Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN STUDI KASUS

ANALISIS KEFARMASIAN SINDROM KORONER AKUT


DENGAN NON ST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCT (NSTEMI)

Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang


Jalan Sultan Agung Suprapto No. 2 Malang
(10 Oktober 2016 7 November 2016)

Disusun Oleh:
Muhammad Norifansyah

1508062186

Aulia Mulida Putri

1508062166

Ferina Indrawati

1508062281

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN


YOGYAKARTA
2016

LEMBAR PENGESAHAN
STUDI KASUS

MAHASISWA PENDIDIKAN
PROGRAM PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
ANGKATAN XXXI

DI
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
TANGGAL (10 OKTOBER 2016 7 DESEMBER 2016)

DISETUJUI OLEH,
PEMBIMBING

NUNIK, M.Farm.Klin., Apt.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit

kardiovaskular

merupakan

penyakit

tidak

menular

yang

menyebabkan sebanyak >17 juta kematian di dunia setiap tahun (30% dari
semua kematian), 80% dari yang terjadi pada negara-negara dengan
pendapatan rendah dan menengah, dan angka ini diperkirakan akan meningkat
menjadi 23,6 juta pada tahun 2030 (Nature, 2014). Menurut data American
Heart

Association

(AHA)

tahun

2015,

angka

kematian

penyakit

kardiovaskuler di Amerika Serikat sebesar 31,3%.


Penyakit kardiovaskular terdiri dari PJK, gagal jantung, aritmia ventrikular
dan kematian jantung mendadak, penyakit jantung rematik, aneurisma arteri
abdominal, penyakit arteri perifer, dan penyakit jantung bawaan. Diantara
semua penyakit kardiovaskular, PJK merupakan manifestasi yang dominan.
Di Indonesia, berdasarkan laporan Direktorat Jendral Pelayanan Medik (Ditjen
Yanmed) tahun 2005, penyakit sistem sirkulasi termasuk didalamnya penyakit
kardiovaskular dan stroke menjadi penyebab kematian utama. Menurut data
World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 penyakit kardiovaskular
merupakan penyebab kematian utama dari seluruh penyakit tidak menular dan
bertanggung jawab atas 17,5 juta kematian atau 46% dari seluruh kematian
penyakit tidak menular. Dari data tersebut diperkirakan 7,4 juta kematian
adalah serangan jantung akibat penyakit jantung koroner (PJK) dan 6,7 juta
adalah stroke (Mendis, 2014). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
melaporkan prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia berdasarkan
diagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5% (Ditjen Yanmed, 2005; Veronique,
2007; Riskesdas, 2013; Mozaffarian et al., 2015).

SKA merupakan salah satu manifestasi klinis penyakit jantung koroner yang
utama dan paling sering mengakibatkan kematian (Perki, 2015). Sindrom
Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah
yang mencakup spektrum kondisi klinis yang ditandai dengan iskemia
miokard

secara

akut,

diakibatkan

karena

ketidakseimbangan

antara

ketersediaan oksigen dengan kebutuhannya (Dipiro et al., 2009). Pada SKA,


suplai darah ke jantung tiba-tiba berkurang bahkan terhenti akibat
penumpukan kolesterol dan formasi dari gumpalan darah di dalam arteri
jantung. Hal ini menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke jantung
sehingga memicu angina pektoris serta infark miokard, dimana terjadi
kerusakan pada jantung (Life Sciences Practice, 2016)
Infark miokard merupakan perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung
yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
(Boyle & Jaffe, 2009; Karo-karo et al., 2012). Infark miokard akut adalah
manifestasi lanjut dari penyakit jantung koroner yang terjadi secara akut, yang
dihubungkan dengan iskemia atau nekrosis pada sel miokardium yang terjadi
akibat oklusi arteri koroner. Merupakan suatu keadaan dimana jantung
mengalami iskemi yang berlangsung lebih dari 30-45 menit yang akan
menyebabkan kerusakan sel irreversibel serta nekrosis atau kematian otot
jantung. Bagian miokardium yang mengalami infark atau nekrosis akan
berhenti berkontraksi secara permanen (Wilson, 2003). IMA memiliki banyak
manifestasi klinis dan komplikasi yang menyertainya, yang manifestasinya
sesuai dengan tingkat kerusakan sel otot jantung yang mengalami iskemi yang
terjadi. Komplikasi tersebut antara lain gangguan irama dan konduksi jantung,
syok kardiogenik, ruptur jantung, regurgitasi mitral, trombus mural, emboli
paru, henti jantung atau cardiac arrest serta kematian (Sudoyo, 2007). Pasien
yang memiliki riwayat kegawatan dan komplikasi komplikasi yang
mengancam jiwa seperti pada kasus ini yang dapat menyebabkan cardiac
arrest dimasukkan ke dalam ruang ICU atau HCU untuk diberikan perawatan
dan penanganan yang intensif sehingga dapat membantu mempertahankan
kehidupan pasien.

IMA dapat diklasifikasikan menurut perubahan electrocardiographic (ECG)


yaitu mulai dari Non ST-Elevasi Miocard Infraction (NSTEMI), ST-Elevasi
Miocard Infraction (STEMI) sampai ke unstable angina (UA). Pasien dengan
non ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI) jika disertai
dengan peningkatan kadar troponin-I dalam 12 jam, maka memiliki risiko
tinggi terjadi kematian dalam 30 hari. Rekomendasi European Society of
Cardiology (ESC)/ American College of Cardiology (ACC) cut-off troponin-I
sebesar 0,01 ng/ml digunakan untuk diagnosis SKA. (Boyle & Jaffe, 2009;
Karo-karo et al., 2012).
Dari

penelitian-penelitian

epidemiologis

prospektif

seperti

penelitian

Framingham, Multiple Risk Factors Intervention dan Prospective Cardio- 224


Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016 vascular Munster
(PROCAM), diketahui bahwa faktor risiko seseorang untuk terkena SKA
ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko (Lee, 2012;
Deckelbaum, 1992). Pada 85% orang yang menderita spasme arteri koroner
ditemukan juga atero-sklerosis. Sekitar 10-15% dari penderita nyeri dada yang
khas, spasme arteri koroner dapat menjadi penyebab utama dari kekurangan
oksigen (iskemik) dan dapat menyebabkan rasa nyeri. Beberapa orang yang
menderita angina dapat juga ditemukan arteri koroner yang normal. Angina
yang dirasakan tersebut disebabkan karena konstriksi atau penyempitan dari
katub aorta (Deckelbaum, 1992).
Faktor risiko yang lain meliputi jenis kelamin (pria sedikit lebih tinggi
risikonya), usia (pria > 45 tahun dan wanita > 55 tahun), riwayat keluarga
dengan penyakit kardiovaskuler, dan factor risiko yang dimodifikasi. Faktor
risiko yang dimodifikasi meliputi hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus,
gaya hidup, dan kebiasaan merokok (Huffman et al., 2010).
Selain menempati urutan teratas dari penyebab kematian di seluruh dunia,
penyakit kardiovaskular ini jumlah kematiannya dari tahun ke tahun juga

semakin meningkat. Hal ini dapat disebabkan karena peningkatan status


ekonomi, perubahan gaya hidup dan efek samping modernisasi (Anonim,
2012). Disamping itu juga penyakit SKA ini membutuhkan pembiayaan yang
tinggi dalam upaya pengobatannya. Tingginya angka morbiditas, mortalitas
dan biaya pada pasien SKA ini mengakibatkan perlunya strategi
penatalaksanaan terapi yang tepat pada pasien SKA untuk mengurangi beban
penyakit. Pedoman standar terapi telah dibuat untuk penatalaksaan terapi pada
pasien SKA. Beberapa standar terapi yang digunakan sebagai pedoman
tatalaksana terapi SKA diantaranya adalah The American College of
Cardiology (ACC)/ American Heart Association (AHA) dan European
Society of Cardiology (ESC). Berbagai pedoman dan standar terapi telah
dibuat untuk penatalaksanaan penderita ACS. Disamping itu juga perlu adanya
suatu sistem yang secara terus menerus memonitor terapi yang diterima pasien
agar pengobatan serta penatalaksanaan pasien SKA berlangsung secara
optimal, efektif, dan efisien sesuai dengan pedoman atau standar terapi yang
telah ditetapkan (Muchid et al., 2006).
Kebutuhan pasien akan terapi obat meliputi ketepatan indikasi, keefektifan,
keamanan, dan kesesuaian. Apabila kebutuhan akan pengobatan atau drug
related needs tersebut tidak tercapai, maka hal tersebut didefinisikan sebagai
drug related problems (DRPs). DRPs merupakan kejadian atau pengalaman
tidak menyenangkan yang dialami pasien, yang melibatkan atau diduga
berkaitan dengan terapi obat dan secara aktual maupun potensial
mempengaruhi outcome terapi pasien.
Oleh karena itu diperlukan manajemen DRPs melalui pelaksanaan Asuhan
Kefarmasian (Pharmaceutical Care) secara optimal dalam penatalaksanaan
pasien SKA yang meliputi manajemen DRPs. Dalam upaya menunjang
kualitas hidup pasien, tenaga kesehatan bekerjasama untuk mencapai dan
menjamin proses terapi medis yang optimal. Proses pengobatan juga
diharapakan dapat berjalan sesuai dengan standar pelayanan profesi dan kode
etik yang telah ditetapkan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang
utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian
yang tinggi. Banyak kemajuan yang telah dicapai melalui penelitian dan oleh
karenanya diperlukan pedoman tatalaksana sebagai rangkuman penelitian
yang ada (PERKI, 2015).
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi
menjadi 3, yaitu Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST
segment elevation myocardial infarction), Infark miokard dengan non elevasi
segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation myocardial infarction) dan
Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris) (PERKI, 2015).
Pengertian dari NSTEMI adalah pasien yang mengalami gejala nyeri dada
diatas 20 menit, menunjukkan pemeriksaan biokimia kardiak marker yang
positif atau perubahan segmen ST pada pemeriksaan EKG tanpa elevasi
segmen ST yang persisten (ACC/AHA, 2007).
Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi
gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization,
atau bahkan tanpa perubahan (Gambar 1). Bila hasil pemeriksaan biokimia
marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark
Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial
Infarction, NSTEMI) (PERKI, 2015).

Gambar 1. Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA (PERKI, 2015).


2.2 Etiologi
Penyebab dari Sindroma Koroner Akut ini yaitu, trombus tidak oklusif pada
plak yang sudah ada, obstruksi dinamik (spasme koroner atau vasokonstriksi),
obstruksi mekanik yang progresif, inflamasi dan/atau infeksi dan faktor atau
keadaan pencetus (Ismantri, 2009).
2.3 Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).

Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh
koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah
koroner.

Berkurangnya

aliran

darah

koroner

menyebabkan

iskemia

miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit


menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). Infark
miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas
miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang),
distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi
ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti
diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat
spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal).
Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner
Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia,
tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA
pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis (PERKI, 2015).
2.4 Diagnosis NSTEMI
Untuk dapat menegakkan diagnosis dari Non ST elevasi miokard infark,
hampir sama dengan angina pektoris tak stabil. Namun hasil yang akan
diperoleh tentu berbeda. Beberapa cara untuk menegakkan diagnosisnya
adalah sebagai berikut :
i.

Anamnesis
Saat anamnesis dapat ditanyakan keluhan pasien, gejala klinis dari pasien
dengan non ST elevasi miokard infark adalah :
1. nyeri dada yang terjadi > 20 menit saat istirahat
2. post miokard infark angina

3. nyeri dada yang dapat menyebar hingga ke lengan kiri, leher atau
rahang yang dapat terjadi secara hilang timbul atau menetap (Hamm et
al, 2011).
ii.

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, NSTEMI terkadang dapat ditemui dalam keadaan
normal. Tujuan utama dari pemeriksaan fisik ini adalah untuk memisahkan
penyebab nyeri dada akibat penyakit jantung, gangguan jantung non
iskemia seperti emboli pulmonal, perikarditis, penyakit katup jantung atau
non- penyakit jantung, seperti pnemotoraks, pneumonia atau efusi pleura
(Hamm et al, 2011).

iii.

Elektrokardiogram
Pada pemeriksaan elektrokardiogram ini dapat dilakukan saat pasien
masuk di unit gawat-darurat atau saat kontak pertama sebelum sampai
rumah sakit. Karakteristik dari hasil elektrokardiogram pada NSTEMI
adalah depresi ST segmen atau transien elevasi dan/atau perubahan
gelombang T (Hamm et al, 2011).

iv.

Pemeriksaan biokimia
Troponin jantung dapat membantu cukup besar dalam menentukan
diagnosis, mengukur resiko, dan memisahkan kemungkinan NSTEMI
dengan angina pektoris tak stabil. Troponin lebih spesifik dan sensitif
dibandingkan dari pemeriksaan enzim jantung seperti kreatinin kinase,
isoenzim MB (CK-MB) dan myoglobin (Hamm et al, 2011).
Pada pasien dengan miokard infark peningkatan awal dari troponin terjadi
dalam kurang lebih 4 jam saat gejala terjadi. Troponin dapat meningkat
selama dua minggu akibat proteolisis dari aparatus kontraktil. Elevasi dari
troponin menunjukan adanya kerusakan selular, dimana pada NSTEMI
dapat terjadi akibat embolisasi distal dari trombus kaya platelet yang

v.

berasal dari ruptur atau erosi plak (Hamm et al, 2011).


Tehnik pencitraan non-invasif
Dalam tehnik pencitraan non invasif, ekokardiografi adalah alat yang
paling banyak beredar luas dan tersedia. Fungsi sistolik ventrikel kiri
sangat penting untuk prognosis bagi pasien dengan penyakit jantung

koroner dan dapat dengan mudah dan akurat diperiksa melalui


ekokardiografi (Hamm et al, 2011).
Pemeriksaan pencitraan non-invasif lainnya adalah cardiac magnetic
resonance

imaging,

merupakan

teknik

pencitraan

yang

dapat

mengintegrasi fungsi dan perfusi jantung. Selain itu juga dapat mendeteksi
jaringan parut pada sesi pertama, namun alat ini belum tersedia di berbagai
pusat kesehatan dan belum banyak tersebar luas (Hamm et al, 2011).
vi.

Tehnik pencitraan invasif


Angiografi koroner merupakan salah satu contoh pemeriksaan dengan
teknik pencitraan secara invasif. Angiografi koroner dapat memberikan
informasi terhadap keberadaan dan keparahan penyakit ini. Angiografi
koroner juga menjadi baku emas pemeriksaan Sindroma Koroner Akut
(Hamm et al, 2011).
Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk melakukan angiogram sebelum
dan sesudah pemberian vasodilator, seperti nitrat untuk mengetahui
kejadian vasokonstriksi dan hilangnya vasokontriksi pada Sindroma
Koroner Akut. Tindakan ini dilakukan hanya pada pasien yang beresiko
tinggi dan diagnosis belum dapat ditegakkan oleh pemeriksaan
sebelumnya (Hamm et al, 2011).

2.5 Penatalaksanaan Terapi


i.
Klasifikasi Rekomendasi
Azas kemanfaatan yang didukung oleh tingkat bukti penelitian menjadi
dasar rekomendasi dalam penyusunan pedoman tatalaksana ini. Klasifikasi
rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Klasifikasi rekomendasi tatalaksana sindrom koroner akut
(PERKI, 2015)
Kelas I

Bukti

dan/atau

kesepakatan

bersama

bahwa

Kelas II

pengobatan tersebut bermanfaat dan efektif.


Bukti dan/atau pendapat yang berbeda tentang

Kelas Iia

manfaat pengobatan tersebut.


Bukti dan pendapat lebih mengarah kepada manfaat
atau kegunaan, sehingga beralasan untuk dilakukan.

Kelas IIb

Manfaat atau efektivitas kurang didukung oleh bukti


atau pendapat, namun dapat dipertimbangkan untuk

Kelas III

dilakukan.
Bukti atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan
tersebut tidak berguna atau tidak efektif, bahkan pada

Tingkat bukti A

beberapa kasus kemungkinan membahayakan.


Data berasal dari beberapa penelitian klinik acak

Tingkat bukti B

berganda atau meta analisis.


Data berasal dari satu penelitian acak berganda atau

Tingkat bukti C

beberapa penelitian tidak acak.


Data berasal dari konsensus opini para ahli dan/atau
penelitian kecil, studi retrospektif, atau registri.

ii.

Tindakan umum dan langkah awal


Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera
menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan
selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang
diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau
SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil
pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud
adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin, yang tidak harus diberikan semua
atau bersamaan.
1. Tirah baring (Kelas I-C).
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi
O2 arteri <95% atau yang mengalami distresi respirasi (Kelas I-C).
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6
jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIaC).
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak
bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah)
yang lebih cepat (Kelas I-C)
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien
STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik (Kelas I-B) atau

b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis


pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat
reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri
dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas IC). jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat
diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin
intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga
dosis NTG sublingual (kelas I-C). dalam keadaan tidak tersedia NTG,
isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual
(kelas IIa-B) (PERKI, 2015).
iii.

Obat-obatan yang diperlukan (PERKI, 2015)


1. Anti Iskemia
a. Penyekat Beta (Beta blocker)
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya
terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi
oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien
dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma
bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan
kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI,
terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama
tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-B). penyekat beta oral
hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama (Kelas I-B). Penyekat
beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi
ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas I-B).
Pemberian penyekat beta pada pasien dengan riwayat pengobatan
penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan
kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip III (Kelas I-B). Beberapa

penyekat beta yang sering dipakai dalam praktek klinik dapat


dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA


Penyekat

Selektivitas

Aktivitas

Dosis

beta
Atenolol
Bisoprolol
Carvedilol

B1
B1
A dan B

agonis parsial
+

50 200 mg/hari
10 mg/hari
2 x 6, 25 mg/hari,
titrasi sampai
maksimum 2 x 25

Metoprolol
Propanolol

B1
Nonselektif

mg/hari
50 200 mg/hari
2 x 20 80 mg/hari

b. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik
ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang.
Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik
yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam

fase akut dari episode angina (Kelas I-C).


Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada
berlanjut sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit
sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus
dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada

indikasi kontra (Kelas I-C).


Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten,
gagal jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama

UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak


boleh menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan
mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin converting

enzymes inhibitor (ACE-I) (Kelas I-B).


Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah
sistolik 30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50
kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau

infark ventrikel kanan (Kelas III-C).


Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah
mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam 24
jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi
nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan
(Kelas III-C).
Tabel 2. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA

Nitrat
Isosorbid dinitrate
(ISDN)
Isosorbid 5 mononitrate
Nitroglicerin (trinitrin,
TNT, glyceryl trinitrate)

Dosis
Sublingual 2,5 15 mg (onset 5 menit)
Oral 15 80 mg/hari dibagi 2 3 dosis
Intravena 1,25-5 mg/jam
Oral 2 x 20 mg/hari
Oral (slow release) 120 240 mg/hari
Sublingual tablet 0,3-0,6 mg 1,5 mg
Intravena 5 200 mcg/menit

c. Calcium channel blockers (CCBs)


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri
dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node.
Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA
Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi
arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi
koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan
dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina
vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI
umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat
beta dalam mengatasi keluhan angina.

CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi


gejala bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat

beta (Kelas I-B).


CCB non-dihidropiridin

direkomendasikan

untuk

pasien

NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas

I-B).
CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan

sebagai pengganti terapi penyekat beta (Kelas IIb-B).


CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik

(Kelas I-C).
Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediaterelease) tidak direkomendasikan kecuali bila dikombinasi
dengan penyekat beta. (Kelas III-B).
Tabel 3. Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi
IMA

Penghambat kanal kalsium


Verapamil
Diltiazem
Nifedipine GITS
Amlodipine

Dosis
180 240 mg/hari dibagi 2 3 dosis
120 360 mg/hari dibagi 3 4 dosis
30 90 mg/hari
5 10 mg/hari

2. Antiplatelet
a. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra
dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100
mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi
pengobatan yang diberikan (Kelas I-A).
b. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin
sesegera mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada
indikasi kontra seperti risiko perdarahan berlebih (Kelas I-A).
c. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole)
diberikan bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan
penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan
riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu
diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi

H. pylori, usia 65 tahun, serta konsumsi bersama dengan


antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).
d. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam
12 bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada
indikasi klinis (Kelas I-C).
e. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko
kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan
troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali
sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan
awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah
mendapatkan

clopidogrel

(pemberian

clopidogrel

kemudian

dihentikan) (Kelas I-B).


f. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg,
dilanjutkan 75 mg setiap hari (Kelas I-A).
g. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading
300

mg

diikuti

dosis

tambahan

300

mg

saat

IKP)

direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan menerima


strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor (Kelas IB).
h. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap
hari) perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang
dilakukan IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIaB).
i. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor
ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi
(termasuk CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan
selama 5 hari setelah penghentian pemberian ticagrelor atau
clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat
risiko kejadian iskemik yang tinggi (Kelas IIa-C).
j. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan
(atau dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap
aman (Kelas IIa-B).

k. Tidak

disarankan

memberikan

aspirin

bersama

NSAID

(penghambat COX 2 selektif dan NSAID non-selektif) (Kelas


III-C).
Tabel 4. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA
Antiplatelet
Aspirin
Ticagrelor
Clopidogrel

Dosis
Dosis loading 150 300 mg, dosis pemeliharaan 75 100 mg
Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari
Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari

3. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko
kejadian iskemik dan perdarahan (Kelas I-C). Penggunaan penghambat
reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang
telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan
troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan rendah
(Kelas I-B). Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum
angiografi (Kelas III-A) atau pada pasien yang mendapatkan DAPT
yang diterapi secara konservatif (Kelas III-A).

4. Antikogulan.
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin.
a. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang
mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A).
b. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan
iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
(Kelas I-C).
c. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan
berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah
2,5 mg setiap hari secara subkutan (Kelas I-A).
d. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks,
penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU

untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa)


perlu diberikan saat IKP (Kelas I-B).
e. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien
dengan risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak
tersedia (Kelas I-B).
f. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau
heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang
direkomendasikan)

diindaksikan

apabila

enoksaparin tidak tersedia (Kelas I-C).


g. Dalam strategi yang benar-benar

fondaparinuks

konservatif,

atau

pemberian

antikoagulasi perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari


rumah sakit (Kelas I-A).
h. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas IIIB).

Tabel 5. Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA


Antikoagulan
Fondaparinuks
Enoksaparin
Heparin tidak terfraksi

Dosis
2,5 mg subkutan
1mg/kg, dua kali sehari
Bolus i.v. 60 U/g, dosis maksimal 4000 U
Infus i.v. 12 U/kg selama 24-48 jam dengan dosis
maksimal 1000 U/jam target aPTT 11/2-2x kontrol

5. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan


a. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel
meningkatkan risiko perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau
ketat (Kelas I-A).
b. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika
terdapat indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu
sesingkat mungkin dan dipilih targen INR terendah yang masih
efektif. (Kelas IIa-C).

c. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel,


terutama pada penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan,
target INR 2- 2,5 lebih terpilih (Kelas IIb-B).
6. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam
mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita
pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung,
dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada
pasien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan
faktor risiko PJK atau yang telah terbukti menderita PJK, beberapa
penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.
a. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang,
kecuali ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri 40% dan pasien dengan diabetes mellitus,
hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK) (Kelas I-A).
b. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita
selain seperti di atas (Kelas IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor
ACE yang telah direkomendasikan berdasarkan penelitian yang
ada (Kelas IIa-C).
c. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark
mikoard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai
fraksi ejeksi ventrikel kiri 40%, dengan atau tanpa gejala klinis
gagal jantung (Kelas I-B).
Tabel 6. Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA
Inhibitor ACE
Captopril
Ramipri
Lisinopril
Enalapril

Dosis
2-3 x 6,25 50 mg
2,5 10 mg/hari dalam 1 atau 2
2,5 20 mg/hari dalam 1 do
5 20 mg/hari dalam 1 atau 2

7. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase
(statin) harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI,
termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak

terdapat indikasi kontra (Kelas I-A). Terapi statin dosis tinggi


hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran
terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dL (Kelas I-A).
Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk
dicapai.

BAB III
STUDI KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama

: Tn. S

Usia

: 80 tahun

Diagnosa

:-

NSTEMI Killip 1

Non sustained VT
HF st C
Anemia
Gross Hematuria
Geriatri
Hipoalbumin
Riwayat BPH
Hipokalemia
HT st 1

Pasien MRS

: 22 November 2016

Pasien KRS

: 31 Oktober 2016

1.2 Data Subyektif Pasien


1.2.1 Keluhan Utama
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri dada pada pagi hari
sebelum masuk rumah sakit, dada terasa panas, sulit bernafas, lemas, dan keringat
dingin.
1.2.2
1.2.3
1.2.4
1.2.5
1.2.6

Keluhan Tambahan (-)


Riwayat penyakit terdahulu
Riwayat BPH, kencing batu, dan hipertensi stage 1
Riwayat Pengobatan
Sering mengkonsumsi jamu tradisional.
Riwayat Keluarga (-)
Riwayat Alergi (-)

DAFTAR PUSTAKA
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2015. PEDOMAN
TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT (Edisi Ketiga). Centra
Communication.
ACC/AHA 2007 guidelines for the management of patients with unstable
angina/non ST-elevation myocardial infarction. A report of the American
College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on
Practive

Guidelines.

DOI:10.1016/j.jacc.2007.02.028.

Am

Coll
available

Cardiol.

2007;

at

http://content.onlinejacc.org/cgi/content/ full/50/7/e1. Circulation.2007;


DOI

:10.1161/CIRCULATIONAHA.107.185752.

available

at

http://cir.ahajournals.org/cgi/reprint/CIRCULATIONAHA.107.185752.
Hamm CW, Bassand J, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. 2011. ESC
Guidelines for the Management Of Acute Coronary Syndromes in Patients
Presenting without Persistent ST-Segment Elevation. Eur Heart J 32:29993054.
Ismantri, F., 2009. Preevalensi Penderita Penyakit Jantung Koroner yang
Menjalani Intervensi Koroner Perkutan di Rumah Sakit Binawaluya Tahun
2008-2009. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Wong WD. Epidemiological studies of CHD and the evolution of preventive
cardiology. Nature. 2014;11:276-89.
Price A.S Wilson L.M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6.
2003. EGC. Jakarta.
Sudoyo dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.2007

Mendis S. Global target 1: A 25% relative reduction in overall mortality from


cardiovascular diseases, cancer, diabetes or chronic respiratory diseases.
In: Armstrong T, editor. Global Status Report on Non Communicable
Disease. Switzerland: WHO, 2014; p. 9-20
Charles River Associates Life Sciences Practice. The burden of acute syndromes
in United Kingdom. 2011 Feb [cited 2016 Jan 4]. Available from:
www.crai.com/publications
Lee JA, Rotty L, Wantania FE. Profil lipid pada pasien dengan penyakit jantung
koroner di BLU RSUP Prof. Kandou tahun 2012. eCl. 2015;3:485-9.
Deckelbaum L. Heart attacks and coronary artery disease. In: Zaret BL, Moser M,
Cohen LS, editors. Yale University School of Medicine Heart Book (1st
ed). United States: Yale University School of Medicine, 1992; p. 133-48.
Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Rekam Medis Rumah Sakit. Jakarta: Dirjen
Yanmed. Hasibuan, Malayu. 2005.
Veronique, A. C., Robert H. F. (2005). Effects of endurance training on blood
pressure, Blood pressure-regulating mechanism, and cardiovascular risk
factors. AHA
Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI.
Dermawan D dan Rusdi. 2013.
Mozaffarian D, et al. Heart Disease and Stroke Statistics2015 Update A
Report. From the American Heart Association. AHA Journal. 2015
Andrew, J. Boyle, Allan S. Jaffe., 2009. Acute Myocardial Infarction. In:
CURRENT Diagnosis & Treatment Cardiology Third Edition
Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New
York.

Anda mungkin juga menyukai