Anda di halaman 1dari 24

PROPOSAL TUGAS AKHIR RA 141372

Anastasya Putri Yusuf


3213100096

Dosen Pembimbing:
Defry Agatha Ardianta, S.T., M.T.

JURUSAN ARSITEKTUR
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya 2016

DAFTAR ISI
BAB I Isu dan Obyek Arsitektural
1.1 Kajian Isu

1.2 Respon Arsitektural 2


Type chapter title (level 3)

Type chapter title (level 1)

Type chapter title (level 2)

Type chapter title (level 3)

BAB I
Objek dan Isu Arsitektural
1.1. Kajian Isu
Arsitektur merupakan buah pemikiran manusia dalam bentuk
fisik yang mencerminkan kehidupan dan pola-pola kebudayaan yang
terbentuk pada masa penciptaannya. Arsitektur dalam artian yang
luas mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan
binaan. Keberadaan sebuah lingkungan binaan memiliki pengaruh
yang tidak sedikit terhadap perilaku dan aktivitas manusia. Seperti
yang dikatakan Van Romondt bahwa arsitektur sebagai ruang tempat
hidup manusia dengan bahagia. Oleh karenanya, tujuan utama
arsitektur adalah tercapainya rasa aman, nyaman dan bahagia bagi
penghuninya. Arsitektur memiliki peranan penting dalam membantu
manusia dalam proses kegiatan yang harus dilakukannya. Peran
arsitektur adalah memfasilitasi dan mengupayakan kemudahan
proses tersebut.
Pola perilaku manusia sedikit banyak juga ditentukan oleh
keadaan lingkungan sekitarnya. Lingkungan memiliki peran penting
dalam membentuk karakter manusia. Sehingga kita dapat melihat
arsitektur

dengan

sudut

pandang

berbeda

bahwa

selain

mencerminkan perilaku manusia, arsitektur juga dapat bersifat


sebaliknya,

yaitu

penggunanya.

berpengaruh

Perancangan

memenuhi aktivitas tertentu.

dan/atau

suatu

menentukan

lingkungan

adalah

perilaku
untuk

Tidur, bekerja, rekreasi, ibadah,

berobat dan berbagai aktivitas lainnya membutuhkan ruang atau


lingkungan. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, terlihat adanya
pola perilaku penggunanya. Barker, seorang tokoh psikologi ekologi
menelusuri bahwa pola perilaku manusia berkaitan dengan tatanan
lingkungan fisiknya, dan melahirkan konsep tatar perilaku (behavior
setting). Dapat dikatakan bahwa arsitektur yang baik menyesuaikan
dengan pola perilaku penggunanya serta menerapkan behavior
setting sesuai konteks aktivitas dalam arsitektur tersebut.

Lalu bagaimana jika penghuni arsitektur tersebut tidak hanya


manusia,

melainkan

terdapat

spesies

lainnya?

(baca:

hewan)

Arsitektur memang tidak wajib berperan untuk hewan. Namun akan


menjadi wajib dipertimbangkan ketika manusia dan hewan tersebut
saling berinteraksi di dalam arsitektur. Sampai saat ini, cukup banyak
kemungkinan arsitektur dalam melibatkan manusia dan hewan, yang
merujuk kepada objek-objek seperti kebun binatang, taman safari,
fasilitas

rehabilitasi

menggunakan

hewan,

pentas

pertunjukkan

hewan, akuarium publik, bahkan rumah tinggal (dimana penghuninya


memiliki hewan peliharaan), dll. Semua objek tersebut mengambil
manfaat dari hewan. Namun sayangnya, hewan-hewan tersebut
diperlakukan sebagai sebuah objek, seakan-akan mereka hanya
sebuah alat. Dalam kasus seperti ini pun, dimana penghuni arsitektur
terdiri atas manusia dan hewan, pertimbangan desainnya tetap
human-oriented. Mempertimbangkan bagaimana jarak dan sudut
kemiringan yang baik antara bangku penonton dengan area pentas
pertunjukkan hewan (seperti: lumba-lumba, anjing laut, berangberang) sehingga penonton dapat melihat dengan nyaman namun
tempat tinggal hewan tersebut (kandang) hanya berupa kolam
seadanya atau kotak dengan ukuran secukupnya. Contoh lainnya
dapat kita lihat di kebun binatang dimana desain mempertimbangkan
bagaimana perlindungan yang baik pada kebun binatang sehingga
manusia dapat berinteraksi dengan hewan dengan nyaman serta
aman, sedangkan kandang hewan-hewan tersebut hanya kotak
berjeruji atau kaca tanpa disesuaikan dengan perilaku hewan-hewan
tersebut. Dalam kasus ini, arsitektur tersebut tidak mencerminkan
desain yang setara untuk kedua penghuninya. Padahal hewan pun
adalah makhluk hidup yang pantas dipertimbangkan. Karena sebuah
subjek kehidupan menurut Tom Regan:
want and prefer things, believe and feel things, recall and expect
things. And all these dimensions of our life, including our pleasure
and pain, our enjoyment and suffering, our satisfaction and
frustration, our continued existence or our untimely deathall make

a difference to the quality of our life as lived, as experienced, by us


as individuals. As the same is true of animals they too must be
viewed as the experiencing subjects of
a life, with inherent value of their own.
(Regan, 1985)
Dari

penjelasan

Tom

Regan

tersebut jelas bahwa setiap makhluk


hidup

berhak

untuk

mendapatkan

pertimbangan moral. Dalam Lectures

When I look into the


eyes of an animal I
do not see an animal.
I see a living being.
I see a friend.
I feel a soul.
- A.D. Williams

on Ethics Kant menegaskan bahwa


manusia

memiliki

kewajiban

tidak

langsung terhadap hewan, bukan kewajiban terhadap mereka,


melainkan berkaitan dengan mereka sejauh perlakuan manusia
terhadap hewan dapat memengaruhi kewajiban manusia sebagai
manusia.
If a man shoots his dog because the animal is no longer
capable of service, he does not fail in his duty to the dog, for the dog
cannot judge, but his act is inhuman and damages in himself that
humanity which it is his duty to show towards mankind. If he is not to
stifle his human feelings, he must practice kindness towards animals,
for he who is cruel to animals becomes hard also in his dealings with
men. (Kant, Lectures on Ethics, hal. 212)
Menurut penjelasan diatas, manusia memiliki tanggung jawab
terhadap hewan. Sehingga dalam arsitektur yang melibatkan hewan,
hewan harus dipertimbangkan dalam desain arsitektural setara
dengan pertimbangan terhadap manusia. Oleh karenanya, dalam
mendesain arsitektur yang mana penghuninya terdiri atas manusia
dan hewan terdapat dua perilaku yang menjadi pertimbangan, yaitu
perilaku manusia yang menjadi okupannya dan perilaku hewan yang
terkait.
Architecture today recognizes that its once-familiar disciplinary
terrain now bristles with new hybrids. Smart materials, sentient
systems, and responsive envelopes are but a few of the networks

assembling humans and non-humans, animals and technology in


what has been described in varied but intersecting disciplines: by
geographer Sarah Whatmore as hybrid geographies, by urban
ecologist Mathew Gandy as cyborg urbanization, by cultural
anthropologist Bruno Latour as a parliament of things, and by
feminist

theorist

Donna

Haraway

as

species-companionship.

(Latour, 2005) (Haraway, 2003)


Dilihat

dari

beberapa

publikasi

terkait,

terbukti

bahwa

akademisi arsitektur dan praktik eksperimental terus berusaha


memegang kepercayaan mengenai kemungkinan arsitektur terlibat
dengan ilmu biologi. Dalam hal ini, hewan dan tumbuhan menjadi
umpan bagi pergerseran desain arsitektural dalam kebanyakan
kasus dari metafora (dan bentuk) ke penerapan. Arsitektur saat ini
sudah peka terhadap lingkungannya. Sudah banyak karya arsitektur
yang tidak hanya eco-friendly, namun juga animal-friendly.
Once we understand that the human and the animal are
relics of a philosophical humanism that flattens the actual complexity
and multidimensionality of what are, in fact, many different ways of
being in the world that are shared in myriad particular ways across
species lines, then the question of the animaland of the animality
of the humancannot help but open onto fundamental issues that
are best thought not as problems of distinct and discreet ontological
substances, but rather in terms of processes, dynamics and relations
what Donna Haraway (When Species Meet, 2007) winningly calls
contact zones between human and non-human life forms and the
environments, technologies, prostheses, and practices in which they
are embedded as beings both acting and acted upon. (Wolfe, 2011,
hal. 1-12, 2)
Cary Wolfe mengidentifikasi problematika hubungan manusiahewan dalam kerangka berpikir post-humanis. Contact zones
potensial antara manusia dan non-manusia akan lebih mudah
dipahami oleh arsitek apabila ditinjau melalui kerangka teori jaringan.
Actor-Network Theory (ANT) menyebutkan bahwa seorang aktor tidak

dapat bertindak tanpa jaringan, sedangkan jaringan terdiri atas


manusia dan non-manusia. Teori ini memberikan syarat dan kriteria
yang digunakan untuk menggambarkan arsitektur kolektif baru di
mana hewan menjadi aktor, memiliki kelembagaan, dan bahkan
memiliki subjektivitas. Logika jaringan beranggapan bahwa sudah
bukan saatnya kita kaget mendengar pertanyaan Kamu mendesain
untuk

berapa

macam spesies?, namun justru

sebagai inspirasi desain.


Preseden
Nama : Zootopia
Klien : Givskud Zoo
Arsitek

: BIG

Lokasi: Givskud, Denmark


Luas

: 1.200.000 m2

menjadikannya

Architects greatest and most important task is to design manmade ecosystems - to ensure that our cities and buildings suit the

way we want to live. We must make sure that our cities offer a
generous

framework

for

different

people

from

different

backgrounds, economy, gender, culture, education and age so they


can live together in harmony while taking into account individual
needs as well as the common good. Nowhere is this challenge more
acrimonious than in a zoo. It is our dream - with Givskud - to create
the best possible and freest possible environment for the animals
lives and relationships with each other and visitors. (Projects:
Zootopia, 2013)
To create a framework for such diverse users and residents
such as gorillas, wolves, bears, lions and elephants is an extremely
complex task. We are pleased to embark on an exciting journey of
discovery with the Givskud staff and population of animals - and hope
that we could both enhance the quality of life for the animals as well
as the keepers and guests but indeed also to discover ideas and
opportunities that we will be able to transfer back into the urban

jungle. Who knows perhaps a rhino can teach us something about


how we live - or could live in the future? (Projects: Zootopia, 2013)
Sang arsitek mencoba untuk mengubah paradigma kebun
binatang tradisional. Ia membuat sebuah ekosistem buatan yang
sangat bebas baik bagi hewan maupun pengunjung untuk saling
berinteraksi. Dalam desainnya ia mempertimbangkan karakteristik
habitat masing-masing hewan, membuat desain khusus untuk setiap
habitatnya dengan meniru kondisi alamiahnya semirip mungkin.
Namun di saat yang sama juga mempertimbangkan bagaimana
pengunjung dapat berinteraksi dengan mereka secara aman dan
nyaman.

Desain-desain diatas dapat memperlihatkan kesetaraan peran


arsitektur untuk kedua penghuninya. Dimana hewan tidak bertindak
semata-mata sebagai alat yang digunakan oleh manusia, melainkan
hewan

dan

pentingnya

manusia
di

dalam

sama-sama
arsitektur

menjadi
tersebut.

subjek
Juga,

yang

sama

pertimbangan

desainnya tidak condong kepada salah satu pihak saja melainkan


memikirkan kemungkinan terbaik dari interaksi antara dua pihak
tersebut untuk menghasilkan desain yang ideal. Sang arsitek
mempertimbangkan

karakteristik

dan

perilaku

hewan

untuk

menghasilkan desain yang cocok bagi mereka, serta dalam saat yang
sama, perilaku pengunjung dipengaruhi atau dibentuk oleh toleransi
interaksi yang dibuat sang arsitek dan diwujudkan dalam desain.
Preseden
Ajang : Animal
Architecture Award
2012
Nama : The Domino
Effect
Oleh

: Andrew Daley

Lokasi: Houston, Texas


Domino Effect meggabungkan Pemandian Umum dengan
akuarium yang bersifat
edukasional bersamaan
dengan terapi

hewan.

The Domino Effect hadir


sebagai

respon

kurangnya

interaksi

manusia
spesies

dengan
akuatik,

kebutuhan
urban

dan

masyarakat

akan

Domino

dari

relaksasi.

Effect

berdampingan

membiarkan
tetapi

spesies

berinteraksi

untuk
secara

tidak
fisik

hanya
dan

hidup

sesnsori,

meningkatkan sensitivitas manusia mengenai kebutuhan dan fungsi


hewan.

Pemandian umum sangat esensial bagi sebuah kota sebagai


tempat pertemuan, selain fungsi umumnya, yaitu relaksasi. Banyak
fungsi pemandian yang membutuhkan berbagai temperatur, jumlah,
dan jenis air, serta berbagai kondisi kelembapan. Secara kebetulan,
hewan akuatik hadir dalam berbagai habitat dan ekosistem dengan
variasi yang serupa. Membiarkan spesies tertentu hidup dalam
kondisi-kondisi tersebut diantara para pengunjung, menghasilkan
hubungan yang produktif antara hewan dan manusia. Hiu dan ikan
tropis hidup di air hangat. Anjing laut dan penguin hidup di lansekap
yang dingin. Kura-kura, yang mana ia hidup di berbagai temperatur,
disini hidup di air sejuk. Burung akuatik hidup diatas dan berdekatan
dengan air. Setiap spesies memiliki volume air yang berbeda,
dibentuk dan didesain untuk habitat dan karakteristik spesifik
mereka. Hal-hal ini menentukan letak berbagai fasilitas pemandian
(frigidarium, caldarium, tempedarium, steam room, sauna, grotto, dll)

dengan

juxtapositions

yang

jelas.
Semakin

ke

atas,

di

setiap tikungannya pengunjung


akan dihadapkan dengan relasi
baru

baik

pengunjung

dengan

hewan,

lain,

maupun

pemandangan kota diluar. Ini membuat kontekstualisasi yang konstan


mengenai persepsi terhadap manusia, hewan, dan kota.

Setiap volume air hewan menyajikan fungsi yang berbeda bagi


pengunjung. Volume burung bertindak sebagai cerobong panel surya
dikarenakan udara Houston yang panas dan lembap, memberikan
hembusan

angin

didekat

kolam

rendam.

Volume

Kura-kura

mengizinkan perenang untuk merasakan air yang sama dan secara


bersamaan

menjaga

separasi

agar

masing-masing

dapat

menjalankan fungsinya. Volume hewan kutub menyediakan udara

dingin bagi treatment pendinginan untuk grotto. Volume ikan tropis


bertindak sebagai kolam sentuh bagi para pengunjung dan juga
sebagai spa kaki di kolam hangat, dimana pemandi berendam
dengan air yang sama sembari melakukan interaksi fisik dengan
spesies.

Preseden
Jenis : Tesis
Judul : Tangible Space
Oleh

: Andri Verwey

Lokasi: Berea Park, Pretoria CBD,


South Africa

Pusat Animal Assisted Therapy


adalah

tempat

dimana

hewan

berinteraksi dengan manusia. Program


yang

disediakan

interaction

mendorong

dengan

hewan

tactile
maupun

ruang itu sendiri. Konsep bangunan


didasarkan pada indera peraba yang mana indera tersebut menjadi
hal yang paling signifikan dalam merasakan ruang di dalam desain
ini. Kulit adalah reseptor dalam tactile interaction dan karenanya,
fasad

bangunan

memainkan

peran

penting

dalam

membatasi/menentukan persepi ruang tempat terjadinya interaksi.


Kulit dianggap sebagai pelindung dan pembatas membran tubuh dan
di dalam desain membentuk kanopi pelindung bagi courtyard yang
terletak di antara massa bangunan. Courtyard ini adalah tempat yang
signifikan karena merupakan poin penting dari interaksi. Ruang
transisional inilah yang menghubungkan interior dengan eksterior,

arsitektur dengan alam, dan taman dengan kota. Ruang ini juga
melambangkan ruang yang ideal sebagai tempat pertemuan antara
hewan dan manusia.

Ruang terapi adalah bagian yang paling privat dari bangunan.


Terdapat 4 jenis ruang terapi:

Therapy
Ruang

Rooms:
ini

adalah

ruang privat yang


ditujukan
okupan

untuk
yang

paling

sedikit,

yaitu

terapis,

hewan terapi dan


pasien.

Meskipun

ruang ini maksimalnya cukup untuk menampung satu keseluruhan


keluarga kecil. Ruang ini ditujukan untuk konseling, fisioterapi dan
occupational therapy untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan
terapis.

Ruangnya

bersifat

open

plan

dan

adaptif

untuk

memungkinkan berbagai intervensi dan interaksi terapeutik.


Group Therapy Rooms: Ruang ini ditujukan untuk okupan 20 orang.
Ruangnya juga didesain open plan, dengan furnitur yang adaptif dan
dapat dipindah-pindahkan atau disimpan di area tertutup di ruangan
ini. Ruang tambahan tersebut dapat berfungsi sebagai penyimpanan

atau perluasan dari ruang Group Therapy ini.

Reintegration/Activity Space: Merupakan sebuah ruang antara yang


ditujukan untuk aktivitas-aktivitas yang membutuhkan ruang yang
lebih besar daripada ruang terapi biasa dan juga cocok untuk sesi
grup.

Medical Gymnasium: Ruang ini adalah satu-satunya dimana hewan


bukan merupakan bagian dari proses. Digunakan untuk pasien
occupational therapy dan fisioterapi. Didesain dengan area yang
dilengkapi peralatan dan juga memiliki open space untuk adaptasi
berdasarkan kebutuhan sang terapis sehari-hari. Gym ini juga
terhubung

dengan

kebutuhan latihan.

area

eksterior

yang

memungkinkan

untuk

Dari

desain

ruang-ruang

diatas

terlihat

bahwa

terjadi

kesetaraan peran arsitektur terhadap hewan dan manusia. Arsitektur


harus menghargai hewan sebagai okupan dari beberapa tipologi
bangunan

dan

menginisiasi

resolusi

yang

mengeksplorasi

kemungkinan spasial dalam mengakomodasi hewan dan interaksi


manusia-hewan. Hewan telah menyesuaikan diri dengan ruang-ruang
manusia sesuai dengan kebutuhannya, namun seringkali fungsi dan
skala tidak sesuai dengan kemampuan mereka.
Dalam mendesain ruang untuk interaksi manusia-hewan,
etologi (ilmu perilaku hewan) dan skala harus dipertimbangkan
sebagai faktor penentu desain. Hewan memiliki potensi yang besar
dalam manfaatnya bagi kesehatan manusia. Sifat dari hubungan
antara hewan peliharaan dengan manusia adalah, dan akan selalu
timbal-balik. Konfigurasi ruang menjadi katalis untuk interaksi dan
interaksi adalah tujuan utama arsitektur dalam fasilitas Animal
Assisted Therapy.

1.2 Respon Arsitektural


Saya

mencoba

mengexplore

sebuah

arsitektur

dimana

manusia dan hewan saling berinteraksi, serta hewan tidak hanya


menjadi objek namun sebagai subjek. Saya ingin menciptakan
kesetaraan peran arsitektur terhadap manusia dan hewan di dalam
respon arsitektural saya. Respon arsitektural yang saya rasa tepat
adalah fasilitas terapi menggunakan hewan. Karena dengan begitu,
hewan

menjadi

subjek

yang

krusial

karena

terkait

dengan

kesembuhan manusia. Namun dalam fasilitas ini, saya memilih hanya


satu jenis hewan yang kaitannya sangat erat dengan manusia, yaitu
Lumba-lumba. Sedangkan terapi menggunakan Lumba-lumba dapat
digunakan untuk menerapi spektrum berkebutuhan khusus (autisme,
down syndrome, cerebral palsy, developmental disorder, attention
deficity

dan

hyperactivity disorders, the Angelman

dan

Rett-

syndrome), psychological disorders (depresi, anxiety disorders, posttraumatic stress syndrome,

eating

disorders),

sebagai

terapi

suportif yang menyertai pengobatan kanker, dan sebagai terapi


keluarga.

Namun

dalam

tugas

akhir

ini

saya

hanya

akan

memfokuskan kepada satu jenis illness, yaitu Spektrum Autisme.


Karena menurut penelitian, Indonesia setiap tahunnya mendapat
53.200 anak penyandang autis baru, atau sekitar 147 anak perhari.
Angka tersebut cukup tinggi dan mengkhawatirkan. Sedangkan
menurut Direktur Bina Kesehatan Jiwa dr. Diah Setia Utami, Sp.KJ,
MARS, apa yang dilakukan pemerintah belum maksimal, mengingat
luasnya wilayah Indonesia yang terdiri dari 33 provinsi. Sehingga,
saya menawarkan respon arsitektural berupa fasilitas rehabilitasi
spektrum autisme dengan menggunakan Dolphin Assisted Therapy.
Fasilitas ini meng-explore hubungan antara hewan peliharaan
dalam hal ini Lumba-lumba dengan manusia. Selain itu, juga
mempelajari manfaat dari hubungan tersebut serta manfaatnya
untuk kesehatan yang mana adalah inti dari arsitektur ini. Aspek
persepsi ruang oleh pengguna dipelajari guna menentukan desain
yang sesuai, dan ini juga berarti mempelajari hewan peliharaan

(Lumba-lumba) di dalam ruang guna menyediakan ruang habitat


hewan yang sesuai bagi hewan tersebut maupun kaitannya dengan
pengguna.

Tujuan

mengeksplorasi

utamanya

arsitektur

adalah

yang

untuk

merespon

merancang

terhadap

dan

kebutuhan

banyak penghuni (manusia dan lumba-lumba) dalam tingkat spasial


dan persepsional.

PERILAKU
MANUSIA

PERILAKU
LUMBALUMBA

dengan
metode
terapi

SPEKTRUM
AUTISME

yaitu

DESAIN
HABITAT
LUMBALUMBA

dengan
pertimbang
an

DAT

konsekuensi
tanggung
jawab

Seperti diagram diatas, terdapat dua perilaku yang harus


direspon, yaitu manusia pengidap spektrum autisme dan Lumbalumba. Respon para pengidap spektrum autisme adalah dengan
mendesain

sesuai

perilaku

mengusung

konsep

healing

terhadap

Lumba-lumba

habitat/kolam/ekosistem
Lumba-lumba.

mereka,

dimana

architecture.

buatan

yaitu

arsitekturnya

Sedangkan

dengan

berdasarkan

respon

mendesain

etologi

perilaku

BAB II
Program Arsitektural
2.2 Kajian Lokasi
Berdasarkan respon arsitektural yang saya angkat, saya
menetapkan 3 kriteria utama, yaitu:
1.

Dekat dengan laut


Untuk membuat ekosistem buatan bagi Lumba-lumba yang
baik adalah dengan mendesain semirip mungkin dengan habitat
aslinya. Oleh karenanya dibutuhkan air laut. Sehingga, fasilitas ini
sebaiknya

2.

berada

dekat

dengan

laut

untuk

memudahkan

pemindahan air laut ke dalam fasilitas tersebut.


Populasi Lumba-lumba di daerah tersebut cukup banyak
Saya mendahulukan populasi Lumba-lumba daripada populasi
penduduk dengan pertimbangan bahwa manusia lebih adaptif
daripada Lumba-lumba. Dikarenakan manusia dapat berusaha
demi mencapai tujuannya, dalam hal ini, pasien-pasien yang ingin
diterapi memiliki usaha untuk mendatangi tempat terapi tersebut.
Beda halnya dengan Lumba-lumba. Tidak di semua laut terdapat
populasi Lumba-lumba. Sedangkan untuk memindahkan mereka
butuh usaha dan dana yang tidak sedikit. Oleh karenanya saya
lebih mementingkan daerah yang populasi Lumba-lumbanya
cukup

3.

banyak,

setelahnya

baru

pertimbangan

mengenai

kepadatan penduduknya.
Kepadatan penduduk yang tinggi
Menurut Nelwansyah, direktur eksekutif Rumah Autis, dari
data yang didapat, penyebaran anak Autis paling banyak terdapat
pada daerah dengan rasio kepadatan penduduk paling tinggi.
(Nelwansyah,

2015)

Oleh

menjadi faktor penentu lokasi.

karenanya,

kepadatan

penduduk

Lokasi/Kriteria

Dekat Laut

Pulau Peucang
Banten

Populasi Lumbalumba
Tinggi

Pantai Lovina
Bali
Teluk Kiluan
Lampung

Tinggi

Tinggi

Pulau Siladen
Sulawesi Utara

Sedang

Misool
Raja Ampat
Taman Nasional
Komodo
NTT
Kepulauan
Derawan
Kalimantan Timur

Sedang

Sedang

Sedang

Kepadatan
Penduduk
11.704.877 jiwa
(Banten, 2015, hal.
49)
4.152.800 jiwa
(Bali, 2015, hal. 81)
8.026.191 jiwa
(Lampung, 2015,
hal. 53)
2.386.604 jiwa
(Sulawesi, 2015,
hal. 47)
3.150.000 jiwa

Anda mungkin juga menyukai