Anda di halaman 1dari 44

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM

PELAKSANAAN PERJANJIAN LEASING KENDARAAN BERMOTOR

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Dalam Mata Kuliah Pengantar
Hukum Bisnis Pada Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Disusun oleh :
Nur Afni Latin
C1B014024

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
PURWOKERTO
DESEMBER 2015

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena


berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Pelaksanaan
Perjanjian Leasing Kendaraan Bermotor.
Makalah ini disusun semata dalam rangka memenuhi
tugas terstruktur mata kuliah Pengantar Hukum Bisnis. Dalam
pengerjaannya, penulis banyak dibantu oleh orang-orang
yang dengan ikhlas memberikan saran dan masukan yang
menginspirasi penulis dalam menyelesaikan makalah.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, maka kritik dan saran sangat diharapkan agar
dapat

memberikan

semangat

bagi

penulis

untuk

memperbaiki karyanya di kemudian hari.

Purwokerto, Desember 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................
B. Perumusan Masalah....................................................
C. Tujuan........................................................................

1
9
9

BAB II KERANGKA TEORITIS


A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.

Pengertian Perjanjian..................................................
Jenis-jenis Perjanjian.................................................
Asas-asas dalam Hukum Perjanjian...........................
Syarat Sahnya Perjanjian...........................................
Berakhirnya Suatu Perjanjian....................................
Leasing.......................................................................
Macam-macam Leasing.............................................
Perbedaan Leasing dengan Perjanjian Lain...............
Pengertian Perlindungan Konsumen..........................
Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen...
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha.............................
Hak dan Kewajiban Konsumen.................................

10
11
12
14
15
16
17
20
21
22
23
25

BAB III PEMBAHASAN


A. Pelaksanaan Perjanjian Leasing antara Pihak Lessor
dan Lesse....................................................................
B. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam
Perjanjian Leasing......................................................
C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha dan Konsumen
dalam Perjanjian Leasing, Apabila Barang

27
28

(Kendaraan Bermotor) Musnah.................................

32

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................
B. Ucapan Terimakasih...................................................

38
40

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang ekonominya terus berkembang dari
waktu ke waktu. Banyak potensi-potensi usaha baru yang tumbuh dalam

perekonomian Indonesia. Namun untuk mengembangkan potensi usaha


tersebut tentulah aspek pendanaan sangat penting. Untuk memenuhi
kebutuhan dana tersebut, saat ini semakin banyak orang yang mendirikan
suatu lembaga pembiayaan yang bergerak di bidang penyediaan dana ataupun
barang yang akan dipergunakan oleh pihak lain di dalam mengembangkan
usahanya. Lembaga pembiayaan tersebut merupakan lembaga keuangan non
bank. Yang membedakan lembaga pembiayaan dengan bank adalah bank
mengambil dana secara langsung dari masyarakat sedangkan lembaga
pembiayaan non bank tidak mengambil dana secara langsung dari
masyarakat. Salah satu lembaga pembiayaan yang berkembang pesat saati ini
adalah sewa guna usaha atau biasa disebut juga dengan Leasing.
Saat ini, leasing merupakan salah satu cara perusahaan memperoleh
asset atas kepemilikan tanpa harus melalui proses yang berkepanjangan.
Semuanya telah diatur oleh perusahaan leasing yang disediakan oleh berbagai
perusahaan. Leasing juga merupakan salah satu langkah penghindaran risiko
tinggi yang saat ini sudah disadari oleh para usahawan yang ada. Bila dilihat
dari prospek kebutuhan pembangunan, usaha leasing jelas dapat berkembang
pesat dan memainkan peranan aktif sebagai lembaga keuangan baru yang
khusus bergerak dalam penyediaan barang modal sebagai alternative sumber
pembiayaan suatu perusahaan bisnis dan mempunyai harapan untuk
memenuhi kebutuhan pasarnya yang luas.
Melalui pembiayaan leasing perusahaan dapat memperoleh barangbarang modal untuk operasional dengan mudah dan cepat. Hal ini sungguh

berbeda jika mengajukan kredit kepada bank yang memerlukan persyaratan


serta jaminan yang besar. Bagi perusahaan yang modalnya kurang atau
menengah, dengan melakukan perjanjian leasing akan dapat membantu
perusahaan dalam menjalankan roda kegiatannya. Setelah jangka leasing
selesai, perusahaan dapat membeli barang modal yang bersangkutan.
Perusahaan yang memerlukan sebagian barang modal tertentu dalam suatu
proses produksi secara tiba-tiba, tetapi tidak mempunyai dana yang cukup,
dapat

mengadakan

perjanjian

leasing

untuk

mengatasinya.

Dengan

melakukan leasing akan lebih menghemat biaya dalam hal pengeluaran dana
dibanding dengan membeli secara tunai.
Dalam dunia pembiayaan, khususnya pembiayaan yang diberikan oleh
perusahaan leasing, mereka cenderung menerapkan perjanjian hutang
piutang yang bersifat adanya penggunaan jaminan kepada para nasabahnya,
hal ini kerap dilakukan mengingat agar terciptanya jaminan para
nasabah untuk dapat melunasi hutangnya, dan dalam melakukan perjanjian
hutang piutang tersebut kebanyakan para pelaku usaha dalam dunia Leasing
menggunakan perjanjian baku atau dapat dikatakan perjanjian yang dibuat
secara sepihak, mengingat kebanyakan dalam kondisi yang lemah para
nasabah acap kali tidak bisa berbuat apa apa dan cenderung disebut sebagai
pihak yang tersisihkan haknya sebagai nasabah, karena faktor kebutuhan
maupun ekonomi yang sudah mendesak para nasabah pun menyetujui
draf-draf perjanjian atau klausula baku tersebut.

Pihak konsumen dalam hal ini mau tidak mau, suka atau tidak suka
harus menerima pembayaran yang telah ditentukan oleh pelaku usaha atau
dapat dikatakan pihak konsumen berada dalam posisi tawar (bargaining
position) yang lemah, karena ia sangat membutuhkan barang modal atau
modal tersebut.
Dalam

memberikan

pelayanan

terhadap

konsumen,

produsen

mempergunakan perjanjian baku (perjanjian standar), khususnya untuk


melayani konsumen dalam jumlah yang banyak mengenai barang dan/atau
jasa sejenis. Sebagaimana diketahui bahwa munculnya hukum perjanjian
dalam lalu lintas hukum, dilandasi oleh kebutuhan akan pelayanan
yang efektif dan efisien terhadap kegiatan yang bersifat transaksional.
Dalam Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa:

Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau


lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Selanjutnya dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa untuk
sahnya suatu perjanjian, diperlukan 4 syarat, yaitu adanya sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat perikatan, hal
tertentu dan suatu sebab yang halal. Dengan memenuhi persyaratan ini,
masyarakat dapat membuat perjanjian apa saja. Pasal 1320 KUHPerdata
disebut sebagai ketentuan yang mengatur asas konsesualisme, yaitu

perjanjian adalah sah apabila ada kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok
dari perjanjian.
Hal ini berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak dalam membuat
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang
bagi mereka yang membuatnya, yang disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, sehingga perjanjian harus dibuat dengan memenuhi ketentuan
Undang-Undang, maka perjanjian tersebut mengikat para pihak yang
kemudian menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak tersebut.
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, salah satu syarat yang
harus dipenuhi dalam menerapkan asas kebebasan berkontrak, adalah itikad
baik dari pihak yang membuat perjanjian. Itikad baik dalam tahap
pelaksanaan perjanjian adalah kepatutan, yaitu suatu penilaian baik terhadap
tindak tanduk suatu pihak dalam melaksanakan apa yang akan diperjanjikan.
[1]

Dengan

demikian

asas

itikad

baik

mengandung

pengertian,

Bahwa kebebasan suatu pihak dalam membuat perjanjian tidak dapat


diwujudkan sekehendaknya tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.[2]

1 Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1976,

hlm. 26.
2 Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang

Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta,
1993, hlm. 49.

Umumnya lembaga sewa beli menggunakan bentuk perjanjian baku


yang mengikat

para pihak. Klausula-klausula dalam perjanjian tersebut

telah dibuat sebelumnya oleh salah satu pihak tanpa melibatkan pihak yang
lain, dan pihak yang lain tersebut tinggal menandatangani saja perjanjian
yang sudah disediakan. Penyewa beli atau konsumen

menerima dan

memenuhi klausula-klausula yang telah dipersiapkan dengan risiko tidak


akan memperoleh barang yang menjadi obyek perjanjian, apabila ia tidak
menandatangani perjanjian.
Lembaga sewa beli merupakan lembaga hukum perjanjian yang
perkembangannya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak sebagai asas
pokok dari hukum perjanjian, yang diatur dalam Pasal 1338 Juncto Pasal
1320 KUH Perdata. Secara harfiah lembaga sewa beli dilandasi oleh
lembaga jual beli dan sewa menyewa. Secara khusus perundang-undangan
yang melandasi jual-beli tunai dan sewa menyewa adalah sama, keduanya
memiliki dasar hukum yang diatur dalam KUHPerdata dan dikelompokkan
sebagai perjanjian bernama, sementara sewa beli ini termasuk dalam
perjanjian tidak bernama yang timbul dalam praktik.
Perjanjian baku yang ditetapkan secara sepihak oleh pihak leasing
tersebut, menunjukkan bahwa, lembaga sewa beli dalam praktik memiliki
ciri tersendiri, yaitu upaya memperkuat hak penjual dari berbagai
kemungkinan yang terburuk, selama masa kontrak atau sebelum waktu
pelunasan angsuran, untuk menjamin kepentingan penjual. Hal ini yang

membuat perjanjian baku yang dipergunakan dalam pranata sewa beli sering
merupakan penyebab utama bagi timbulnya masalah di pihak pembeli dari
pada penjual.
Adanya salah satu contoh permasalahan yang timbul, maka dibuatlah
klausula-klausula yang memberikan hak kepada penjual untuk menuntut dan
penarikan barang menurut perjanjian yang dilakukannya. Jika terjadi
persoalan, umumnya yang ditarik adalah obyek dari perjanjian. Penarikan
menurut Undang-Undang akan memerlukan waktu yang relative lama,
karena harus melalui perintah Hakim. Untuk menghindari risiko tersebut,
seringkali pihak penjual menempuh jalan pintas dengan penarikan barang
obyek sewa guna (otomotif) secara langsung.
Seperti halnya suatu perjanjian antara pelaku usaha yang pada
umumnya lebih kuat, dihadapkan dengan pihak konsumen yang cenderung
mempunyai posisi lemah, bagi pihak yang lemah hanya terdapat dua pilihan
yaitu apabila mereka membutuhkan jasa atau barang yang ditawarkan
kepadanya, maka ia harus menyetujui semua syarat-syarat yang diajukan
kepadanya, tanpa menghiraukan apakah konsumen mengetahui dan atau
memahami urusan perjanjian tersebut atau tidak, dan sebaliknya apabila
mereka tidak menyetujui syarat-syarat yang diajukan kepadanya, maka
mereka harus meninggalkan atau tidak mengadakan perjanjian dengan
pelaku usaha tersebut (take it or leave it).

Dalam perjanjian baku sering ditemukan pencantuman klausulaklausula yang antara lain mengatur cara penyelesaian sengketa, dan klausula
eksonerasi, yaitu klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan
menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan
kepada pihak pelaku usaha.[3]
Apabila praktik sewa beli dibiarkan berlangsung tanpa ditertibkan
maka akan menghasilkan kemunduran alam bidang ekonomi dan bidang
hukum.

Pemerintah

telah

mengatur

lembaga

sewa

beli

dengan

dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor


34/KP/80 tanggal 1 February 1980 yang mengatur tentang perjanjian
kegiatan sewa beli dan jual beli angsuran dan sewa. Walaupun telah ada
perijinan kegiatan sewa beli dan jual beli angsuran dan sewa. Namun
pengaturan lembaga sewa beli tersebut tidak menjelaskan secara rinci
tentang kedudukan pembeli/penyewa-beli/konsumen, dalam lembaga sewa
beli. Keadaan yang demikian telah mendorong instansi terkait untuk
melindungi konsumen terhadap keadaan-keadaan yang tidak seimbang yang
diciptakan oleh pelaku usaha.

Dengan memberikan perlindungan hukum kepada konsumen maka


lahirlah Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yaitu UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang
3 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000,

hlm. 120.

diundangkan pada tanggal 20 April 1999 yang efektif mulai berlaku sejak 20
April 2000, yang dapat membatasi kebebasan penerapan klausula baku,
sehinga dapat tercipta suatu perjanjian baku yang didasari oleh asas
kebebasan berkontrak yang tidak bertentangan dengan Pasal 18 UUPK.
Pasal 1 ayat (10) UUPK menyebutkan bahwa :
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen
dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.
Berdasarkan latar belakang inilah penulis membuat makalah ini dengan
judul

PERLINDUNGAN

HUKUM

TERHADAP

KONSUMEN

DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN LEASING KENDARAAN


BERMOTOR.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, dapat diuraikan perumusan masalah


sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian leasing antara pihak lessor dengan
lesse ?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pelaksanaan
perjanjian leasing ?
3. Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha dan konsumen dalam
perjanjian leasing, apabila barang (kendaraan bermotor) hilang ?
C. Tujuan
Sesuai dengan pokok bahasan diatas maka yang menjadi tujuan dalam
penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian leasing antara pihak lessor
dengan lesse.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen dalam
pelaksanaan perjanjian leasing ?
3. Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha dan konsumen dalam
perjanjian leasing, apabila barang (kendaraan bermotor) hilang ?

BAB II
KERANGKA TEORITIS

A. Pengertian Perjanjian
Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih. Pengertian lain menyebutkan bahwa perjanjian
adalah suatu peristiwa ketika seseorang berjanji kepada orang lain atau ketika
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Dalam perjanjian in timbul suatu hubungan hukum antara dua orang
tersebut (perikatan) dan perjanjian ini sifatnya konkret.[4]
Pengertian perjanjian ini mengandung unsur:
1. Pihak-pihak yang melakukan perjanjian, pihak-pihak yang dimaksud
adalah subjek perjanjian.
2. Konsensus antar para pihak.
3. Objek perjanjian.
4. Tujuan dilakukannya perjanjian yang bersifat kebendaan atau harta
kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.
5. Bentuk perjanjian yang dapat berupa lisan maupun tulisan.[5]
Perjanjian merupakan sendi yang penting dari Hukum Perdata, karena
Hukum Perdata banyak mengandung peraturan-peraturan hukum yang
berdasarkan atas janji seseorang. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan
antara para pihak yang membuatnya. Dengan demikian hubungan hukum
4 Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak, Cakrawala, Yogyakarta, 2012.

hlm 8.
5 Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan, Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm

133.

antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian menerbitkan


perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan di samping sumber lain, yaitu
Undang-Undang. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 1233 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan,
baik karena Undang-Undang.
Perikatan menunjukkan adanya suatu hubungan hukum antara para
pihak yang berisi hak dan kewajiban masing-masing. Perjanjian menujukkan
suatu janji atau perbuatan hukum yang saling mengikat antara para pihak.

B. Jenis-jenis Perjanjian
Adapun macam-macam jenis perjanjian yaitu:
1. Perjanjian Konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila
sudah ada kesepakatan diantara para pihak yang membuat.
2. Perjanjian Formil adalah perjanjian yang baru diadakan dengan suatu
bentuk akta otentik. Jadi perjanjian macam itu baru dianggap sah
apabila dibuat dihadapan notaris.
3. Perjanjian Sepihak adalah suatu perjanjian yang mana hak dan
kewajibannya hanya ada pada salah satu pihak saja.
4. Perjanjian Timbal Balik adalah suatu perjanjian yang membebankan
hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak.
5. Perjanjian Obligator adalah suatu perjanjian yang hanya membebankan
kewajiban kepada para pihak.
6. Perjanjian Pokok adalah suatu perjanjian yang dapat berdiri sendiri
tanpa tergantung pada perjanjian lainnya.

7. Perjanjian Accesoir adalah suatu perjanjian yang adanya tergantung


pada perjanjian pokok. Dengan demikian perjanjian accesoir tidak dapat
berdiri sendiri tanpa ada perjanjian pokok.
8. Perjanjian Bernama adalah suatu perjanjian yang disebut dan diatur di
dalam buku III KUHPerdata atau didalam KUHD.
9. Perjanjian Tidak Bernama adalah suatu perjanjian yang tidak disebut
dalam KUHPerdata dan KUHD.
C. Asas-asas dalam Hukum Perjanjian
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan
dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan, yaitu:
1. Asas Kebebasan Berkontrak adalah setiap orang bebas membuat
perjanjian, baik dengan isi maupun bentuknya suatu perjanjian.
2. Asas Konsensuil adalah perjanjian yang terjadi sejak ada kesepakatan
dari para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian.
3. Asas Pelengkap adalah ketentuan dalam Undang-Undang (BW) boleh
diikuti atau boleh tidak diikuti oleh para pihak.
4. Asas kepercayaan adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian
dengan pihak lain harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara
kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya.
5. Asas Kekuatan Mengikat adalah terikatnya para pihak pada apa yang
diperjanjikan dan juga terhadap unsur-unsur lain sepanjang dikehendaki
oleh kebiasaan dan kepatuhan.
6. Asas Persamaan Hak adalah asas ini menepatkan para pihak dalam
persamaan derajat, tidak diskriminasi, dan masing-masing pihak wajib
dan mengahruskan untuk menghormati satu sama lain;
7. Asas Keseimbangan adalah asas ini menghendaki para pihak untuk
memenuhi dan melaksanakan isi perjanjian secara seimbang.

8. Asas Moral adalah perjanjian memberikan motivasi pada para pihak


untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan moral sebagai
panggilan hati nurani.
9. Asas Kepatutan adalah asas yang berkaitan dengan ketentuan mengenai
isi perjanjian yang harus dipertahankan, karena menjadi ukuran tentang
hubungan para pihak yang ditentukan oelh rasa keadilan dalam
masyarakat.
10. Asas Kebiasaan adalah perjanjian tidak hanya mengikat hal-hal yang
diatur secara tegas, tetapi juga mengikuti hal-hal yang menjadi
kebiasaan.
11. Asas Kepastian Hukum adalah perjanjian sebagai suatu figure hukum
harus mengandung kepastian hukum. Isi perjanjian tidak boleh
mengandung arti yang ganda, dan dapat ditafsirkan lain arti.
D. Syarat Sahnya Perjanjian
Agar suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak,
perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal
1320 KUHPerdata, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Ada kata sepakat dari mereka yang mengikatkan diri (para pihak).
Dengan kata sepakat dimaksudkan bahwa para pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal
yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.
2. Kecakapan untuk membuat perikatan.

Kedua belah pihak cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri.


Menurut ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata, yang tidak cakap untuk
membuat perjanjian adalah:
a. Orang yang belum dewasa.
b. Dibawah pengampunan.
c. Perempuan, yang telah kawin (dengan adanya Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maka ketentuan ini
tidak berlaku lagi.
3. Suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu artinya barang yang menjadi objek perjanjian paling
sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak
menjadi soal asalkan dapat ditentukan kemudian.
4. Suatu sebab yang halal.
Artinya tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan
kepentingan umum dan norma-norma kesusilaan.[6]
Adapun menurut Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa Tiada
kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau
diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

E. Berakhirnya Suatu Perjanjian

6 Ibid, hlm 27.

Perjanjian dapat berakhir karena:


1. Batas waktu yang ditentukan para pihak sudah ridak berlaku lagi.
2. Undang-undang menetukan batas berlakunya perjanjian.
3. Para pihak atau Undang-undang menentukan bahwa terjadinya
peristiwa tertentu, maka persetujuan akan dihapus, yang dimaksud
peristiwa tertentu adalah keadaan memaksa yang diatur dalam Pasal
1244 dan 1245 KUHPerdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan
dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang
disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya.
Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:
a. Keadaan memaksa absolut.
b. Keadaan memaksa yang relative.
4. Pernyataan menghentikan suatu persetujuan yang dapat dilakukan oleh
kedua belah pihak atau oleh salah satupihak pada perjanjian yang
bersifat sementara, misalnya perjanjian kerja.
5. Putusan hakim.
6. Tujuan dari suatu perjanjian sudah tercapai.
7. Adanya persetujuan dari para pihak untuk mengakhiri suatu perjanjian.
[7]

F. Leasing
Istilah leasing sendiri berasal dari Bahasa Inggris yaitu To Lease
yang berarti menyewakan. Istilah ini berbeda dengan istilah rent/rental
yang masing-masing mempunyai hakikat yang tidak sama.
Leasing atau sewa guna usaha adalah setiap kegiatan pembiayaan
perusahaan dalam bentuk penyedian barang-barang modal untuk digunakan
7 Ibid, hlm 30.

oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu. Dengan melakukan


leasing perusahaan dapat memperoleh barang modal dengan jalan sewa beli
untuk dapat langsung digunakan berproduksi, yang dapat diangsur setiap
bulan, triwulan atau enam bulan sekali kepada pihak lessor.
Equipment Leasing Association di London memberikan definisi leasing
sebagai berikut, Leasing adalah perjanjian antar Lessor dan Lesse untuk
menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih atau ditentukan oleh
lesse. Hak pemilih atas barang tersebut ada pada Lesse hanya menggunakan
barang modal tersebut berdasrkan pembayaran uang sewa yang telah
ditentukan dalam jangka waktu tertentu.[8]

G. Macam-macam Leasing
Pada prinsipnya ada dua macam prototype leasing yaitu

leasing

berbentuk operating dan leasing yang berbentuk financial.[9]


1. Operating Lesse
Operating Lesse disebut juga Service Lesse. Operating lesse ini
biasanya merupakan suatu corak leasing dengan karakteristik sebagai
berikut:

8 Arif Djohan Tunggal, Amin Widjaja Tunggal, Akuntansi Leasing Guna

Usaha, Rineke Cipta, Jakarta, 1994, hlm 3.


9 Ibid, hlm 16.

a. Jangka waktu berlakunya leasing relatif singkat, dan lebih


singkat dari usia ekonomi barang tersebut.
b. Besarnya harga sewa lebih kecil daripada harga barang
ditambah keuntungan yang diharapkan lessor.
c. Tidak diberikan hak opsi bagi lesse untuk membeli barang di
akhir masa leasing.
d. Biasanya operating lesse dikhususkan untuk barang-barang
yang mudah terjual setelah penukaran (yang laku dipasar
barang bekas).
e. Operating lesse biasanya diberikan oleh pabrik atau Leveransir,
karena umumnya mereka mempunyai keahlian dalam seluk
beluk tentang barang tersebut. Sebab dalam operating lesse jasa
pemeliharaan merupakan tanggung jawab lessor.
f. Biasanya harga sewa tiap bulannya dibayar dengan jumlah yang
tetap.
g. Biasanya lessor-lah yang memegang biaya pemeliharaan,
kerusakan, pajak dan asuransi.
h. Biasanya kontrak leasing dapat dibedakan sepihak oleh lesse,
dengan mengembalikan barang yang bersangkutan kepada
lessor.

2. Financial Lesse

Financial lesse ini sering disebut juga dengan capital lesse. Financial
lesse merupakan corak leasing yang lebih sering diterapkan, dengan
ciri-ciri sebagai berikut:[10]
a. Jangka waktu berlakunya leasing relative panjang.
b. Besarnya harga sewa plus hak opsi harus menutupi harga barang
plus keuntungan yang diharapkan oleh lessor.
c. Diberikan hak opsi untuk membeli barang di akhir masa
leasing.
d. Financial leasing dapat diberikan oleh perusahaan pembiayaan.
e. Harga sewa yang dibayar perbulan oleh lessor dapat dengan
jumlahnya yang tepat, maupun dengan cara berubah-ubah sesuai
dengan suku bunga pinjaman.
f. Biasanya lesse yang menanggung

biaya

pemeliharaan,

kerusakan, pajak dan asuransi.


g. Kontrak leasing tidak dapat dibatalkan sepihak.

H. Perbedaan Leasing dengan Perjanjian Lain


Ada beberapa bentuk perjanjian lain yang mirip dengan leasing tetapi
sebenarnya terdapat perbedaan tertentu. Perjanjian-perjanjian tersebut adalah
sebagai berikut:[11]
1.

Beda Loan dengan Leasing

10 Ibid, hlm 17.


11 Ibid, hlm 21.

Terdapat perbedaan antara loan (yang diberikan oleh bank dengan


leasing (yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan) maka ketentuan
hukum tentang pinjam meminjam dalam buku ketiga KUHPerdata tidak
berlaku terhadap leasing. Demikian juga tidak berlaku untuk leasing
segala ketentuan tentang loan dalam peraturan perundang-undangan
lain, seperti dalam Undang-undang perbankan dan peraturan perbankan
lainnya.
2.

Beda Sewa dengan Leasing


Pada prinsipnya leasing tidak sama dengan sewa menyewa, memang
benar bahwa leasing itu merupakan perkembangan dari sewa menyewa,
jadi dapat dikatakan bahwa leasing merupakan bentuk dari stereotype
dari sewa menyewa. Tetapi karena leasing sudah berkembang menjadi
sedemikian rupa dan mempunyai kedudukan tersendiri dalam sistem
hukum tentang pembiayaan, maka sangat tidak tepat jika diberlakukan
terhadap leasing ketentuan sewa menyewa, misalnya yang terdapat
pada buku ketiga KUHPerdata. Walaupun diakui pula bahwa banyak
juga para ahli yang berpendapat bahwa leasing seharusnya tunduk
kepada perjanjian sewa menyewa dalam buku ketiga tersebut.[12]

3.

12

Beda Jual Beli dengan Leasing

Ibid, hlm 22.

Diakui pula sebenarnya cukup banyak perbedaan antara leasing dengan


jual beli, diantaranya yang penting disebutkan bahwa pada jual beli
barang demi hukum menjadi miliknya pembeli segera setelah adanya
Levering, sementara pada transaksi leasing, terjadinya peralihan hak
tidak demi hukum tetapi terjadi jika hak opsi tidak digunakan.

I. Pengertian Perlindungan Konsumen


Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1) yang
berbunyi Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal
tersebut, cukup memadai. Kalimat yang menyatakan segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum, diharapkan sebagai benteng untuk
meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya
demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.[13]
J. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
Asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) adalah sebagai berikut:
13

Ahamad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja
Grafindo, Jakarta, 2004, hlm 1.

1. Asas Manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak,
konsumen dan pelaku usaha. Sehinggga tidak ada satu pihak yang
kedudukannya lebih tinggi disbanding dengan pihak lainnya. Kedua
pihak harus memperoleh hak-haknya.
2. Asas Keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat dalam Pasal 4-7 UUPK yang mengatur
mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan
melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh hak dan
kewajibannya secara seimbang.
3. Asas Keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku
usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak
yang lebih dilindungi.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen


Diharapkan penerapan UUPK akan memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian
dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas Kepastian Hukum


Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

K. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha


Hak-hak bagi para pelaku usaha di Indonesia terdapat dalam Pasal 6
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yaitu:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang
diperdagangkan.
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik.
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen.
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang
diperdagangkan.
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Sedangkan untuk kewajibannya para pelaku usaha, di Indonesia
berkewajiban untuk:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujue mengenai kondisi
dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujue serta


tidak diskriminatif.
4. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar barang dan atau jasa
yang berlaku.
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau
mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau
garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan.
6. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa
yang diperdagangkan.
L. Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah merinci hak-hak
para konsumen di Indonesia yaitu sebagai berikut:
1. Hak

atas

kenyamanan,

keamanan

dan

keselamatan

dalam

mengkonsumsi barang dan atau jasa.


2. Hak untuk memiilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan
atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa
yang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan

advokasi,

perlindungan

dan

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.


6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

upaya

7. Hak untuk di perlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau pengantian
apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Sementara itu, dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK) juga ditentukan mengenai kewajiban yang harus dilakukan oleh para
konsumen di Indonesia yaitu:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau
jasa.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Perjanjian Leasing antara Pihak Lessor dan Lesse


Dalam pelaksanaan perjanjian leasing, ada prosedur atau tahapan yang
harus dilalui yaitu:
1. Lesse memilih dan menentukan kendaraan yang dibutuhkan sekaligus
memilih supplier atau dealer kendaraan yang dimaksud.
2. Lesse mengajukan permohonan leasing dengan mengisi formulir
permohonan yang disediakan lessor dan menyerahkannya pada lessor
disertai dokumen pelengkap, yaitu:
a. Data pribadi pemohon
b. Surat permohonan kredit
c. Persetujuan suami atau istri
3. Lessor mengevaluasi kelayakan kredit, dengan mensurvei dan
menganalisis

data

harta

kekayaan

pemohon

serta

melakukan

pengecekan kendaraan yang diajukan oleh lesse.


4. Lessor memutuskan untuk memberikan fasilitas leasing dengan syarat
dan kondisi yang disetujui lesse (lamanya kontrak dan daftar
perhitungan kredit).
5. Lesse menandatangani perjanjian leasing dan dokumen lain seperti
perjanjian asuransi, surat pengakuan hutang dengan penyerahan

jaminan secara fidusis, surat pernyataan, dan surat ijin pengambilan


barang apabila suatu saat terjadi wanprestasi.
6. Perjanjian pembelian kendaraan ditandatangani oleh lessor dan supplier
kendaraan tersebut.
7. Supplier dapat mengirimkan kendaraan yang dileasingkan ke tempat
lesse kemudian lesse menandatangani tanda penerimaan penyerahan
kendaraan dan menyerahkannya kepada supplier.
8. Supplier menyerahkan tanda penerimaan penyerahan kendaraan (yang
diterima dari lesse), buku pemilikan kendaraan bermotor (BPKP)
kepada lessor.
9. Lessor membayar sewa secara periodic kepada lessor sesuai dengan
jadwal pembayaran yang ditentukan dalam perjanjian leasing.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Perjanjian Leasing
Berkaitan dengan asas kebebasan berkontak sebagaimana diatur dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi: Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Atas dasar tersebut maka dalam pelaksanaan kontrak
khususnya dibidang bisnis diperlukan suatu perjanjian atau kontrak yang
efisien dari segi waktu, biaya dan tenaga serta efektif dari segi isi atau muatan
perjanjian maka para pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya
seringkali menggunakan jenis perjanjian baku/standar (standard contract).
Perjanjian baku khususnya dalam perjanjian leasing dalam praktik
dunia usaha sebenarnya masih dibenarkan dan berbagai perundangan
sebenarnya telah memberi perlindungan kepada konsumen dan pelaku usaha
secara seimbang.. Apabila kita teliti dan konstruksikan secara seksama dalam

pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen yang berbunyi :
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen.
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat
jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
obyek jual beli jasa.
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak

jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara


angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
Berdasarkan pasal 18 tersebut diatas apabila melakukan penafsiran
secara acontrario maka perjanjian baku/standar dapat dilakukan asalkan tidak
melanggar ketentuan tersebut diatas.
Menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, perjanjian standar dibolehkan namun harus
diletakkan pada tempat yang mudah terlihat dan dapat jelas dibaca dan mudah
dimengerti, apabila ketentuan ini tidak dipenuhi maka perjanjian menjadi
batal demi hukum. Dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen melarang klausula eksonerasi; juga klausula
yang menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan tindakan sepihak
yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
(kredit); atau klausula yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
Pelaku usaha dalam hal ini Lessor dapat dimintai tanggung jawab atas
kewajibannya sesuai Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
bahwa Kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur

mengenai jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan


mengenai penggunaan dan pemeliharaan. Apabila pengusaha dalam hal ini
pihak Lessor tidak mau bertanggung jawab maka sesuai pasal 62 ayat
1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999:
1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Apabila terjadi sengketa dalam perjanjian baku leasing tersebut dapat
ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan para
pihak yang bersengketa. Lessee sebagai konsumen dapat meminta bantuan
dari Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dalam hal ini
adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berkaitan dengan
tugasnya membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya dan
menerima keluhan serta pengaduan konsumen. Lesse juga dapat melaporkan
kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berkaitan dengan tugasnya
melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausul baku.

C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha dan Konsumen dalam Perjanjian


Leasing, Apabila Kendaraan Bermotor Musnah

Pelaksanaan tanggung jawab penjual yang dapat dituntut dalam


perjanjian sewa beli kendaraan bermotor adalah tanggung jawab berdasarkan
kontrak. Hal ini didasarkan kepada kontrak antara pelaku usaha dan
konsumen terjadi hubungan hukum yang didasarkan kepada kontrak atau
perjanjian. Dengan demikian apabila terjadi kerugian yang disebabkan karena
kelalaian, kesalahan atau wanprestasi yang disebabkan karena musnahnya
barang yang menjadi obyek perjanjian, maka konsumen dapat menuntut
tanggung jawab dari penjual dengan membuktikan bahwa kerugian yang
dideritanya benar-benar terjadi karena apa yang seharusnya menjadi tanggung
jawab penjual.
Dalam KUHPerdata, ketentuan tentang tanggung jawab yang dapat
dituntut dalan hal terjadi wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 KUHperdata
juncto 1246 KUHperdata yang mengatur tentang ganti kerugian yang
meliputi penggantian biaya, rugi, dan bunga.
Dalam Pasal 1553 KUHPerdata, dinyatakan bahwa apabila barang yang
disewa itu musnah karena sesuatu peristiwa yang terjadi di luar kesalahan
salah satu pihak, perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum. Dari
pernyataan gugur demi hukum ini dapat disimpulkan, masing-masing pihak
sudah tidak dapat menuntut sesuatu apapun dari pihak lawannya, yang berarti
kerugian akibat musnahnya barang yang dipersewakan harus dipikul
sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan. Namun, apabila musnahnya suatu
barang yang dipersewakan itu akibat lalainya si penyewa, maka risiko akan
beralih kepadanya.

Adapun sanksi peralihan risiko iti diatur dalam Pasal 1247


KUHPerdata yang menyatakan bahwa dalan hal adanya perikatan untuk
memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan
dilahirkan adalah atas tanggungan si berpiutang. Jika si berpiutang lalai akan
menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian kebendaan adalah atas
tanggungan si berhutang.
Dalam praktik dewasa ini peralihan risiko yang berhubungan dengan
tanggng jawab atas obyek sewa beli kendaraan bermotor selalu menggunakan
lembaga asuransi. Hal ini berhubungan dengan kebutuhan untuk mengatasi
risiko, adalah lembaga yang lahir sebagai upaya untuk mengalihkan atau
membagi risiko yang dihadapi oleh para pihak dalam perjanjian, terhadap
risiko yang dihadapinya yang seharusnya merupakan tanggung jawabnya.
Selain itu, Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK),
juga mengatur sewa khusus tentang pertanggung jawaban pelaku usaha, yaitu:
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas
kerusakan,

pencemaran

mengkonsumsi

barang

dan/atau
dan/atau

kerugian
jasa

yang

konsumen
dihasilkan

akibat
atau

diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Dalam praktik, penjual mengalihkan tangung jawabnya untuk


menanggung risiko atas musnahnya kendaraan bermotor kepada pihak
asuransi sebagai penanggung dan membebankan uang premi pertanggungan
tersebut kepada konsumen.
Risiko yang dapat dipertanggungkan kepada pihak asuransi yang
berkaitan dengan kendaraan bermotor meliputi:[14]
1. Risiko gabungan, yaitu risiko yang terjadi karena petir, api, perbuatan
jahat orang lain (kecuali keluarga atau keluarga tertanggung).
2. Kerusakan karena kecelakaan yang terjadi di darat, termasuk perbuatan
orang lain (kecuali keluarga atau pekerja tertanggung).
3. Pencurian atau kehilangan atas peralatan standar atau secara
keseluruhan kendaraan bermotor termasuk didahului maupun disertai
kekerasan. Untuk kendaraan bermotor roda dua dan tiga hanya bila
kehilangan secara keseluruhan).
4. Kerusakan selama di atas kapal Fery atau alat penyeberangan resmi
yang disediakan untuk lalu lintas jalan.
5. Biaya-biaya untuk menjaga dan menarik kendaraan bermotor yang
rusak ke bengkel terdekat atau yang ditunjuk penanggung dengan ganti
kerugian maksimal 0,5% dari nilai pertanggungan.
6. Perbuatan-perbuatan yang merugikan yang berkaitan

dengan

pelaksanaan suatu kontrak dikategorikan sebagai pelanggaran. Dalam


hal itu prinsipnya siapa saja yang berbuat tidak sesuai dengan isi

14 Man Suparman dan Endang, Hukum Asuransi Pertanggungan Usaha

Perasuransian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.15.

kontrak, sehingga menimbulkan kerugian, bertanggung jawab atas


kerugian tersebut.
Sedangkan beberapa macam kerugian dimana penanggung tidak
membayar ganti kerugian yang disebut risiko yang dikecualikan adalah:[15]
1. Pengecualian umum, meliputi kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh
tidak digunakannnya kedaraan yang dipertanggungkan dan kehilangan
peralatan (non standar) dari kendaraan yang bersangkutan.
2. Pengecualian pokok, meliputi kerugian-kerugian yang diakibatkan
kendaraan digunakan untuk perlombaan, belajar mengemudi, untuk
menarik kendaraan lain, dijalankan dalam kondisi yang tidak layak
jalan, pengemudinya tidak memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM) atau
sedang mabuk, melangar lalu lintas, mempunyai hubungan langsung
atau tidak langsung dengan bencana alam, perang, huru-hara, sabotase,
nasionalisme

penggunaan

untuk

yugad

operasional

kepolisian/kemiliteran.
3. Pengecualian khusus, meliputi kerugian-kerugian karena reaksi inti
atom, kesalahan konstruksi, karena (structure defent), keausan,
serangan serangga binatang mengerat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penjual melakukan
pengalihan tanggung jawabnya atas risiko yang mungkin dihadapinya dengan
musnahnya kendaraan tersebut kepada pihak asuransi dan membebankan
uang preminya kepada konsumen.
15 Ibid

Konsumen harus bertanggung jawab dalam melakukan sewa beli jika


barang (kendaraan bermotor) itu musnah. Musnahnya barang yang
disebabkan oleh keadaan di luar kehendak konsumen/penyewa beli maka
menjadi tanggungan penyewa beli atau konsumen karena dalam perjanjian
sewa beli disebutkan bahwa apa yang disewanya tersebut seluruh atau
sebagiannya karena sebab atau tidak dapat dipakai lagi, maka penyewa
diwajibkan membayar kerugian kepada yang menyewakan sebesar yang telah
ditentukan oleh perjanjian sewa beli kendaraan bermotor tersebut dan
dikurangi dengan harga sewa bulanan yang telah dibayar oleh penyewa.
Dalam upaya memberikan perlindungan kepada konsumen, konsumen
tidak hanya dihadapkan pada persoalan ketidakmengertian dirinya ataupun
kejelasan akan pemanfaatan, penggunaan maupun pemakaian barang dan/atau
jasa yang disediakan oleh pelaku usaha, karena kurang atau terbatasnya
informasi yang disediakan melainkan juga terhadap bargaining position yang
kadang kala sangat tidak seimbang yang pada umumnya tercermin dalam
perjanjian baku yang tidak informative, serta tidak dapat ditawar-tawar lagi
oleh konsumen.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Dalam pelaksanaan perjanjian leasing, ada 8 prosedur atau tahapan
yang harus dilalui oleh pihak lesse.
2.

Selain ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang


Perlindungan Konsumen, sangat diperlukan peranan dari badan
pembentuk undang-undang untuk mengkaji kembali perjanjian baku
khususnya dalam perjanjian leasing agar tidak berkembang secara
kebablasan

dan

merugikan

konsumen. Lembaga

Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat, Pemerintah, pengadilan, sarjana


hukum, konsultan hukum serta notaris juga ikut andil dalam

Perlindungan hukum terhadap penyalahgunaan praktek perjanjian baku


khususnya dalam leasing

supaya tidak terjadi penyalahgunaan

perjanjian baku khususnya perjajian leasing.


Dan upaya konsumen dalam hal ini pihak lessee supaya hak-haknya
tidak dilanggar salah satunya adalah segera meminta salinan (copy)
perjanjian baku leasing setelah perjanjian tersebut ditandatangani. Hal
ini sangat penting agar konsumen dapat mempelajari secara seksama
perjanjian dimaksud guna mengetahui hak-hak dan kewajibannya,
dihubungkan dengan perundangan yang ada. Dengan demikian,
konsumen dapat jelas dan gamblang dalam memperjuangkan hakhaknya sewaktu-waktu apabila diperlukan.
3. Pelaksanaan tanggung jawab penjual yang dapat dituntut dalam
perjanjian sewa beli kendaraan bermotor adalah tanggung jawab
berdasarkan kontrak. Hal ini didasarkan kepada kontrak antara pelaku
usaha dan konsumen terjadi hubungan hukum yang didasarkan kepada
kontrak atau perjanjian. Dengan demikian apabila terjadi kerugian yang
disebabkan karena kelalaian, kesalahan atau wanprestasi yang
disebabkan karena musnahnya barang yang menjadi obyek perjanjian,
maka konsumen dapat menuntut tanggung jawab dari penjual dengan
membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya benar-benar terjadi
karena apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab penjual.

B. Ucapan Terimakasih
Tak lupa penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada :
1. Yang Terhormat Bapak Saryono Hanadi, selaku Dosen Pengampu Mata
Kuliah Pengantar Hukum Bisnis;
2. Kepada kedua orang tua, Ibu dan Bapak, yang selalu
memberikan dukungan yang terbaik bagi putrinya;
3. Teman-teman Manajemen Angkatan 2014 yang tidak
pernah lelah memberi semangat;
4. Dan pihak-pihak yang telah terlibat
penyelesaian makalah ini.

dalam

proses

DAFTAR PUSTAKA

Handarsubhandi.blogspot.co.id/2015/02/asa-dan-tujuan-perlindungankonsumen.html/
Http://eprints.undip.ac.id/40826/1/11715212.pdf
Http://fakultasonline.blogspot.co.id/2013/05/perlindungan-hukum-terhadapkonsumen.html/
Http://lawandbeauty.blogspot.co.id/2013/08/perlindungan-hukum-dalampenyalahgunaan.html/
Http://library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum09/205712009/bab1.pdf
Http://repository.unand.ac.id/21536/2/bab%201.pdf
Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/45956/4/chapter%201.pdf
Http://sangkoeno.blogspot.co.id/2013/09/hukum-dan-kewajiban-konsumenserta-pelaku.html/
Http://www.yabpeknas.com/2015/04/hak-dan-kewajiban-pelaku-usahapengusaha.html/
Https://ilmuhukumhelpi.blogspot.co.id/2012/11/pengertian-dan-asasperlindungan.html/
Https://rivaldiligia.wordpress.com/2012/03/30/pengertian-leasing/

Https://thesis.umy.ac.id/datapublik/t11746.pdf
Https://vandhanoe.wordpress.com/tag/kewajiban-konsumen/
Www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-perlindungan-konsumen/
Www.sekedarinfo.com/asas-dan-tujuan-hukum-perlindungan-konsumen/

Anda mungkin juga menyukai