Anda di halaman 1dari 28

SYOK HEMORAGIK

Anugrah, Andi Hasnah Suaib


A. PENDAHULUAN
Syok adalah ketidaknormalan sistem sirkulasi yang mengakibatkan
perfusi organ dan oksigenisasi jaringan yang tidak adekuat. Penyebab
paling umum dari kegagalan organ pada pasien kritis adalah tidak
memadainya perfusi jaringan terkait kegagalan sirkulasi akut.1
Secara patofisiologi syok merupakan gangguan hemodinamik yang
menyebabkan tidak adekuatnya hantaran oksigen dan perfusi jaringan.
Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa penurunan tahanan
vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik, penurunan
pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung.2
Gangguan faktor-faktor tersebut disebabkan oleh 3 faktor yaitu dari
pompa jantung itu sendiri yang akan menyebabkan syok kardiogenik,
masalah dari volume darah yang akan dipompakan oleh jantung
menyebabkan syok hipovolemia (hemoragik dan non hemoragik) dan
masalah dari pembuluh darah yang akan menyebabkan syok distributif
(anafilaktik, neurogenik, dan sepsis). Diantara berbagai penyebab syok
tersebut, penurunan hebat volume plasma intravaskuler merupakan faktor
penyebab paling sering terjadi. Terjadinya penurunan hebat volume
intravaskuler

dapat terjadi akibat perdarahan atau dehidrasi berat,

sehingga menyebabkan yang balik ke jantung berkurang dan curah jantung


menurun. Penurunan hebat curah jantung menyebabkan hantaran oksigen
dan perfusi jaringan tidak optimal dan akhirnya menyebabkan syok.2

Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya


volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan
hebat (hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan
(ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh
berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok
hipovolemik yang paing sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan
sehingga syok hipovolemik dikenal juga dengan syok hemoragik.
Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai trauma hebat pada
organ-organ tubuh atau fraktur yang disertai dengan luka ataupun luka
langsung pada pembuluh arteri utama.2
B. DEFINISI
Syok hemoragik adalah suatu sindrom yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi
untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh
yang biasanya terjadi akibat perdarahan yang masif.1,2
Perdarahan merupakan penyebab syok yang paling sering pada
pasien trauma. Respon pasien trauma terhadap kehilangan darah lebih
kompleks karena terjadi pergeseran cairan antara kompartemenkompartemen

cairan

ekstraseluler.

Respon

di

dalam

klasik

tubuh,

terhadap

khususnya
kehilangan

kompartemen
darah

harus

dipertimbangkan terhadap adanya pergeseran cairan tersebut dalam


kaitannya dengan cedera jaringan lunak. Perubahan-perubahan akibat

kondisi syok berat dan berkepanjangan, hasil-hasil patofisiologis dari


resusitasi dan reperfusi jaringan harus juga dipertimbangkan.5
Definisi perdarahan adalah kehilangan volume darah sirkulasi secara
akut. Walaupun ada variasi, volume darah orang dewasa normal mendekati
5-7% dari berat badan. Sebagai contoh, seorang laki-laki dengan berat
badan 70 kg memiliki volume darah sirkulasi sekitar 3,5 - 5 liter. Pada
orang dewasa gemuk, volume darah diperhitungkan berdasarkan berat
badan ideal, karena perhitungan yang didasarkan atas berat badan
sebenarnya bisa menghasilkan estimasi volume darah yang melampaui
batas. Volume darah pada anak-anak dihitung antara 8-9% dari berat badan
(80-90 ml/kg).5
C. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Sirkulasi dalam tubuh manusia dibagi menjadi 2: Sirkulasi Sistemik
dan Sirkulasi Pulmonal. Sirkulasi Sistemik ialah sirkulasi yang menyuplai
darah ke seluruh tubuh kecuali paru-paru, sedangkan Sirkulasi Pulmonal
ialah sirkulasi yang menyuplai darah ke paru untuk mengadakan
pertukaran gas oksigen dengan karbondioksida.3,4
Proses sirkulasi sistemik diawali dengan aliran darah dari seluruh
jaringan tubuh menuju vena cava superior dan vena cava inferior, melalui
vena tersebut darah akan masuk ke dalam atrium kanan jantung lalu
melewati katup trikuspidalis dan masuk ke dalam ventrikel kanan jantung.
Proses selanjutnya diikuti dengan sirkulasi pulmonal, darah yang telah
tertampung di dalam ventrikel kanan tadi akan dipompa menuju paru
melewati arteri pulmonalis. Di dalam jaringan paru inilah akan terjadi

proses difusi gas, yaitu pertukaran antara gas oksigen dengan


karbondioksida,

dimana

karbondioksida

akan

dilepaskan

untuk

dihembuskan keluar tubuh melalui ekspirasi (menghembuskan napas) dan


oksigen yang diperoleh dari inspirasi (menarik napas) akan diikat oleh
eritrosit/sel darah merah untuk disebarkan ke sel-sel tubuh. Proses
selanjutnya diikuti dengan sirkulasi sistemik kembali, di mana darah dari
dalam paru (kaya akan oksigen) akan keluar dari paru dan masuk ke dalam
atrium kiri jantung melalui vena pulmonalis, kemudian darah tersebut akan
melewati katup mitral dan masuk ke dalam ventrikel kiri jantung. Darah
yang tertampung dalam ventrikel kiri tadi akan dipompa ke aorta (arteri
terbesar pada tubuh manusia) untuk disebarkan ke seluruh jaringan tubuh.
Darah yang telah mengalir dalam arteri akan mengalami difusi gas pada
target organ dan proses tersebut terjadi di dalam struktur pembuluh darah
kapiler yang terdapat pada target organ. Setelah mengalami difusi gas
dalam kapiler, darah akan memasuki venule (vena kecil) yang selanjutnya
akan terus mengalir ke vena-vena tubuh hingga tertampung kembali ke
vena cava dan proses yang telah dijelaskan di awal tadi akan terulang
kembali. Begitu seterusnya karena proses ini tidak akan pernah berhenti
selama manusia hidup.3,4

Gambar 1. Anatomi jantung dan sirkulasi darah


Fungsi jantung sebagai sebuah pompa diindikasikan oleh kemampuannya
untuk memenuhi suplai darah yang adekuat ke seluruh bagian tubuh. Mekanisme
fisiologis dasar jantung untuk mempertahankan oksigenn tersuplai dengan baik ke
seluruh tubuh meliputi stroke volume (isi kuncup), cardiac output (curah jantung),
heart rate (laju jantung), preload (beban awal) dan after load (beban akhir) serta
kontraktilitas otot jantung. Cardiac output adalah total volume darah yang
dipompa jantung setiap menit. Cardiac output didefinisikan sebagai stroke voume
dikalikan denyut jantung. Stroke volume merupakan volume darah yang
dipompakan jantung setiap kali memompa yang ditentukan oleh:5

1.
2.

3.

Preload, merupakan volume darah yang balik (kembali) ke jantung.5


Kontraktilitas miokard, merupakan pompa yang menjalankan sistem
sirkulasi.5
Afterload adalah jumlah volume darah yang dipompakan jantung yang
dipengaruhi oleh tahanan vaskuler sistemik (perifer).5

Gambar 2. Fisiologi jantung


Tubuh orang dewasa terdiri dari : zat padat 40 % dari berat badan
dan zat cair 60% dari berat badan. Secara anatomis, cairan tubuh manusia
dibagi atas 2 kompartemen yaitu cairan intraseluler (intracellular fluid =
ICF) sebanyak 40 % dari berat badan dan cairan ekstraselular
(extracellular fluid = ECF) sebanyak 20 % dari berat badan. Kedua
kompartemen ini dipisahkan oleh dinding sel yang bersifat semipermiabel,
artinya permiabel terhadap air tetapi tidak atau kurang permiabel terhadap
elektrolit maupun zat-zat lainnya.6
Selanjutnya cairan ekstraseluler sendiri terbagi atas cairan
interstitial (interstitial fluid = ISF) sebanyak 15% dari berat badan yang
merupakan cairan yang berada di antara sel, dan cairan intravaskuler
(intravascular fluid = IVF) sebanyak 5% dari berat badan yang merupakan

caira yang berada dalam pembuluh darah. Keduanya dipisahkan oleh


dinding kapiler yang terdiri dari selapis endotel. Oleh karena itu, zat-zat
dengan molekul kecil seperti air, elektrolit, dan glukosa mudah melewati
dinding kapiler tersebut, sedangkan zat-zat dengan molekul besar seperti
koloid, protein plasma, atau eritrosit tidak dapat melewati dinding kapiler
tersebut. Walaupun jumlah cairan intravaskuler atau cairan plasmahanya
5% dari BB, namun peranannya amat penting dalam mempertahankan
hemodinamik tubuh manusia.6,7

Gambar 3. Kompartemen cairan tubuh manusia

Gambar 4. Kompartemen cairan tubuh manusia


D. PATOFISIOLOGI
Patofosiologi

syok

hemoragik

bermula

dari

trauma

yang

menyebabkan kerusakan jaringan. Pembuluh darah mengalami perdarahan


sehingga menyebabkan penurunan aliran balik ke jantung yang akan
menyebabkan penurunan stroke volume dan akhirnya akan menyebabkan
penurunan cardiac output maka terjadilah hipoperfusi jaringan dan syok.2,11
Setelah terjadi perdarahan tanpa pertolongan akan terjadi mekanisme
kompensasi dalam tubuh yang merupakan upaya tubuh agar tetap stabil
untuk mempertahankan hidupnya. Tergantung banyak dan lamanya
perdarahan

yang

terjadi

mekanisme

kompensasi

tersebut

dapat

mempertahankan heodinamik yang adekuat. Perdarahan 10-15% dari total


blood volume (TBV) masih dapat ditolerir oleh tubuh tanpa membawa
efek negative. Perdarahan lebih dari 15% dari TBV tanpa pertolongan
mulai secara bermakna mengganggu perfusi. Sistem kardiovaskuler pada

awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan meningkatkan


denyut jantung akibat penurunan dari stroke volume, meningkatkan
kontraktilitas miokard, dan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Pada perdarahan 10-15% biasanya akan terjadi kompensasi tubuh yang
disebut Transcapillary refill yaitu masuknya cairan interstitial ke dalam
ruang intravaskuler akibat terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah
arteriol yang menyebabkan tekanan hidrostatik kapiler menurun.6
Apabila seseorang mengalami perdarahan, berarti volume darahnya
berkurang, ini menyebabkan curah jantung menurun, selanjutnya tekanan
darah juga akan menurun. Dengan turunnya tekanan darah, baroreseptor
yang terletak pada arteri karotis akan mengirim impuls ke hipotalamus
yang akan mengaktivasi saraf simpatis yang akan mensekresi katekolamin
berupa

adrenalin dan noradrenalin yang menyebabkan denyut nadi

meningkat (takikardi) dan terjadinya vasokonstriksi pada sistem pembuluh


darah terutama pada kulit (menyebabkan kulit menjadi pucat, akral dingin
dan CRT memanjang), ginjal (produksi urin menurun), dan sistem
pencernaan untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi tubuh akibat perdarahan.6
Di sisi lain, sistem ginjal berespon terhadap syok hemoragik karena
dengan berkurangnya volume darah menyebabkan turunnya perfusi ke
ginjal sehingga mengaktifkan system Renin-Angiotensin-Aldosteron dan
merangsang pengeluaran ADH (Anti Diuretik Hormon) dari hipofisis
lobus posterior. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di

paru-paru. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya


membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi
arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks
adrenal. ADH menyebabkan pengeluaran air dari ginjal dikurangi
sedangkan

aldosteron

bertanggungjawab

pada

reabsorbsi

natrium

menigkat. Secara singkat dapat dikatakan bahwa baik ADH maupun


aldosteron keduanya berusaha menarik air ke dalam intravaskuler.6
Mekanisme yang terjadi merupakan cara tubuh dalam memenuhi
perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi
cairan dan darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari
perdarahan, perfusi jantung akhirnya akan berkurang, dan kegagalan
berbagai organ akan segera terjadi. 2,11

10

Gambar 5. Patofisiologi Syok Hemoragik

11

Gambar 6. Mekanisme Gejala Syok Hemoragik


Tahap-tahap syok
Syok merupakan suatu gangguan progresif yang jika tidak diperbaiki akan
menyebabkan kematian. Karena sifat-sifat khas syok sirkulasi dapat berubah pada
derajat keseriusan, syok dibagi dalam tiga tahap utama berikut :5
a. Tahap non progresif; Selama tahapan ini mekanisme kompensasi
refleks akan diaktifkan dan perfusi organ vital dipertahankan.
Dalam tahap syok nonprogresif dini, beragam mekanisme
neurohumoral membantu mempertahankan curah jantung dan tekanan
darah. Mekanisme ini, meliputi refleks baroreseptor, pelepasan
katekolamin, aktivasi poros rennin-angiotensin, pelepasan hormone

12

antidiuretik, dan perangsangan simpatis umum. Efek akhirnya adalah


takikardi, vasokonstriksi perifer dan pemeliharaan cairan ginjal.
Sebagai contoh, vasokontriksi pembuluh darah kulit berperan pada
timbulnya akral dingin dan pucat pada kulit yang khas dalam syok.
Pembuluh darah jantung dan otak kurang sensitive terhadap respon
simpatis tersebut sehingga akan mempertahankan diameter pembuluh
darah, aliran darah, dan pengiriman oksigen yang relative normal ke
setiap organ vitalnya.5
b. Tahap progresif; yang ditandai oleh hipoperfusi jaringan dan awal
manifestasi dari memburuknya ketidakseimbangan sirkulasi dan
metabolik.5
Jika penyebab yang mendasari tidak diperbaiki, syok secara tidak
terduga akan berkembang ke tahap progresif, selama terjadi hipoksia
jaringan yang meluas. Pada keadaan kekurangan oksigen yang menetap,
resprasi aerobic intrasel digantikan oleh glikolisis anaerobic disertai
dengan produksi asam laktat yang berlebihan. Asidosis laktat metabolik
yang diakibatkannya menurunkan pH jaringan dan menumpulkan
respons vasomotor; arteriol berdilatasi dan darah mulai mengumpul
dalam mikrosirkulasi. Pengumpulan perifer tersebut tidak hanya akan
memperburuk curah jantung, tetapi sel endotel juga berisiko mengalami
cedera anoksia yang selanjutnya disertai DIC. Dengan hipoksia jaringan
yang meluas, organ vital akan terserang dan mulai mengalami
kegagalan; secara klinis penderita mengalami kebingungan, dan
pengeluaran urine menurun.5

13

c. Tahap ireversibel ; yang muncul setelah tubuh mengalami jejas sel dan
jaringan yang berat sehingga walaupun gangguan hemodinamikanya
telah diperbaiki, tidak mungkin bertahan hidup lagi.5
Jika tidak dilakukan intervensi, proses tersebut akhirnya
memasuki tahap irreversible. Jejas sel yang meluas tercermin oleh
adanya kebocoran enzim lisosom, yang semakin memperberat keadaan
syok. Fungsi kontraksi miokard akan memburuk, yang sebagiannya
disebabkan oleh sintesis nitrit oksida. Jika usus iskemik memungkinkan
masuknya flora usus ke dalam peradaran darah, dapat muncul pula syok
endotoksik. Pada tahap ini, pasien mempunyai ginjal yang sama sekali
tidak berfungsi akibat nekrosis tubular akut, dan meskipun dilakukan
upaya yang hebat, kemunduran klinis yang terus terjadi hampir secara
pasti menimbulkan kematian.5

E. KLASIFIKASI
Sistem klasifikasi syok hemoragik berdasarkan dari American
College of Surgeon Committee on Trauma dibagi menjadi 4 kelas. Sistem
ini berguna untuk memastikan tanda-tanda dini syok hemoragik.4,12
Tabel 1. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentasi
Penderita Semula
Parameter
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
750
1500
Kehilangan
>2000
<750
1500
2000
darah (ml)
15%
Kehilangan
<15%
30% - 40%
>40%
darah (%)
30%
100 - 120
Nadi (x/menit)
<100
120 140
> 140
Tekanan darah
Normal
Normal
Menurun
Menurun
Frekuensi
20 30
pernapasan
14 - 20
30 40
>35
(x/menit)

14

Produksi urin
(ml/jam)
Gejala pada
saraf pusat /
status mental
Penggantian
cairan (1:3)

1.

>30

20 30

5 15

Hampir
tidak ada

Normal

Cemas

Cemas,
bingung

Bingung,
lesu

Kristaloid,
Koloid

Kristaloid
koloid,
mungkin
transfusi

Kristaloid
koloid,
perlu
transfusi

Kristaloid

Perdarahan Kelas I (Kehilangan volume darah


sampai 15%)
Gejala klinis dari kehilangan volume dengan perdarahan kelas I
umumnya minimal atau tidak terlihat. Bila tidak ada komplikasi, akan
terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari
tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Untuk
penderita yang dalam keadaan sehat, jumlah kehilangan darah ini
tidak perlu diganti. Pengisian transkapiler dan mekanisme kompensasi
lain akan memulihkan volume darah dalam 24 jam. Namun, bila ada
kehilangan cairan karena sebab lain, kehilangan jumlah darah ini
dapat mengakibatkan gejala-gejala klinis. Penggantian cairan untuk

mengganti kehilangan primer, akan memperbaiki keadaan sirkulasi.5,12


2.
Perdarahan Kelas II (Kehilangan volume darah 15%
- 30%)
Gejala klinis termasuk takikardi, takipnoe, dan penurunan
tekanan nadi. Penurunan tekanan nadi ini terutama berhubungan
dengan peningkatan dalam komponen diastolik karena bertambahnya
katekolamin yang beredar. Zat inotropik ini menghasilkan peningkatan
tonus dan resistensi pembuluh darah perifer. Tekanan sistolik hanya

15

berubah sedikit pada syok yang dini karena itu penting untuk lebih
mengandalkan evaluasi tekanan nadi daripada tekanan sistolik.
Penemuan klinis yang lain yang akan ditemukan pada tingkat
kehilangan darah ini meliputi perubahan sistem saraf sentral yang
tidak jelas seperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan. Walau
kehilangan darah dan perubahan kardiovaskular besar, namun
produksi urin hanya sedikit terpengaruh. Aliran air kencing biasanya
20-30 ml/jam untuk orang dewasa. Kehilangan cairan tambahan dapat
memperberat manifestasi klinis dari jumlah kehilangan darah ini. 5,12
3.
Perdarahan Kelas III (Kehilangan volume darah
30% - 40%)
Akibat kehilangan darah sebanyak ini dapat sangat parah.
Penderita hampir selalu menunjukkan tanda klasik perfusi yang tidak
adekuat, termasuk takikardi dan takipnue yang jelas, perubahan
penting dalam status mental, dan penurunan tekanan darah sistolik.
Dalam keadaan yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah kehilangan
darah paling kecil yang selalu menyebabkan tekanan sistolik menurun.
Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini hampir selalu
memerlukan tranfusi darah. Keputusan untuk memberi tranfusi darah
didasarkan atas respons penderita terhadap resusitasi cairan semula
dan perfusi dan oksigenisasi organ yang adekuat. 5,12
4.
Perdarahan Kelas IV (Kehilangan volume darah
lebih dari 40%)
Dengan kehilangan darah sebanyak ini, jiwa penderita terancam.
Gejala-gejalanya meliputi takikardi yang jelas, penurunan tekanan

16

darah sistoluk yang cukup besar, dan tekanan nadi yang sangat sempit.
Produksi urin hampir tidak ada, dan kesadaran jelas menurun. Pada
kulit terlihat pucat dan teraba dingin. Penderita ini sering kali
memerlukan tranfusi cepat dan intervensi pembedahan segera.
Kehilangan lebih dari 50% volume darah penderita mengakibatkan
ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi dan tekanan darah. 5,12
F. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan syok hemoragik penting
dalam menemukan sumber perdarahan. Hal penting yang harus diperiksa
adalah tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran.
Pemeriksaan pasien yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan penderita
memungkinkan. Syok umumnya memberi gejala klinis seperti turunnya
tanda vital tubuh: hipotensi, takikardi, penurunan urin output, dan
penurunan kesadaran. Kumpulan gejala tersebut merupakan mekanisme
kompensasi tubuh. Gejala umum lainnya yang bisa timbul adalah kulit
kering, pucat, dan dengan diaphoresis. Pada fase awal nadi cepat dan
dalam, tekanan darah sistolik bisa saja masih dalam batas normal karena
kompensasi. Konjungtiva pucat, seperti yang terdapat pada anemia
kronik.5
Pendarahan saat trauma kadang sulit ditaksir jumlahnya. Karena
rongga pleura, kavum abdominalis, mediastinum dan retroperitoneum bisa
menampung darah dalam jumlah yang sangat besar dan bisa menjadi
penyebab kematian. Perdarahan trauma eksternal bisa ditaksir secara baik,
tapi bisa juga kurang diawasi oleh petugas emergensi medis. Laserasi kulit
kepala bisa menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar. Fraktur
17

multipel terbuka juga bisa mengakibatkan kehilangan darah yang cukup


besar.5
G. PENATALAKSANAAN
Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita trauma adalah
mengetahui tanda-tanda klinisnya. Tidak ada tes laboratorium yang dapat
mendiagnosis syok. Diagnosis awal didasarkan pada gejala dan tanda yang
timbul akibat dari perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak
adekuat. Pemeriksaan fisik mliputi penilaian ABCD. Pencatatan data-data
awal penting untuk memonitor respon pasien-pasien terhadap terapi.5
a. Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan
cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Pemberian oksigen
tambahan untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.5
b. Circulation kontrol perdarahan
Prioritas dalam sirkulasi meliputi control perdarahan yang jelas
terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi
jaringan. Perdarahan dari luka-luka luar di permukaan tubuh
(eksternal) biasanya dapat dikontrol dengan tekanan langsung pada
tempat perdarahan. Kecukupan perfusi jaringan menentukan jumlah
cairan resusitasi yang diperlukan. Biasanya diperukan tindakan
operasi untuk mengontrol perdarahan yang terjadi di dalam tubuh
(internal).5
c. Disability pemeriksaan neurologi
Pemeriksaan neurologi singkat dapat menentukan tingkat
kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, serta fungsi motorik dan
sensorik. Informasi ini sangat berguna dalam menilai perfusi otak,
mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan

18

pemulihan. Perubahan fungsi system saraf sentral pada pasien-pasien


dengan hipotensi akibat syok hipovolemik tidak selalu disebabkan
karena cedera intrakranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak
yang kurang adekuat.5
d. Exposure pemeriksaan lengkap
Setelah tindakan prioritas

penyelamatan

nyawa

telah

dilaksanakan, penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ujung


kepala hingga ujung kaki untuk mencari cedera-cedera yang ada.
Ketika membuka seluruh pakaian penderita , penting untuk mencegah
terjadinya hipotermia.5
Perdarahan tetap menjadi penyebab utama kematian yang dapat
dicegah setelah trauma. Pada fase akut perdarahan, prioritas terapi dokter
adalah untuk menghentikan pendarahan secepat mungkin. Syok hemoragik
adalah keadaan patologis di mana volume intravaskular dan pengiriman
oksigen terganggu. Selama perdarahan ini tidak terkontrol, dokter harus
menjaga pengiriman oksigen untuk mencegah hipoksia jaringan,
peradangan, dan disfungsi organ. Prosedur ini melibatkan resusitasi cairan,
penggunaan vasopressor, dan transfusi darah untuk mencegah atau
mengoreksi koagulopati traumatis. Prinsip pengelolaan dasar syok
hemoragik ialah menghentikan perdarahan dan menggantikan kehilangan
volume darah.10,13,14

RESUSITASI CAIRAN
1.

AKSES VASKULER

19

Akses pembuluh darah harus segera didapat, paling baik dilakukan


dengan memasukkan dua kateter intravena ukuran besar sebelum
dipertimbangkan jalur vena sentral. Tempat yang terbaik untuk jalur
intravena bagi orang dewasa adalah lengan bawah. Kalau keadaan
tidak memungkinkan penggunaan pembuluh darah perifer, maka
digunakan akses pembuluh sentral (vena-vena femoralis, jugularis,
atau subklavia dengan kateter besar) dengan melakukan vena seksi
pada vena safena di kaki. Pada anak di bawah 6 tahun, teknik
penempatan jarum intra oseus harus dicoba sebelum menggunakan
jalur vena sentral.5
2. TERAPI CAIRAN
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien,
konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai
larutan parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis
berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan
salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan
perawatan pasien. Larutan parenteral pada syok hipovolemik
diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah.15
a. Kristaloid (Ringer Laktat atau NaCl 0,9%)
Larutan isotonik hangat, misalnya ringer laktat, digunakan
untuk resusitasi awal, Cairan jenis ini mengisi volume
intravascular dalam waktu yang singkat (kurang lebih 1 jam) dan
juga menstabilkan volume vaskuler dengan cara mengganti
kehilangan cairan penyerta yang hilang ke dalam ruang intertisiel
dan intraselular. Alternatif cairan awal adalah bolus cairan

20

diberikan secepatnya. Dosis umumnya 1 hingga 2 liter untuk


dewasa dan 20ml/kg untuk anak-anak. Mungkin ini memerlukan
penggunaan alat pompa (mekanis atau manual) pada awalnya.
Respon pasien diobservasi selama pemberian cairan awal ini dan
keputusan terapi dan diagnosis selanjutnya didasarkan pada
respon ini.2,5
Jumlah darah dan cairan yang diperlukan untuk resusitasi,
sulit diprediksi dalam evaluasi awal pasien. Perhitungan kasar
untuk menentukan jumlah cairan dan darah yang dibutuhkan.
Perhitungan kasar untuk menetukan jumlah cairan kristaloid yang
dibutuhkan secara cepat adalah dengan mengganti 1ml darah yang
hilang dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan
resusitasi volume plasma yang hilang dalam ruang intertisiel dan
intraseluler.5,10
Ini dikenal sebagai hokum 3-untuk-1 (3-for-1 rule). Sangat
penting untuk menilai respon pasien terhadap resusitasi cairan
dengan adanya bukti perfusi dan oksigenasi organ yang adekuat
(yaitu melihat keluaran urin, tingkat kesadaran, dan perfusi
perifer). Larutan ringer laktat diharapkan akan masuk melalui
membrane kapiler melalui membran kapiler ke dalam ruang
intertisial dan diberikannya plasma atau darah bersama ringer
laktat akan memperbaiki volume darah dan kekurangan cairan
intertisiel.10
Cairan ini mirip komposisinya dengan cairan ekstraselular.
Cairan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan tidak

21

mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat


sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume
yang diberikan harus lebih banyak dari volume darah yang hilang.
Ekspansi

cairan

dari

ruang

intravaskular

ke

interstitial

berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar


dalam 24-48 jam sebagai urin.14
Keuntungan cairan kristaloid yaitu mudah tersedia, murah,
mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek
samping. Kelebihan pemberian cairan kristaloid dapat berlanjut
dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu
dicegah.15
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal
syok hipovolemik dengan hiponatremia, hipokhloremia, atau
alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang
paling mirip dengan cairan eksraseluler digunakan sebagai cairan
sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensible.
Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut
diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti
sirosis hepatis dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan
Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena
dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.10
b. KOLOID
Penggunaan cairan koloid mempunyai nilai onkotik yang
tinggi (dextran, gelatin, HES) sehingga mempunyai volume effect
lebih baik dan tinggal lebih lama di intravascular, sehingga

22

meskipun

dalam

jumlah

sedikit

dapat

mempertahankan

hemodinamik jika dibandingkan dengan cairan kristaloid.


Pemberian koloid adalah dengan mengganti 1ml darah yang
hilang dengan 1 ml cairan koloid (1:1) jadihanya membutuhkan
volume yang sedikit disbanding dengan kristaloi karena cairan
koloid bertahan lebih lama dalam intravaskuler karena memiliki
berat molekul ebih besar sehingga susah menembus endotel
kapiler darah. Akan tetapi, dari segi harga jauh lebih mahal
dibandingkan dengan cairan kristaloid.15
3.

TRANSFUSI DARAH
Dalam rangka mempertahankan pengiriman oksigen jaringan. Indikasi
transfusi adalah pasien dengan perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL
atau Ht < 30%. Pada orang tua, kelainan paru, kelainan jantung Hb <
10 gr/dL, pada kelas perdarahan III-IV, dan pada bedah mayor
kehilangan darah > 20% volume darah.16

A
B
C
Gambar 7. Algoritme resusitasi cairan awal
Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak
diperlukan. Pada kasus B, jika hemoglobin kurang dari 8 gr/dL atau
hematokrit kurang dari 25%, transfusi sebaiknya diberikan. Tetapi
seandainya akan dilakukan pembedahan untuk menghentikan suatu
perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber perdarahan
23

teratasi. Pada kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga


kemungkinan penyebab yaitu perdarahan masih berlangsung terus
(continuing loss), syok terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama dan
anemia terlalu berat, sehingga terjadi hipoksia jaringan.7
4.
EVALUASI RESUSITASI CAIRAN

DAN

PERFUSI ORGAN
Tanda dan gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan
untuk diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respon
penderita. Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi, dan denyut
nadi merupakan tanda positif yang menandakan perfusi sedang kembali
ke normal.Walaupun begitu, pengamatan tersebut tidak memberi
informasi tentang perfusi organ. Perbaikan pada sistem saraf pusat dan
peredaran darah kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan
perfusi, tetapi kuantitas sukar ditentukan.5
Jumlah produksi urin juga merupakan indikator yang cukup sensitif
untuk perfusi ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya
menandakan aliran darah ginjal yang cukup, bila tidak dimodifikasi
dengan pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran urin merupakan
salah satu pemantau utama resusitasi dan respon penderita.5
Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan
keluaran urin sekitar 0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/jam
pada anak dan 2 ml/kg/jam pada bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila
kurang atau makin turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik,
maka ini menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut
ditambah penggantian volume dan usaha diagnostik.5

24

Bila telah jelas ada perbaikan hemodinamik (tekanan sistolik 100,


nadi 100, perfusi hangat, urin 0,5 ml/kg/jam), infus harus dilambatkan
dan biasanya transfuse tidak diperlukan. Bahaya infus yang cepat adalah
oedem paru, terutama pasien geriatri.Perhatian harus ditunjukkan agar
jangan sampai terjadi kelebihan cairan. Namun jika hemodinamik
memburuk, teruskan cairan (2-4x estimated blood loss), jika membaik
tetapi Hb < 8 gr, Ht < 25%, beri transfusi darah dan koloid. Bila
hemodinamik tetap buruk, segera diberikan transfusi.10
H. KOMPLIKASI
Komplikasi akibat pemberian cairan dapat terjadi pada jantung dan
pada paru-paru.
1. Dekompensasi jantung
Dekompensasi ditandai oleh kenaikan PCWP (Pulmonary
Capillary Wedge Pressure). Bahaya terjadinya dekompensasi jantung
sangat kecil, kecuali pada jantung yang sudah sakit sebelumnya. Pada
pemberian koloid dapat mengalami kenaikan PCWP 50% yang
potensial akan mengalami dekompensasi jantung.5
2. Edema paru
Akibat pengenceran darah, terjadi transient hypoalbuminemia.
Penurunan albumin ini diikuti penurunan tekanan onkotik. Batasan
aman kadar albumin terendah yang masih aman adalah 2,5 mg%.
apabila albumin perlu dinaikkan, pemberian infus albumin 11-25%
dapat diberikan dengan tetesan lambat 2 jam/100 ml. Dosis ini akan
menaikkan kadar 0,25-0,5 mg%.9 Jika terjadi edema paru, berika
furosemide 1-2 mg/kgBB. Gejala sesak napas akan berkurang setelah

25

urin keluar 1-2 L. Lakukan digitalisasi atau berikan dopamine drip 510 g/kgBB/menit. Sebagai terapi simptomatik berikan oksigen.5
I. KESIMPULAN
Syok hemoragik adalah suatu sindrom yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi
untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh
yang biasanya terjadi akibat perdarahan yang masif yang ditandai dengan
penurunan volume darah, akral dingin, pucat, takikardi, hipotensi, dan
penurunan kesadaran.
Prinsip pengelolaan dasar syok hemoragik ialah menghentikan
perdarahan dan menggantikan kehilangan volume darah, meliputi
pemeriksaan jasmani, akses pembuluh darah, terapi cairan, transfusi darah,
dan terapi lain.
Komplikasi yang paling umum pada syok hemoragik adalah
penggantian volume yang tidak adekuat. Terapi yang segera, tepat, dan
agresif untuk memulihkan perfusi organ akan memperkecil kejadian yang
tidak dikehendaki sedikitpun. Terdapat beberapa penyulit pula dalam
pemberian cairan resusitasi, sehingga harus berhati-hati terdapat
pemberian cairan.

26

DAFTAR PUSTAKA
1. Vincent JL. Hemodynamic support of the critically ill patient. In:
Longnecker D. Anesthesiology. Second edition. China: Mc Graw Hill Inc.
2012. p: 1398-1405
2. Hardisman. Memahami

Patofisiologi

dan

Aspek

Klinis

Syok

Hipovolemik: Update dan Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas. Bagian


Anestesiologi FK Universitas Andalas. 2013. hal: 1-5
3. Silbernagl S. Circulation shock. In: Color Atlas of Pathophysiology.
New York: Thieme Stuttgart. 2000. Pg. 231-33
4. Herman RB. Buku Ajar Fisiologi Jantung. 2010. Jakarta. EGC. hal: 1-25
5. Rotondo M. Hemorrhagic shock. In: Advance trauma life support ATLS
student course manual ninth edition. Chicago: American College of
Surgeons. 2012. Pg. 68-74
6. Hidin S. Syok dan penatalaksanaanya. Catatan anastesi; Bagian
Anastesiologi RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar. hal: 94-157
7. Butterworth JF. Management of patients with fluid & electrolyte
disturbances. In: Morgan & Mikhails Clinical anesthesiology 5th edition.
USA: Mc Graw Hill Lange. 2013. Pg. 1107-11
8. Sethi AK, Sharma P, Mohta M, Tyagi A. Shock-A Short Review. Indian
Journal Anaesthesia. 2003. p: 345-59
9. Mendonca C. Management of shock. Warwick Medical SchoolHandbook of Anaesthesia. 2006. p: 1-8
10. Gutierrez G, Reines D, Gutierrez MEW. Clinical review: Hemorrhagic
shock. Critical care. 2004. p: 373-81
11. Dutton, R P. Haemostastic Resuscitatiton. British Journal of Anasthesia.
2012. p: 139-46
12. Leibowitz AB, Atchabahian A. Shock in Reed AP, Yudkowitz FS.
Clinical Cases in Anesthesia. 2005. Elsevier. Philadelphia. p: 503-8

27

13. Bougle A, Harrois A, Duranteau J. Resuscitative strategies in traumatic


hemorrhagic shock. Annals of Intensive Care. Departement of Anesthesia
and Intensive Care. 2013. p: 1-9
14. Martel MJ. Hemorrhagic Shock. SOGC Clinical Practice Guidelines.
2002. Canada. p: 1-8
15. Krausz MM. Initial Resuscitation of Hemorrhagic Shock. World Journal
of Emergency Surgery. 2006. BioMed Central. p: 1-5

28

Anda mungkin juga menyukai