomegalovirus infection in human immunodeficiency virus type 1nfected children. The Pediatric Infectious disease journal.
1996;15:310-4.
19. Kovacs A, Schluchter M, Easley K, Demmler G, Shearer W, Russa PL
dkk. Cytomegalovirus infection and HIV-1 disease progression in
infants born to HIV-1 infected women. N Engl J Med. 1999;341:7784.
20. Mangunatmadja I. Manifestasi neurologis infeksi HIV/AIDS pada
anak. Dalam: Akip AP, Munazir A, Windiastuti E, Endyarni B,
Muktiarti D, penyunting. HIV infections in infants and children in
Indonesia: current challenges in management. Edisi ke-Jakarta:
Departemen Ilmu Kesahatan Anak FKUI-RSCM; 2009. h.97-103.
21. Willen EJ. Neurokognitive outcome in pediatric HIV. MRDD Research
Rev. 2006;12:223-8.
22. Hamid M, Aziz N, Zulkifli S, Norlijah O, Azhar RK. Clinical features
and risk factors for HIV encephalopathy in children. Southeast Asian
J Trop Med Public Health. 2008;30:266-72.
23. Gupta S, Shah DM, Shah I. Neurological disorder in HIV-infected
children in India. Ann Torp Paediatr. 2009:177-81.
24. Patel K, Ming X, William PL, Robertson K, Oleske J, Seage G. Impact
of HAART and CNS penetrating anretroviral regimens on HIV
encephalopathy among prenatally infected children and adolescents.
AIDS. 2009;23:1909-10.

25. Siregar SP. Imunisasi pada bayi dan anak berisiko. Dalam: Ranuh
IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto,
Soedjatmiko, penyunting. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke4. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. h.98-112.
26. Moss WJ, Clements CJ, Halsey NA. Immunization of children at risk
of infection with human immunodeficiency virus. Bulletin of the
World Health Organization. 2003;81:61-70.
27. Azzopardi P, Bennet CM, Graham SM, Duke T. Bacille CalmetteGuerin vacine-related disease in HIV-infected children: a systematic
review. 13. 2009:1344.
28. Hesseling AC, Johnson LF, Jaspan H, Cotton MF, Whitelaw A, Schaaf
HS dkk.
Disseminated bacille CalmettteGuerin disease in HIV
infected South African infants. Bull World Health Organ.
2009;87:505-11.
29. Sirinavin S, Atamasirikul K, Thititanyanont A, Thakkinstian A,
Kunanusont C. Prognostic factors and long-term survival of Thai
children with HIV-1 infection. Int Conf AIDS. 2004;4:8-20.

Anda mungkin juga menyukai