PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
adalah
suatu
penyakit
infeksi
yang
disebabkan
oleh
basil
Mycobacterium tuberculosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga
1
juga dikenal sebagai BTA (basil tahan asam). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert
Koch pada tahun 1882. Penyakit ini biasanya mengenai paru, tetapi mungkin menyerang
semua organ atau jaringan di tubuh. Biasanya bagian tengah granuloma tuberkular
mengalami nekrosis perkijuan. (Brooks, 2005).
2.2 Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit tuberkulosis adalah basil tuberkulosis yang termasuk
dalam genus Mycobacterium, suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan termasuk
dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosa menyebabkan sejumlah penyakit
berat pada manusia dan penyebab terjadinya infeksi tersering. (Brooks, 2005).
Kuman ini bersifat obligat aerob dan pertumbuhannya lambat. Dibutuhkan waktu 18
jam untuk mengganda dan pertumbuhan pada media kultur biasa dapat dilihat dalam waktu 68 minggu. Suhu optimal untuk tumbuh pada 37 0C dan pada pH 6,4-7,0. Kuman tuberkulosis
jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu kuman tersebut akan
mati oleh yodium tinctur selama 5 menit dan juga oleh etanol 80% dalam waktu 2 sampai 10
menit serta oleh fenol 5% dalam waktu 24 jam. Kuman akan mati pada suhu 60 0C selama 1520 menit. Pengurangan oksigen dapat menurunkan metabolisme kuman (Irma, 2007).
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan
dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, sikap dan
perilaku yang belum benar, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat,
meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi
dari infeksi HIV. Menurut Aditama (2002), disamping hal-hal tersebut daya tahan tubuh yang
lemah, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting.
primer dinamakan kompleks Ghon. Kompleks Ghon yang mengalami perkapuran ini dapat
dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiologi rutin (Fishman,
2002).
Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, di mana bahan
cair lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan
dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat akan
terulang kembali di bagian lain dari paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring,
telinga tengah atau usus. Kavitas yang kecil dapat dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan
dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat
menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus
rongga. Bahan perkijuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran
penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijuan, dan lesi berkapsul yang tidak
terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk
lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif (Crofton, 2002).
Infeksi primer kadang-kadang berlanjut terus dan perubahan patologisnya bersamaan
seperti TB post primer. TB post primer umumnya terlihat pada paru bagian atas terutama
pada segmen posterior lobus atas atau pada bagian apeks lobus bawah. Terjadinya TB post
primer dapat terjadi oleh karena perkembangan langsung dari TB primer, reaktivasi TB
primer, maupun reinfeksi dari luar (exogenous infection). Penyakit dapat menyebar melalui
getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan
mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada
berbagai organ lain (Price, 2005).
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pada foto
toraks TB memberikan gambaran yang multiform. Dapat dicurigai sebagai lesi TB aktif bila
ditemukan bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah. Kavitas terutama bila lebih dari satu, bayangan bercak milier
ataupun efusi pleura unilateral. Sedangkan lesi yang inaktif bila adanya fibrosis, kalsifikasi,
fibrotoraks atau penebalan pleura (Soeroso, 2007).
American Thoracic Society membagi luasnya proses TB pada foto toraks terdiri dari
a.
3 bagian :
Lesi Minimal
Bila proses TB mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak
melebihi volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua
dan prossesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V
b.
c.
Lesi Luas
Kelainan lebih luas dari lesi sedang.
(Rasad, 2000).
2.5.4. Pemeriksaan Khusus Lain
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mendeteksi kuman
a.
TB seperti :
BACTEC : dengan metode radiometrik, dimana CO 2 yang dihasilkan dari metabolisme asam
diagnostiknya ada, obat yang ampuh ada, dokternya sudah berlebihan sampai banyak yang
tidak mendapat penempatan. Tetapi, kenyataan membuktikan bahwa pengobatan tuberkulosis
tidak semudah yang diperkirakan. Banyak faktor yang harus diperhatikan yang sangat
mempengaruhi keberhasilan pengobatan. Lamanya waktu pengobatan, kepatuhan serta
keteraturan penderita berobat, daya tahan tubuh penderita dan yang tak kalah pentingnya
adalah faktor sosial ekonomi penderita. Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan
pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI, 2007).
2.6.1
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
a.
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
- Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistent sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
(Depkes RI, 2007).
2.6.2
di Indonesia:
- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).
- Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap, sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT
kombipak. Tablet OAT kombinasi dosis tetap ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien (Depkes, 2007 dan WHO, 2002).
Paket Kombipak terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu
Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program
untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT ini
disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan
menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
2.6.3
Tabel 2.2 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1 (Depkes, 2008)
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin
adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram
yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250
mg).
3. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 2.4 Paket Sisipan KDT (Depkes, 2008)
2.6.4
2.6.5
dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen
tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan
ulang dahak tersebut dinyatakan positif. (Depkes, 2007).
Tabel 2.5 Tindak Lanjut Hasil Ulang Pemeriksaan dahak (Depkes,2007)
10
TIPE
PASIEN
HASIL
URAIAN
TINDAK LANJUT
BTA
TB
Negatif
Akhir tahap
Pasien baru
Intensif
Positif
pengobatan
kategori 1
BTA positif
dengan
Sebulan sebelum
Akhir
Pengobatan atau
Akhir
Negatif
Sembuh.
keduanya
Positif
Negatif
Positif
Pengobatan (AP)
Pasien baru
BTA (-) &
R
(+) dengan
Akhir intensif
pengobatan
kategori 1
Teruskan pengobatan dengan tahap
Negatif
lanjutan.
Beri Sisipan 1 bulan. Jika setelah
Akhir Intensif
Penderita
fasilitas, rujuk untuk uji kepekaan
baru BTA
obat
positif
Sebulan
Negatif
sebelum Akhir
keduanya
dengan
Sembuh.
pengobatan
ulang
kategori 2
Pengobatan
atau
Akhir
Pengobatan
(AP)
11
Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang
dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up
sebelumnya.
Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak
memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.
Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai. Pasien ini sebelumnya telah berobat minimal selama 1 bulan,
dan kemudian tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih.
Gagal
12
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
2.6.6
selesai, hal ini terjadi karena penderita belum memahami bahwa obat harus ditelan
seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan. Petugas kesehatan harus mengusahkan agar
penderita yang putus berobat tersebut kembali ke UPK. Pengobatan yang diberikan
tergantung pada tipe penderita, lamanya pengobatan sebelumnya, lamanya putus berobat, dan
bagaimana hasil pemeriksaan dahak sewaktu dia kembali berobat. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.6 Pengobatan penderita TB paru baru BTA positif yang berobat tidak teratur
(Depkes, 2007).
Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan:
Lacak pasien
Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur
Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan:
Tindakan-1
Lacak pasien
Diskusikan dan
cari masalah
Periksa 3 kali
dahak (SPS)
dan lanjutkan
pengobatan
sementara
menunggu
hasilnya
Tindakan-2
Bila hasil BTA
negatif atau Tb
extra paru
Bila satu atau lebih
hasil BTA positif
Lanjutkan
pengobatan sampai
seluruh dosis
selesai
Lama pengobatan
Kategori-1:
sebelumnya lebih
mulai kategori-2
dari 5 bulan
Kategori-2:
rujuk, mungkin
kasus kronis
Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih 2 bulan (Default)
Periksa 3 kali
dahak SPS
Diskusikan dan
cari masalah
Lama pengobatan
sebelumnya kurang
dari 5 bulan *)
13
Hentikan
pengobatan
sambil
menunggu hasil
pemeriksaan
dahak.
Kategori-2
Rujuk, mungkin
kasus kronik.
Keterangan :
*) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama pengobatan
sebelumnya kurang dari 5 bulan: lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan
1 bulan sebelum akhir pengobatan harus diperiksa dahak.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama
: Ny. M
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 51 tahun
No RM
: 445548
3.2 Anamnesis
Keluhan utama
14
Penurunan berat badan (+) terutama dirasakan bulan November 2015 dengan
Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan pasien.
Riwayat Diabetes Melitus (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat TB (-)
: sakit berat
: composmentis kooperatif
: 150/100 mmHg
: 101 x/ mnt
:41 x/ mnt
: 36,5
: rambut : putih kehitaman.
: isokor (+) konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik.
: tidak ada deformitas, ada pernafasan cuping hidung.
: bibir kering, tidak ada kelainan.
: tidak ada pembesaran KGB
tidak ada tumor pada leher
JUP 5-2 cm H2O
:
Dada
- Thorak
Inspeksi : pergerakan nafas hemithorak kiri dan kanan sama, bentuk
Palpasi
Perkusi
Abdomen
Inspeksi : perut tidak tampak membuncit.
Palpasi
: nyeri tekan (+) di epigastrium, hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : tympani
Auskultasi : bising usus normal.
Pelvis
:-
Genitalia
:-
Ekstremitas
: Tuberculosis Paru
Terapi
FOLLOW UP
15-06-2016
S/ - sesak sudah berkurang
- batuk berdahak (+) berkurang, warna putih.
- badan terasa lemah
- BAK pakai kateter
16
- BAB (-)
O/ Td: 140/100 Nd: 102x/mnt Nf: 38x/mnt S: 36.2
P/ - ceftazidin 2x1
- OMZ 1x1
- streptomycin 1x750mg
- combiven 4x1
- metylprednisolon 2x1
A/ Tuberculosis Paru
16-06-2016
S/ - batuk berdahak (+) susah dikeluarkan
- sesak sudah berkurang
- nafsu makan baik
- tidur kurang nyenyak karena batuk
O/ Td: 140/90 Nd: 88x/mnt Nf: 40x/mnt S: 36.2
P/ - ceftazidin 2x1
- OMZ 1x1
- streptomycin 1x750mg
- combiven 4x1
- metylprednisolon 2x1
A/ Tuberculosis Paru
17
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun pada paru yang disebabkan
oleh Mycobakterium tuberculosis, yaitu bakteri tahan asam yang ditularkan melalui udara
yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi.
TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan batang aerobic tahan
asam yang tumbuh lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar UV. Bakteri yang jarang
sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M.Bovis dan M.Avium.
18
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T.Y., 2002. Pengobatan Tuberkulosis : Diagnosis, Terapi dan Masalahnya. Jakarta:
FKUI.
Brooks, F.G.,et al., 2005. Mikobakteria. In: Mudihardi, E.H., ed. Mikrobiologi Kedokteran.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika, 453-465.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Edisi 2. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (P2PL).
,
2008.
Pedoman
Nasional
Soeroso, L., 2007. Mutiara Paru Buku Atlas Radiologi dan Ilustrasi Kasus. Jakarta: EGC.
World Health Organization, 2002. Operational Guide for National Tuberculosis Control
Programmes on The Introduction and Use of Fixed Dose Combination Drugs. Geneva :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
, 2003. Global Tuberculosis Control: Country Profile Indonesia.
Available from : http://www.who.int/gpt/publication/index.htm. (Accessed 12 March
2011).
, 2006. Indonesian Strategic Plan To Stop TB 2006-2010. Jakarta
: Depkes RI..
20