Anda di halaman 1dari 11

Nama

: I Gusti Agung Ayu Satwikha Dewi

NIM

: P07134014005

Semester

: IV

Hari, tanggal : Kamis, 15 September 2016


Tempat: Laboratorium Imunoserologi
PEMERIKSAAN TPHA
(TREPONEMA PALLIDIUM HEMAGLUTINATION)
I. Tujuan
1. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan TPHA
2. Mahasiswa dapat mendeteksi adanya antibody terhadap Treponema palladium dalam
serum dan plasma pasien secara kualitatif dan kuantitatif
II.

Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah indirek hema aglutinasi

III.

Prinsip
Berdasarkan reaksi hema aglutinasi antara antibodi Treponema palladium dalam serum atau
plasma dengan antigen Treponema palladium yang melekat pada sel eritrosit unggas.

IV.

Dasar Teori
Pada bulan Februari tahun 2013, Center of Disease Control (CDC) mununjukkan bahwa

sekitar 20 juta infeksi baru di Amerika Seikat setiap tahun. CDC memperkirakan bahwa setengah
dari semua IMS baru di Negara itu terjadi pada pria dan wanita muda. Data baru CDC
menunjukkan bahwa ada lebih dari 110 juta total IMS di kalangan laki-laki dan wanita di seluruh
bangsa. Analisis CDC yang termasuk delapan IMS umum salah satunya penyakit sifilis
(Satterwhite, CL .2013)
Meskipun tingkat sifilis di Amerika Serikat menurun 89,7% selama 1990-2000, tingkat
meningkat setiap tahun selama 2001-2009 sebelum menurun pada tahun 2010 dan tetap tidak
berubah selama 2011. Tingkat lagi meningkat selama 2012 dan 2013. Jumlah kasus dan tingkat
untuk P & S sifilis pada 2013 adalah tercatat yang tertinggi sejak 1995. Jumlah P & S kasus
sifilis dilaporkan CDC meningkat dari 15.667 pada tahun 2012 untuk 17.375 pada 2013,
meningkat 10,9%. Tingkat P & S sifilis di Amerika Serikat meningkat 5,0-5,5 kasus per 100.000

penduduk (peningkatan 10,0%) selama 2012-2013. Pada tahun 2013, 15 negara dan daerah
(termasuk District of Columbia) dengan tingkat tertinggi dari P & S sifilis menyumbang 70%
dari semua kasus AS dari P & S sifilis. Tingkat P & S sifilis di 14 dari 15 negara tersebut dan
daerah (termasuk District of Columbia) melebihi angka nasional sebesar 5,5 kasus per 100.000
penduduk; 9 ini 15 negara dan daerah (termasuk District of Columbia) berada di Selatan.
(Satterwhite, CL .2013)
Sifilis adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri yang disebut
Treponema pallidum. Di banyak negara, skrining dan pengobatan program sifilis dalam
kehamilan tidak memadai, menyebabkan bayi yang terkena. Diperkirakan bahwa antara 2,5%
dan 17% wanita hamil di Afrika sub-Sahara terinfeksi sifilis; Perkiraan terbaru menunjukkan
bahwa lebih dari 535.000 kehamilan terjadi pada wanita dengan sifilis aktif setiap tahun(Andreas
Kuznik.2013) Kejadian sifilis congenital di Eropa Timur dan Asia Tengah telah meningkat.
Kasus kematian dari 6,4% di AS, 15% di Afrika dan 38% di Afrika Selatan telah dilaporkan
(Phiske ,Meghana Madhukar.2014)
TPHA adalah tes serologi khusus untuk sifilis (Adisesh , Mangala. 2015). Test TPHA
digunakan sebagai test konfirmasi untuk penyakit sifilis setelah didapat hasil reaktif antibodi
nontreponemal pada screening test. (Constable, S. A. 2007). Tes TPHA adalah assay
microhemagglutination untuk IgM dan antibodi IgG (Sea , Arlene C. , 2010).
V.

Alat dan Bahan


1) Alat
a. Mikroplate
b. Mikropipet
c. Yellow tip
2) Bahan
a. Sampel serum (bila tidak segera diperiksa maka serum dapat disimpan pada suhu 280C sampai 7 hari atau -200C dapat bertahan lebih lama)
3) Reagen
a. Diluent
b. Control positif
c. Control negative
d. Reagen Test Cell
e. Reagen Control Cell

VI.

Prosedur Kerja
a. Pembuatan control

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Disiapkan alat dan bahan


Bahan dan reagen dikondisikan pada suhu kamar
Semua reagen dihomogenkan perlahan
Dipipet 25 l control positif ke sumur 1
Dipipet 25 l control negative ke sumur 2
Masing-masing ditambahkan 75 l Test Cell
Diamati hema aglutinasi yang terjadi, control positif harus memberikan hasil positif
(hema aglutinasi) dan control negative harus memberikan hasil negative (tidak
terjadi hema aglutinasi)

b. Uji Kualitatif
*Pembuatan Sampel Diluent
1. Diluent ditambahkan 190l ke dalam sumur 1
2. Ditambahkan sampel 10l kedalam sumur 1
3. Dihomogenkan
*Uji Kualitatif
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Dipipet 25 l sampel diluents dari sumur 1 ke dalam sumur 2 dan sumur 3


Sumur 2 ditambahkan 75 l Control Cell
Sumur 3 ditambahkan 75 l Test Cell
Dihomogenkan
Diinkubasi pada suhu 15-300C, 45-60 menit
Diamati hema aglutinasi yang terjadi

c. Uji Kuantitatif
1. Disiapkan 8 buah sumur untuk uji kuantitatif
2. Diberi label A-H
3. Sumur B-H ditambahkan 25 l diluents
4. Sumur A dan B ditambahkan 25 l sampel diluents
5. Dari sumur B dipipet 25 l ke dalam sumur C, dari sumur C dipipet 25 l ke sumur
D dan seterusnya. Pada sumur H 25 l dibuang
6. Sumur A-H ditambahkan 75 l Test Cell
7. Dihomogenkan, diinkubasi pada suhu 15-300C, 45-60 menit.
8. Diamati ada tidaknya hema aglutinasi.
VII.

Interpretasi Hasil
Uji Kualitatif
Positif (+)
Negatif (-)

= ada hema aglutinasi


= tidak tidak ada hema aglutinasi

Uji Kuantitatif
Jumlah titer berdasarkan adanya hema aglutinasi pada pengenceran tertinggi
A : 1/80
B : 1/160
C : 1/320

D : 1/640
E : 1/1280
F : 1/2560
G : 1/5120
H : 1/10240
VIII. Hasil Pengamatan
Kode Sampel
Hasil uji Kualitatif

: TP
: negative (-), tidak ada hema aglutinasi

Test Kuantitatif dengan pengenceran


bertingkat (1/80 paling kanan sampai
1/10240 paling kiri) memberikan hasil
negative, ditandai dengan Sel eritrosit
mengendap di tengah sumur membentuk
bulatan merah penuh

Kontrol Positif + Test Cell=


Hasil positif
Kontrol Negatif + Control
Cell = Hasil Negatif

Uji Kualitatif,
dengan hasil
negatif

Control negative + Test Cell = hasil negatif


Control Positif + Test Cell = hasil positif
Sampel + Conctrol Cell = hasil Negatif
Sampel + Test Cell = hasil Negatif
IX.

Pembahasan
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidium yang

menyerang manusia. Nama lain dari sifilis adalah penyakit raja singa. Penyakit ini mempunyai
beberapa sifat yaitu perjalanan penyakitnya sangat kronis, dapat menyerang semua organ
tubuh.Penularan penyakit ini dapat melalui

1. Sifilis akuisita melalui hubungan seksual, penggunaan jarum yang telah terinfeksi secara
bersama-sama , tranfusi darah
2. Sifilis kongenital yang dapat ditularkan dari ibu yang menderita sifilis ke janinnya
Dilansir dari jurnal India pada tahun 2014 bahwa sifilis kongenital merupakan penyebab
dari kecacatan baik dari neurologis, perkembangan dan muskuloskeletal hingga menyebabkan
kecacatan dan kematian pada bayi. Di banyak bagian dunia khususnya sub-Sahara Afrika, sifilis
kongenital adalah masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Meskipun jarang terjadi di
negara-negara paling makmur namun ada beberapa kejadian, seperti baru-baru ini di beberapa
negara di Eropa. Di Negara maju screening dan pengobatan ibu hamil terhadap penyakit sifilis
masih kurang. Sedangkan pada Negara berkembang screening perawatan masih sangat kurang,
akibat ketidaksadaran masyarakat terhadap bahaya sifilis ini. Sifilis congenital penularannya
terjadi melalui plasenta dan dapat terjadi setiap saat selama masa kehamilan. Namun, risiko
penularan ke janin tergantung pada tahap infeksi maternal dan tergantung dari tingkat dan
keparahan infeksi. Sifilis primer atau sekunder dalam masa kehamilan Berisiko 25% dari lahir
mati, 14% kematian neonatal, risiko 41% melahirkan bayi hidup tapi yang terinfeksi dan 20%
kemungkinan melahirkan bayi yang tidak terinfeksi. Berdasarkan hasil penelitian terhadap
beberapa rumah sakit di India bahwa 12% bayi berisiko lahir mati, 9% kematian neonatal, 2%
melahirkan bayi yang terinfeksi, dan 77% melahirkan bayi yang tidak terinfeksi. Sebenarnya
wanita hamil yang tekah terinfeksi selama 1 tahun atau lebih akan lebih berisiko menginfeksi
bayi mereka. Namun, sifilis kongenital dapat dicegah dengan pengobatan tepat waktu selama
kehamilan. (Phiske ,Meghana Madhukar.2014)
Dilansir dari jurnal India, bahwa pada kasus Sifilis congenital karena imunoglobulin ibu M
(IgM) tidak menyeberangi plasenta, deteksi IgM oleh IgM assay (western blot) pada bayi
menunjukkan infeksi aktif. Pengukuran IgM janin dengan tes Fluorescent T. palladium Antibody
Absorption (FTA-ABS) atau Microhemagglutination for Assay-Treponema pallidum Tes (MHATP) memiliki sensitivitas dan spesifisitas dari tes ini adalah masing-masing 83% dan 90%.
Dengan menggunakan prinsip reaksi berantai polimerase dan immunoblotting. Idealnya semua
anak harus memiliki kedua nonTreponemal (kelamin laboratorium penelitian penyakit [VDRL]
atau cepat reagin plasma [RPR]) dan Treponemal (FTA-ABS dan / atau MHA-TP) saat tes yang
dilakukan (Phiske ,Meghana Madhukar.2014 )

Ada dua jenis tes darah yang tersedia untuk sifilis: 1) tes nontreponemal dan 2) tes
treponemal.
1. Tes non treponemal (misalnya, VDRL dan RPR) yang sederhana, murah, dan sering
digunakan untuk skrining. Namun, mereka tidak spesifik untuk sifilis, dapat
menghasilkan hasil positif palsu, dan, dengan sendirinya, tidak cukup untuk diagnosis.
VDRL dan RPR harus masing-masing memiliki hasil titer antibodi mereka dilaporkan
secara kuantitatif. Orang dengan tes treponemal non reaktif harus menerima tes
treponemal

untuk

mengkonfirmasi

diagnosis

sifilis.

ini

urutan

pengujian

(nontreponemal, kemudian menguji treponema) dianggap algoritma pengujian "klasik"


2. Tes treponemal (FTA-ABS, TP-PA, TPHA, , immunoassays chemiluminescent,
immunoblots, dan tes treponemal cepat) mendeteksi antibodi yang spesifik untuk sifilis.
antibodi treponema muncul lebih awal dari antibodi nontreponemal. Jika tes treponemal
digunakan untuk screening dan hasilnya positif, maka tes nontreponemal untuk
menentukan

titer

harus

dilakukan

untuk

mengkonfirmasi

diagnosis

pasien.

(Satterwhite, CL .2013)
Berdasarkan jurnal Amerika Syphilis: A Reemerging Infection dari sudut pandang
laboratorium, sifilis bisa sulit untuk didiagnosa karena adanya keterlambatan beberapa minggu
pemeriksaan antara infeksi dan pengembangan tanggapan kekebalan sehingga infeksi oleh
Treponema pallidium dibagi menjadi 4 tahapan yaitu :
1. Stadium primer
Terbentuk chancre pada tempat infeksi 3 minggu setelah infeksi yang berukuran 2 cm.
Chancre ini bersifat soliter, nyeri, mengeras, dan terutama di daerah genitalia, mulut dan
anus.
2. Stadium sekunder
Gejala klinis pada stadium ini biasanya terjadi 6 minggu setelah infeksi. Semua jaringan
tubuh dapat diserang terutama kulit dan selaput lender. Penderita akan mengalami
beberapa peradangan seperti pelebaran dan perbesaran kelenjar getah being di seluruh
tubuh, peradangan mata, tulang sendi, hati dan selaput otak.
3. Stadium laten
Pada stadium ini tidak ada gejala sama sekali, seperti sembuh, namun bakteri tetap aktif
pada kelenjar getah bening dan limfa. Stadium ini bias bertahan 3-30 tahun dan mungkin
tidak berlanjut pada fase tersier.
4. Stadium tersier

Stadium ini terjadi rusaknya organ dalam seperti otak, saraf, mata, jantung, pembuluh
darah, tulang, dan persendian (Peter L. Mattei, MD. 2012)
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode hema aglutinasi. Pada
praktiikum ini diuji satu buah sampel serum dengan kode TP. Sebelumnya sampel telah disimpan
didalam lemari es dengan suhu 40C dan telah lebih dari dua minggu. Pada pengambilan sampel
untuk pengujian TPHA dapat menggunakan sampel serum atau plasma. Pada praktikum kali ini
digunakan sampel serum. Untuk pengambilan sampel serum digunakan teknik flebotomi pada
pembuluh darah vena pasien. Darah yang telah diambil dimasukkan kedalam tabung merah,
dimana sumur merah tidak mengandung antikoagulan, melainkan mengandung clot activator.
Menurut jurnal internasional oleh Ralte Lalremruata dengan judul Retrospective Audit of the
Widal Ujit for Diagnosis of Typhoid Fever in Pediatric Patients in an Endemic Region bahwa
dalam sampel darah dapat diterima tanpa antikoagulan. Darah diizinkan untuk menggumpal di
dalam vaccutainer tanpa antikoagulan dan dipisahkan dengan sentrifugasi pada 2500 rpm selama
10 menit (Lalremruata ,Ralte .2014) Maka akan terbentuklah dua buah lapisan, yaitu lapisan cair
pada bagain atas yang merupakan serum dan endapan yang merupakan sel darah merah. Dengan
menggunakan mikropipet, dipipet serum dan dimasukkan ke dalam sumur eppendorf dan
disimpan di dalam lemari es dengan suhu 2-80C. Maksimal penyimpanan sampel serum dalam
lemari es adalah 7 hari, apabila lebih dari itu maka stabilitas dari sampel dapat berkurang.
Berdasarkan insert kit TPHA bahwa sampel yang digunakan adalah sampel yang tidak terdapat
darah dan tidak terdapat bakteri pengkontaminan karena dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.
Reagen yang digunakan adalah merek Remel yang tidak kadaluarsa. Tertera pada merek
bahwa tanggal kadaluarsa adalah bulan Desember 2017 sehingga reagen masih dapat digunakan.
Dalam pengujian TPHA diguankan diluents sebagai larutan pengencer, control positif dan control
negative, control test (merupakan reagen yang mengandung sel eritrosit unggas), dan test cell
(merupakan reagen yang mengandung sel eritrosit unggas yang telah dilapisi antigen Treponema
palladium)
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan TPHA adalah metode hema aglutinasi. Hema
aglutinasi merupakan penggumpalan sel eritrosit yang tekah dilekati antigen dengan antibodi
dalam serum dalam pemeriksaan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan TPHA
secara kualitatif bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya antibody treponema di dalam
sampel dengan melihat terjadinya reaksi hema aglutinasi. Dimana sebelumnya dibuat sampel

diluents dengan perbandingan diluents 190 l dan sampel 90 l. Sampel diluents itu diambil
25l ke sumur 2 dan 3 kemudian pada sumur 2 ditambahkan Control Cell dan sumur 3
ditambahkan Test Cell, dihomogenkan dan diinkubasi selama 45-60 menit 15-30 0C. Penambahan
Control Cell harus menunjukkan hasil negative dimana dalam Control Cell sendiri hanya
mengandung sel eritrosit unggas saja sehingga akan selalu menunjukkan hasil negative pada
Control Cell yang ditunjukkan dengan pengendapan sel eritrosit pada dasar sumur berbentuk
lingkaran kecil berwarna merah penuh. Sedangkan pada penambahan Test Cell yang
mengandung sel eritrosit unggas yang dilapisi antigen Treponema palladium, apabila sampel
yang diuji mengandung antibodi Treponema palladium maka akan terbentuk hema aglutinasi.
Hema aglutinasi tersebut terjadi akaibat adanya ikatan antigen dan antibodi. Berdasarkan hasil
praktikum yang telah dilakukan pada sampel dengan kode TP diperoleh hasil negative tidak
terjadi hema aglutinasi dimana sel eritrosit mengendap di dasar sumur berbentuk lingkaran
merah penuh.
Pada pemeriksaan TPHA secara kuantitatif bertujuan untuk mengetahui titer antibodi
Treponema palladium dalam sampel yang tentunya dilakukan apabila pada test kualitatif telah
menunjukkan hasil positif. Apabila hasil uji kualitatif menunjukkan hasil negative maka test
kuantitatif tidak dilakukan. Pemeriksaan kuantatif dilakukan dengan pengenceran bertingkat
untuk mengetahui jumlah antibodi dengan menggunakan 8 buah sumur. Sebelumnya masingmasing sumur diberi label A-H. pada sumur B-H diberikan diluents 25l sebgaai larutan
pengencer. Kemudian sampel diluents yang telah dibuat tadi diambil 25 ke dalam sumur A dan
B. dari sumur B dilakukan pengenceran bertingkat hingga sumur H. 25l dari sumur H dibuang.
Ke dalam masing-masing sumur diberikan Test Cell sebanyak 75l lalu dihomogenkan dan
diinkubasi selama 45-60 menit 15-300C.
Berdasarkan jurnal internasional mengenai Sex Transm Infect pada tahun 2007 dengan
judul Positive serological tests for syphilis and administration of intravenous immunoglobulin
oleh S. A. Constable menyatakan bahwa skrining untuk indikasi penyakit sifilis yang paling baik
untuk mendeteksi antibodi treponema adalah EIA atau TPHA daripada menggunakan VDRL atau
RPR yang dapat menyebabkan hasil negatif palsu. Test TPHA mampu mendeteksi antibodi
Treponemal dengan memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. Sensitivitas rata-rata TPHA
test pada stadium primer, sekunder, laten, dan tersier adalah 76%, 100%, 07-100%, dan 94%.
Sedangkan spesifitas rata-rata yaitu 99% (Constable, S. A. 2007) . Sensitivitas TPHA test yang

terbilang tinggi menandakan bahwa TPHA test mampu mendeteksi adanya antibodi Treponema
palladium dalam sampel dengan titer yang relative sedikit. Sedangkan spesifitas yang tinggi
menandakan TPHA test memang benar mendeteksi antibodi Treponema palladium bukan yang
lainnya.
Berdasarkan jurnal California pada tahun 2010 mengenai Treponema pallidum Serologic
Tests: A Paradigm Shift in Syphilis Screening for the 21st Century menyatakan bahwa secara
keseluruhan tes treponemal memiliki sensitivitas yang lebih rendah pada tahap sifilis primer
dibandingkan dengan tahapan lainnya. Hasil positif palsu terjadi pada pasien dengan penyakit
kolagen, lupus eritematosus sistemik, dan infeksi lainnya (Sea , Arlene C. , 2010)
Keuntungan dari dari TPHA test adalah hanya memerlukan sedikit peralatan dan tidak
memerlukan keahlian khusus. Namun, kelemahannya memerlukan waktu yang relative lama
karena harus memerlukan waktu inkubasi dalam menentukan hasil pemeriksaan TPHA. Sulit
untuk membedakan sifilis aktif, sifilis yang dalam masa pengobatan dan reaksi positif palsu.
Sehingga diperlukan uji konfirmasi lanjutan dengan pengujian nontreponemal kuantitatif untuk
menentukan infeksi dan respon terhadap terapi. (Sea , Arlene C. , 2010)

X.

Simpulan
Dari hasil praktikum pemeriksaan TPHA, sampel serum dengan kode TP diperoleh hasil

TPHA negative (-) tidak terjadi hema aglutinasi sehingga tidak memiliki antibody Treponema
pallidium.

DAFAR PUSTAKA

Adisesh , Mangala. 2015. Significance of TPHA Test. [online] tersedia: http://jermm.com/latestarticles.php?at_id=6. [diakses: 7 September 2016, 13.45 WITA]
Andreas Kuznik.2013. Antenatal Syphilis Screening Using Point-of-Care Testing in Sub-Saharan
African

Countries:

Cost-Effectiveness

Analysis.

[online]

tersedia:

http://journals.plos.org/plosmedicine/article?id=10.1371/journal.pmed.1001545. [diakses:
7 September 2016, 13.00 WITA]
Constable, S A. 2007. Positive serological tests for syphilis and administration of intravenous
immunoglobulin.
[online]tersedia:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2598586/.

[diakses:

September 2016, 15.25 WITA]


Lalremruata , Ralte .2014. Retrospective Audit of the Widal Ujit for Diagnosis of Typhoid Fever
in

Pediatric

Patients

in

an

Endemic

Region.

[online]

tersedia:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4079999/[diakses: 7 September 2016,


15.30 WITA]
Peter

L.

Mattei,

MD.

2012.

Syphilis:

A Reemerging

Infection

[online]

tersedia:

http://www.aafp.org/afp/2012/0901/p433.html. [diakses: 7 September 2016, 16.10 WITA]


Phiske ,Meghana Madhukar.2014 Current trends in congenital syphilis. [online] tersedia :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4066591/. [diakses: 7 September 2016,
13.30 WITA]
Satterwhite, CL .2013. Incidence, Prevalence, and Cost of Sexually Transmitted Infections in the
United States. [online] tersedia: http://www.cdc.gov/std/syphilis/archive.html. [diakses: 7
September 2016, 14.00 WITA]
Sea , Arlene C. , 2010. Treponema pallidum Serologic Tests: A Paradigm Shift in Syphilis
Screening

for

the

21st

Century

[online]

tersedia:

http://cid.oxfordjournals.org/content/51/6/700.full. [diakses: 7 September 2016, 15.15


WITA]

Anda mungkin juga menyukai