PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luka merupakan suatu ketidak-sinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan yang
dapat dibedakan menjadi luka akibat trauma mekanik, trauma fisik dan trauma
kimiawi. Luka bakar merupakan cedera terhadap jaringan yang disebabkan oleh
kontak dengan panas kering (api), panas lembab (uap dan cairan panas), kimiawi
(bahan-bahan korosif), barang-barang elektrik (aliran listrik atau lampu), friksi atau
energi. Luka bakar merupakan salah satu kondisi yang memiliki pengaruh yang
katastropik terhadap penderita dalam hal penderitaannya, kehidupan sosialnya,
keterbatasan yang ditimbulkan dan dari segi keuangan yang dikeluarkan dalam proses
pengobatan. Seorang korban luka bakar dapat mengalami berbagai macam
komplikasi diantaranya kondisi syok, infeksi, ketidakseimbangan elektrolit dan
distress pernafasan serta distress emosional yang berat akibat luka dan bekas luka
bakar yang ditimbulkan.1,2
Berdasarkan Journal of Burn Care and Rehabilitation 1992, diperkirakan
terdapat 2,4 juta kasus luka bakar dalam setahun di Amerika Serikat. Antara 8.000
dan 12.000 pasien dengan luka bakar meninggal, dan sekitar 1 juta akan mengalami
cacat substansial atau permanen yang diakibatkan oleh luka bakar yang dialami.
Penelitian yang menggunakan subyek penderita luka bakar rawat inap di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Januari 1998 sampai Mei 2001 menyebutkan
bahwa dari 156 penderita terdapat angka mortalitas sebesar 27,6% dimana penderita
terbanyak usia 19 tahun dimana laki-laki lebih banyak dari perempuan. Penyebab
terkena api (55,1%) dan terjadi di rumah (72,4%). 3
Luka bakar merupakan penyebab ketiga kematian akibat kecelakaan pada
semua kelompok umur. Indikasi untuk melakukan pembunuhan dengan mempersulit
identifikasi korban melalui luka bakar juga memiliki prevalensi yang cukup tinggi
(90%). Aspek medikolegal menuntut seorang dokter untuk melakukan pemeriksaan
terhadap seseorang yang mengalami luka bakar baik yang masih hidup maupun yang
telah mati. Maka dari itu diperlukan suatu tinjauan pustaka yang mebahas aspek klinis
dan patologi forensik mengenai luka bakar yang dapat dijadikan suatu tambahan
wawasan bagi praktisi medis dalam menangani kasus luka bakar.2,3
1.2 Rumusan Masalah
a. Apakah definisi dan klasifikasi dari luka bakar?
b. Apakah etiologi dan patofisiologi dari luka bakar?
c. Bagaimanakah luka bakar ditinjau dari aspek patologi forensik?
d. Bagaimana identifikasi korban dan keadaan umum yang ditemukan pada
mayat dengan luka bakar?
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui definisi dan klasifikasi dari luka bakar
b. Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi dari luka bakar
c. Untuk mengetahui luka bakar ditinjau dari aspek patologi forensik
d. Untuk mengetahui identifikasi korban dan keadaan umum yang ditemukan
pada mayat dengan luka bakar
1.4 Manfaat Penulisan
a. Dapat memberikan informasi mengenai definisi dan klasifikasi dari luka bakar
b. Dapat memberikan informasi mengenai etiologi dan patofisiologi dari luka
bakar
c. Dapat memberikan informasi mengenai luka bakar ditinjau dari aspek patologi
forensik
d. Dapat memberikan informasi mengenai identifikasi korban dan keadaan
umum yang ditemukan pada mayat dengan luka bakar
e.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Luka Bakar
Luka bakar merupakan kerusakan atau kehilangan jaringan yang diakibatkan oleh
kontak dengan panas kering (api), panas lembab (uap dan cairan panas), kimiawi
(bahan-bahan korosif), barang-barang elektrik (aliran listrik atau lampu), friksi atau
energi. Luka bakar adalah luka yang terjadi bila sumber panas bersentuhan dengan
tubuh atau jaringan dan besarnya luka ditentukan oleh tingkat suhu dan durasi
kontak.1,2
2.2 Etiologi
Penyebab luka bakar berdasarkan penyebabnya, dibedakan menjadi trauma termal,
trauma listrik, trauma petir, trauma benda kimia, trauma radiasi, dan trauma suhu
sangat rendah. Trauma termal merupakan penyebab paling sering dari sumber panas
kepada tubuh (lidah api, permukaan yang panas, logam yang panas, dan lelehanlelehan yang panas. Suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya heat exhaustion
primer. Temperatur kulit yang tinggi dan pelepasan panas yang rendah menimbulkan
kolaps pada seseorang karena ketidakseimbangan antara darah sirkulasi dengan
lumen pembuluh darah. Hal ini sering terjadi pada paparan panas, aktivitas berlebihan
dan pakaian yang terlalu tebal. Heat exhaustion sekunder terjadi akibat dehidrasi.
Heat stroke terjadi akibat kegagalan kerja pusat pengatur suhu karena temperatur
pusat tubuh terlalu tinggi. Kekerasan oleh benda bersuhu tinggi akan dapat
menimbulkan luka bakar yang cirinya amat tergantung dari jenis bendanya,
ketinggian suhunya serta lamanya kontak dengan kulit. Api, benda padat panas
atau membara dapat mengakibatkan luka bakar derajat I, II, III, atau IV. Zat cair
panas dapat mengakibatkan luka bakar tingkat I, II, atau III. Gas panas dapat
mengakibatkan luka bakar tingkat I, II, III, atau IV. MOENADJAT, JAMES
Kekerasan oleh hawa bersuhu dingin biasanya dialami oleh bagian tubuh
yang terbuka; seperti misalnya tangan, kaki, telinga atau hidung. Mula-mula
pada daerah tersebut akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah superfisial sehingga
terlihat pucat. Selanjutnya akan terjadi paralise dari vasomotor kontrol yang
3
mengakibatkan daerah tersebut menjadi kemerahan. Pada keadaan yang berat dapat
terjadi gangren. MOENADJAT
Sengatan oleh benda bermuatan listrik dapat menimbulkan luka bakar sebagai
akibat berubahnya energi listrik menjadi panas. Besarnya pengaruh listrik pada
jaringan tubuh tersebut tergantung dari besarnya tegangan (voltase), kuatnya arus
(amper), besarnya tahanan (keadaan kulit kering atau basah), lamanya kontak serta
luasnya daerah terkena kontak. Bentuk
luka
pada
daerah
kontak
(tempat
masuknya arus) berupa kerusakan lapisan kulit dengan tepi agak menonjol dan di
sekitarnya terdapat daerah pucat, dikelilingi daerah hyperemis. Sering ditemukan
adanya metalisasi. Pada tempat keluarnya arus dari tubuh juga sering ditemukan luka.
Bahkan kadang-kadang bagian dari baju atau sepatu yang dilalui oleh arus listrik
ketika meninggalkan tubuh juga ikut terbakar. Tegangan arus kurang dari 65
volt biasanya tidak membahayakan, tetapi tegangan antara 65-1000 volt dapat
mematikan. Sedangkan kuat arus (amper) yang dapat mematikan adalah 100 mA.
Kematian tersebut terjadi akibat fibrilasi ventrikel, kelumpuhan otot pernafasan atau
pusat pernafasan. Sedangkan faktor yang sering mempengaruhi kefatalan adalah
kesadaran seseorang akan adanya arus listrik pada benda yang dipegangnya. Bagi
orang-orang tidak menyadari adanya arus listrik pada benda yang dipegangnya
biasanya pengaruhnya lebih berat dibanding orang-orang yang pekerjaannya setiap
hari berhubungan dengan listrik. MOENADJAT, JAMES
Petir
terjadi
karena
adanya
loncatan
arus
listrik
di
awan
yang
tegangannya dapat mencapai 10 mega volt dengan kuat arus sekitar 100.000 A
ke tanah. Luka-luka karena sambaran petir pada dasarnya merupakan luka-luka
gabungan akibat listrik, panas dan ledakan udara. Luka akibat panas berupa luka
bakar dan luka akibat ledakan udara berupa luka-luka yang mirip dengan luka
akibat persentuhan dengan benda tumpul. Dapat terjadi kematian akibat efek arus
listrik yang melumpuhkan susunan saraf pusat, menyebabkan fibrilasi ventrikel.
Kematian juga dapat terjadi karena efek ledakan ataun efek dari gas panas
yang ditimbulkannya. Pada korban mati sering ditemukan adanya arborescent mark
(percabangan pembuluh darah terlihat seperti percabangan pohon), metalisasi benda-
benda dari logam yang dipakai. Pakaian korban terbakar atau robek-robek.
MOENADJAT, JAMES
Zat-zat kimia korosif dapat menimbulkan luka-luka apabila mengenai tubuh
manusia. Ciri-ciri lukanya amat tergantung dari golongan zat kimia tersebut, yaitu
dibagi menjadi bahan kimia golongan asam dan bahan kimia golongan basa.
Termasuk zat kimia korosif golongan asam antara lain: asam mineral, yaitu: H2SO4,
HCL, NO3; asam organik, yaitu: asam oksalat, asam formiat dan asam asetat; garam
mineral, yaitu: AgNO3, dan zinc chlorida; halogen, yaitu: F, Cl, Ba dan J. Cara kerja
zat kimia korosif dari golongan ini sehingga mengakibatkan luka ialah mengekstraksi
air dari jaringan, mengkoagulasi protein menjadsi albuminat, dan mengubah
hemoglobin menjadi acid hematin. Ciri-ciri dari luka yang terjadi akibat zat-zat asam
korosif adalah luka terlihat kering, berwarna coklat kehitaman, kecuali yang
disebabkan oleh nitric acid berwarna kuning kehijauan, perabaan keras dan kasar.
Zat-zat kimia korosif yang termasuk golongan basa antara lain KOH, NaOH, dan
NH4OH. Cara kerja dari zat-zat tersebut sehingga menimbulkan luka ialah
mengadakan ikatan dengan protoplasma sehingga membentuk alkaline albumin dan
sabun, dan mengubah hemoglobin menjadi alkaline hematin. Ciri-ciri luka yang
terjadi sebagai akibat persentuhan dengan zat-zat ini adalah luka terlihat basah dan
edematous,
berwarna
merah
kecoklatan,
dan
perabaan
lunak
dan
licin.
Luka bakar akibat panas, umumnya terjadi akibat meningkatnya suhu yang
mengakibatkan kematian sel. Pada keadaan ini dapat menyebabkan luka lepuh
akibat terpapar zat panas.
b. Luka bakar listrik
Luka bakar listrik umumnya terjadi akibat aliran listrik yang menjalar ke
tubuh.
c. Luka bakar kimiawi
Luka bakar ini terjadi akibat paparan zat yang bersifat asam maupun basa.
Karakteristik keduanya memiliki perbedaan dalam hal kedalaman luka bakar
yang terjadi. Luka bakar akibat paparan zat yang bersifat basa umumnya
mengakibatkan luka yang lebih dalam dibandingkan akibat zat asam. Hal ini
disebabkan zat basa akan menyatu dengan jaringan lemak di kulit sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih progresif, sedangkan luka bakar
akibat asam akan menyebabkan koagulasi protein.4
2.3.2 Luka Bakar Berdasarkan Kedalaman
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu yang menyebabkan cedera,
lamanya paparan dan ketebalan kulit. Berdasarkan dalamnya jaringan yang rusak
akibat luka bakar tersebut, luka bakar dapat diklasifikasikan menjadi derajat I, II, III
dan IV.7 Pada luka bakar derajat 1 (superficial burn), kerusakan hanya terjadi di
permukaan kulit. Kulit akan tampak kemerahan, tidak ada bulla, sedikit oedem dan
nyeri, dan tidak akan menimbulkan jaringan parut setelah sembuh. Luka bakar derajat
2 (partial thickness burn) mengenai sebagian dari ketebalan kulit yang melibatkan
semua epidermis dan sebagian dermis. Pada kulit akan ada bulla, sedikit oedem, dan
nyeri berat. Pada luka bakar derajat 3 (full thickness burn), kerusakan terjadi pada
semua lapisan kulit dan ada nekrosis. Lesi tampak putih dan kulit kehilangan sensasi
rasa, dan akan menimbulkan jaringan parut setelah luka sembuh. Luka bakar derajat 4
disebut charring injury. Pada luka bakar ini kulit tampak hitam seperti arang karena
terbakarnya jaringan. Terjadi kerusakan seluruh kulit dan jaringan subkutan begitu
juga pada tulang akan gosong.2
2.
3.
4.
5.
Selain dari kedua metode tersebut di atas, dapat juga digunakan cara lainnya yaitu
mengunakan metode hand palm. Metode ini adalah cara menentukan luas atau
persentasi luka bakar dengan menggunakan telapak tangan. Satu telapak tangan
mewakili 1 % dari permukaan tubuh yang mengalami luka bakar.3,4
Kriteria berat ringannya luka bakar menurut American Burn Association ialah:3,4,5
1. Luka bakar ringan
a. Luka bakar derajat II < 15% pada orang dewasa
b. Luka bakar derajat II < 10% pada anak-anak
c. Luka bakar derajat III < 2%
2. Luka bakar sedang
a. Luka bakar derajat II 15% 25% pada orang dewasa
b. Luka bakar derajat II 10% 20% pada anak-anak
c. Luka bakar derajat III < 10%
3. Luka bakar berat
a. Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa
b. Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak
c. Luka bakar derajat III 10% atau lebih
d. Luka bakar mengenai wajah, telinga, mata, dan genitalia/perineum
e. Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain
8
yang terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung dengan diikuti oleh fase
hiperdinamik serta hipermetabolik. Insiden, intensitas dan durasi perubahan
patofisiologik pada luka bakar sebanding dengan luasnya luka bakar yang terlihat
pada seberapa luas permukaan tubuh yang terkena. Kejadian sistemik awal sesudah
luka bakar yang berat adalah ketidakstabilan hemodinamik akibat hilangnya integritas
kapiler dan kemudian terjadinya perpindahan cairan, natrium, serta protein dari ruang
intravaskular kedalam ruang interstisial. JAMES, DEIRDRE, Budiyanto
Segera setelah luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (katekolamin,
histamin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalami
injuri. Substansi-substansi ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler
sehingga plasma merembes kedalam sekitar jaringan. Injuri panas yang secara
langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan permeabilitas kapiler. Injuri
yang langsung mengenai membran sel menyebabkan sodium masuk dan potasium
keluar dari sel. Secara keseluruhan akan menimbulkan tingginya tekanan osmotik
yang menyebabkan meningkatnya cairan intraseluler dan interstitial dan yang dalam
keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume cairan intravaskuler. Luka
bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general baik pada area yang mengalami
luka maupun jaringan yang tidak mengalami luka bakar dan terjadi penurunan
sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai respon
terhadap pelepasan katekolamin dan terjadinya hipovolemia relatif, yang mengawali
turunnya
curah
jantung.
Kadar
hematokrit
meningkat
yang
menunjukan
10
11
Fungsi sistem imun mengalami depresi. Depresi pada aktivitas limfosit, suatu
penurunan dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas komplemen dan
perubahan/gangguan pada fungsi neutrofil dan makrofag dapat terjadi pada korban
yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko
terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup korban. JAMES
Fungsi renal dapat berubah sebagai akibat dari berkurangnya volume darah,
destruksi sel-sel darah merah pada lokasi cedera akan menghasilkan hemoglobin
bebas dalam urin. Jika terjadi kerusakan di otot (akibat luka bakar listrik), myoglobin
akan dilepaskan dari sel-sel otot dan diekskresikan melalui ginjal, bila aliran darah
yang melewati tubulus renal tidak cukup maka hemoglobin dan myoglobin akan
menyumbatnya sehingga timbul komplikasi nekrosis akut tubuler dan gagal ginjal.
Pertahanan imunologik tubuh sangat berubah akibat luka bakar, kehilangan integritas
kulit diperparah lagi dengan pelepasan faktor-faktor inflamasi yang abnormal, hal ini
membuat seseorang yang menderita luka bakar berisiko tinggi mengalami sepsis.
JAMES
Selain itu, hilangnya kulit juga menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk
mengatur suhu, sehingga seorang yang menderita luka bakar dapat memperlihatkan
suhu tubuh yang rendah dalam beberapa jam pertama pasca-luka bakar, namun
kemudian akan mengalami hipertermia sekalipun tidak disertai infeksi karena
hipermetabolisme menyetel kembali suhu tubuh inti. Ada dua komplikasi
gastrointestinal yang potensial yaitu: ileus paralitik (tidak adanya peristalsis usus) dan
ulkus curling, berkurangnya peristalsis dan bising usus merupakan manifestasi ileus
paralitik yang terjadi akibat luka bakar. JAMES
2.5 Penyebab Kematian Akibat Luka Bakar (Manner of Death)
Kematian akibat luka bakar dapat bersifat segera (immediate) atau tertunda (delayed).
Kematian segera artinya kematian yang langsung terjadi akibat paparan panas
mengenai tubuh, misalnya tubuh yang terbakar atau terkena cedera inhalasi.
Sedangkan kematian yang tertunda adalah kematian yang terjadi dalam 1 atau 4 hari
akibat syok, kehilangan cairan berlebih, lower nephron nephrosis, pulmonary edema,
12
pneumonia, atau akibat infeksi dan kegagalan respirasi akut lainnya. IDRIS,
BASEBETH
a. Keracunan Zat Karbon Monoksida
Kebanyakan kematian pada luka bakar biasanya terjadi pada kebakaran yang hebat
yang terjadi pada gedung-gedung atau rumah-rumah bila dibandingkan dengan
kebakaran yang terjadi pada kecelakaan pesawat terbang atau mobil. Pada kasuskasus kebakaran yang terjadi secara bertahap maka CO poisoning dan smoke
inhalation lebih sering bertanggung jawab dalam penyebab kematian korban
dibanding dengan luka bakar itu sendiri. CO poisoning merupakan aspek yang
penting dari penyebab kematian pada luka bakar, biasanya korban menjadi tidak
sadar dan meninggal sebelum api membakarnya, ini dapat menjawab pertanyaan
mengapa korban tidak melarikan diri pada waktu terjadi kebakaran. Sehingga
dalam menentukan penyebab dari kematian, maka luas dan derajat luka bakar serta
saturasi darah yang mengandung CO harus dinilai secara hatihati. Gas CO ini
dibentuk dari pembakaran yang tidak sempurna misalnya kayu yang terbakar,
kertas, kain katun, batu bara yang terbakar akan menghasilkan gas CO. CO dalam
darah merupakan indikator yang paling berharga yang dapat menunjukkan bahwa
korban masih hidup pada waktu terjadi kebakaran. Oleh karena gas ini hanya dapat
masuk melalui absorbsi pada paru-paru. Pada perokok dapat dijumpai saturasi CO
dalam darah hanya lebih dari 5%, dan ini dapat menunjukan bahwa korban masih
bernafas pada waktu terjadinya kabakaran, demikian juga pada korban
atherosclerosis coroner yang berat dapat meninggal dengan kadar COHB yang
lebih rendah dari pada individu yang sehat. Bila CO merupakan penyebab mati
yang utama maka saturasi dalam darah paling sedikitnya dibutuhkan 40% COHB,
kecuali pada orang tua, anak-anak dan debilitas dimana pernah dilaporkan mati
dengan kadar 25 %. Sebenarnya kadar COHB pada korban yang sekarat selama
kebakaran, sering tidak cukup tinggi untuk menyebabkan kematian. Banyak kasuskasus fatal menunjukan saturasi 50- 60 %, walaupun kadarnya secara umum
kurang dari kadar yang terdapat dalam darah pada keracunan CO murni, seperti
pembunuhan dengan gas mobil atau industrial exposure, dimana konsentrasinya
13
dapat mencapai 80 %. Selain itu adanya gas-gas toksik dan pengurangan oksigen
dalam atmosfer dapat menyebabkan kematian dengan kadar CO yang rendah.
BASEBETH
b. Menghirup asap pembakaran (Smoke Inhalation)
Pada banyak kasus kematian, dimana cedera panas pada badan tidak sesuai dengan
penyebab kematian maka dikatakan penyebab kematian adalah smoke inhalation.
Asap yang berasal dari kebakaran terutama alat-alat rumah tangga seperti
furniture, cat , kayu, pernis, karpet dan komponen-komponen yang secara
struktural terdiri polystyrene, polyurethane, polyvinyl dan material-material plastik
lainnya dikatakan merupakan gas yang sangat toksik bila dihisap dan potensial
dalam menyebabkan kematian. BASEBETH
c. Trauma Mekanik
Kematian oleh karena trauma mekanik biasanya disebabkan karena runtuhnya
bangunan disekitar korban, atau merupakan bukti bahwa korban mencoba untuk
melarikan diri seperti memecahkan kaca jendela dengan tangan. Luka-luka ini
harus dicari pada waktu melakukan pemeriksaan luar jenasah untuk memastikan
apakah luka-luka tersebut signifikan dalam menyebabkan kematian. Trauma
tumpul yang mematikan tanpa keterangan antemortem sebaiknya harus dicurigai
sebagai suatu pembunuhan. IDRIS
d. Anoksia dan hipoksia
Kekurangan oksigen dengan akibat hipoksia dan anoksia sangat jarang sebagai
penyebab kematian. Bila oksigen masih cukup untuk menyalakan api maka masih
cukup untuk mempertahankan kehidupan. Sebagai contoh tikus dan lilin yang
diletakkan dalam tabung yang terbatas kadar oksigennya ternyata walaupun lilin
padam lebih dahulu tikus masih aktif berlari disekitarnya. Radikal bebeas dapat
diajukan sebagai salah satu kemungkinan dari penyebab kematian, oleh karena
radikal bebas ini dapat menyebabkan surfaktan menjadi inaktif, jadi mencegah
pertukaran oksigen dari alveoli masuk kedalam darah. BASEBETH
e. Luka bakar itu sendiri
14
15
c. Skull fractures
Bila kepala terpapar cukup lama dengan panas dapat menyebabkan pembentukan
uap didalam rongga kepala yang lama kelamaan akan mengakibatkan kenaikan
tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan terpisahnya sutura-sutura dari tulang
tengkorak. Pada luka bakar yang hebat dan kepala sudah menjadi arang atau
hangus terbakar dapat terlihat artefak fraktur tulang tengkorak yang berupa fraktur
linear. Disini tidak penah diikuti oleh kontusio serebri, subdural atau
subarachnoid. IDRIS, DIMAIO
d. Pseudo epidural hemorrhage
Keadaan umum yang biasanya terdapat pada korban yang hangus terbakar dan
kepala yang sudah menjadi arang adalah pseudo epidural hemorrhage atau
epidural hematom postmortem. Untuk membedakan dengan epidural hematom
antemortem tidak sulit oleh karena pseudo epidural hematom biasanya berwarna
coklat, mempunyai bentukan seperti honey comb appearance, rapuh tipis dan
secara tipikal terletak pada daerah frontal, parietal, temporal dan beberapa kasus
dapat meluas sampai ke oksipital. IDRIS, DIMAIO
e. Non-cranial fractures
Artefak berupa fraktur pada tulang-tulang ekstremitas juga sering ditemukan pada
korban yang mengalami karbonisasi oleh karena tereksposure terlalu lama dengan
api dan asap. Tulangtulang yangterbakar mempunyai warna abu-abu keputihan
dan sering menunjukan fraktur kortikal pada permukaannya. Tulang ini biasanya
hancur bila dipegang sehingga memudahkan trauma postmortem pada waktu
transportasi ke kamar mayat atau selama usaha memadamkan api. Mayat sering
dibawa tanpa tangan dan kaki, dan mereka sudah tidak dikenali lagi di TKP karena
sudah mengalami fragmentasi. IDRIS, DIMAIO
f. Pugilistic Posture.
Pada mayat yang hangus terbakar, tubuh akan mengambil posisi pugilistic.
Koagulasi dari otot-otot oleh karena panas akan menyebabkan kontraksi serabut
otot otot fleksor dan mengakibatkan ekstremitas atas mengambil sikap seperti
posisi seorang boxer dengan tangan terangkat didepannya, paha dan lutut yang
16
juga fleksi sebagian atau seluruhnya. Posisi pugilistic ini tidak berhubungan
apakah individu itu terbakar pada waktu hidup atau sesudah kematian. pugilistic
attitude
atau
heat
rigor
ini
akan
hilang
bersama
dengan
timbulnya
17
melalui mulut yang terbuka, mewarnai lidah, dan faring, glottis, vocal cord,
trachea bahkan bronchiolus terminalis. Sehingga, secara histologi ditemukan
jelaga yang terletak pada bronchiolus terminalis merupakan bukti yang absolut
dari fungsi respirasi. Sering pula dijumpai adanya jelaga dalam mukosa lambung,
ini juga merupakan bukti bahwa korban masih hidup pada wakrtu terdapat asap
pada peristiwa kebakaran. Karbon ini biasanya bercampur dengan mukus yang
melekat pada trachea dan dinding bronkus oleh karena iritasi panas pada mukosa.
Ditekankan sekali lagi bahwa ini lebih nyata bila kebakaran terjadi didalam
gedung dari pada di dalam rumah. DIMAIO, DIX
b. Saturasi COHB dalam darah. CO dalam darah merupakan indikator yang paling
berharga yang dapat menunjukkan bahwa korban masih hidup pada waktu terjadi
kebakaran. Oleh karena gas ini hanya dapat masuk melalui absorbsi pada paruparu. Akan tetapi bila pada darah korban tidak ditemukan adanya saturasi COHB
maka tidak berarti korban mati sebelum terjadi kebakaran. Pada nyala api yang
terjadi secara cepat, terutama kerosene dan benzene, maka level karbonmonoksida
lebih rendah atau bahkan negative dari pada kebakaran yang terjadi secara
perlahan-lahan dengan akses oksigen yang terbatas seperti pada kebakaran
gedung. DIMAIO, DIX
Satu lagi yang harus disadari bahwa kadar saturasi CO dalam darah
tergantung beberapa faktor termasuk konsentrasi CO yang terinhalasi dari udara,
lamanya eksposure, rata-rata dan kedalaman respiration rate dan kandungan Hb
dalam darah. Kondisi-kondisi ini akan mempengaruhi peningkatan atau penurunan
rata-rata absorbsi CO. sebagai contoh api yangmenyala dalam ruangan tertutup,
akumulasi CO dalam udara akan cepat meningkat sampai konsentrasi yang tinggi,
sehingga diharapkan absorbsi CO dari korban akan meningkan secara
bermakna. DIMAIO, DIX
Pada otopsi biasanya relatif mudah untuk menentukan korban yang meninggal
pada keracuan CO dengan melihat warna lebam mayat yang berupa cherry red
pada kulit, otot, darah dan organ-organ interna, akan tetapi pada orang yang
anemik atau mempunyai kelainan darah warna cherry red ini menjadi sulit
18
dikenali. Warna cherry red ini juga dapat disebabkan oleh keracuan sianida atau
bila tubuh terpapar pada suhu dingin untuk waktu yang lama. DIMAIO, DIX
c. Reaksi jaringan. Tidak mudah untuk membedakan luka bakar yang akut yang
terjadi antemortem dan postmortem. Pemeriksaan mikroskopik luka bakar tidak
banyak menolong kecuali bila korban dapat bertahan hidup cukup lama sampai
terjadi respon respon radang. Kurangnya respon tidak merupakan indikasi bahwa
luka bakar terjadi postmortem. Pemeriksaan slide secara mikroskopis dari korban
luka bakar derajat tiga yang meninggal tiga hari kemudian tidak ditemukan reaksi
radang, ini diperkirakan oleh karena panas menyebabkan trombosis dari pembuluh
darah pada lapisan dermis sehinggga sel-sel radang tidak dapat mencapai area luka
bakar dan tidak menyebabkan reaksi radang. Blister juga bukan merupakan
indikasi bahwa korban masih hidup pada waktu terjadi kebakaran, oleh karena
blister ini dapat terjadi secara postmortem. Blister yang terjadi postmortem
berwarna kuning pucat, kecuali pada kulit yang hangus terbakar. Agak jarang
dengan dasar merah atau areola yang erythematous, walaupun ini bukan
merupakan tanda pasti. Secara tradisionil banyak penulis mengatakan bahwa untuk
dapat membedakan blister yang terjadi antemortem dengan blister yang terjadi
postmortem adalah dengan menganalisa protein dan chlorida dari cairan itu.
Blister yang dibentuk pada antemortem dikatakan mengandung lebih banyak
protein dan chloride, tetapi inipun tidak merupakan angka yang absolut. DIMAIO,
DIX
d. Pendarahan subendokardial ventrikel kiri jantung. Perdarahan subendokardial pada
ventrikel kiri dapat terjadi oleh karena efek panas. Akan tetapi perdarahan ini
bukan sesuatu yang spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme
kematian. Pada korban kebakaran perdarahan ini merupakan indikasi bahwa
sirkulasi aktif sedang berjalan ketika tereksposure oleh panas tinggi yang tidak
dapat ditolerasi oleh tubuh dan ini merupakan bukti bahwa korban masih hidup
saat terjadi kebakaran. DIMAIO, DIX
19
1.
2.
3.
4.
5.
DiMaio J, DiMaio D. 2001. Fire Deaths. In: DiMaio J, DiMaio D (eds). Forensic
Pathology. 2nd ed. New York: CRC press LLC; p. 1-21
Basebeth Keren DR.SPF.DFM. Kematian Karena Luka Bakar. Available at:
http://deathduetofire.blogspot.com. Acceseed at January 11, 2011.
Dix J. 2000. Thermal Injuries. In: Dix J (ed). Color Atlas of Forensic Pathology. New
York: CRC Press LLC;2000. P. 116-124
Moenadjat, Yefta. 2003. Luka Bakar: Pengetahuan Klinis Praktis. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Budiyanto A, et all. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: SMF Forensik
Fakultas Kedokteran universitas Indonesia.
Idris, A.M. 1997. Luka Bakar dalam Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi
pertama, Jakarta: PT Binarupa Aksara.
Deirdre, C., Elsayed, S., Reid, O., Winston, B., Lindsay, R. 2006. Burn Wound
Infection. Clin Microbiol Rev; 19(2): 403434.
Puteri AM, Sukasah CL. 2009. Presentasi Kasus: Luka Bakar. Jakarta: Departemen
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Riasa, I. N. P. Memahami Luka Bakar. (diakses tanggal 29 April 2011). Diunduh
dari: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0306/14/ilpeng/368438.htm.
James A.B. 1990. Medical Science of Burning, First Edition. Australia: Melbourne
University Press.
20