Anda di halaman 1dari 6

DI SEBUAH lapangan, bocah kecil usia sekitar 3 tahun itu berlari.

Tanpa busana,
hanya mengenakan celana pendek, menampakan perut busungnya. Dengan semangat, ia
memanjat gundukan tanah, sekali-dua kali jatuh, namun akhirnya berhasil naik. Sementara
ingus kental yang mengalir di hidung, bocah itu duduk menatap sekitar, kemudian tangan
kecilnya mengambil potongan bendera merah putih yang tergeletak....
Sebuah ending yang manis dari film Di Timur Matahari produksi keenam dari Alenia
Pictures. Bagai memberi harapan bahwa Papua tetap akan dalam genggaman Indonesia,
meski dalam sebuah scene saat Vina ( Laura Basuki) belana keperluan sehari-hari harganya
begitu tinggi, dia sempat berujar, Pantesan mau lepas dari Indonesia, orang harga-harga
mahal!

Foto : istimewaYang jelas, menonton Di Timur Matahari


kembali mengingatkan kita bahwa kemiskinan dan keterbelakangan masih ada di bagian
Timur negara ini yakni di Papua. Agaknya ini ungkapan hati Ari Sihasale sang produser dan
director sekaligus yang ingin menginformasikan tentang tanah kelahirannya.

Foto : istimewaSecara cerita apa yang ingin


disampaikan dalam film ini sebenarnya menarik. Tentang sulitnya mencari perdamaian,
tentang hukum adat yang mulai bergeser dan nyaris dilupakan, tentang minimnya kepedulian
pemerintah tentang pendidikan, tentang pergeseran budaya, bagaimana penerimaan teknologi
baru, dan masih banyak lagi. Semua ingin diungkap di sini, namun terkesan kedodoran.

Bahkan emosi Laura Basuki yang berperan sebagai Vina pun kurang tereksplor dengan baik.
Beruntung Ringgo Agus Rahman dan Lukman Sardi bisa memainkan karakternya dengan
baik.

Foto : istimewaDari segi setting, Di Timur Matahari


nyaris miskin setting. Eksplor alam Papua yang masih hijau biasanya terekam dengan baik,
namun kali ini agak kurang. Berbeda dengan Denias yang sempat diproduksi Alenia beberapa
tahun lalu. Begitu menarik dan tak jenuh mata memandang.
Sementara Di Timur Matahari, kejenuhan terasa saat mulai di pertengahan. Setting yang ituitu saja, membuat mata lelah memandang sementara dukungan content juga tak begitu tinggi.

Foto : istimewaNamun. Apapun yang tersaji, yang jelas


kebanggaan kita pada produksi Alenia Pictures tetaplah harus mendapat acungan jempol
karena tak mudah membuat film yang mampu menguak sisi sebuah wilayah yang sarat
dengan konflik adat maupun politik. Terlebih anak sebagai media.
Guru yang Tak Kunjung Datang

Foto : istimewaKisah diawali dengan Mazmur yang


berlari kencang menuju ruanng kelasnya hanya untuk mengabari, guru tak datang lagi. Dan,
ini sudah berlangsung selama enam bulan. Akhirnya, Mazmur mengajak teman-temanya
untuk bernyanyi.
Maka mengalunlah syair, Terpujilah wahai engkau, Ibu Bapak guru. Namamu akan selalu
hidup dalam sanubariku.." Inilah yang menjadi pembuka film karya sineas Ari Sihasale
bersama istrinya, Nia Sihasale Zulkarnaen.

Foto : istimewaFilm dengan latar belakang Tiom,


kabupaten Lanny Jaya, Papua ini diperankan oleh lima anak Papua yakni Mazmur, Thomas,
Suryani, Agnes, dan Yoakim. Nah, karena guru tidak datang lima sekawan ini pun belajar
tentang kehidupan dari alam sekitar. Melalui pendeta Samuel, ibu dokter Fatima, Mikael,
bahkan para pekerja tambang seperti Ucok dan Jolex.
Konflik pun ditampilkan seperti adanya perang suku, permasalahan adat yang yang akhirnya
menimbulkan peperangan, pemotongan jari, telepon genggam yang disalahgunakan,
pembakaran honai, dan sebagainya. Yang kesemuanya, mungkin sulit diterima anak. Namun,
pesan moral akhirnya terangkai manis di akhir cerita saat anak-anak menjadi jurudamai dari
perang adat.

DI SEBUAH lapangan, bocah kecil usia sekitar 3 tahun itu berlari. Tanpa busana, hanya
mengenakan celana pendek, menampakan perut busungnya. Dengan semangat, ia memanjat
gundukan tanah, sekali-dua kali jatuh, namun akhirnya berhasil naik. Sementara ingus kental
yang mengalir di hidung, bocah itu duduk menatap sekitar, kemudian tangan kecilnya
mengambil potongan bendera merah putih yang tergeletak....
Sebuah ending yang manis dari film Di Timur Matahari produksi keenam dari Alenia
Pictures. Bagai memberi harapan bahwa Papua tetap akan dalam genggaman Indonesia,
meski dalam sebuah scene saat Vina ( Laura Basuki) belana keperluan sehari-hari harganya
begitu tinggi, dia sempat berujar, Pantesan mau lepas dari Indonesia, orang harga-harga
mahal!

Foto : istimewaYang jelas, menonton Di Timur Matahari


kembali mengingatkan kita bahwa kemiskinan dan keterbelakangan masih ada di bagian
Timur negara ini yakni di Papua. Agaknya ini ungkapan hati Ari Sihasale sang produser dan
director sekaligus yang ingin menginformasikan tentang tanah kelahirannya.

Foto : istimewaSecara cerita apa yang ingin


disampaikan dalam film ini sebenarnya menarik. Tentang sulitnya mencari perdamaian,
tentang hukum adat yang mulai bergeser dan nyaris dilupakan, tentang minimnya kepedulian
pemerintah tentang pendidikan, tentang pergeseran budaya, bagaimana penerimaan teknologi
baru, dan masih banyak lagi. Semua ingin diungkap di sini, namun terkesan kedodoran.

Bahkan emosi Laura Basuki yang berperan sebagai Vina pun kurang tereksplor dengan baik.
Beruntung Ringgo Agus Rahman dan Lukman Sardi bisa memainkan karakternya dengan
baik.

Foto : istimewaDari segi setting, Di Timur Matahari


nyaris miskin setting. Eksplor alam Papua yang masih hijau biasanya terekam dengan baik,
namun kali ini agak kurang. Berbeda dengan Denias yang sempat diproduksi Alenia beberapa
tahun lalu. Begitu menarik dan tak jenuh mata memandang.
Sementara Di Timur Matahari, kejenuhan terasa saat mulai di pertengahan. Setting yang ituitu saja, membuat mata lelah memandang sementara dukungan content juga tak begitu tinggi.

Foto : istimewaNamun. Apapun yang tersaji, yang jelas


kebanggaan kita pada produksi Alenia Pictures tetaplah harus mendapat acungan jempol
karena tak mudah membuat film yang mampu menguak sisi sebuah wilayah yang sarat
dengan konflik adat maupun politik. Terlebih anak sebagai media.
Guru yang Tak Kunjung Datang

Foto : istimewaKisah diawali dengan Mazmur yang


berlari kencang menuju ruanng kelasnya hanya untuk mengabari, guru tak datang lagi. Dan,
ini sudah berlangsung selama enam bulan. Akhirnya, Mazmur mengajak teman-temanya
untuk bernyanyi.
Maka mengalunlah syair, Terpujilah wahai engkau, Ibu Bapak guru. Namamu akan selalu
hidup dalam sanubariku.." Inilah yang menjadi pembuka film karya sineas Ari Sihasale
bersama istrinya, Nia Sihasale Zulkarnaen.

Foto : istimewaFilm dengan latar belakang Tiom,


kabupaten Lanny Jaya, Papua ini diperankan oleh lima anak Papua yakni Mazmur, Thomas,
Suryani, Agnes, dan Yoakim. Nah, karena guru tidak datang lima sekawan ini pun belajar
tentang kehidupan dari alam sekitar. Melalui pendeta Samuel, ibu dokter Fatima, Mikael,
bahkan para pekerja tambang seperti Ucok dan Jolex.
Konflik pun ditampilkan seperti adanya perang suku, permasalahan adat yang yang akhirnya
menimbulkan peperangan, pemotongan jari, telepon genggam yang disalahgunakan,
pembakaran honai, dan sebagainya. Yang kesemuanya, mungkin sulit diterima anak. Namun,
pesan moral akhirnya terangkai manis di akhir cerita saat anak-anak menjadi jurudamai dari
perang adat.

Anda mungkin juga menyukai