200110130023
Erma Sholihat
200110130024
Marsita
200110130032
Diniar Suci D
200110130129
Claudia Febriana P
200110130271
Dinda Citra N
200110130272
Mutiara Ananda
200110130349
Afdi
200110130000
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi utama dalam
penghasil susu. Susu merupakan cairan putih yang keluar dari hasil sekresi
fisiologis kelenjar susu merupakan makanan yang secara alami paling sempurna,
karena didalamnya terdapat sumber utama protein, kalsium, fosfor, dan vitamin.
Sapi adalah salah satu hewan penghasil susu. Diantara ternak perah, sapi
merupakan hewa penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah
lainnya dan sangat besar kontribusinya bagi manusia, selama ini yang kita kenal
di Indonesia ternak penghasil susu adalah sapi perah. Kualitas dan kuantitas susu
dipengaruhi
oleh
spesies,
bangsa,
lingkungan
mikro
dan
menejemen
pemeliharaannya.
Usaha ternak sapi perah di Indonesia baru dimulai pada abad ke-17
bersamaan dengan masuknya Belanda ke Indonesia, pada waktu itu orang Belanda
merasa berkepentingan mendatangkan sapi perah Friesian Holstein (FH), agar
dapat memperoleh produksi susu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh
karena itu, tidak mengherankan populasi bangsa sapi perah di Indonsia sebagian
besar adalah Friesian Holstein.
Setiap suatu usaha pasti berkeinginan untuk mendapatkan keuntungan,
keuntungan dapat diperoleh bila besarnya pemasukan (input) dari usaha tersebut
harus lebih besar daripada pengeluarannya. Usaha akan berjalan dengan baik bila
persiapan dilakukan secara matang. Faktor yang akan menjadi penghambat dan
pendukung harus diketahhui secara optimal, agar dapat menunjang dalam
menejemen usaha peternakan sapi perah. Selain itu, informasi prospek pemasaran
susu sapi termasuk hal penting untuk diketahui.
II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1.
Sapi Perah
Sapi perah adalah suatu jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk
Sapi Pedet
Anak sapi tidak dapat memakai hijauan tropik dengan mutu rata-rata
dengan melimpah sampai umur 3 atau 4 bulan dan jika akan disapih dini dan
diberi makan semata-mata hijauan pertumbuhannya akan lambat. Anak sapi
menyusu, jika dipelihara diluar mungkin memilih rumput apa yang mereka
butuhkan, tetapi kalau didalam mereka biasanya diberi konsentrat dan hijauan
yang dipotong. Anak sapi yang diberi makan dengan ember biasanya diberi makan
susu lengkap untuk waktu pendek, kemudian pengganti susu lengkap atau susu
skim dan akhirnya mereka disapih ketika berumur 3 sampai 6 bulan (Williamson
dan Payne, 1993).
2.3.
Sapi Dara
Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa seperti pedet, sapi dara
Sapi Induk
Sapi perah biasanya akan birahi kira-kira 30 sampai 60 hari sesudah
beranak (calving). Di daerah tropis cara yang paling cocok untuk mengawinkan
sapi induk pada periode birahi pertama sesudah beranak dan tidak lebih dari 60
hari sesudah melahirkan. Apabila sapi induk tidak mempunyai periode masa
kering diantara masa laktasi maka hasil susu berikutnya akan berkurang. Sapi
induk yang menghasilkan pedet secara teratur kira-kira dalam interval 12 bulan,
harus diperah selama 10 bulan atau untuk periode 305 hari dan menyusu untuk 2
bulan (Williamson dan Payne, 1993).
2.5.
Sapi Jantan
Di daerah beriklim sedang, pejantan muda dapat digunakan pertama kali
sekitar umur 10-12 bulan. Pejantan muda dapat dipergunakan sekitar 2 kali
seminggu, tetapi pejantan yang lebih tua mungkin dapat digunakan paling banyak
5 kali seminggu. Pejantan yang sudah dewasa dapat melayani mengawini hanya
50-60 betina. Rasio yang dapat diterima dari perkawinan antara betina dan jantan
nampaknya lebih rendah di daerah tropis, daripada di daerah beriklim sedang
sebagai akibat dari iklim lingkungan terhadap fertilitas (Williamson dan Payne,
1993).
2.6.
Manajemen Pemeliharaan
Tata laksana pemeliharaan dalam suatu peternakan memegang peranan
Manajemen pedet
Pedet yang baru lahir tersebut dikeringkan atau membiarkan induk
menjilatinya sehingga pedet tidak kedinginan apabila cuaca dalam keadaan dingin
(Blakely dan Bade, 1998). Menurut Williamson dan Payne (1993), pedet yang
baru lahir perlu disiapkan kandang dengan memberikan alas berupa jerami kering
atau serbuk gergaji. Blakely dan Bade (1998) menyatakan bahwa Pedet sapi perah
disapih pada umur 3-4 bulan, tergantung dari kondisi pedet. Cara penyapihan
pedet sedikit demi sedikit susu yang diberikan dikurangi. Sebaliknya, pemberian
konsentrat dan hijauan ditingkatkan sampai pada saatnya pedet itu disapih
sehingga terbiasa dan tidak mengalami stress (Putra, 2004). Kolostrum merupakan
susu pertama yang diproduksi oleh induk sekitar hari 5-7 setelah melahirkan dan
sangat penting bagi pedet karena kandungan nutrisi yang terkandung dalam
kolostrum sangat tinggi dan terdapat antibodi yang dapat mencegah timbulnya
penyakit (Muljana, 1985). Kandang pedet harus tersedia tempat pakan dan air
minum dan berukuran 1,5 x 2 m. Alas kandang diberi jerami dan sering diganti.
Sebelumnya biarkan kandang itu kosong 2-7 hari sebelum pedet dimasukkan
(Santosa, 1995). Saat sapi lahir hanya abomasum yang telah berfungsi, kapasitas
abomasum sekitar 60 % dan menjadi 8 % bila nantinya telah dewasa. Sebaliknya
untuk rumen semula 25 % berubah menjadi 80 % saat dewasa ( Imron, 2009 ).
2.7.
kali yaitu berkisar antara umur 12 minggu sampai dengan 2 tahun (Ensminger,
1971). Setelah berumur 3 bulan sapi dara sebaiknya ditempatkan di dalam
kandang kelompok yang berjumlah anrtara 3-4 ekor, dengan jenis kelamin, umur
dan berat badan yang seragam (Soetarno, 2003). Kekurangan pemeliharaan atau
perawatan dimasa pertumbuhan akan meyebabkan sapi sulit bunting bila
dikawinkan, kesulitan dalam melahirkan (distokia) yang pertama kalinya, pedet
yang dilahirkan kecil dan lemah dan produksi susunya rendah. Tujuan
pemeliharaan sapi dara yaitu untuk mengganti induk replacement untuk sapi
perah yang mempunyai kemampuan produksi rendah serta untuk pengembangan
usaha (Siregar, 1993).
Pemeliharaan sapi dara yang baik serta pemberian ransum yang
berkualitas baik pula sapi dara akan terus tumbuh sampai umur 4-5 tahun, bila
sapi tidak cukup diberi ransum ditinjau dari kualitas dan kuantitasnya akan terjadi
sebagai berikut: 1). Pada waktu sapi dara beranak pertama kali besar badannya
tidak akan mencapai ukuran normal, 2). Kelahiran pertama kali pada umur 3 tahun
adalah termasuk terlambat, 3). Produksi cenderung rendah tidak sesuai dengan
yang diharapkan (Sudono, 1984). Sapi perah dara dapat dikawinkan pertama kali
pada umur 15 bulan (Williamsom dan Payne, 1993). Sapi dara mampu mencerna
serat kasar tinggi, sedangkan penambahan pakan penguat hanya sebagai
pelengkap zat-zat gizi yang terkandung dalam hijauan. Pakan sebaiknya diberikan
2-3 kali sehari. Sapi perah dara dikawinkan tergantung dari umur dan besar
tubuhnya (Siregar, 1993).
Sapi-sapi harus selalu bersih setiap kali akan diperah, terutama bagian
daerah lipatan paha sampai bagian belakang tubuh sapi perah dan sebaiknya
dimandikan sekurangnya satu kali sehari (Syarief dan Sumoprastowo, 1985). Hal
ini diperkuat dengan pendapat Muljana (1985) yang menyatakan bahwa sapi
sebaiknya dimandikan setiap hari dan pembersihan kotoran yang menempel
dikulit. Sanitasi dilakukan setiap 2 kali sehari setiap pagi dan sore dengan tujuan
menjaga kebersihan kandang karena berhubungan dengan kesehatan ternak.
2.8.
susu yang bagus dan optimal (Prihadi, 1996). Sapi laktasi perlu mendapatkan
perawatan badan secara rutin, sebab setiap saat tubuhnya menjadi kotor, berupa
daki atau kotoran sapi itu sendiri. Sapi laktasi perlu diperhatikan sanitasinya,
ransum/pakan yang diberikan dan produksi yang dihasilkan. Pembersihan
kandang dan ternak harus dilakukan secara rutin. Pakan sapi perah laktasi terbagi
menjadi dua golongan yaitu pakan kasar dan pakan penguat atau konsentrat
(Syarief dan Sumoprastowo, 1985). Pemberian konsentrat lebih dari 60% banyak
mendatangkan kerugian dibanding dengan keuntungan. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa bahan pakan konsentrat mengandung serat kasar rendah dan sifatnya
mudah dicerna. Kadar serat kasar yang terlalu tinggi menyebabkan ransum sulit
untuk dicerna, sebaliknya jika kadar serar kasar rendah mengakibatkan kadar
lemak susu menjadi lebih rendah dan menyebabkan gangguan pencernaan
(Prihadi, 1996). Umur dewasa kelamin sapi yaitu 12- 17 bulan (Blakely dan
Bade , 1998).
Umur dewasa kelamin pada sapi perah bervariasi karena dipengaruhi
fakror ras, keadaan lingkungan dan terutama pemberian pakan (Putra, 2004). Sapi
perah laktasi yang terinfeksi mastitis bakterial mula-mula ditandai dengan
perubahan susu. Susu berubah menjadi encer dan pecah menggunakan uji alkohol,
susu bergumpal dan kadang-kadang bercampur darah atau nanah. Penyebab
mastitis
bakterial
diantaranya
adalah
ambing
yang
tidak
terpelihara
Manajemen Pakan
Pakan sapi perah terdiri dari hijauan leguminosa dan rumput yang
berkualitas baik serta dengan konsentrat tinggi kualitas serta palatabel (Blakely
dan Bade, 1998). Ransum ternak besar (sapi) terdiri dari 60% hijauan dan 40%
limbah pengolahan pangan (bekatul dan bungkil), sedangkan pemberian pakan
konsentrat hendaknya sebelum hijauan, bertujuan untuk merangsang pertumbuhan
mikrobia rumen (Reksohadiprojo, 1984). Hijauan diberikan sepanjang hari secara
Manajemen Pemerahan
Pemerahan adalah tindakan mengeluarkan susu dari ambing. Pemerahan
bertujuan untuk mendapatkan produksi susu yang maksimal. Terdapat tiga tahap
pemerahan yaitu pra pemerahan, pelaksanaan pemerahan dan pasca pemerahan
(Syarief dan Sumoprastowo, 1985). Tujuan dari pemerahan adalah untuk
mendapatkan jumlah susu maksimal dari ambingnya, apabila pemerahan tidak
sempurna sapi induk cenderung untuk menjadi kering terlalu cepat dan produksi
total cenderung menjadi kering terlalu cepat dan produksi total menjadi menurun
(Williamson dan Payne, 1993).
2.11.
atau disingkat Holstein. Sedangkan di Europa disebut Friesian. Bobot badan sapi
betina dewasa yang ideal adalah 628 kg, sedangkan yang jantan dewasa bobotnya
1000 kg. Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi,
dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainya, dengan kadar lemak susu yang
rendah. Produksi susu rata-rata di Amerika Serikat 7245 kg/laktasi dan kadar
lemak 3,65%, sedangkan di Indonesia produksi susu rata-rata per hari 10
liter/ekor(Sudono, et al., 2003).
Sudono (1999) menyebutkan bangsa sapi FH murni warna bulunya hitam
dan putih atau merah dan putih dengan batas-batas warna yang jelas. Sapi FH baik
untuk menghasikan daging (beef) karena tumbuhnya cepat dan menghasilkan
karkas sangat baik. Bobot lahir anak sapi tinggi yaitu 43 kg, tambahan lain
warnalemak daging putih, sehingga baik sekali untuk produksi veal (daging anak
sapi). Sapi FH termasuk masak kelamin lambat, tidak seperti sapi-sapi bangsa
Jersey dan Guernsey yang termasuk masak dini.
Sapi FH berasal propinsi Belanda Utara dan propinsi Friesland Barat.
Bangsa sapi FH terbentuk dari nenek moyang sapi liar Bos (Taurus) typicus
primigenius yang ditemukan di negeri Belanda sekitar 2000 tahun yang lalu.
Negeri Belanda terkenal dengan tanahnya yang subur dan banyak sehingga
menghasilkan pasutra yang sangat baik. Sapi FH dapat merumput dengan baik
pada padang rumput yang baik, artinya bangsa sapi ini memerlukan rumput yang
baik saja, jadi tidak seperti bangsa-bangsa sapi Ayshire dan Brown Swiss. Pada
musim dingin di negeri Belanda udara lebih dingin, sehingga sapi FH harus
dikandangkan, dan karena itu sapi FH sifatnya menjadi jinak. Disamping itu kerap
kali sapi betina yang laktasi diperah sambil merumput di pasutra. Ketika bangsa
sapi FH dibentuk, seleksi dilakukan terhadap produksi susu yang akan dijadikan
keju. Pada pembuatan keju membutuhkan sapi yang produksi susnya banyak,
sehingga akibat terbentuk sapi perah yang diutamakan produksi susunya tinggi
dengan kadar lemak rendah. Sapi FH memiliki komposisi susu: Air 88.01%,
Protein 3.15%, Lemak 3.45%, Laktosa 4.65%, Abu 0.68%, Bahan Kering 11.93%.
(Sudono, 1999).
III
ALAT, BAHAN DAN PROSEDUR KERJA
3.1.
3.2.
Prosedur Kerja
1. Mahasiswa dan mahasiswi datang ke kandang puku 16:00 atau 17:00
2. Mengamati berapa kali sapi mengeluarkan feses dan urine selama 24 jam
3. Menghitung kebutuhan bahan pakan hijauan dan konsentran untuk satu
ekor sapi
4. Menimbang bahan pakan hijauan dan konsentrat sesuai dengan kebutuhan
dan langsung memberikan konsentrat terlebih dahulu pada sapi, lalu
setelah itu baru hijauan pada pagi dan sore hari.
5. Membersihkan kandang dan memandikan sapi perah karena akan
dilakukan pemerahan sore dan pagi hari
6. Melakukan pemerahan
7. Menghitung denyut nadi dan pengukuran tubuh sapi perah
8. Mengamati dan menghitung berapa kali sapi mengunyah dan pengambilan
makanan selama 1 jam.
9. Mencari bahan pakan hijauan ke lading dekat kandang
10. Mempraktekan tali temali yang digunakan dalam peternakan sapi perah
11. Menghitung sisa pakan yang tidak dimakan oleh sapi.
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil Pengamatan
Nama Sapi
Umur
KELLY
ATING
3
4
5
SCIY
C
R
4 tahun 9
bulan
4 tahun 3
bulan
1 tahun
2 tahun
1 tahun
B.
Tinggi
Pundak
(cm
Panjang
Badan (cm)
Lingkar
Dada (cm)
154,5
169
149,5
170
126
143
95
149
155
117
120,5
129
100
Pemberian (1)
Sisa (1)
Rumput Gajah
Konsentrat
12,288
2,765
800
Hijauan
Pemberian (2)
Sisa (2)
Rumput Gajah
Konsentrat
12,288
1300
Hijauan
Pemberian (3)
Sisa (3)
Rumput Gajah
Konsentrat
12,288
2,765
500
Konsumsi Pakan
(1)
Konsumsi Pakan
(2)
Konsumsi Pakan
(3)
36,384 kg
5,47 kg
Pemberian (1)
Sisa (1)
Rumput Gajah
Konsentrat
12,160
2,74
0,3
Hijauan
Pemberian (2)
Sisa (2)
Rumput Gajah
Konsentrat
12,160
2,74
0,5
Hijauan
Pemberian (3)
Sisa (3)
Rumput Gajah
Konsentrat
12,160
2,74
0,7
Konsumsi Pakan
(1)
Konsumsi Pakan
(2)
Konsumsi Pakan
(3)
No
Tingkah Laku
Pengambilan makanan
*)
Hijauan
(rumput)
Konsentrat
Frekuensi (kali)
Kely
Ating
40
18
2
Penguyahan
1888
3
Pengeluaran Urin **)
17
4
Pengeluaran Feses **)
`17
Catatan : *) setiap kepala diangkat dinilai 1 (satu)
**) ukur jumlah
D.
36,480 kg
5,47 kg
Waktu/Lamanya
(jam/menit)
1 jam
33
24
2464
18
19
1 jam
24 jam
24 jam
Pemerahan
Sebelum Pemerahan
Pembersihan
kandang
Saat Pemerahan
Persiapan alat
(ember, lap, air
Setelah Pemerahan
Mengelap
ambing
Memandikan
sapi
Dipping atau
mencelupkan
ambing ke
desinfektan
E. Lain-lain
No
1
2
3
4
5
Uraian
Produksi Hijauan/Rumput (ton/ha/thn)*)
Daya Tampung Pastura (ekor/per Ha/thn)
Produksi Susun Rata-rata (per ekor/ hari per
laktasi)
Penangan Tubuh Sapi Perah (tali temali)
Penanman bibit hijauan/leguminosa
Jumlah
4.2. Pembahasan
A. Pengukuran Ukuran Tubuh
Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum ini, pengukuran panjang
badan tubuh pada sapi Ating, SCIY, C, dan R secara berturut-turut yaitu 149,5 cm;
126 cm; 143 cm; dan 95 cm. Sedangkan lingkar dada tubuh pada sapi Ating,
SCIY, C, dan R secara berturut-turut yaitu 170 cm; 149 cm; 155 cm; dan 117 cm.
Dari nama-nama sapi tersebut panjang badan dan lingkah dada yang paling besar
yaitu pada sapi Ating. Hal itu dapat dilihat pula dari umurnya yang paling tua pula
yaitu 4 tahun 3 bulan.
Produktivitas ternak bisa ditentukan dengan menggunakan pengukuran
fenotipik. Pengukuran ukuran tubuh bisa membantu dalam penentuan performans
ternak. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara ukuran tubuh
dengan performans ternak pada masa laktasi. Namun pengukuran ukuran tubuh
yang dilakukan lebih awal dibanding pengukuran pada masa laktasi pertama
ternyata lebih menguntungkan karena ternak bisa diseleksi sejak umurnya masih
muda (Sieber et al., 1988 dalam Ugur, 2004). Ugur (2004) menyatakan bahwa
semakin besar nilai pengukuran tinggi pundak (height at withers, WH)
mengindikasikan semakin banyak susu yang dihasilkan ternak tersebut.
sapi R
memiliki performans yang lebih baik dibandingkan dengan sapi R. Hal ini
disebabkan karena walaupun kedua sapi tersebut berumur sama, tapi sapi SCIY
memiliki growth rate yang lebih tinggi dibandingkan sapi R. Berikut merupakan
tabel yang berisi kisaran ukuran tubuh optimal pada sapi perah ras Holstein di
Amerika Serikat dan Kanada.
Tabel 1.1 batas atas dan batas bawah ukuran tubuh untuk sapi Holstein dalam
manajemen pemeliharaan yang ideal (Hoffman, 1997)
Jika membandingkan antara hasil pengukuran ukuran tubuh pada ketiga sapi
-SCIY, C, dan R- dengan nilai batas bawah parameter panjang badan dan tinggi
pundak pada tabel, dapat diketahui bahwa ketiga sapi tersebut belum memiliki
ukuran optimal sesuai dengan umurnya.
bahwa ketiga sapi memiliki performans yang rendah. Hal ini disebabkan karena
data pada tabel di atas berasal dari pengukuran sapi ras Holstein, sedangkan
penulis tidak tahu apakah sapi yang diamati ketika praktikum berasal darisapi ras
Holstein atau Freisian Holstein (FH). Data mengenai ukuran optimum sapi pada
tabel diambil dari Amerika Serikat dan Kanada, dan mungkin saja tidak berlaku di
Indonesia yang berbeda secara lokasi geografis dan iklim. Selain itu, secara
genetik sapi di Amerika serikat dan sapi yang dikembangbiakan di Indonesia tentu
berbeda.
Untuk sapi 1 dan sapi Ating, penulis tidak bisa menentukan performa
kedua sapi tersebut karena penulis tidak menemukan literatur mengenai ukuran
tubuh optimal pada sapi dengan umur di atas 24 bulan.
B. Pemberian Pakan Sapi Perah Laktasi
Berdasarkan hasil pengamatan, konsumsi pakan kepada sapi Ating dan Kely
berupa hijauan dan konsentrat pada laktasi ke 1, 2, dan 3 cenderung sama dari
konsumsi pakan. Sapi Ating memiliki jumlah konsumsi Rumput Gajah dan
konsentrat yang lebih tinggi secara berturut-turut yaitu sebanyak 12,288 kg dan
2,765 kg per laktasi. Sedangkan sapi Kely jumlah konsumsi Rumput Gajah dan
konsentrat yaitu sebanyak 12,160 kg dan 2,74 kg. Perbedaan jumlah konsumsi
pakan tersebut dapat dipengaruhi dari umur, bobot badan, palatabilitas, genetik,
bangsa sapi. Seperti yang kita tahu bahwa umur sapi Kely lebih tua 1 bulan
dibandingkan dengan sapi Ating.
Menurut Sori Basya (2000) mengatakan, pemberian rumput gajah pada sapi
perah laktasi, diperoleh data bahwa untuk mencapai produksi susu yang lebih
tinggi, dibutuhkan pemberian konsentrat yang mengandung protein kasar sekitar
21-22%.
Serviss dan Ahlgren dalam Sori Basya (2000) mengemukakan bahwa,
perimbangan antara hijauan dengan konsentrat dalam ransum sapi perah adalah
73,8 : 26,2. Hasil penelitian yang telah dilakukan di Stasiun Penelitian California,
mengenai pengaruh berbagai level perimbangan antara hijauan dengan konsentrat
terhadap kuantitas clan kualitas susu yang diproduksi sapi perah laktasi
menunjukkan bahwa, pemberian 10% konsentrat dalam ransum akan menurunkan
produksi susu rata-rata, tetapi kadar lemak susu masih berada dalam keadaan
normal. Sedangkan apabila ransum itu terdiri dad 100% konsentrat, produksi susu
rata-rata meningkat, kandungan protein susu tak berubah clan lemak susu
menurun secara drastis.
Menurut Sori Basya (2000) mengatakan, misalnya seekor sapi perah laktasi
yang mempunyai bobot badan 350 kg dengan produksi susu rata-rata 15 kg/hari.
Menurut standarl pemberian pakan, sapi perah tersebut membutuhkan 1 .578 g
protein kasar, yang terdiri dari 468 g untuk kebutuhan hidup pokok den 1 .110 g
untuk kebutuhan produksi susu dengan kadar lemak 3,5%. Hijauan yang akan
diberikan adalah rumput gajah, dengan kandungan bahan kering 21% dan zat-zat
makanan lainnya : 10,19% protein kasar, 34,15% serat kasar, 1,64% lemak,
42,29% beta-N, 11,73% abu dan TDN 61% dari bahan kering. Pemberian rumput
gajah tersebut diimbangi oleh konsentrat dengan kandungan protein kasar 22%.
Susunan konsentrat tersebut terdiri dari 56% dedak padi, 20% bungkil kelapa, 8%
jegung giling, 8% bungkil kacang tanah, 2% urea serta kapur, tepung tulang dan
garam dapur masing-masing 2%. Konsentrat tersebut mengandung bahan kering
87,53% dengan energi 66,26% TDN.
C.
pemberian pakan sapi perah yang berproduksi tinggi sebaiknya diberikan pakan
yang kandungan energinya tinggi dan kandungan seratnya lebih rendah agar
kebutuhan energi tercukupi dan produksi optimal (NRC, 1988). Pemberian pakan
konsentrat hanya dilakukan 2 kali sehari dan hijauan 3 kali sehari, pada malam
hari tidak diberikan pakan apapun kepada ternak. Menurut Church (1988), sapi
perah akan mengkonsumsi pakan perah dengan produksi tinggi akan
mengkonsumsi hijauan sekitar 1,5% sampai 2% berdasar berat badan.
Waktu makan bertujuan dari pengamatan untuk melihat lama makan atau
waktu diberikan pakan sampai habis tidak tersisa. Lama makan hijauan lebih lama
dari makan konsentrat, hal ini karena bentuk pakan yang lebih mudah dimakan
dan ditelan konsentrat dari pada hijauan. Menurut Frandson (1992), lama makan
sangat dipengaruhi oleh jenis, umur sapi, lingkungan, kondisi sapi serta jumlah
pakan yang diberikan.
Waktu Remastikasi
Waktu remastikasi (pengunyahan) bertujuan untuk mengetahui proses
memamah atau memakan kembali makanan pada hewan ruminansia. Frekuensi
pengunyahan pada sapi Kely sebanyak 1888 kali pengunyahan dan pada sapi
Ating sebanyak 2464 kali pengunyahan dalam waktu 1 jam. Sapi melakukan
mastikasi rata-rata dalam sehari sebanyak 42.000 kali (Pribadi dan Adiarto, 2008).
Mastikasi bertujuan untuk mengurangi ukuran besarnya pakan, insivis
lanterior leeth) berfungsi untuk memotong, molar posterior berfungsi untuk
menghaluskan atau menjadikan ukuran makanan lebih kecil, sehingga menambah
luas permukaan untuk mempercepat penelanan. Semakin banyak pakan yang
dikonsumsi, maka jumlah mastikasi akan semakin banyak untuk memperkecil
ukuran partikel (Kamal, 1994).
Frekuensi Urinasi
Frekuensi
urinasi
bertujuan
untuk
mengetahui
berapa
kali
sapi
mengeluarkan urin dan jumlah total urin yang dikeluarkan selama 24 jam.
Berdasarkan hasil pengamatan, ada dua sapi yang kami amati dengan nama Kely
dengan mengeluarkan urin sebanyak 17 kali dengan berat volume 3,1 kg, dan
Ating sebanyak 18 kali dengan berat urin 3,7 kg dalam waktu 24 jam.
Pemerahan
Pemerahan adalah tindakan mengeluarkan susu dari ambing. Pemerahan
bertujuan untuk mendapatkan produksi susu yang maksimal. Terdapat tiga tahap
pemerahan yaitu pra pemerahan, pelaksanaan pemerahan dan pasca pemerahan
(Syarief dan Sumoprastowo, 1985). Tujuan dari pemerahan adalah untuk
mendapatkan jumlah susu maksimal dari ambingnya, apabila pemerahan tidak
sempurna sapi induk cenderung untuk menjadi kering terlalu cepat dan produksi
total cenderung menjadi kering terlalu cepat dan produksi total menjadi menurun
(Williamson dan Payne, 1993).
Fase Persiapan
Sebelum melakukan pemerahan dilakukan persiapan diantaranya persiapan
alat, pembersihan kandang dan sanitasi ternak (Chamberlin, 1993). Tahap-tahap
persiapan pemerahan diawali menenangkan sapi, membersihkan kandang,
membersihkan bagian tubuh sapi, mengikat ekor, mencuci ambing dan puting
vakum, pulsator, milk claw, sedotan puting (teat cup), wadah susu (bucket).
Dikenal 3 (tiga) macam model mesin perah susu, yaitu : Portable Milking
Machine Milking, type ini semua peralatan mesin perah (Pompa vakum s/d
Bucket) ditaruh diatas Troley dan didorong ke sapi yang akan di perah. Jumlah
dan Volume bucket bervariasi, ada yang single bucket (25 lt, 30 lt) ada yang
double bucket. Demikian pula jumlah teat cup (cluster) ada yang single ada pula
yang double, Bucket Milking Machine Pompa Vakum terpisah dan dihubungka di
titik- titik tertentu dengan bucket melalui pipa vakum sepanjang lorong kandang.
Bucket, Pulsator serta teat cup mendatangi tiap sapi yang akan diperah dan
menyambung pulsator dengan pipa vakum, Flat Barn dan Herringbone Milking
Machine Milking machine type ini sekelompok sapi digiring ketempat pemerahan
(milking parlour) dengan alunan musik tertentu. Posisi sapi pada waktu diperah
secara berbaris miring (herringbone) atau tegak lurus (flat barn). Biasanya susu
hasil pemerahan serentak ini langsung dipompakan ke tangki cooling unit (bina
ukm, 2010).
Pada proses praktikum yang kami lakukan, metode yang digunakan adalah
metode whole hand milking, karena sapi yang laktasi yang ada dikandang hanya
ada 7 ekor sehingga masih bisa menggunakan metode tersebut. Selain itu, biaya
yang harus dikeluarkan untuk membeli mesin pemerah cukup besar sedangkan
susu yang dihasilkan masih perlu ditingkatkan.
Pemerahan yang baik dilakukan dengan cara yang benar dan alat yang
bersih. Tahapan-tahapan pemerahan harus dilakukan dengan benar agar sapi tetap
sehat dan terhindar dari penyakit yang dapat menurunkan produksinya (Sudono et
al., 2003).
Pasca Pemerahan
Setelah melakukan pemerahan, ambing dilap kembali dengan menggunakan
lap bersih dan hanya digunakan untuk satu ekor saja (1 lap 1 sapi). Setelah itu,
setelah melakukan pemerahan harus dilakukan dipping atau mencelupkan ambing
ke desinfektan dengan tujuan penuntasan pemerahan agar tidak menimbulkan
penyakit mastitis. Karena, pori-pori ambing setelah pemerahan cukup besar
sehingga memudahkan bakteri masuk melalui pori-pori tersebut.
Setalah didapatkan air susu dilakukan pengukuran antara lain berat jenis dan
kadar lemak susu. Menurut Sindoredjo (1970) berat jenis susu minimal 1,027
pada temperatur 27,5 0C dan kadar lemak 2,8%. Kenaikan produksi susu selalu
diikuti dengan kenaikan berat jenis air susu. Berat jenis air susu yang baik
minimum 1.0280 dan pengukuran berat jenis air susu hanya dapat dilakukan
setelah 3 jam dari pemerahan bila suhu air susu sudah terletak antara 200 sampai
30 0 C, karena pada keadaan ini suhu ar susu telah stabil ( Sudono, 1984 ). Susu
yang tinggi kadar lemaknya juga kaya akan zat- zat kering lainnya, sehingga berat
jenisnya juga tinggi, dan susu yang rendah kadar lemaknya berat jenisnya pun
rendah (Sindoredjo, 1970 ). Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1990) setelah
susu diperah kemudian dibawa ke kamar susu penanganan susu yang dilakukan
adalah penyaringan, pendinginan dan pemanasan. Penyaringan susu bertujuan
untuk mendapatkan susu yang terbebas dari kotoran. Selain penyaringan dan
pendinginan, pengujian kualitas susu juga dilakukan karena merupakan hal yang
penting untuk mengetahui kualitas susu yang dihasilkan (Siregar, 1993).
Faktor yang mempengaruhi produksi air susu adalah kebakaan artinya faktor
genetik sapi, pemberian ransum, manajemen pemerahan, lama kering kandang,
pencegahan penyakit, service periode dan calving interval serta frekuensi
pemerahan. Siregar (1993) susu pada tiap-tiap puting harus diperah habis. Selesai
pemerahan, ambing dan puting susu dicuci kembali dengan air hangat kuku lalu
dicelup dan disemprot dengan air yang telah diberi sedikit biocid. Manajemen alat
pemerahan yang baik dapat meningkatkan kualitas susu yang di hasilkan. Alat
pemerahan seperti milk can, ember, dll harus dibersihkan terlebih dahulu dengan
sabun atau bahan disinfectan lainnya yang dapat membunuh mikroba yang dapat
mencemari susu.
V
KESIMPULAN
5.1.
Kesimpulan
Sapi perah adalah suatu jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk
menghasilkan susu menjadi salah satu sumber protein bagi manusia yang sangat
bermanfaat bagi kesehatan. Dalam keberhasilan usaha peternakan sapi perah
sangat erat kaitannya dengan baik buruknya menejemen tatalaksana peternakan
yang dijalankan oleh peternak. Oleh karena itu pengetahuan terhadap faktor yang
akan menjadi penghambat perlu diketahui dan dicari informasi pemecahannya,
sekaligus faktor pendukung yang ada dimanfaatkan secara maksimal. Tidak hanya
itu, pemahaman terhadap tatalaksana peternakan sapi perah yang mencakup
tatalaksana
pemeliharaan
harian,
tatalaksana
produksi
dan
tatalaksana
5.2. Saran
Adapun saran mengenai praktikum sistem pencernaan dan sistem reproduksi
unggas adalah sebagai berikut:
Diharapkan pada saat praktikum untuk masalah estimasi waktu dapat diatur
sedemikian rupa, sehingga semua materi dapat tersampaikan secara
menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA
A.m. Sugeng budiono,2003. Bunga rampai higiene perusahaan ergonomi
(hiperkes) dan kesehatan dan keselamatan kerja. Badan penerbit
universitas diponegoro, semarang
Anggraeni, A., N. Kurniawan & C. Sumantri. 2008. Pertumbuhan Pedet Betina
dan Dara Sapi Friesian-Holstein di Wilayah Kerja Bagian Barat KPSBU
Lembang. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner tahun 2008
Basya, Sori. 2000. Perimbangan Optimal Hijauan dan Konsentrat dalam Ransum
Sapi
Perah
Laktasi.
Balai
Penelitian
Ternak,
Bogor.
beroperasiintensif. Agromedia pustaka, tangerang
Bina ukm, 2010. Pengolahan getah karet (lateks) (hptt:www.binaukm.co.htm) (31
bogor.
Chamberlain, tony and gabriel titili. 1993. Seafood handling.international ocean
Church, d.c. And w.g.pond. 1980. Basic animal nutrition and feeding. 3rd ed jhon
Frandson, r.d. 1992. Anatomi dan fisiologi ternak edisi ke-4. Gadjah mada
Hoffman P.C., 1997. Optimum Body Size of Holstein Replacement Heifers. J.
Anim. Sci. 1997. 75:836845 Institute. Pacific island januari 2011)
Kamal, M. 1994. Nutrisi ternak. Fakultas peternakan, universitas gadjah mada,
Lebdosoekoekojo. 1998. Ilmu makanan ternak dasar. Gadjah mada mada
university press. 257- 259, 315- 321.
Muljana, w. 1985. Pemeliharaan dan ternak kegunaan sapi perah. Aneka ilmu.
pengembangan produksi ternak. Dirjen peternakan. Jakarta.
Prihadi. 1996. Tata laksana dan produksi sapi perah. Fakultas peternakan
Prihadi. S. Dan adiarto. 2008. Ilmu ternak perah. Fakultas peternakan Ugm.
Yogyakarta
Ranjhan. S. K. 1992. Dairy Syarief, m. Z dan cda sumoprastowo. 1985. Ternak
Semarang.
Sindoeredjo, s. 1970. Pedoman perusahaan pemerahan susu. Proyek Universitas
Gadjah mada, yogyakarta.
Siregar, a. P. 1993. Teknik beternak sapi di indonesia. Margie group, jakarta.
Soetarno, t. 2003. Manajemen budidaya sapi Perah. Fakultas peternakan.
Subronto dan tjahajati i. 2001. Ilmu penyakit ternak. Gajah mada university press.
Sudono, a. 1984. Produksi sapi perah. Fakultas peternakan. Institut pertanian
Bogor. Bogor
Sudono, a., rf rosiana dan bs setiawan. 2003. Beternak sapi perah. Universitas
Gadjah mada, yogyakarta.
Sudono, A; Rusdiana, R.F; dan Setiawan, B.S. 2004. Beternak Sapi Perah Secara
Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Tillman, a. D., h. Hartadi, s. Reksohadiprodjo, s. Prawiro kusuma, dan s.
Universitas Gadjah mada, yogyakarta.
Tilman, A.D, H Hartadi, S Reksohadiprodjo, S Prawirokoesumo dan S
Lebdosoekodjo., 1998. Ilmu Makanan ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Ugur, F. 2004. Relationships Between Body Measurement of Dairy Calves At Six
Month of Ages And Age At First Calving and Milk Production. Journal
of Central European Agriculture Vol 6 (2005) No 2
Williamson, g. And w. J. A. Payne, 1993. Pengantar peternakan di daerah tropis,
yogyakarta.