TENTANG
PERLINDUNGAN SATWA LIAR
Fakultas Hukum
Universitas Widyagama Malang Fakultas Hukum
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdagangan satwa liar masih marak terjadi. Hukuman yang ringan
disertai denda yang sedikit membuat para pelaku belum merasakan efek jera
sebagai bentuk pertaubatan. Alasan ekonomi dan faktor usia pelaku yang
telah lanjut merupakan dalil yang membuat hati hakim terenyuh tanpa
melihat dampak kerusakan ekologis yang ditimbulkan. Meski para pelaku,
umumnya bukanlah pemain baru. Akibatnya, vonis hakim yang jauh dari
harapan itu terlihat dari beberapa kasus yang ditandai dengan hukuman ringan
untuk pelaku.
Hewan sesungguhnya banyak digunakan sebagai lambang suatu negara
atau negara bagian atau provinsi, maskot dari produk komersial atau
penggunaan hewan dalam tontonan, sirkus, pertunjukan, film, atau untuk
rekreasi. Tetapi juga divisualisasikan dalam cerita, seni, puisi, astrologi,
lukisan, iklan, dan bahkan lambang partai politik. Hewan bisa menjadi simbol
kekuatan dan keganasan, tetapi juga kekayaan, keberuntungan, kesenangan
bahkan kesialan dan kemarahan.
Kesejahteraan bagi hewan kerja dengan memastikan agar hewan tidak
diperas tenaganya secara berlebihan, kurang diberi makan, dan perlakuanperlakuan tidak wajar lainnya yang menyebabkan hewan menderita dan
kesakitan. Hewan produksi dapat ditingkatkan kesejahteraannya melalui
berbagai cara yaitu dengan memperhatikan transportasi atau pengangkutan
hewan, pemberian pakan dan air minum, pemuatan dan pembongkaran
eksploitasi satwa (sirkus, kebun binatang, ekshibisi taman laut, rodeo, topeng
monyet dan lain sebagainya).
hewan di lindungi. Kenapa larangan penjualan hewan liar baru muncul ketika
hewan tersebut masuk dalam status terancam punah, tidak pada hewan liar
tersebut pada populasi yang masih banyak.
Dari pada itu kami selaku yang mengajukan PERDA ini akan kiranya
pemerintah setempat sadar akan kegiatan exploitasi hewan liar ini merupakan
hal serius yang akan banyak berakibat tidak hanya pada ekosistem namun
juga pada pada manusia. Keaneka ragaman fauna di Indonesia merupakan
kekayaan negara yang sangat berharga dan patut untuk dilindungi.
B. Identifikasi Masalah
Bahwa pemerintah harus membuka mata terhadap exploitasi satwa liar
yang berkepanjangan, sinilah kita bisa mencegah terjadinya over eksploitasi
terhadap hewan liar kalau bukan pemerintah dan masyarakat yang peduli
siapa lagi yang akan sadar terhadap exploitasi kekayaan hayati di Indonesia.
1.
3.
atau negara bagian atau provinsi, maskot dari produk komersial atau
penggunaan hewan dalam tontonan, sirkus, pertunjukan, film, atau untuk
rekreasi. Tetapi juga divisualisasikan dalam cerita, seni, puisi, astrologi,
lukisan, iklan, dan bahkan lambang partai politik. Hewan bisa menjadi simbol
kekuatan dan keganasan, tetapi juga kekayaan, keberuntungan, kesenangan
bahkan kesialan dan kemarahan.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN EMPIRIS
1. Pengertian
Satwa merupakan sebagian sumber daya alam yang tidak ternilai harganya,
sehingga kelestariannya perlu dijaga agar tidak punah baik karena factor alam,
maupun perbuatan manusia seperti perburuan, dan kepemilikan satwa yang tidak sah.
Menurut Pasal 1 ayat 5 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani
yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara. Sedangkan yang dimaksud
dengan
Satwa liar dalam pasal 1 ayat 7 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah semua binatang yang hidup di darat, dan
atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup
bebas maupun yang dipelihara oleh manusia, selain itu juga satwa liar dapat diartikan
semua binatang yang hidup di darat dan di air yang masih mempunyai sifat liar, baik
yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Satwa migran satwa yang
berpindah tempat secara teratur dalam waktu dan ruang tertentu1, Satwa yang boleh
diburu adalah satwa yang menurut undang-undang atau peraturan telah ditetapkan
untuk dapat diburu. Sedangkan Satwa langka adalah binatang yang tinggal sedikit
jumlahnya dan perlu dilindungi (spt jalak putih, cenderawasih).
Satwa liar berpengaruh terhadap tanah dan vegetasi dan memegang peran kunci
dalam penyebaran, pertumbuhan tanaman, penyerbukan dan pematangan biji,
penyuburan tanah, penguraian organisme mati menjadi zat organik yang lebih
berguna bagi kehidupan tumbuhan, penyerbukan dan pengubah tumbuh-tumbuhan
dan
tanah
Satwa liar juga berperan dalam perekonomian lokal dan nasional, nilai
ekonomi satwa sebagai sumber daya alam sangat terkenal di wilayah tropik,
terutama di
Benua Afrika, dan hingga saat ini merupakan aset yang layak dipertimbangkan.
Pemanfaatan satwa liar secara langsung ada beberapa macam, antara lain
1) Perburuan tradisional untuk makanan yang biasa dilakukan oleh suku -suku pedalaman
2) Perburuan tradisional seperti kulit yang biasanya digunakan sebagai bahan pembuat tas,
baju/hiasan lain oleh penduduk asli
masyarakat
"Kami ingin penegakan hukum yang lebih kuat, kami ingin orang-orang
yang melanggar hukum mendapat sanksi yang lebih tinggi," kata Tachrir Fathoni,
Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan kepada kantor berita AFP.
Indonesia adalah salah satu negara yang kaya keanekaragaman hayati di
dunia, kawasan utama hutan tropis dengan bermacam satwa langka yang dikenal
dunia, seperti orang utan, harimau dan badak.
Banyak satwa langka yang saat ini berada di ambang kepunahan, karena
habitat mereka rusak oleh penebangan hutan. Hewan langka juga sering menjadi
sasaran pemburu ilegal yang menjual bagian-bagian tubuh mereka untuk digunakan
sebagai bahan pengobatan atau obat kuat.
Harimau Sumatera termasuk satwa yang dilindungi tapi sering diperjual belikan
secara illegal,Sejak lama kelompok-kelompok lingkungan mengeritik undang-undang
perlindungan satwa yang terlalu lemah.
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan berharap, revisi UU Nomor 5
Tahun 1990 bisa memperbaiki situasi. RUU yang baru akan diajukan ke parlemen
dalam waktu dekat dan diharapkan bisa mulai berlaku tahun depan.
Kelompok lingkungan WWF menyambut baik perbaikan yang diusulkan,
namun memperingatkan bahwa hal itu tidak akan memecahkan masalah lemahnya
penegakan hukum, terutama di daerah-daerah terpencil. Di banyak daerah di luar
Jawa dan Sumatera, penegakan hukum masih sangat lemah.
"Memiliki seperangkat aturan baru tidak berarti banyak, jika hukum tidak
bisa ditegakkan," kata juru bicara WWF Indonesia, Nyoman Iswarayoga.
"Pengawasan yang lebih baik, penyelidikan kasus yang lebih intensif, dan
pemantauan jalur-jalur perdagangan ilegal hewan sama pentingnya," kata dia.
Lembaga Konservasi
Data Lembaga Konservasi yang ada di lingkup Balai Besar KSDA Jawa
Timur
1. Kebun Binatang Surabaya (Ijin Prinsip)
Alamat : Jl. Setail No. 1 Surabaya
2. Taman Safari Indonesia II Prigen Jawa Timur
Alamat : Desa Jatiarjo Kec. Prigen Kab. Pasuruan
3. Kebun Binatang Sengkaling
Alamat : Jl. Raya Mulyoagung Dau Malang
4. Jawa Timur Park
Alamat : Jl. Kartika No. 2 Batu , Jl. Oro-oro Ombo 9 Batu
5. Museum Zoologi FR. M. Vianney BHK
Alamat : Jl. Karang Widoro 7 Malang
6. Maharani Zoo dan Goa
Alamat : Dusun Panajan RT 02 RW 01 Desa Paciran Kec. Paciran Kab.
Lamongan
7. Taman Wisata Studi Lingkungan
Alamat : Jl. Basuki Rahmad Joboan Kel. Magunharjo, Kec. Mayongan
Kab. Probolinggo
8. Mirah Fantasia
Alamat : Jl. Karimun Jawa No. 81 Manggisan Banyuwangi
BAB III
masyarakat pada umumnya. Budaya hukum merupakan kunci untuk memahami
perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam sistem hukum yang satu dengan sistem hukum
yang lain. Budaya hukum penegak hukum tentu akan lain dengan budaya hukum masyarakat
umum. Derita Prapti Rahayu menggambarkan perbedaan budaya hukum penegak hukum dan
masyarakat umum, sebagai berikut (Derita Prapti Rahayu, 2014: 93):
Budaya masyarakat dapat terbentuk dari budaya turun temurun maupun trend yang berlaku
saat itu. Pemeliharaan satwa saat ini lebih banyak disebabkan adanya trend yang sedang
berlangsung. Gaya hidup yang keliru dalam mencintai satwa liar ditunjukkan oleh sebagian
masyarakat yang merasa memiliki prestise jika dapat memelihara satwa liar yang dilindungi
ataupun satwa langka.
Pemeliharaan satwa liar untuk kesenangan atau hobby memang dimungkinkan,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan
Jenis TSL khususnya Pasal 37 sampai dengan Pasal 41, dinyatakan bahwa setiap orang dapat
memelihara jenis tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan kesenangan namun hanya dapat
dilakukan terhadap jenis yang tidak dilindungi. Ada beberapa alasan mengapa tekanan
terhadap keberlangsungan hidup satwa liar yang dilindungi masih sering dijumpai, antara lain
digunakan sebagai: bahan makanan, bahan pakaian dan aksesoris, sarana olahraga/perburuan,
kesehatan/perawatan, obat-obatan tradisional hingga kebutuhan farmasi, kelengkapan ritual
upacara keagamaan, dan koleksi pribadi.
Perlu perubahan kultur dari kebiasaan memelihara satwa langka/satwa eksotik sedikit
demi sedikit harus mulai diubah menjadi budaya melestarikan satwa sesuai dengan habitat
alamiahnya. Kesadaran terhadap kelestarian lingkungan menjadi tanggung jawab bersama
antara pemerintah dengan masyarakat, baik secara nasional maupun lingkungan secara global.
Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Lembang Palipadang (Lembang
Palipadang, 2010: 8), bahwa kebersamaan untuk menyelesaikan masalah lingkungan
hidup baru menunjukkan intensitas yang tinggi setelah timbulnya kesadaran tentang sifat
global lingkungan hidup. Kesadaran ini timbul akibat pembangunan yang dilakukan pada
masa lalu telah menimbulkan kerusakan lingkungan berskala besar serta dampak yang bersifat
transnasional yang tidak mungkin lagi ditanggulangi oleh negara secara individual.
Langkah-Langkah Penanggulangan Perdagangan Ilegal Satwa Liar
Dilindungi Non-Endemik di Indonesia
U p a y a p e n e g a k a n h u k u m penanggulangan tindak pidana perdagangan
ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia memerlukan langkah-langkah
penanganan stratejik. Langkah-langkah tersebut diharapkann dapat mengatasi kendala yang
selama ini dihadapi oleh para penegak hukum dalam melaksanakan UU KSDAHE khususnya
permasalahan perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia.
a. Penyempurnaan Substansi Aturan Hukum
Undang-undang (Soerjono Soekanto, 2013: 11) dalam arti materiel adalah pertaturan tertulis
yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa yang berlaku untuk semua warga negara atau
suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara, dan
peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja. Sejak diterbitkannya
UU KSDAHE tahun 1990 maka sampai dengan saat ini telah menginjak usia 25 tahun.
Sementara jaman terus berkembang demikian pesat, dan UU KSDAHE dirasakan sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Beberapa hal terkait dengan ketertinggalan pusat
maupun daerah yang sah, maka undang-undang mencakup: peraturan pusat pasal-pasal yang
memerlukan perbaikan/revisi/ penambahan antara lain sebagai berikut.
1)
Pidana kurungan dan denda atas tindak pidana terhadap satwa liar yang diatur dalam Pasal
40 apabila dibandingkan dengan kondisi saat ini terlihat cukup jauh ketimpangannya, yaitu
pengenaan pidana kurungan maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) untuk tindak kejahatan, serta pidana kurungan maksimal 1 (satu) tahun
dan denda maksimal Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk tindak pelanggaran.
Bandingkan nilai denda maksimal tersebut dengan nilai satwa yang diperdagangkan yang
dapat mencapai milyaran rupiah, belum lagi nilai kerugian ekologis atas kerusakan ekosistem
dalam pasal-pasal aturan hukum, sehingga akan jelas pembagian tugas dan kewenangannya,
akan jelas siap berbuat apa serta tanggung-jawabnya.
b. Sosialisasi Aturan Hukum
Sosialisasi dan penyuluhan hukum adalah usaha untuk membina kesadaran hukum dan
menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan penegakan hukum. Menjadi kendala
tersendiri apabila suatu aturan hukum tidak tersosialisasikan dengan baik, seberat apapun
ancaman hukumannya dan sebanyak apapun denda administrasinya jika suatu aturan hukum
tidak tersosialisasikan dengan baik maka bagaikan anjing menggonggong kafilah berlalu.
Selain dilakukan oleh aparat pemerintah, sosialisasi dapat dilakukan oleh LSM yang bergerak
di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Substansi sosialisasi aturan
hukum yang tepat dan sinergi yang baik antara pemerintah dengan LSM dan masyarakat
dalam melakukan penyadartahuan suatu aturan hukum
Masih lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum merupakan kendala
tersendiri dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa
liar dilindungi non-endemik di Indonesia. Penegakan hukum terhadap tindak pidana tersebut
memang tidak hanya menjadi tanggung jawab instansi kehutanan saja, namun juga menjadi
kewajiban dari instansi kepolisian, bea dan cukai, serta karantina.
Perlu merubah cara pandang/ mindset penegakan hukum yang selama ini hanya dilakukan
melalui proses litigasi untuk proses peradilan menjadi penegakan hukum yang dilakukan
dengan mengedepankan proses Alternative Dispute Resolution (ADR) atau mediasi penal
guna mewujudkan kondisi-kondisi penataan hukum. Penegak hukum dituntut memiliki
berbagai kemampuan melakukan peran sebagai arbitrator, mediator, rekonsiliator, maupun
negosiator, bahkan advokator untuk mewujudkan peran dan tugasnya sebagai penegak hukum
yang profesional dan kredibel.
BAB IV
Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis
Landasan Filosofis
Tahun 2015 merupakan tahun yang cukup 'panas' bagi usaha pelestarian dan
perlindungan satwa liar di Indonesia. Bukan hanya disebabkan oleh kebakaran hutan
dan lahan yang melanda seluruh wilayah di Indoensia, tetapi juga karena maraknya
perdagangan dan perburuan satwa dilindungi.
Protection of Forest & Fauna (PROFAUNA) Indonesia mencatat bahwa sejak bulan
Januari hingga pertengahan Desember 2015 terdapat setidaknya ada sekitar 5.000
kasus perdagangan satwa liar secara online, salah satunya lewat media sosial
Facebook. Jumlah satwa liar yang diperdagangkan secara online itu meningkat cukup
banyak dibandingkan dengan data tahun 2014, dimana sedikitnya ada 3.640 iklan di
media sosial yang menawarkan berbagai jenis satwa liar.
Laju dan volume perdagangan di media sosial dapat menjadi sedemikian tinggi
karena sangat mudah bagi pengguna untuk mengunggah penawaran satwa,
berjejaring tanpa batas, dan dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi dibanding
perdagangan secara konvensional.
Tren perdagangan satwa liar yang dilindungi dalam 5 tahun terakhir didominasi oleh
perdangan secara online. Perdagangan satwa langka secara konvensional di pasarpasar burung semakin jarang, meskipun di beberapa pasar burung masih ditemukan
pedagang yang menawarkan dilindungi dalam jumlah kecil.
Kasus perdagangan dan perburuan satwa liar yang dimuat di media massa juga masih
tinggi. Tahun 2015, PROFAUNA mencatat sedikitnya ada 67 kasus perdagangan
satwa liar dan 16 kasus perburuan satwa liar yang dimuat di media massa.
Meskipun jumlahnya menurun jika dibandingkan dengan catatan tahun 2014 (78
kasus) tapi jika ditilik dari volume kasusnya, maka akan terlihat bahwa pada tahun
2015 terdapat lebih banyak kasus bervolume tinggi, yaitu melibatkan jumlah satwa
liar atau produknya dalam jumlah dan nilai besar. Contoh dari beberapa kasus dengan
volume mencengangkan tersebut antara lain:
Perdagangan 96 ekor trenggiling hidup, 5.000 kg daging trenggiling beku, dan 77 kg
sisik trenggiling yang terungkap di Medan pada bulan April 2015
Penyelundupan 10 kg insang Ikan Pari Manta, 4 karung berisi campuran tulang ikan
hiu dan ikan pari manta, 2 karung tulang ikan Hiu dan 4 buah sirip Hiu di Flores
Timur pada bulan Juli 2015
Landasan Yuridis
Penegakan Hukum Yang Masih Lemah
Setidaknya terdapat 6 vonis yang dijatuhkan kepada pelaku perdagangan satwa liar,
dengan rentang hukuman penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun, dan denda antara Rp
500 ribu hingga 50 juta. Vonis terberat diterima oleh terdakwa pelaku perdagangan
tiga ekor orangutan, dua ekor elang bondol, satu ekor burung kuau raja, dan satu
awetan macan dahan, yang dihukum penjara 2 tahun dan denda Rp 50 juta subsider 3
bulan penjara oleh PN Langsa pada bulan November 2015.
Sayangnya secara umum vonis terhadap pelaku perdagangan satwa iar yang
dilindungi itu masih sangat rendah. Contoh kasus rendahnya vonis itu adalah kasus
sanksi hukum yang berkaitan dengan jenisjenis yang termasuk dalam appendiks
CITES, selain itu tidak ada sanksi hukum terhadap pelanggaran CITES bagi jenis-jenis
yang berasal dari luar Indonesia.
Akibat dari hal tersebut di atas, satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia dapat
dimiliki oleh orang tanpa dapat dikenakan sanksi hukum. Sedangkan CITES
mewajibkan para Pihak, termasuk Indonesia sebagai anggota, untuk membuat
regulasi yang mengatur perdagangan satwa liar baik ekspor maupun impor guna
mencegah satwa liar tersebut dari bahaya kepunahan. Bertitik tolak dari persoalan
tersebut di atas, telah menarik perhatian Penulis untuk mendalami lebih lanjut akar
persoalannya untuk menemukan solusinya untuk memberikan kemanfaatan.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan dikaji oleh Penulis
adalah: efektivitas UU KSDAHE dalam upaya penegakan hukum terhadap
perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia, dan langkahlangkah yang harus dilakukan untuk menanggulangi perdagangan ilegal satwa liar
dilindungi non-endemik di Indonesia.
No.
1 *)
Ciputat, Tangerang
2 **) Budi Santosa
Non-endemik
Appendiks 1
Appendiks 1
Non-endemik
Appendiks 1
Indonesia;
Non-endemik
Appendiks 1
***) Jatiwaringin
Keterangan
Appendiks 1
Klenteng
****) Palmerah
Non-endemik
Kepemilikan satwa dilindungi yang bukan asli Indonesia bukannya tidak ada, bisa
dikatakan cukup banyak, seringkali dalam setiap operasi penegakan hukum terhadap
kepemilikan satwa, selain satwa yang dilindungi di Indonesia kami juga menemukan
satwa bukan asli Indonesia. Selain satwa hidup, pada waktu dilakukan operasi
berdasarkan laporan masyarakat juga ditemui kepemilikan kulit harimau Benggala
dalam bentuk karpet atau lembaran utuh.
Kepemilikan Satwa Liar Dilindungi (Secara Ilegal)
Landasan sosiologis
P e n y e l e s a i a n p e r k a r a kepemilikan dan perdagangan ilegal satwa liar
dilindungi non-endemik secara pidana sampai saat ini dapat dikatakan berhenti ditempat, alihalih
tidak adanya aturan hukum yang mengaturnya kebanyakan satwa tersebut akhirnya dikembalikan ke
pemiliknya walaupun dengan status titipan negara. Pemilik diwajibkan membuat ijin untuk
memelihara dan melaporkan secara berkala, hal itu secara tidak langsung telah melegalkan
kepemilikan ilegal satwa liar tersebut.
Hambatan tersebut sebagaimana dikatakan oleh Evi Haerlina (Evi Haerlina,
Aparat penegak hukum dalam menghadapi perdagangan ilegal satwa liar dilindungi nonendemik di Indonesia selalu terhalang oleh tidak adanya aturan hukum yang khusus tentang satwa
non-endemik, Inge Yangesa (Inge Yangesa, hasil wawancara, 5 Mei 2015, 10:30 WIB) dalam
wawancaranya mengatakan:
Aturan hukum yang ada saat ini memang belum jelas mengatur tentang satwa liar
dilindungi yang non-endemik Indonesia, sehingga pengenaan pidana maupun denda administratifnya
juga masih belum jelas. Namun apabila dijumpai kepemilikan maupun perdagangan satwa liar
dilindungi non-endemik, hal tersebut dapat ditelusuri dari kelengkapan dokumennya. Untuk
Appendiks I CITES jelas hal itu tidak diperbolehkan dan melanggar aturan dalam konvensi. Pemilik
maupun pedagang yang tidak dapat menunjukkan dokumen yang sah, jelas merupakan kepemilikan
ataupun perdagangan secara ilegal dan dapat dianggap sebagai penyelundupan.
Pendapat Inge tersebut sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 57 Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis TSL. Pasal 26 peraturan pemerintah tersebut menyatakan:
Ekspor, re-ekspor, atau impor jenis tumbuhan dan satwa liar tanpa dokumen atau
memalsukan dokumen atau menyimpang dari syarat-syarat dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (2) [dokumen perdagangan satwa liar, pen] termasuk dalam pengertian penyelundupan.
Persoalannya adalah bagaimana kepiawaian para penegak hukum dan kejeliannya
menggunakan aturan hukum dalam menangani kasus kejahatan terhadap satwa liar dilindungi nonendemik tersebut. Di sisi lain, koordinasi antar penegak hukum juga masih dirasakan kurang optimal,
hasil pengamatan secara langsung di lapangan, waktu koordinasi antar instansi yang diperlukan
untuk sebuah operasi yustisi di lapangan tidaklah cepat. Beberapa langkah-langkah prosedural justru
dirasakan menghambat gerak cepat suatu operasi yustisi. Pengenalan jenis spesimen oleh petugas
kepabeanan juga belum optimal, petugas pabean belum tentu mengenal spesimen yang merupakan
Appendiks I CITES, hal tersebut kemungkinan dapat terjadi dan spesimen yang diselundupkan dapat
lolos. Setijati mengatakan (Setijati D. Sastrapradja, 1998: 136), pada umumnya konvensi baru
menjadi kepedulian mereka yang bergerak dalam negosiasi internasional. Hal ini berarti bahwa
belum semua sektor di pemerintahan mengetahui implikasi konvensi terhadap sektornya. Terlebihlebih aspek hukum dalam konvensi yang perlu diperhatikan setiap negara.
Pada prinsipnya dalam penegakan hukum diperlukan sinergi antar lembaga penegak
hukum dan dukungan instansi terkait lainnya, dari hasil observasi dan wawancara, diketahui bahwa
sinergi penegakan hukum antar instansi pada dasarnya sudah terjalin namun masih bersifat insidentil
dan kewilayahan. Sistem penegakan hukum terintegrasi diperlukan antara pihak kehutanan dengan
pihak bea dan cukai serta pihak karantina. Kedua instansi tersebut merupakan pintu pertama
masuknya spesimen dari luar negeri ke wilayah negara Indonesia, maupun antar daerah di dalam
wilayah Indonesia. Peran serta aktif dari masyarakat maupun lembaga nonpemerintah (NGO/Non
Goverment Organization) atau LSM penting dalam mendukung terwujudnya penegakan hukum
terhadap kejahatan satwa liar yang dilindungi