PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini pertambahan jumlah penduduk sangatlah pesat, hampir di setiap
wilayah di dunia ini jumlah penduduk terus berkembang. Seiring dengan
perkembangannya jumlah penduduk maka hal ini berdampak pada makin
meningkatnya juga kebutuhan pangan di berbagai wilayah, khususnya di wilayah
Indonesia.
Maka untuk menangani permasalah tersebut, diperlukan pengoptimalisasian
sumber-sumber pangan di Indonesia salah satunya adalah sumber pangan protein
yang berasal dari hewan ternak. Namun sampai sekarang permasalahan
pemenuhan sumber pangan yang berasal dari hewani ini masih belum terpenuhi,
karena adanya berbagai masalah salah satunya pakan. Sampai saat ini banyak
sekali hewan ternak yang kondisinya kurang optimal karena kekurangan pakan.
Salah satu jenis pakan yang dapat dimanfaatkan adalah pakan yang berasal dari
hijaun kering (hay). Oleh karena itu, makalah ini berisi informasi yang berkaitan
dengan hijauan kering (hay) sebagai salah satu pakan ternak.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu pengertian hay.
2. Bagaimana sejarah ditemukannya hay.
3. Apa saja metode pembuatan hay.
II
PEMBAHASAN
Menurut penelitian Baylor, tidak sampai tahun 1790 telah ada peningkatan
produksi hay yang signifikan. Pasaran sapi pedaging pada waktu itu sebagi
pendorong (pemicu) karena sapi-sapi diberi pakan hay terbaik yang dihasilkan
petani Pennyslvania.
Kemajuan besar dalam peralatan pertanian selama decade terakhir dari abad ke18 menyebabkan kenaikan areal pembuatan hay di Amerika Serikat.Pada tahun
1820 mesin potong dikenalkan di AS, tetapi tidak berhasil. Alat pengumpul (rake)
hay dari kayu yang ditarik kuda juga diperkenalkan dan hay tidak selalu
seluruhnya dibuat menggunakan tangan. Pada tahun 1840, hay dari clover dan
timothy telah dinyatakan sebagai salah satu tanaman yang paling menguntungkan
di Pennyslvania. Tetapi tetap saja petani masih tidak menginginkan membuat hay
walaupun ada alat pengumpul dari kayu, karena pemotongan rumput masih disabit
oleh tangan.
Kemudian dimulai tahun 1840, kuda dan sapi mengambil alih pekerjaan yang
secara historis dilakukan oleh manusia.Alat penyemaian juga ditingkatkan dan
alat pengumpul dibuat dari baja bergigi. Mesin pemotong rumput yang ditarik
oleh kuda berhasil mengepres hay pada tahun 1845. Penggunaan tenaga kuda
untuk memotong hay menjadikan peternak dapat memanen 7-10 kali lebih banyak
daripada menggunakan tenaga manusia.
Selain perbaikan pembuatan hay dilapangan, Baylor juga menemukan
kemajuan pembuatan hay seperti dibangunnya lumbung untuk menyimpan
hay.Baja bergigi untuk menaikkan hay diperkenalkan pada tahun 1860 dan juga
ditemukan penebar (tedder) hay.Pada tahun 1865 garpu pengumpul hay ke gudang
dikembangkan dan pada tahun 1875 dibuat pengangkat (loader) hay.
Pada tahun 1905 traktor berbahan bakar bensin diperkenalkan dan pada tahun
1925 mulai digunakan untuk menggatikan tenaga kuda. Kemajuan setelah
pertengahan 1900-an telah pesat dan peralatan yang semakin baik. Di Indonesia
terutama Jawa pengeringan masih terbatas pada hasil sisa tanaman pertanian
terutama jerami padi dan jerami kacang tanah.Hasil pengeringan disimpan dalam
gudang sebagai cadangan bahan pakan saat musim kemarau sampai awal musim
hujan.
2.3 Cara Pembuatan Hay
Bahan Baku Hay :
a. Rumput
b. Tanaman bebijian (cerealia)
c. Legume (kacang-kacangan)
d. Tanaman lain selain rumpu dan legume,
e. Hasil sisa tanaman pertanian, dan
f. Hasil sisa tanaman perkebunan.
Bahan pakan yang biasa digunakan untuk pembuatan hay adalah segala
macam hijauan yang di sukai oleh ternak ruminansia. Syarat hijauan untuk dibuat
hay:
a. Berasal dari tanaman (hijauan) yang belum tua (menjelang berbunga)
b. Kandungan karbohidrat mudah larut tinggi
c. Kandungan protein sedang sampai tinggi
d. Tidak banyak tercampur hijauan yang tidak dikehendaki (weed)
e. Bertekstur halus atau yang berbatang halus agar mudah kering
f. Hijauan (tanaman) yang akan dibuat hay dipanen dari area yang subur.
Adapun tanda-tanda hijauan yang baik untuk dibuat hay, antara lain: batang
masif (padat), batang tidak daging, batang kecil, dan berdaun banyak. Alat dan
bahannya antara lain:
a. Bahan-bahan:
Rumput yang berbatang halus sehingga mudah dikeringkan. (jerami
jagung,jerami padi dll).
b. Alat:
1. Sabit rumput/gunakan mesin pemanen rumput.
2. Pelataran untuk menjemur rumput dan rak untuk menghamparkan rumput
yang akan dikeringkan.
3. Alat pengukur kandungan air hay (Delmhorst digital hay meter andbale
sensor).
4. Gudang untuk menyimpan hay.
5. Tali untuk mengikat hay yang sudah kering.
mudah
berbunga,
bunga
berbentuk
seperti
bendera. Brachiaria
sangat
cepat
melalui
stolon.
Rumput
bede
tahan
penggembalaan berat, tahan injakan dan renggutan serta tahan kekeringan dan
responsif terhadap pemupukan nitrogen. Selain itu rumput ini juga cepat
tumbuh dan berkembang sehingga mudah menutup tanah, tetapi tidak tahan
terhadap genangan air. Rumput ini merupakan bahan hay yang balk, karena
batangnya kecil mudah menjadi kering. Rumput bede dapat tumbuh baik pada
ketinggian 0-1200 m (dataran rendah sampai dataran tinggi) dengan curah
hujan 762-1500 mm/tahun, kemasaman tanah (pH) 6-7 (Kismono dan
Susetyo, 1977).
Di Indonesia rumput bede banyak dijumpai di pinggir jalan, pinggir
selokan, lapangan, pematang sawah dan di tempat-tempat lainnya yang
berbatu. Perkembangbiakan rumput bede di Indonesia sebenarnya sudah
tersebar luas, namun pengembangan secara budidaya dan secara ekonomis
masih sangat terbatas dibandingkan dengan pengembangan rumput raja (king
grass) dan rumput gajah (elephant grass) yang sudah dikenal lebih dahulu oleh
petani peternak. Jarak tanam yang sering digunakan untuk penaman rumput
bede adalah 30x30 cm atau 40x40cm (Akk, 1983)
Kandungan
isi
sel
rumput
Bede
mengalami
menurun
dengan
dipotong pada umur 30 hari, dan pemotongan rumput masih tetap dapat
dilakukan sampai umur 40 hari. Keistimewaan rumput ini adalah tahan hidup
di musim kemarau (tahan kering), selain itu karena mempunyai perakaran
yang sangat kuat dan cepat menutup tanah sehingga dapat mengurangi erosi
(Siregar, 1987).
Pemotongan atau penggembalaan pertama dapat dilakukan setelah
tanaman rumput bede berumur 2 bulan bila keadaan memungkinkan (cukup
hujan) dengan tujuan untuk meratakan dan merangsang pertumbuhan akar
tanaman. Pemotongan/penggembalaan berikutnya dilakukan setiap 5-6
minggu (40 hari) pada musim hujan, sedangkan musim kemarau diperpanjang
sampai 8 minggu (60 hari). Tinggi potong rumput bede biasanya 5-15 cm dari
permukaan tanah pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau
biasanya lebih dari 15 cm dari permukaan tanah.
Kandungan protein kasar dan serat kasar pada berbagai taraf pemotongan
dilaporkan oleh Siregar dan Djajanegara (1972) adalah, 13,8% dan 29,69%
pada pemotongan 20 hari, 8,86% dan 30,63% pada pemotongan 30 hari, 6,24
dan 33,27 pada pemotongan 45 hari serta 5,90 dan 34,1 pada pemotongan 60
hari. Hasil tersebut menunjukkan bahwa protein kasar pada Brachiaria akan
cenderung menurun dan serat kasar akan meningkat sesuai dengan
bertambahnya umur potong rumput.
b. Rumput African Stargrass
Rumput star grass berasal dariAfrika Timur, bahan penanaman adalah pols
dan stolon. dapat hidup pada semua jenis tanah (ringan, sedang dan berat).
Ketinggian yang cocok dalah dataran rendah. Curah hujan adalah 500-800
mm/tahun. Rumput ini tumbuh tegak dan menjalar; pada bagian stolonnya
tumbuh rapat dengan tanah dan pada buku stolonnya tumbuh akar yang kuat,
sehingga rumput ini tahan injak dan renggut. Tanaman ini sangat baik sebagai
rumput gembalaan, dan bisa membentuk hamparan. Rumput ini sangat bagus
dipergunakan sebagai rumput penggembalaan dan bisa menahan erosi di
lereng-lereng. Rumput ini tidak dapat tumbuh pada tanah yang tergenang dan
kekurangan nitrogen.
Jarak tanam rumput star grass sekitar 90x90 cm dan dapat ditanam
bersama leguminosa. McIrlloy (1977) bahwa pertanaman campuran rumput
dan leguminosa biasanya lebih produktif dari pada bila ditanam sendirisendiri, dan peningkatan kandungan protein kasar akan terjadi bila fiksasi
nitrogen udara oleh bakteri rhizobium berjalan efektif. Seperti pada
penelitiaanya (Tidi dkk., 2006) yang berjudul Imbangan Rumput Afrika
(Cynodon Plectostachyus) dan Leguminosa Sentro (Centrosema Pubescans)
dalam Sistem Pastura Campuran terhadap Produksi dan Kualitas Hijauan
Bahwa Imbangan pertanaman campuran antara rumput afrika (Cynodon
plectostachyus) dan kacang sentro (Centrocema pubescans) menunjukkan
adanya peningkatan produksi segar, produksi bahan kering, kandungan protein
kasar, dan kandungan kalsium hijuan. Namun pada kandungan fosfor hijauan
tidak terlihat adanya peningkatan.
Apabila rumput ini sebagai rumput penggembalaan harus dilakukan
defoliasi dalam interval pendek, sebab nilai gizinya lekas menurun dan juga
dilakukan pengelolaan yang intensif dengan cara membuat paddocks dan
rotasi. Paddocks digunakan sebagai pastura kurang lebih selama 3-4 hari dan
diistirahatkan selama 21-28 hari. Susetyo et al. (1969) menyatakan bahwa
pemotongan pertama dari Rumput Afrika adalah 6080 hari setelah
10
protein
kasar.
DE
atau Digestible
Energy dari
rumput African
star adalah 10,66 MJ per kg bahan kering, satu joule sama dengan 0,24 kal,
maka 10,66 MJ sama dengan 2,56 Mkal.
c. Rumput Benggala
Rumput benggala (Paniccum maximum) merupakan rumput yang berasal
dari Afrika dan diintroduksikan ke berbagai negara di dunia Rumput ini selain
sebagai tanaman padang pengembalaan dapat juga dijadikan bahan ternak
berupahay dan silase .
11
12
13
proteinnya. Selain ditinjau dari komposisi kimianya, kualitas hay dapat ditentukan
berdasarkan pengamatan fisik. Namun demikian, bagaimanapun juga, menurut
Bates (2011)sebenarnya performa (kinerja/performance) ternak yang diberi pakan
hay-lah yang merupakan tolak ukur utama kualitas hay. Kualitas hay dianggap
memuaskan jika ternak yang mengkonsumsi tampil seperti yang diinginkan. Tiga
factor yang memengaruhi kinerja ternak : a. Hay harus palatable atau paling tidak
aseptabel jika harus dikonsumsi dalam jumlah yang banyak untuk menghasilkan
kinerja seperti yang diinginkan, b. Kecernaan dan kandungan nutrisi hay harus
dapat menyediakan kebutuhan ternak untuk dikonversi menjadi produk-produk
hewani, dan Hay harus bebas dari zat atau komponen yang membahayakan atau
memengaruhi kesehatan ternak.
Kualitas hay sangat dipengaruhi oleh kualitas awal, yaitu kondisi hijauan
pakan yang akan dibuat hay dan proses pengeringannya. Ada beberapa factor yang
memengaruhi kualitas hay, beberapa diantaranya dapat dimanipulasi oleh
produsen hay (pembuat hijauan kering) antara lain : a. jenis tanaman, b. umur
pemotongan, c. penanganan, d. pemupukan dan d. kualitas benih hijauan pakan
(Bates, 2011). Kualitas hay dipengaruhi oleh jenis tanaman, varietas tanaman,
gulma, kerusakan karena serangga, penyakit, cuaca pada saat panen dan teknik
pemanenan. Dua factor yang paling berpengaruh terhadap kualitas hay yang dapat
ditangani produsen ialah pemupukan dan umur pemotongan hijauan. Pemupukan
nitrogen (N) akan menaikan kandungan protein hay. Pemupukan unsur lain,
seperti kalium, fosfor/ phosphorus (P), magnesium (Mg), dan sulfur (S) juga dapat
memengaruhi jumlah dari unsur-unsur tersebut dalam hijauan.
14
Tingkat pemupukan tergantung pada hasil analisis hara tanah yang mestinya
dilakukan analisis secara berkala setiap 2-3 tahun. Pemupupan juga dapat
meningkatkan palatabilitas hay sehingga memengaruhi kinerja hewan dengan
meningkatkan asupan nutrisi. Factor yang paling memengaruhi kualitas hay ialah
umur panen karena berpengaruh pada palatabilitas, kadar protein kasar, dan
energy dapat dicerna (digestible energy/DE). Secara umum, agar diperoleh hay
yang berkualitas baik adalah memperhatikan umur potong. Pemotongan untuk
dibuat hay dilakukan pada saat awal berbunga untuk tanaman legume dan
menjelang tanaman berbunga untuk rumput (Bell, et al, 2006).
Cuaca pasca pemotongan hijauan pakan yang akan dibuat hay, yaitu saat
pengeringan secara alami sangat berpengaruh pada kualitas hay yang akan
dihasilkan, cuaca jelek akan menghasilkan kualitas hay yang rendah. Pembalikan
saat pengeringan karena seringnya dapat merontokan daun dan terjadi pencucian
nutrisi yang dikandung hijauan pakan selama pengeringan.Sinar matahari dapat
menurunkan kandungan pro vitamin A karena terjadi pemucatan warna dari
hijauan pakan. Pengumpulan hay yang terlalu kering dapat juga menyebabkan
kerontokan daun (Bates, 2011).
Kualitas hay, antara lain ditentukan atau dipengaruhi oleh: a. Umur
pemotongan hijauan, b. Keadaan daun yaitu rasio antara batang dan daun, c.
Warna hay, d. Kelembutan hay dan e. banyak sedikitnya kotoran atau gulma
(weed), atau bahkan benda asing dalam hay.
a. Umur pemotongan hijauan
15
Paling tidak ada tiga tujuan pokok dalam memproduksi hijauan pakan dari
suatu lahan yaitu a. memaksimalkan produksi bahan kering per hectare, b.
memaksimalkan produksi protein kasar per hectare, dan c. meminimalkan
kandungan serat kasar dan dinding sel per unit bahan kering. Akan tetapi,
keadaan tersebut dapat dapat dikatakan tidak mungkin dilakukan, yaitu
mengombinasikan tiga tujuan tersebut untuk memaksimalkan produksi
bahan kering dan protein kasar per hectare, diikuti meminimalkan
kandungan serat kasar dan dinding selnya.Umur pemotongan hijauan
harus mendapat perhatian karena sangat menentukan kualitas hijauan yang
dihasilkan. Dengan demikian perlu dicari umur pemotongan hijauan yang
tepat untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Pemotongan
sangat
awal
(tanaman
masih
sangat
muda)
akan
16
Pada saat umur tanaman bertambah produksi bahan kering naik, tetapi
akan diikuti naiknya kandungan serat kasar, turunnya kandungan protein,
vitamin dan mineral per unit bahan kering sehingga semakin tua umur
tanaman hijauan yang dihasilkan akan semakin rendah kualitasnya. Oleh
karena itu, kualitas hijauan bahan dasar hay yang didasarkan pada umur
pemotongan sangat menentukan kualitas hay yang akan dihasilkan.
b. Keadaan daun
Keadaan daun, yaitu banyak sedikitnya daun (rasio batang dengan daun)
sangat menentukan kualitas hay. Semakin banyak daun dibandingkan
batang, kualitas hay dinyatakan semakin baik. Hal ini disebabkan oleh
kandungan nutrisi dalam daun lebih tinggi daripada dalam batang.
Kerontokan daun banyak terjadi karena pemanasan yang berlebihan atau
sering dibalik pada saat pembuatan hay yang disebabkan oleh cuaca jelek.
Kerontokan daun kebanyakan terjadi pada hay yang dibuat dari jenis
leguminosa, misalnya alfalfa, centrosema, calopo, dan stylo, sedangkan
pada hay yang dibuat dari rerumputan jarang terjadi.
c. Warna
Warna hay yang dihasilkan ikut menentukan kualitas karena semakin pucat
berarti semakin besar kerusakan yang terjadi pada provitamin A
(Carotene). Pemucatan warna hay dapat terjadi karena panas terlalu tinggi
atau terlalu lama dilapangan karena hay tidak segera dibawa atau
17
18
berkualitas rendah
b. Apabila kurang kering saat pembuatannya, dalam penyimpanan dapat
berjamur, terjadi penangasan (heating), atau bahkan terjadi kebakaran
spontan (spontaneous combustion)
19
20
III
KESIMPULAN
1. Hay merupakan hijaun kering pakan yang dapat digunakan sebagai sumber
pakan untuk ternak khusunya ternak ruminansia.
2. Sejak awal ditemukan cara pembuatan hay, manusia tidak banyak
memanfaatkan metode hay karena banyak menggunakan tenaga manusia.
Tetapi seiiring dengan berkembangnya teknologi, pembuatan hay menjadi
sangat mudah dan praktis.
3. Metode yang digunakan dalam pembuatan hay adalah metode hamparan dan
metode pod.
4. Jenis hijauan yang bisa dibuat hay diantaranya, rumput bede, rumpun African
stargrass, dan rumput benggala.
5. Penyimpanan hay dapat disimpan pada gudang yang berkadar air 18-22%.
Hay dapat rusak bila disimpan di suhu yang kurang atau melebihi suhu standar
penyimpanan hay.
6. Hay memiliki kualitas yang ditentukan melalui umur pemotongan hiajuan,
keadaan daun, warna, dan kelembutan.
7. Hay sebagai salah satu jenis pakan yang dapat diberikan kepada ternak
ruminansia mempunyai keuntungan dan kerugian.
8. Bahan pakan yang biasa digunakan untuk pembuatan hay adalah segala
macam hijauan yang di sukai oleh ternak ruminansia.
21
DAFTAR PUSTAKA
Akk. 1983. Hijauan Makanan Ternak Potong, Kerja Dan Perah . Penerbit
Kanisius.
Bates, G. 2011.Factors in High-Quality Hay Production.Progressive Cattleman.
West Edition. September 2011. Jerome, US. pp 14-15.
22
23
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Contoh hay
24