Anda di halaman 1dari 30

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA MALANG

TENTANG
PERLINDUNGAN SATWA LIAR

Fakultas Hukum
Universitas Widyagama Malang Fakultas Hukum
2016

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perdagangan satwa liar masih marak terjadi. Hukuman yang ringan
disertai denda yang sedikit membuat para pelaku belum merasakan efek jera
sebagai bentuk pertaubatan. Alasan ekonomi dan faktor usia pelaku yang
telah lanjut merupakan dalil yang membuat hati hakim terenyuh tanpa
melihat dampak kerusakan ekologis yang ditimbulkan. Meski para pelaku,
umumnya bukanlah pemain baru. Akibatnya, vonis hakim yang jauh dari
harapan itu terlihat dari beberapa kasus yang ditandai dengan hukuman ringan
untuk pelaku.
Hewan sesungguhnya banyak digunakan sebagai lambang suatu negara
atau negara bagian atau provinsi, maskot dari produk komersial atau
penggunaan hewan dalam tontonan, sirkus, pertunjukan, film, atau untuk
rekreasi. Tetapi juga divisualisasikan dalam cerita, seni, puisi, astrologi,
lukisan, iklan, dan bahkan lambang partai politik. Hewan bisa menjadi simbol
kekuatan dan keganasan, tetapi juga kekayaan, keberuntungan, kesenangan
bahkan kesialan dan kemarahan.
Kesejahteraan bagi hewan kerja dengan memastikan agar hewan tidak
diperas tenaganya secara berlebihan, kurang diberi makan, dan perlakuanperlakuan tidak wajar lainnya yang menyebabkan hewan menderita dan
kesakitan. Hewan produksi dapat ditingkatkan kesejahteraannya melalui
berbagai cara yaitu dengan memperhatikan transportasi atau pengangkutan
hewan, pemberian pakan dan air minum, pemuatan dan pembongkaran

selama pengangkutan, kepadatan kandang (stocking density), dan


mengurangi pengandangan dengan sistem baterei. Kesejahteraan hewan
kesayangan lebih sering dikaitkan dengan pembunuhan anjing liar atau anjing
jalanan baik oleh karena populasinya dirasakan sudah berlebihan, tapi juga
terkait sangat erat dengan pengendalian rabies. [13]

Kesejahteraan satwa liar berbeda dengan konservasi dalam konteks


perlindungan hewan, dimana konservasi menyangkut populasi
sedangkan kesejahteraan menyangkut individu satwa. Satwa liar harus
diperhatikan kesejahteraannya untuk memastikan bahwa satwa tersebut
dilindungi dan diperlakukan manusiawi, seperti saat penangkapan satwa di
alam bebas dan pembunuhan satwa untuk hiburan (perburuan gajah, beruang,
rusa, perburuan babi hutan dengan menggunakan anjing dan lain sebagainya).
Kemudian juga pembunuhan atau adu kekuatan dan ketangkasan antar hewan
untuk kesenangan atau hiburan (seperti adu babi hutan dengan anjing, adu
anjing, adu ayam, adu domba, karapan sapi dan lain sebagainya) atau

eksploitasi satwa (sirkus, kebun binatang, ekshibisi taman laut, rodeo, topeng
monyet dan lain sebagainya).

Dahulu kala hewan dimanfaatkan untuk berperang dan transportasi,


tetapi sekarang untuk olah raga, pacuan, berburu, bahkan lebih tragis untuk
sekedar aduan. Manusia memanfaatkan hewan secara luar biasa, untuk
makanan, pakaian, tas, alas kaki, ikat pinggang, alat rumah tangga,
pengobatan, percobaan, bahan bakar, hiasan, cendera mata bahkan sekedar
pertemanan. Tapi hewan juga bisa menjadi sumber malapetaka apabila hewan
bertindak sebagai sumber penyakit. Jadi kalau hewan bisa bicara, akankah
mereka berterimakasih atau bahkan menggugat kita manusia untuk
bertanggung jawab?

Kesejahteraan hewan merupakan suatu kepedulian etik yang tinggi


terhadap hewan yang berada dalam perawatan dan manajemen kita. Dalam
definisi umum yang paling dapat diterima disebutkan bahwa kesejahteraan
hewan mencakup kesejahteraan fisik dan mental hewan.
UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun
penjara dan denda Rp 100 juta, dianggap sudah tidak efektif. Aturan hukum
yang telah berusia 25 tahun itu, belum memberikan vonis minimal sehingga
pelaku beberapa kali hanya dihukum dalam hitungan bulan.
Pada pasal tersebut maka pemerintah wajib melindungi dan
memberdayakan hewan liar secara berkala, tidak hanya hewan yang telah
dilindungi dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam namun juga hewan liar yang masih belum masuk ke dalam
undang-undang tersebut. Karena maraknya jual beli hewan liar membuat
hewan yang sebelumnya pupulasi nya masih banyak dan belum terancam
punah menjadi langka dan baru akan di masukkan lagi kedalam kategori

hewan di lindungi. Kenapa larangan penjualan hewan liar baru muncul ketika
hewan tersebut masuk dalam status terancam punah, tidak pada hewan liar
tersebut pada populasi yang masih banyak.
Dari pada itu kami selaku yang mengajukan PERDA ini akan kiranya
pemerintah setempat sadar akan kegiatan exploitasi hewan liar ini merupakan
hal serius yang akan banyak berakibat tidak hanya pada ekosistem namun
juga pada pada manusia. Keaneka ragaman fauna di Indonesia merupakan
kekayaan negara yang sangat berharga dan patut untuk dilindungi.
B. Identifikasi Masalah
Bahwa pemerintah harus membuka mata terhadap exploitasi satwa liar
yang berkepanjangan, sinilah kita bisa mencegah terjadinya over eksploitasi
terhadap hewan liar kalau bukan pemerintah dan masyarakat yang peduli
siapa lagi yang akan sadar terhadap exploitasi kekayaan hayati di Indonesia.
1.

3.

Penyelamatan satwa liar dari exploitasi yang berlebihan


2. Rendanhnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga
kelestarian Hewan, terutama hewan liar yang mendekati kepunahan
Kurangnya pengawasan pemerintah terhadap jual beli satwa liar di
media social maupun secara langsung.
4. Tindakan pemerintah yang kurang tegas terhadap Pelaku exploitasi
hewan liar
Hewan sesungguhnya banyak digunakan sebagai lambang suatu negara

atau negara bagian atau provinsi, maskot dari produk komersial atau
penggunaan hewan dalam tontonan, sirkus, pertunjukan, film, atau untuk
rekreasi. Tetapi juga divisualisasikan dalam cerita, seni, puisi, astrologi,
lukisan, iklan, dan bahkan lambang partai politik. Hewan bisa menjadi simbol
kekuatan dan keganasan, tetapi juga kekayaan, keberuntungan, kesenangan
bahkan kesialan dan kemarahan.

Pada kenyataannya konsep kesejahteraan hewanpun sulit diterima dan


dipahami secara utuh oleh sebagian besar masyarakat di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, mengingat perbedaan latar belakang
masing-masing anggota masyarakat. Ada banyak aspek yang mempengaruhi
perbedaan sikap tersebut, seperti tingkat pendidikan, status ekonomi, sosial,
budaya, agama dan juga kondisi lingkungan kehidupan dari anggota
masyarakat tersebut
C. Tujuan Dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik
Berdasarkan UU No 12 Tahun 2011 Tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan di cantumkan bahwa setiap pembentukan Peraturan
daerah baik provensi maupun kabupaten/kota disertai adanya keterangan atau
penjelas atau yang biasanya disebut dengan naska akademik. Naska akademik
adalah naska hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian
lainya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat di pertanggujawabkan
secara ilmiah menganai peraturan masalah tersebut dalam suatu rancangan
peraturan daerah dan lain sebagainya. Tujuan penyusunan naskah akademik
perda peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah
adalah untuk memberikan landasan hukum dan akademik serta memperkuat
kepastian hukum bagi terjaminnya peran serta masyarakat yang sebenarnya
dalam pemerintahan daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana
perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia, serta
memberikan langkah-langkah penganggulangannya. Penelitian ini termasuk
jenis penelitian hukum non-doktrinal dengan bentuk penelitian diagnostik,

sifat penelitian adalah deskriptif melalui pendekatan kualitatif. Hasil


penelitian berdasarkan pada hasil uji dengan menggunakan teori efektivitas
hukum dari Clarence J. Dias menunjukkan undang-undang tersebut belum
efektif dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan
ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia. Ketidakefektifan yang
ditunjukkan dari hasil uji terletak pada substansi hukum, sosialisasi aturan
hukum, struktur hukum, mekanisme penyelesaian sengketa, dan budaya
hukum.
D. Metode Penulisan Naskah Akademik
Metode yang digunakan dalam penulisan Naskah Akademik ini adalah
metode penelitian yuridis normatif dan empiris. Yaitu dengan mendasarkan
pada aspek peraturan perundang-undangan sebagai dasar terbentuknya
PERDA ini maupun Pengkajian aspek-aspek lain yang terkait, seperti historis
serta pengalaman para stakeholders terkait, hasil-hasil penelitian dan konsepkonsep yang berkaitan dengan Sistem Perlindungan Satwa Liar.

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN EMPIRIS

Tinjauan tentang Satwa Liar

1. Pengertian
Satwa merupakan sebagian sumber daya alam yang tidak ternilai harganya,
sehingga kelestariannya perlu dijaga agar tidak punah baik karena factor alam,
maupun perbuatan manusia seperti perburuan, dan kepemilikan satwa yang tidak sah.
Menurut Pasal 1 ayat 5 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani
yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara. Sedangkan yang dimaksud
dengan
Satwa liar dalam pasal 1 ayat 7 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah semua binatang yang hidup di darat, dan
atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup
bebas maupun yang dipelihara oleh manusia, selain itu juga satwa liar dapat diartikan
semua binatang yang hidup di darat dan di air yang masih mempunyai sifat liar, baik
yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Satwa migran satwa yang
berpindah tempat secara teratur dalam waktu dan ruang tertentu1, Satwa yang boleh
diburu adalah satwa yang menurut undang-undang atau peraturan telah ditetapkan
untuk dapat diburu. Sedangkan Satwa langka adalah binatang yang tinggal sedikit
jumlahnya dan perlu dilindungi (spt jalak putih, cenderawasih).
Satwa liar berpengaruh terhadap tanah dan vegetasi dan memegang peran kunci
dalam penyebaran, pertumbuhan tanaman, penyerbukan dan pematangan biji,
penyuburan tanah, penguraian organisme mati menjadi zat organik yang lebih
berguna bagi kehidupan tumbuhan, penyerbukan dan pengubah tumbuh-tumbuhan
dan
tanah

1 Cahyadi, 2012, Definisi Satwa Liar


(online),
http://cahyadiblogsan.blogspot.com/2012/04/
definisi-satwa-liar.html (30 oktober 2012)

Satwa liar juga berperan dalam perekonomian lokal dan nasional, nilai
ekonomi satwa sebagai sumber daya alam sangat terkenal di wilayah tropik,
terutama di
Benua Afrika, dan hingga saat ini merupakan aset yang layak dipertimbangkan.
Pemanfaatan satwa liar secara langsung ada beberapa macam, antara lain

1) Perburuan tradisional untuk makanan yang biasa dilakukan oleh suku -suku pedalaman
2) Perburuan tradisional seperti kulit yang biasanya digunakan sebagai bahan pembuat tas,
baju/hiasan lain oleh penduduk asli

3) Mengumpulkan dan menjual beberapa jenis satwa liar


4) Menjual produk-produk dari satwa liar, seperti daging, kulit, ranggah, cula dan gading
5) Berburu untuk tujuan memperoleh penghargaan (trophy) atau untuk olahraga wisatawan
6) Melindungi satwa liar di taman nasional sebagai atraksi untuk wisatawan yang harus
membayar bila akan melihat, meneliti, memotret atau mendekatinya 2.
Dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya pada Pasal 20 ayat (1) membagi satwa dan
tumbuhan dalam dua jenis yakni satwa dan tumbuhan yang dilindungi dan
satwa dan tumbuhan yang tidak dilindungi, satwa dan tumbuhan yang
dilindungi adalah satwa dan tumbuhan yan g dalam bahaya kepunahan dan yang
populasinya jarang. Peraturan perundang -undangan yang khusus mengatur
mengenai satwa dan tumbuhan yang dilindungi terdapat dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa, penetapan mengenai satwa atau tumbuhan yang
dilindungi terdapat dalam Pasal 4, 5 dan 6 dalam Peraturan Pemerintah ini.

2 Wiratno,dkk, 2001,Berkaca dicermin Retak : Refleksi Konservasi dan


Implikasi bagi pengelolaan taman Nasional, The Gibon Foundation,
Jakarta, Hal.106-107.

2. Jenis-jenis satwa yang dilindungi


Dalam lampiran Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan jenis tumbuhan dan Satwa, secara umum di Indonesia dikenal ada 236
Nama Satwa yang di lindungi yang terdiri dari jenis mamalia sejumlah 70, Aves 70
jenis, Reptilia 30 jenis,
Insecta 18 jenis, Pisces 7 jenis, Anthozoa 1, dan Bivalvia 13 jenis. Sedangkan di
Gorontalo Sendiri dari 236 jenis satwa liar yang dilindungi, terdapat beberapa satwa
liar yang sering ditemui yang terdiri dari Mamalia seperti Babirusa (Babyrousa
babyrussa), monyet hitam Sulawesi (Cynopithecus niger), Kera tak berbuntut
(Hylobatidae), Bajing tanah,atau tupai tanah (Lariscus insignis), monyet sualwesi
(Macaca Maura atau Macaca brunnescens), tarsius (Tarsius spp.), Aves seperti Elang
(Accipitridae), Burung udang/raja udang (Alcedinidae), Rangkong (Bucerotidae),
Burung dara Mahkota (Goura spp), dan Burung Maleo(Macrocephalon maleo).
Semua jenis satwa yang ada digorontalo sebagaimana yang disebutkan, ada yang di
peruntukan sebagai hewan peliharaan, ada juga yang di jadikan sebagai hewan
buruan.
Beberapa alasan mengapa kepemilikan satwa yang dilindungi
merupakan suatu tindakan yang merugikan bagi diri sendiri maupun orang lain
diantaranya, pertama memelihara satwa yang dilindungi berarti membahayakan
kita dan anggota keluarga yakni dalam hal, kemungkinan penyakit menular yang ada
pada diri satwa tersebut, yang tanpa kita sadari seperti flu burung, anthrax , rabies
dan penyakit lain yang berbahaya bagi kesehatan manusia sela in penyakit juga
ancaman serangan dari satwa tersebut karena walaupun jinak tetapi naluri sebagai
binatang liar masih ada. Kedua memelihara satwa liar dilindungi identik dengan
menyiksa dan menganiayanya yakni, dalam hal kebutuhan akan makanan yang
terkadang tidak sesuai dengan pola makan alami dari satwa tersebut, kebutuhan
akan ruang habitat, dan kebutuhan akan pasangan atau keluarga. Ketiga
memelihara satwa dilindungi menjadikan kita sebagai pengganggu
sekitar kita

masyarakat

seperti kebisingan yang d itimbulkan oleh satwa dan bau yang

ditimbulkan. Keempat memelihara satwa liar dilindungi merupakan pemborosan


yakni, dalam hal, pemeriksaan rutin, anggaran untuk pakan dan kandang. Kelima
memelihara satwa liar dilindungi berarti kita berperan merusak hutan dan masa
depan manusia, tanpa kita sadari satwa yang kita pelihara mempunyai peranan
yang penting dalam kelestarian hutan karena fungsinya sebagai penyeimbang
pertumbuhan populasi dan membantu regenerasi hutan3.

Animals Indonesia: Banyak Satwa Liar Diekspolitasi di CFD

Animals Indonesia mengecam ekploitasi satwa liar yang seringkali dilakukan


saat Car Free Day yang digelar tiap hari Minggu di Jalan Ijen, Kota Malang .
Eksploitasi ini berbentuk pertunjukan yang melibatkan satwa-satwa liar dan
dilindungi. Elizabeth Laksmi, salah seorang aktivis Animals Indonesia mengatakan,
banyak satwa liar yang berbahaya dipanjang dan dieksploitasi saat Car Free Day.
"Kalau Car Free Day-nya bagus, untuk mengurangi global warming, tapi malah jadi
ajang eksploitasi hewan," kata Laksmi, Senin (22/12).
Laksmi mengatakan dari pantauan Animals Indonesia satwa liar seperti ular
kobra dan monyet sering dipajang dan dipamerkan. Laksmi mengatakan hewan jenis
ular kobra adalah jenis hewan yang berbahaya. Jika hewan tersebut lepas kendali,
lanjutnya, belum tentu pemilik hewan tersebut dapat mengendalikannya. Begitu juga
dengan beberapa satwa jenis primata. Jenis ini memiliki penyakit yang dapat
ditularkan kepada manusia. Laskmi menambahkan Car Free Day yang seharusnya
menjadi tempat rekreasi, berolah-raga dan jalan-jalan justru membahayakan
pengunjung. Banyak komunitas pemelihara satwa liar yang berkumpul pada ajang
ini."Jika hewan seperti anjing atau kucing yang memang sudah didomestikasi itu
tidak masalah, tapi ini hewan liar yang berbahaya,"kata Laksmi.
Laskmi mengatakan ekploitasi hewan seperti topeng monyet harusnya
dilarang. Beberapa satwa liar yang dipamerkan adalah satwa yang dilindungi yang
seharusnya tidak boleh dipelihara dan didomestifikasi. Selain karena langka juga
karena dapat membahayakan jiwa manusia. Animals Indonesia mengajukan surat
3 www.konus.or.id.

rekomendasi kepada Walikota Malang Mochammad Anton untuk membuat peraturan


yang melarang eksploitasi satwa pada Car Free Day. Menurut Laskmi kegiatan ajang
pamer satwa liar tersebut tidak hanya mengekploitasi hewan tapi juga
membahayakan pengunjung.
Animals Indonesia juga melakukan aksi untuk mengecam eksploitasi satwa
liar di ajang car free day. Dalam aksi itu, ada peserta yang memakai pakaian lengkap
dengan topeng orangutan. Di dada "orangutan" terdapat kertas putih bertuliskan car
free day, animals free day. Maksudnya, dalam acara car free day diharapkan bebas
dari ajang pamer satwa liar yang dilakukan oleh pengunjung.
Pemerintahan Jokowi berencana meningkatkan sanksi hukum secara drastis
untuk perburuan dan perdagangan ilegal satwa yang dilindungi. Sanksi maksimal
akan naik dari 5 menjadi 20 tahun penjara.
Pemerintahan Jokowi akan meningkatkan sanksi hukum untuk perburuan
dan perdagangan ilegal satwa yang dilindungi sampai empat kali lipat. Rancangan
undang-Undang (RUU) Perlindungan Satwa Liar yang baru sudah disiapkan
menggantikan UU Nomor 5 Tahun 1990.

"Kami ingin penegakan hukum yang lebih kuat, kami ingin orang-orang
yang melanggar hukum mendapat sanksi yang lebih tinggi," kata Tachrir Fathoni,
Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan kepada kantor berita AFP.
Indonesia adalah salah satu negara yang kaya keanekaragaman hayati di
dunia, kawasan utama hutan tropis dengan bermacam satwa langka yang dikenal
dunia, seperti orang utan, harimau dan badak.
Banyak satwa langka yang saat ini berada di ambang kepunahan, karena
habitat mereka rusak oleh penebangan hutan. Hewan langka juga sering menjadi
sasaran pemburu ilegal yang menjual bagian-bagian tubuh mereka untuk digunakan
sebagai bahan pengobatan atau obat kuat.

Harimau Sumatera termasuk satwa yang dilindungi tapi sering diperjual belikan
secara illegal,Sejak lama kelompok-kelompok lingkungan mengeritik undang-undang
perlindungan satwa yang terlalu lemah.
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan berharap, revisi UU Nomor 5
Tahun 1990 bisa memperbaiki situasi. RUU yang baru akan diajukan ke parlemen
dalam waktu dekat dan diharapkan bisa mulai berlaku tahun depan.
Kelompok lingkungan WWF menyambut baik perbaikan yang diusulkan,
namun memperingatkan bahwa hal itu tidak akan memecahkan masalah lemahnya
penegakan hukum, terutama di daerah-daerah terpencil. Di banyak daerah di luar
Jawa dan Sumatera, penegakan hukum masih sangat lemah.
"Memiliki seperangkat aturan baru tidak berarti banyak, jika hukum tidak
bisa ditegakkan," kata juru bicara WWF Indonesia, Nyoman Iswarayoga.
"Pengawasan yang lebih baik, penyelidikan kasus yang lebih intensif, dan
pemantauan jalur-jalur perdagangan ilegal hewan sama pentingnya," kata dia.

Aksi protes perdagangan ilegal satwa liar di Jakarta, 2009


Kritik lain menyebutkan, perubahan hukum tidak selalu diterjemahkan ke
dalam sanksi hukum yang berat. Kesadaran masyarakat tentang kejahatan terhadap
satwa liar masih kurang, dan pengadilan tidak cukup serius menindak perburuan dan
perdagangan ilegal. Banyak pengadilan hanya menjatuhkan sanksi ringan.
Tachrir Fathoni dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
menegaskan, sedang dilakukan upaya keras untuk meningkatkan penegakan hukum.
Pemerintah sedang fokus pada penegakan hukum dan pendidikan polisi spesialis
yang bisa dikirim ke setiap provinsi untuk mengatasi kejahatan satwa liar.
Namun Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem itu mengakui,
perjuangan pemerintah masih berat, karena permintaan pasar untuk spesies langka
tetap tinggi.
"Selama ada permintaan, pasokan akan terus datang," katanya.

Lembaga Konservasi
Data Lembaga Konservasi yang ada di lingkup Balai Besar KSDA Jawa
Timur
1. Kebun Binatang Surabaya (Ijin Prinsip)
Alamat : Jl. Setail No. 1 Surabaya
2. Taman Safari Indonesia II Prigen Jawa Timur
Alamat : Desa Jatiarjo Kec. Prigen Kab. Pasuruan
3. Kebun Binatang Sengkaling
Alamat : Jl. Raya Mulyoagung Dau Malang
4. Jawa Timur Park
Alamat : Jl. Kartika No. 2 Batu , Jl. Oro-oro Ombo 9 Batu
5. Museum Zoologi FR. M. Vianney BHK
Alamat : Jl. Karang Widoro 7 Malang
6. Maharani Zoo dan Goa
Alamat : Dusun Panajan RT 02 RW 01 Desa Paciran Kec. Paciran Kab.
Lamongan
7. Taman Wisata Studi Lingkungan
Alamat : Jl. Basuki Rahmad Joboan Kel. Magunharjo, Kec. Mayongan
Kab. Probolinggo

8. Mirah Fantasia
Alamat : Jl. Karimun Jawa No. 81 Manggisan Banyuwangi

BAB III
masyarakat pada umumnya. Budaya hukum merupakan kunci untuk memahami
perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam sistem hukum yang satu dengan sistem hukum
yang lain. Budaya hukum penegak hukum tentu akan lain dengan budaya hukum masyarakat
umum. Derita Prapti Rahayu menggambarkan perbedaan budaya hukum penegak hukum dan
masyarakat umum, sebagai berikut (Derita Prapti Rahayu, 2014: 93):

Budaya masyarakat dapat terbentuk dari budaya turun temurun maupun trend yang berlaku
saat itu. Pemeliharaan satwa saat ini lebih banyak disebabkan adanya trend yang sedang
berlangsung. Gaya hidup yang keliru dalam mencintai satwa liar ditunjukkan oleh sebagian
masyarakat yang merasa memiliki prestise jika dapat memelihara satwa liar yang dilindungi
ataupun satwa langka.
Pemeliharaan satwa liar untuk kesenangan atau hobby memang dimungkinkan,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan
Jenis TSL khususnya Pasal 37 sampai dengan Pasal 41, dinyatakan bahwa setiap orang dapat
memelihara jenis tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan kesenangan namun hanya dapat
dilakukan terhadap jenis yang tidak dilindungi. Ada beberapa alasan mengapa tekanan
terhadap keberlangsungan hidup satwa liar yang dilindungi masih sering dijumpai, antara lain
digunakan sebagai: bahan makanan, bahan pakaian dan aksesoris, sarana olahraga/perburuan,
kesehatan/perawatan, obat-obatan tradisional hingga kebutuhan farmasi, kelengkapan ritual
upacara keagamaan, dan koleksi pribadi.
Perlu perubahan kultur dari kebiasaan memelihara satwa langka/satwa eksotik sedikit
demi sedikit harus mulai diubah menjadi budaya melestarikan satwa sesuai dengan habitat
alamiahnya. Kesadaran terhadap kelestarian lingkungan menjadi tanggung jawab bersama
antara pemerintah dengan masyarakat, baik secara nasional maupun lingkungan secara global.
Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Lembang Palipadang (Lembang
Palipadang, 2010: 8), bahwa kebersamaan untuk menyelesaikan masalah lingkungan
hidup baru menunjukkan intensitas yang tinggi setelah timbulnya kesadaran tentang sifat
global lingkungan hidup. Kesadaran ini timbul akibat pembangunan yang dilakukan pada
masa lalu telah menimbulkan kerusakan lingkungan berskala besar serta dampak yang bersifat
transnasional yang tidak mungkin lagi ditanggulangi oleh negara secara individual.
Langkah-Langkah Penanggulangan Perdagangan Ilegal Satwa Liar
Dilindungi Non-Endemik di Indonesia
U p a y a p e n e g a k a n h u k u m penanggulangan tindak pidana perdagangan
ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia memerlukan langkah-langkah
penanganan stratejik. Langkah-langkah tersebut diharapkann dapat mengatasi kendala yang

selama ini dihadapi oleh para penegak hukum dalam melaksanakan UU KSDAHE khususnya
permasalahan perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia.
a. Penyempurnaan Substansi Aturan Hukum
Undang-undang (Soerjono Soekanto, 2013: 11) dalam arti materiel adalah pertaturan tertulis
yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa yang berlaku untuk semua warga negara atau
suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara, dan
peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja. Sejak diterbitkannya
UU KSDAHE tahun 1990 maka sampai dengan saat ini telah menginjak usia 25 tahun.
Sementara jaman terus berkembang demikian pesat, dan UU KSDAHE dirasakan sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Beberapa hal terkait dengan ketertinggalan pusat
maupun daerah yang sah, maka undang-undang mencakup: peraturan pusat pasal-pasal yang
memerlukan perbaikan/revisi/ penambahan antara lain sebagai berikut.
1)

Substansi batasan minimal dalam ketentuan pidana

Ketentuan pidana dalam UU KSDAHE terdapat pada


Pasal 40, terdiri dari 5 ayat. Ketentuan pidana pada Pasal 40 tersebut membedakan tindak
pidana menjadi 2 (dua) yaitu kejahatan dan pelanggaran. Pidana penjara dan denda yang
dikenakan sebagaimana dalam Pasal 40 tersebut adalah pidana dan denda maksimal, tidak
mencantumkan pidana dan denda minimal. Sehingga apabila terjadi suatu tindak pidana baik
yang dikategorikan sebagai kejahatan maupun pelanggaran, dan diajukan ke pengadilan, maka
hakim dalam mengambil keputusan tidak mempunyai patokan yang jelas sebagai batasan
minimal.
2)

Substansi pidana kurungan dan nilai denda

Pidana kurungan dan denda atas tindak pidana terhadap satwa liar yang diatur dalam Pasal
40 apabila dibandingkan dengan kondisi saat ini terlihat cukup jauh ketimpangannya, yaitu
pengenaan pidana kurungan maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) untuk tindak kejahatan, serta pidana kurungan maksimal 1 (satu) tahun
dan denda maksimal Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk tindak pelanggaran.
Bandingkan nilai denda maksimal tersebut dengan nilai satwa yang diperdagangkan yang
dapat mencapai milyaran rupiah, belum lagi nilai kerugian ekologis atas kerusakan ekosistem

yang tentunya jauh lebih besar nilai kerugiannya.


3)

Substansi penyelesaian sengketa

Penyelesaian sengketa dapat diwujudkan melalui penyelesaian di luar pengadilan dan di


dalam pengadilan. Melihat perkembangan hukum saat ini, penyelesaian sengketa lebih
mengedepankan penyelesaian di luar pengadilan.
UU KSDAHE belum mencantumkan penyelesaian sengketa secara khusus, dalam mekanisme
penyelesaian sengketa berdasarkan UU KSDAHE hanya mencantumkan hukuman penjara
dan denda, yang berarti penyelesaian perkara pidana atau sengketa hanya dapat dilakukan di
pengadilan.
4)

Substansi perlindungan global

UU KSDAHE memang belum melindungi satwa liar dilindungi non-endemik Indonesia,


hal ini kontradiksi dengan aturan dalam konvensi yang telah dirati-

mengatur perdagangan satwa liar secara global, sedangkan UU


KSDAHE belum sepenuhnya
mengakomodir aturan dalam konvensi. Aturan yang sudah terdapat
dalam UU KSDAHE dan peraturan pendukung di bawahnya baru sebatas mengatur secara
administratif, yaitu syarat-syarat kelengkapan dokumen (SATSLN), yang apabila kelengkapan
dokumen tersebut dilanggar maka kepada pelaku dikenakan sanksi administratif. Sanksi
pidana badan atau kurungan belum dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana karena
belum diatur secara khusus aturan hukumnya.
5) Substansi penegakan hukum terintegrasi
Dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal maupun
kepemilikan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan tidak dapat bekerja sendirian. Dibutuhkan kerjasama antar instansi
yang berwenang seperti: kepolisian, bea dan cukai, serta karantina dalam melakukan
penangan langsung di lapangan. Di samping itu juga dukungan dari unsur-unsur lain seperti:
kejaksaan, kehakiman, TNI, serta LSM dan masyarakat sangat diperlukan. Penegakan hukum
terintegrasi tidak hanya sekedar diwacanakan saja, namun lebih baik apabila dicantumkan

dalam pasal-pasal aturan hukum, sehingga akan jelas pembagian tugas dan kewenangannya,
akan jelas siap berbuat apa serta tanggung-jawabnya.
b. Sosialisasi Aturan Hukum
Sosialisasi dan penyuluhan hukum adalah usaha untuk membina kesadaran hukum dan
menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan penegakan hukum. Menjadi kendala
tersendiri apabila suatu aturan hukum tidak tersosialisasikan dengan baik, seberat apapun
ancaman hukumannya dan sebanyak apapun denda administrasinya jika suatu aturan hukum
tidak tersosialisasikan dengan baik maka bagaikan anjing menggonggong kafilah berlalu.
Selain dilakukan oleh aparat pemerintah, sosialisasi dapat dilakukan oleh LSM yang bergerak
di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Substansi sosialisasi aturan
hukum yang tepat dan sinergi yang baik antara pemerintah dengan LSM dan masyarakat
dalam melakukan penyadartahuan suatu aturan hukum
Masih lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum merupakan kendala
tersendiri dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa
liar dilindungi non-endemik di Indonesia. Penegakan hukum terhadap tindak pidana tersebut
memang tidak hanya menjadi tanggung jawab instansi kehutanan saja, namun juga menjadi
kewajiban dari instansi kepolisian, bea dan cukai, serta karantina.
Perlu merubah cara pandang/ mindset penegakan hukum yang selama ini hanya dilakukan
melalui proses litigasi untuk proses peradilan menjadi penegakan hukum yang dilakukan
dengan mengedepankan proses Alternative Dispute Resolution (ADR) atau mediasi penal
guna mewujudkan kondisi-kondisi penataan hukum. Penegak hukum dituntut memiliki
berbagai kemampuan melakukan peran sebagai arbitrator, mediator, rekonsiliator, maupun
negosiator, bahkan advokator untuk mewujudkan peran dan tugasnya sebagai penegak hukum
yang profesional dan kredibel.

BAB IV
Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis
Landasan Filosofis
Tahun 2015 merupakan tahun yang cukup 'panas' bagi usaha pelestarian dan
perlindungan satwa liar di Indonesia. Bukan hanya disebabkan oleh kebakaran hutan

dan lahan yang melanda seluruh wilayah di Indoensia, tetapi juga karena maraknya
perdagangan dan perburuan satwa dilindungi.
Protection of Forest & Fauna (PROFAUNA) Indonesia mencatat bahwa sejak bulan
Januari hingga pertengahan Desember 2015 terdapat setidaknya ada sekitar 5.000
kasus perdagangan satwa liar secara online, salah satunya lewat media sosial
Facebook. Jumlah satwa liar yang diperdagangkan secara online itu meningkat cukup
banyak dibandingkan dengan data tahun 2014, dimana sedikitnya ada 3.640 iklan di
media sosial yang menawarkan berbagai jenis satwa liar.
Laju dan volume perdagangan di media sosial dapat menjadi sedemikian tinggi
karena sangat mudah bagi pengguna untuk mengunggah penawaran satwa,
berjejaring tanpa batas, dan dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi dibanding
perdagangan secara konvensional.
Tren perdagangan satwa liar yang dilindungi dalam 5 tahun terakhir didominasi oleh
perdangan secara online. Perdagangan satwa langka secara konvensional di pasarpasar burung semakin jarang, meskipun di beberapa pasar burung masih ditemukan
pedagang yang menawarkan dilindungi dalam jumlah kecil.
Kasus perdagangan dan perburuan satwa liar yang dimuat di media massa juga masih
tinggi. Tahun 2015, PROFAUNA mencatat sedikitnya ada 67 kasus perdagangan
satwa liar dan 16 kasus perburuan satwa liar yang dimuat di media massa.
Meskipun jumlahnya menurun jika dibandingkan dengan catatan tahun 2014 (78
kasus) tapi jika ditilik dari volume kasusnya, maka akan terlihat bahwa pada tahun
2015 terdapat lebih banyak kasus bervolume tinggi, yaitu melibatkan jumlah satwa
liar atau produknya dalam jumlah dan nilai besar. Contoh dari beberapa kasus dengan
volume mencengangkan tersebut antara lain:
Perdagangan 96 ekor trenggiling hidup, 5.000 kg daging trenggiling beku, dan 77 kg
sisik trenggiling yang terungkap di Medan pada bulan April 2015
Penyelundupan 10 kg insang Ikan Pari Manta, 4 karung berisi campuran tulang ikan
hiu dan ikan pari manta, 2 karung tulang ikan Hiu dan 4 buah sirip Hiu di Flores
Timur pada bulan Juli 2015

Penyelundupan 1 kontainer 40 feet Cangkang Kerang Kepala Kambing senilai Rp


20,422 miliar pada bulan Agustus 2015 di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Barang
illegal itu rencananya akan diekspor ke Cina.
Dari segi jenis satwa yang diperdagangkan sebanyak 17 kasus (25%) kasus
melibatkan satwa laut (penyu, pari, hiu, dan lainnya). Kelompok satwa lain yang
tingkat perdagangannya tinggi adalah jenis kucing besar (harimau, kucing hutan, dan
lain-lain) sebanyak 16 kasus (24%), burung paruh bengkok 12 kasus (18%), primata
11 kasus (16%), dan berbagai jenis burung berkicau ada 10 kasus (15%).
Kemudian, dari pemetaan data kasus tersebut didapati provinsi dengan jumlah kasus
perdagangan satwa liar terbanyak adalah Jawa Timur (16 kasus), disusul oleh Jawa
Barat (7 kasus) dan Bali (5 kasus). Jawa Timur menjadi provinsi peringkat pertama
dalam jumlah perdagangan satwa liar antara lain karena masih memiliki banyak
hutan tempat asal satwa liar yang ditangkap dan diperdagangkan.
Posisi jawa Timur juga strategis sebagai penghubung jalur perdagangan antara
Indonesia bagian Timur dan Barat baik melalui jalur laut maupun udara. Selain itu,
Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Jawa berpotensi sebagai pasar yang potensial
bagi perdagangan satwa liar.
Kasus Perburuan Satwa liar
Kasus perburuan satwa liar di tahun 2015 cenderung semakin tinggi. Di wilayah Jawa
Timur saja, PROFAUNA mencatat sedikitnya ada 370 kasus perburuan satwa liar.
Ironisnya, perburuan satwa liar itu justru banyak terjadi di hutan lindung dan
kawasan konservasi alam.
Beberapa kawasan konservasi alam di Jawa timur yang rawan terjadinya perburuan
satwa liar antara lain Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Taman Hutan Raya R
Soerjo, Taman Nasional Bakuran, Taman Nasional Merubetiri, Hutan skeitar Gunung
Ijen, Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang. Gunung Arjuna dan Gunung Kawi.
Tahun 2015 saja, PROFAUNA Indonesia menerima hampir 200 pengaduan dari
masyarakat tentang adanya perburuan satwa liar. Lebih dari 90% pengaduan itu
terkait dengan foto yang diunggah di media sosial, yang menampilkan pemburu

beserta mangsa dan senjatanya.


Total terdapat 15 kasus yang dilaporkan ke PROFAUNA melalui email, SMS center,
maupun telepon. Di antara 15 kasus yang ditindaklanjuti oleh PROFAUNA itu,
terdapat 4 kasus yang kemudian diproses hukum oleh aparat, yaitu:
Kasus pembantaian kucing hutan yang fotonya diunggah ke Facebook oleh akun Ida
Tri Susanti yang berdomisili di Jember, Jawa Timur
Kasus pembantaian beruang madu yang dikuliti, dan fotonya diunggah ke Facebook
oleh akun Ronal Cristoper Ronal di Kalimantan Timur
Kasus pembunuhan Harimau Sumatera yang foto-fotonya diunggah ke Facebook oleh
akun Manullang Aldosutomo dari Sumatera Utara
Kasus pembunuhan dan pembakaran primata yang fotonya diunggah ke Facebook
oleh akun Polo Panitia Hari Kiamat yang berdomisili di Kalimantan Tengah
Sayangnya, dari keempat kasus itu belum ada yang maju ke meja hijau, apalagi
dijatuhi hukuman. Dalam pernyataannya kepada media massa, ketua PROFAUNA
Indonesia, Rosek Nursahid menyatakan bahwa mahasiswa dan anak muda adalah
generasi terdidik tetapi mereka justru menunjukkan perilaku yang tidak beretika
dalam menyayangi satwa. Rosek menilai bahwa generasi muda saat ini minim budi
pekerti terlebih tentang cara mencintai alam dan lingkungan.

Landasan Yuridis
Penegakan Hukum Yang Masih Lemah
Setidaknya terdapat 6 vonis yang dijatuhkan kepada pelaku perdagangan satwa liar,
dengan rentang hukuman penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun, dan denda antara Rp
500 ribu hingga 50 juta. Vonis terberat diterima oleh terdakwa pelaku perdagangan
tiga ekor orangutan, dua ekor elang bondol, satu ekor burung kuau raja, dan satu
awetan macan dahan, yang dihukum penjara 2 tahun dan denda Rp 50 juta subsider 3
bulan penjara oleh PN Langsa pada bulan November 2015.
Sayangnya secara umum vonis terhadap pelaku perdagangan satwa iar yang
dilindungi itu masih sangat rendah. Contoh kasus rendahnya vonis itu adalah kasus

penyelundup satwa antar negara, Basuki Ongko Raharjo.


Majelis Hakim yang diketuai Ferdinandus di Pengadilan Negeri Surabaya
menjatuhkan hukuman sangat ringan terhadap pelaku yaitu pidana penjara enam
bulan, dengan masa percobaan satu tahun penjara pada tanggal 17 Juni 2015.
Basuki Ongko Raharjo, warga kota Malang itu dinyatakan terbukti bersalah
melanggar UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda
Rp 100 juta. Sayangnya meski nyata-nyata melanggar hukum, terdakwa divonis
ringan oleh hakim. Ini tidak beda jauh dengan tuntutan jaksa yang hanya menuntut
Basuki Ongko Raharjo dengan hukuman percobaan.
Padahal Kejahatan satwa liar yang dilakukan Basuki Ongko Raharjo sangat
memprihatikan kelestarian satwa liar Indonesia. Dari tangan Basuki, petugas polisi
menyita seekor opsetan penyu, kucing hutan, kerangka kancil, kepala rusa, 85
kerangka paruh merah burung cekakak, 100 kepala paruh merah cekakak, 30
kerangka cekakak 90 kepala paruh hitam cekakak, 63 bulu merak, 5 kerang terompet
dan 9 sigung.
Undang-undang yang berlaku di Indonesia terkait dengan konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistem saat ini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, untuk selanjutnya
disebut UU KSDAHE. UU KSDAHE secara garis besar mengatur perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Sampai dengan saat ini penanganan terhadap perdagangan ilegal satwa
liar dilindungi non-endemik di Indonesia masih belum optimal. Berdasarkan informasi
yang diperoleh, sampai dengan tahun 2014 terdapat kepemilikan satwa liar dilindungi
non-endemik dalam keadaan hidup maupun bagian-bagiannya yang tidak jelas asal usul
perolehannya, berdasarkan informasi dari Subdit I Direktorat Tipidter Bareskrim Mabes
Polri dapat dipastikan bahwa hasil perolehan satwa dan juga bagian-bagiannya tersebut
adalah melalui perdagangan ilegal ataupun penyelundupan, bahkan beberapa

diantaranya diperoleh dari lembaga konservasi (kebun binatang).


Kepemilikan satwa maupun bagianbagiannya tersebut baru diketahui setelah
beberapa waktu/tahun kemudian (Anonim, 13 Oktober 2014, 01:10 WIB). Seperti
halnya keberadaan harimau Benggala di rumah keluarga artis Unique Priscilla yang
dipersoalkan petugas dari Kementerian Kehutanan. Sebenarnya sudah lama diketahui
bahwa keluarga Unique memelihara harimau, menurut Koesbanu (pemilik), yang
bersangkutan memelihara si raja hutan itu sudah sejak tahun 1985. Kasus lain adalah
berhasil ditangkapnya sindikat pengedar satwa langka awetan di daerah Lenteng
Agung, Depok, Jawa Barat (Indra Poernomo, 13 Oktober 2014, 05:59 WIB). Dalam
operasi tersebut ditemukan beberapa satwa awetan dan hasil samakan kulit harimau
yang dijadikan karpet, salah satunya adalah dari kulit harimau jenis Benggala.
Sebagaimana dilansir oleh WWF Indonesia (WWF, 2009), harimau Benggala dan jenis
harimau lain dikategorikan terancam punah (endangered) dalam daftar lembaga
konservasi dunia IUCN dan masuk dalam CITES Appendiks 1, sehingga perdagangan
secara komersil adalah dilarang. Kasus lain yang terungkap adalah oknum Camat
Kramatjati (Anonim, 13 Oktober 2014, 06:33 WIB) yang memiliki dan memelihara
satwa langka hidup dan awetan, dalam operasi yang digelar Balai KSDA DKI bersama
Bareskrim Mabes Polri berhasil menyita beberapa satwa langka endemik dan nonendemik baik yang masih hidup maupun sudah dalam bentuk awetan/opsetan.
Perdagangan ilegal satwa liar non-endemik (Anomin, 1 Desember 2014, 10:45 WIB) di
Indonesia ditengarai karena nilai eksotis dari satwa tersebut untuk dijadikan binatang
peliharaan. Minat memelihara hewan eksotik, baik jenis reptil, primata, maupun
burung, membuat impor ilegal satwa-satwa itu terus terjadi.
Peraturan perundangan yang mengatur sanksi hukum untuk pelaku tindak pidana
terhadap satwa liar dilindungi adalah UU KSDAHE. Namun pengaturan tentang satwa
liar dilindungi yang termaktub di dalamnya adalah dari jenis endemik, sedangkan satwa
liar dilindungi dari jenis non-endemik belum diatur secara jelas. Budi Riyanto (Budi
Riyanto, 2004: 9) menjelaskan:
Secara internasional CITES mewajibkan negara anggota untuk dapat memberikan

sanksi hukum yang berkaitan dengan jenisjenis yang termasuk dalam appendiks
CITES, selain itu tidak ada sanksi hukum terhadap pelanggaran CITES bagi jenis-jenis
yang berasal dari luar Indonesia.
Akibat dari hal tersebut di atas, satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia dapat
dimiliki oleh orang tanpa dapat dikenakan sanksi hukum. Sedangkan CITES
mewajibkan para Pihak, termasuk Indonesia sebagai anggota, untuk membuat
regulasi yang mengatur perdagangan satwa liar baik ekspor maupun impor guna
mencegah satwa liar tersebut dari bahaya kepunahan. Bertitik tolak dari persoalan
tersebut di atas, telah menarik perhatian Penulis untuk mendalami lebih lanjut akar
persoalannya untuk menemukan solusinya untuk memberikan kemanfaatan.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan dikaji oleh Penulis
adalah: efektivitas UU KSDAHE dalam upaya penegakan hukum terhadap
perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia, dan langkahlangkah yang harus dilakukan untuk menanggulangi perdagangan ilegal satwa liar
dilindungi non-endemik di Indonesia.

Tidak dipungkiri bahwa satwa liar dilindungi non-endemik mempunyai nilai


tersendiri dikalangan pecinta satwa. Nilai eksotis yang cukup tinggi merupakan salah
satu alasan satwa liar non-endemik tersebut dipelihara oleh masyarakat/pecinta satwa.
Dari hasil observasi di lapangan (Pasar Pramuka dan Pasar Jatinegara di Jakarta, Pasar
Muara di Bandung) banyak dijumpai satwa-satwa liar baik yang dilindungi maupun
yang tidak dilindungi yang diperjualbelikan. Jual beli satwa liar yang dilindungi
biasanya dilakukan secara tersembunyi. Sangat sulit untuk menemukan jenis satwa liar
dilindungi non-endemik yang diperjualbelikan, biasanya jual beli satwa jenis tersebut
dilakukan melalui jaringan internet, namun adakalanya ditemui jual beli secara
langsung. Jenis non-endemik kebanyakan dari jenis ikan dan reptil, seperti di Pasar
Burung Jatinegara, Penulis baru menemukan jenis ikan Piranha dan aligator spatula
yang diperjual belikan, serta reptil jenis buaya. Untuk jenis mamalia tidak ditemukan.
Hal tersebut bukan berarti tidak ada kasus yang terjadi, namun kebanyakan kejadian

apabila petugas (polhut maupun kepolisian) menemui satwa liar non-endemik


Indonesia (walaupun dilindungi) cenderung tidak memproses lebih lanjut secara
hukum. Sependapat dengan hal tersebut Sugeng (Sugeng, hasil wawancara, 23
September 2014, 11:45 WIB), salah seorang kepala seksi di Subdit I Direktorat Tipidter
Bareskrim, mengatakan bahwa:

No.
1 *)

Nama Pemilik/ Waktu/Lokasi Spesimen


Koesbanu
Harimau Benggala (hidup)

Ciputat, Tangerang
2 **) Budi Santosa

Berbagai jenis satwa opset;

Non-endemik
Appendiks 1

Lenteng Agung, Depok

Kulit Harimau Sumatera;

Appendiks 1

Ucok Bangsawan Harahap

Karpet kulit Harimau Benggala


Berbagai jenis satwa dilindungi di

Non-endemik
Appendiks 1

Indonesia;

Non-endemik

Harimau Benggala (hidup)


Kulit Harimau Benggala utuh

Appendiks 1

***) Jatiwaringin

Keterangan
Appendiks 1

Klenteng

****) Palmerah
Non-endemik
Kepemilikan satwa dilindungi yang bukan asli Indonesia bukannya tidak ada, bisa
dikatakan cukup banyak, seringkali dalam setiap operasi penegakan hukum terhadap
kepemilikan satwa, selain satwa yang dilindungi di Indonesia kami juga menemukan
satwa bukan asli Indonesia. Selain satwa hidup, pada waktu dilakukan operasi
berdasarkan laporan masyarakat juga ditemui kepemilikan kulit harimau Benggala
dalam bentuk karpet atau lembaran utuh.
Kepemilikan Satwa Liar Dilindungi (Secara Ilegal)

Landasan sosiologis
P e n y e l e s a i a n p e r k a r a kepemilikan dan perdagangan ilegal satwa liar
dilindungi non-endemik secara pidana sampai saat ini dapat dikatakan berhenti ditempat, alihalih
tidak adanya aturan hukum yang mengaturnya kebanyakan satwa tersebut akhirnya dikembalikan ke
pemiliknya walaupun dengan status titipan negara. Pemilik diwajibkan membuat ijin untuk
memelihara dan melaporkan secara berkala, hal itu secara tidak langsung telah melegalkan
kepemilikan ilegal satwa liar tersebut.
Hambatan tersebut sebagaimana dikatakan oleh Evi Haerlina (Evi Haerlina,
Aparat penegak hukum dalam menghadapi perdagangan ilegal satwa liar dilindungi nonendemik di Indonesia selalu terhalang oleh tidak adanya aturan hukum yang khusus tentang satwa
non-endemik, Inge Yangesa (Inge Yangesa, hasil wawancara, 5 Mei 2015, 10:30 WIB) dalam
wawancaranya mengatakan:
Aturan hukum yang ada saat ini memang belum jelas mengatur tentang satwa liar
dilindungi yang non-endemik Indonesia, sehingga pengenaan pidana maupun denda administratifnya
juga masih belum jelas. Namun apabila dijumpai kepemilikan maupun perdagangan satwa liar
dilindungi non-endemik, hal tersebut dapat ditelusuri dari kelengkapan dokumennya. Untuk
Appendiks I CITES jelas hal itu tidak diperbolehkan dan melanggar aturan dalam konvensi. Pemilik
maupun pedagang yang tidak dapat menunjukkan dokumen yang sah, jelas merupakan kepemilikan
ataupun perdagangan secara ilegal dan dapat dianggap sebagai penyelundupan.
Pendapat Inge tersebut sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 57 Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis TSL. Pasal 26 peraturan pemerintah tersebut menyatakan:
Ekspor, re-ekspor, atau impor jenis tumbuhan dan satwa liar tanpa dokumen atau
memalsukan dokumen atau menyimpang dari syarat-syarat dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (2) [dokumen perdagangan satwa liar, pen] termasuk dalam pengertian penyelundupan.
Persoalannya adalah bagaimana kepiawaian para penegak hukum dan kejeliannya
menggunakan aturan hukum dalam menangani kasus kejahatan terhadap satwa liar dilindungi nonendemik tersebut. Di sisi lain, koordinasi antar penegak hukum juga masih dirasakan kurang optimal,
hasil pengamatan secara langsung di lapangan, waktu koordinasi antar instansi yang diperlukan

untuk sebuah operasi yustisi di lapangan tidaklah cepat. Beberapa langkah-langkah prosedural justru
dirasakan menghambat gerak cepat suatu operasi yustisi. Pengenalan jenis spesimen oleh petugas
kepabeanan juga belum optimal, petugas pabean belum tentu mengenal spesimen yang merupakan
Appendiks I CITES, hal tersebut kemungkinan dapat terjadi dan spesimen yang diselundupkan dapat
lolos. Setijati mengatakan (Setijati D. Sastrapradja, 1998: 136), pada umumnya konvensi baru
menjadi kepedulian mereka yang bergerak dalam negosiasi internasional. Hal ini berarti bahwa
belum semua sektor di pemerintahan mengetahui implikasi konvensi terhadap sektornya. Terlebihlebih aspek hukum dalam konvensi yang perlu diperhatikan setiap negara.
Pada prinsipnya dalam penegakan hukum diperlukan sinergi antar lembaga penegak
hukum dan dukungan instansi terkait lainnya, dari hasil observasi dan wawancara, diketahui bahwa
sinergi penegakan hukum antar instansi pada dasarnya sudah terjalin namun masih bersifat insidentil
dan kewilayahan. Sistem penegakan hukum terintegrasi diperlukan antara pihak kehutanan dengan
pihak bea dan cukai serta pihak karantina. Kedua instansi tersebut merupakan pintu pertama
masuknya spesimen dari luar negeri ke wilayah negara Indonesia, maupun antar daerah di dalam
wilayah Indonesia. Peran serta aktif dari masyarakat maupun lembaga nonpemerintah (NGO/Non
Goverment Organization) atau LSM penting dalam mendukung terwujudnya penegakan hukum
terhadap kejahatan satwa liar yang dilindungi

Anda mungkin juga menyukai