Disusun Oleh:
Muhammad Norifansyah
1508062186
1508062166
Ferina Indrawati
1508062281
LEMBAR PENGESAHAN
STUDI KASUS
MAHASISWA PENDIDIKAN
PROGRAM PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
ANGKATAN XXXI
DI
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
TANGGAL (10 OKTOBER 2016 7 DESEMBER 2016)
DISETUJUI OLEH,
PEMBIMBING
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit
kardiovaskular
merupakan
penyakit
tidak
menular
yang
menyebabkan sebanyak >17 juta kematian di dunia setiap tahun (30% dari
semua kematian), 80% dari yang terjadi pada negara-negara dengan
pendapatan rendah dan menengah, dan angka ini diperkirakan akan meningkat
menjadi 23,6 juta pada tahun 2030 (Nature, 2014). Menurut data American
Heart
Association
(AHA)
tahun
2015,
angka
kematian
penyakit
SKA merupakan salah satu manifestasi klinis penyakit jantung koroner yang
utama dan paling sering mengakibatkan kematian (Perki, 2015). Sindrom
Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah
yang mencakup spektrum kondisi klinis yang ditandai dengan iskemia
miokard
secara
akut,
diakibatkan
karena
ketidakseimbangan
antara
penelitian-penelitian
epidemiologis
prospektif
seperti
penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang
utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian
yang tinggi. Banyak kemajuan yang telah dicapai melalui penelitian dan oleh
karenanya diperlukan pedoman tatalaksana sebagai rangkuman penelitian
yang ada (PERKI, 2015).
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi
menjadi 3, yaitu Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST
segment elevation myocardial infarction), Infark miokard dengan non elevasi
segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation myocardial infarction) dan
Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris) (PERKI, 2015).
Pengertian dari NSTEMI adalah pasien yang mengalami gejala nyeri dada
diatas 20 menit, menunjukkan pemeriksaan biokimia kardiak marker yang
positif atau perubahan segmen ST pada pemeriksaan EKG tanpa elevasi
segmen ST yang persisten (ACC/AHA, 2007).
Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi
gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization,
atau bahkan tanpa perubahan (Gambar 1). Bila hasil pemeriksaan biokimia
marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark
Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial
Infarction, NSTEMI) (PERKI, 2015).
Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh
koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah
koroner.
Berkurangnya
aliran
darah
koroner
menyebabkan
iskemia
Anamnesis
Saat anamnesis dapat ditanyakan keluhan pasien, gejala klinis dari pasien
dengan non ST elevasi miokard infark adalah :
1. nyeri dada yang terjadi > 20 menit saat istirahat
2. post miokard infark angina
3. nyeri dada yang dapat menyebar hingga ke lengan kiri, leher atau
rahang yang dapat terjadi secara hilang timbul atau menetap (Hamm et
al, 2011).
ii.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, NSTEMI terkadang dapat ditemui dalam keadaan
normal. Tujuan utama dari pemeriksaan fisik ini adalah untuk memisahkan
penyebab nyeri dada akibat penyakit jantung, gangguan jantung non
iskemia seperti emboli pulmonal, perikarditis, penyakit katup jantung atau
non- penyakit jantung, seperti pnemotoraks, pneumonia atau efusi pleura
(Hamm et al, 2011).
iii.
Elektrokardiogram
Pada pemeriksaan elektrokardiogram ini dapat dilakukan saat pasien
masuk di unit gawat-darurat atau saat kontak pertama sebelum sampai
rumah sakit. Karakteristik dari hasil elektrokardiogram pada NSTEMI
adalah depresi ST segmen atau transien elevasi dan/atau perubahan
gelombang T (Hamm et al, 2011).
iv.
Pemeriksaan biokimia
Troponin jantung dapat membantu cukup besar dalam menentukan
diagnosis, mengukur resiko, dan memisahkan kemungkinan NSTEMI
dengan angina pektoris tak stabil. Troponin lebih spesifik dan sensitif
dibandingkan dari pemeriksaan enzim jantung seperti kreatinin kinase,
isoenzim MB (CK-MB) dan myoglobin (Hamm et al, 2011).
Pada pasien dengan miokard infark peningkatan awal dari troponin terjadi
dalam kurang lebih 4 jam saat gejala terjadi. Troponin dapat meningkat
selama dua minggu akibat proteolisis dari aparatus kontraktil. Elevasi dari
troponin menunjukan adanya kerusakan selular, dimana pada NSTEMI
dapat terjadi akibat embolisasi distal dari trombus kaya platelet yang
v.
imaging,
merupakan
teknik
pencitraan
yang
dapat
mengintegrasi fungsi dan perfusi jantung. Selain itu juga dapat mendeteksi
jaringan parut pada sesi pertama, namun alat ini belum tersedia di berbagai
pusat kesehatan dan belum banyak tersebar luas (Hamm et al, 2011).
vi.
Bukti
dan/atau
kesepakatan
bersama
bahwa
Kelas II
Kelas Iia
Kelas IIb
Kelas III
dilakukan.
Bukti atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan
tersebut tidak berguna atau tidak efektif, bahkan pada
Tingkat bukti A
Tingkat bukti B
Tingkat bukti C
ii.
Selektivitas
Aktivitas
Dosis
beta
Atenolol
Bisoprolol
Carvedilol
B1
B1
A dan B
agonis parsial
+
50 200 mg/hari
10 mg/hari
2 x 6, 25 mg/hari,
titrasi sampai
maksimum 2 x 25
Metoprolol
Propanolol
B1
Nonselektif
mg/hari
50 200 mg/hari
2 x 20 80 mg/hari
b. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik
ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang.
Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik
yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam
Nitrat
Isosorbid dinitrate
(ISDN)
Isosorbid 5 mononitrate
Nitroglicerin (trinitrin,
TNT, glyceryl trinitrate)
Dosis
Sublingual 2,5 15 mg (onset 5 menit)
Oral 15 80 mg/hari dibagi 2 3 dosis
Intravena 1,25-5 mg/jam
Oral 2 x 20 mg/hari
Oral (slow release) 120 240 mg/hari
Sublingual tablet 0,3-0,6 mg 1,5 mg
Intravena 5 200 mcg/menit
direkomendasikan
untuk
pasien
I-B).
CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan
(Kelas I-C).
Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediaterelease) tidak direkomendasikan kecuali bila dikombinasi
dengan penyekat beta. (Kelas III-B).
Tabel 3. Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi
IMA
Dosis
180 240 mg/hari dibagi 2 3 dosis
120 360 mg/hari dibagi 3 4 dosis
30 90 mg/hari
5 10 mg/hari
2. Antiplatelet
a. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra
dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100
mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi
pengobatan yang diberikan (Kelas I-A).
b. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin
sesegera mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada
indikasi kontra seperti risiko perdarahan berlebih (Kelas I-A).
c. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole)
diberikan bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan
penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan
riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu
diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi
clopidogrel
(pemberian
clopidogrel
kemudian
mg
diikuti
dosis
tambahan
300
mg
saat
IKP)
k. Tidak
disarankan
memberikan
aspirin
bersama
NSAID
Dosis
Dosis loading 150 300 mg, dosis pemeliharaan 75 100 mg
Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari
Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari
4. Antikogulan.
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin.
a. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang
mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A).
b. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan
iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
(Kelas I-C).
c. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan
berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah
2,5 mg setiap hari secara subkutan (Kelas I-A).
d. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks,
penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU
diindaksikan
apabila
fondaparinuks
konservatif,
atau
pemberian
Dosis
2,5 mg subkutan
1mg/kg, dua kali sehari
Bolus i.v. 60 U/g, dosis maksimal 4000 U
Infus i.v. 12 U/kg selama 24-48 jam dengan dosis
maksimal 1000 U/jam target aPTT 11/2-2x kontrol
Dosis
2-3 x 6,25 50 mg
2,5 10 mg/hari dalam 1 atau 2
2,5 20 mg/hari dalam 1 do
5 20 mg/hari dalam 1 atau 2
7. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase
(statin) harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI,
termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak
BAB III
STUDI KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama
: Tn. S
Usia
: 80 tahun
Diagnosa
:-
NSTEMI Killip 1
Non sustained VT
HF st C
Anemia
Gross Hematuria
Geriatri
Hipoalbumin
Riwayat BPH
Hipokalemia
HT st 1
Pasien MRS
: 22 November 2016
Pasien KRS
: 31 Oktober 2016
DAFTAR PUSTAKA
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2015. PEDOMAN
TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT (Edisi Ketiga). Centra
Communication.
ACC/AHA 2007 guidelines for the management of patients with unstable
angina/non ST-elevation myocardial infarction. A report of the American
College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on
Practive
Guidelines.
DOI:10.1016/j.jacc.2007.02.028.
Am
Coll
available
Cardiol.
2007;
at
:10.1161/CIRCULATIONAHA.107.185752.
available
at
http://cir.ahajournals.org/cgi/reprint/CIRCULATIONAHA.107.185752.
Hamm CW, Bassand J, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. 2011. ESC
Guidelines for the Management Of Acute Coronary Syndromes in Patients
Presenting without Persistent ST-Segment Elevation. Eur Heart J 32:29993054.
Ismantri, F., 2009. Preevalensi Penderita Penyakit Jantung Koroner yang
Menjalani Intervensi Koroner Perkutan di Rumah Sakit Binawaluya Tahun
2008-2009. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Wong WD. Epidemiological studies of CHD and the evolution of preventive
cardiology. Nature. 2014;11:276-89.
Price A.S Wilson L.M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6.
2003. EGC. Jakarta.
Sudoyo dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.2007