Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Umum

Irigasi adalah semua atau segala kegiatan yang mempunyai hubungan dengan usaha
untuk mendapatkan air guna keperluan pertanian.
Usaha yang dilakukan tersebut dapat meliputi : perencanaan, pembuatan,
pengelolaan, serta pemeliharaan sarana untuk mengambil air dari sumber air dan
membagi air tersebut secara teratur dan apabila terjadi kelebihan air dengan
membuangnya melalui saluran drainase. (Acmadi, M. 2013).
Secara garis besar, tujuan irigasi dapat digolongkan menjadi 2 (dua) golongan,
yaitu :
1. Tujuan langsung, yaitu irigasi mempunyai tujuan untuk membasahi tanah
berkaitan dengan kapasitas kandungan air dan udara dalam tanah sehingga dapat
dicapai suatu kondisi yang sesuai dengan kebutuhan untuk pertumbuhan tanaman
yang ada di tanah tersebut.
2. Tujuan tidak langsung, yaitu irigasi mempunyai tujuan yang meliputi : mengatur
suhu dari tanah, mencuci tanah yang mengandung racun, mengangkut bahan
pupuk dengan melalui aliran air yang ada, menaikkan muka air tanah,
meningkatkan elevasi suatu daerah dengan

cara mengalirkan air

dan

mengendapkan lumpur yang terbawa air, dan lain sebagainya.


Irigasi didefinisikan sebagai suatu cara pemberian air, baik secara alamiah
ataupun buatan kepada tanah dengan tujuan untuk memberi kelembapan yang
berguna bagi pertumbuhan tanaman. Secara alamiah air disuplai kepada tanaman
melalui air hujan. Secara alamiah lainnya, adalah melalui genangan air akibat banjir
dari sungai, yang akan menggenangi suatu daerah selama musim hujan, sehingga
tanah yang ada dapat siap ditanami pada musim kemarau secara buatan ketika
penggunaan air ini mengikutkan pekerjaan rekayasa teknik dalam skala yang cukup
besar, maka hal tersebut disebut irigasi buatan (Artificial Irrigation).
1.2.

Latar Belakang
Pembangunan irigasi merupakan salah satu penyumbang stok pangan nasional,

maka pembangunan di bidang irigasi untuk menunjang sektor pertanian perlu


digalakkan. Sistim jaringan irigasi sejak otonomi daerah kurang terawat sehingga
bangunan-banguan irigasi yang berada dikawasan tertentu dan sebagian besar sudah
mengalami penurunan fungsi. Untuk itu diperlukan Survei, Investigasi dan Desain
(SID) dalam rangka perbaikan dan rehabilitasi secara partisipatif dengan melibatkan

stakeholder dan HIPPA/Gabungan HIPPA sehingga jaringan irigasi tersebut dapat


berfungsi kembali secara teknis.
Pengelolaan irigasi yang baik harus dapat memberikan air secara tepat agar
tanaman dapat menerima air sesuai kebutuhannya, dan sebelum merencanakan
jaringan irigasi harus diketahui kebutuhan air tanaman pada suatu areal pertanian
yang mengacu pada pola tata tanam yang direncanakan. Pengelolaan saluran Irigasi
yang baik erat kaitannya dengan peningkatan produksi daerah irigasi. Karena itu
dalam pengoperasian suatu jaringan hendaknya selalu diperhatikan mengenai
ketersediaan air, kebutuhan air dan bagaimana cara membagi air yang ada tersebut
sejauh mungkin adil dan merata agar semua tanaman dapat tumbuh dengan baik.
1.3.

Identifikasi Masalah
Permasalahan yang banyak dijumpai di lapangan untuk petak tersier antara lain:

1. Dalam proses pemberian air irigasi untuk petak sawah terjauh sering tidak
terpenuhi.
2. Kesulitan dalam mengendalikan proses pembagian air sehingga sering terjadi
pencurian air.
3. Banyak petak tersier yang rusak akibat organisasi petani setempat yang tidak
terkelola dengan baik.
Semakin kecil luas petak dan luas kepemilikan maka semakin mudah
organisasi setingkat P3A/GP3A untuk melaksanakan tugasnya dalam melaksanakan
operasi dan pemeliharaan. Petak tersier menerima air di suatu tempat dalam jumlah
yang sudah diukur dari suatu jaringan pembawa yang diatur oleh Institusi Pengelola
Irigasi. Pembagian air di dalam petak tersier diserahkan kepada para petani. Jaringan
saluran tersier dan kuarter mengalirkan air ke sawah. Kelebihan air ditampung di
dalam suatu jaringan saluran pembuang tersier dan kuarter dan selanjutnya dialirkan
ke jaringan pembuang primer.
1.4. Batasan Masalah
Untuk lebih memfokuskan pada studi yang dilakukan dan untuk menghindari
terjadinya pembahasan yang keluar dari pokok perencanaan, maka dilakukan
pembatasan masalah sebagai berikut :
1. Studi dilakukan di daerah Ponorogo yang merupakan suatu jaringan irigasi
Sumatera Utara.
2. Data curah hujan merupakan data sekunder dan dalam hal ini merupakan
wewenang dari dinas Pengairan Sumatera Utara.
3. Menghitung kebutuhan air irigasi berdasarkan pola tata tanam.
4. Penggunaan air irigasi.
5. Tidak membahas mengenai penjadwalan distribusi air dan konstruksi pintu karena
pada studi ini lebih mengarah pada perencanaan dimensi saluran.

6. Tidak membahas mengenai analisa ekonomi dengan alasan untuk mempersempit


permasalahan yang ada.
7. Analisa perencanaan saluran irigasi.
8. Perhitungan bangunan pelengkap.
9. Perhitungan evapotranpirasi potensial.
1.5. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam studi ini adalah :
1. Bagaimana perencanaan saluran terhadap debit banjir dengan distribusi hujan
untuk menyimpulkan pemilihan metode dengan menetapkan debit banjir dan untuk
menghitung validasi data dengn curah hujan lengkap.
2. Bagaimana sistem perencanaan jaringan irigasi utama di saluran irigasi
Ponorogo?
3. Bagaimana bentuk dimensi saluran irigasi yang akan direncanakan?
4. Bagaimana ketersediaan air pada jaringan irigasi Ponorogo pada musim kemarau
dan debit normal (debit andalan) pada sumber air (sungai) dari data hidrologi.
5. Menghitung kebutuhan air untuk petak sawah (NFR), kebutuhan air untuk
bangunan bagi.
1.6. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari studi ini adalah untuk menghasilkan produk-produk dari
perencanaan saluran irigasi yang meliputi :
1.

Sistem jaringan irigasi.

2.

Usulan Pola Tata Tanam.

3.

Dimensi saluran irigasi.

4.

Potongan memanjang dan melintang saluran irigasi.

Manfaat kajian ini adalah sebagai bahan masukan bagi semua pihak dalam
merencanakan saluran irigasi teknis yang baik, sehingga penggunaan Sumber Daya
Air dapat dilakukan seoptimal mungkin, terutama pada daerah irigasi Ponorogo. Dan
juga diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman bagi penyelenggaraan Tata
Laksana Pembangunan Prasarana Pengairan serta pelaku Operasi dan Pemeliharaan
Daerah Irigasi Ponorogo dalam upaya peningkatan potensi dan pemanfaatan lahan
Irigasi.
1.7. Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan dalam penyusunan perencanaan irigasi ini meliputi 4
(empat) bab. Bab I membahas tentang Pendahuluan. Pada bagian ini diulas beberapa
subbab, yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat, sistematika pembahasan, Selanjutnya landasan teori

dibahas dalam Bab II, yang terdiri dari subbab, yaitu pembahasan evapotranspirasi
dalam bagian ini terdiri dari sub-sub bab diantaranya (evaporasi, transpirasi,
evapotranspirasi, evapotranpirasi potensial). Pola tata tanam terdiri dari sub-sub bab
diantaranya (tata tanam, jadwal tata tanam), koefisien tanaman, kebutuhan air
tanaman, perkolasi, pengolahan tanah dan persamaian sesuai KP PU dan terdiri dari
sub-sub bab yaitu (pengolahan tanah,persemaian), Curah hujan efektif, pergantian
lapisan air, efisiensi irigasi, kebutuhan air irigasi, sistem pemberian air, perancangan
sistem jaringan yang terdiri dari sub-sub bab yaitu (bangunan irigasi, bangunan
pelengkap dalam saluran, layout jaringan irigasi daerah rencana, skema jaringan
irigasi, petak tersier percontohan). Dalam Bab III membahas tentang Data dan analisa
data dan terdiri dari sub bab yaitu perhitungan evapotranspirasi potensial, kebutuhan
air tanaman, perhitungan curah hujan, perhitungan saluran irigasi, perhitungan
bangunan pelengkap. Sedangkan Bab IV adalah bagian Penutup yang terdiri dari sub
bab yaitu kesimpulan dan saran.
Dalam perencanaan ini ada beberapa lampiran yang akan terlampir diantaranya
sebagai berikut :
1. Gambar layout jaringan irigasi
2. Gambar skema jaringan dan bangunan irigasi
3. Gambar potongan memanjang saluran
4. Gambar potongan melintang saluran
5. Gambar detail desain bangunan pelengkap

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Umum
Kriteria Perencanaan Jaringan lrigasi ini merupakan bagian dari Standar Kriteria
Perencanaan dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. Kriteria Perencanaan terdiri
dari bagian-bagian berikut :
KP 01 Perencanaan jaringan irigasi
KP 02 Bangunan utama (Head works)
KP 03 Saluran
KP 04 Bangunan
KP 05 Parameter bangunan
KP 06 Petak tersier
KP 07 Standar penggambaran.
Kriteria tersebut dilengkapi dengan:
Gambar-gambar tipe dan standar bangunan irigasi
Persyaratan teknis untuk pengukuran, penyelidikan dan perencanaan
Buku petunjuk perencanaan.
Dalam Bab 2 diberikan uraian mengenai berbagai unsur jaringan irigasi teknis:
petak petak irigasi, bangunan utama, saluran dan bangunan. Pada persiapan
pembangunan sampai dengan perencanaan akhir dibagi menjadi dua tahap yaitu,
tahap studi dan tahap perencanaan. Tahap studi dibicarakan untuk melengkapi pada
persiapan proyek.
Kriteria tentang tahap studi merupakan dasar pengambilan keputusan dimulainya
perencanaan irigasi (tahap perencanaan). Segi-segi teknis dan nonteknis akan samasama memainkan peran. Laporan tentang hasil-hasil studi yang telah dilakukan
mencakup pula keterangan pokok mengenai irigasi yang direncanakan, serta
kesimpulan yang berkenaan dengan tipe jaringan, tata letak dan pola tanam. Pada
permulaan tahap perencanaan, kesimpulan yang diperoleh dari tahap studi akan
ditinjau kembali sejauh kesimpulan tersebut berkenaan dengan perencanaan jaringan
irigasi. Peninjauan semacam ini perlu, karena dalam tahap-tahap studi dan
perencanaan banyak instansi pemerintah yang terlibat di dalamnya. Bab 4
menguraikan data-data yang diperlukan untuk perencanaan proyek irigasi.
Bidang yang dicakup antara lain adalah hidrologi, topografi, model, hidrolis,
geoteknik dan tanah pertanian. Bab 5, Perekayasaan (Engineering Design),

membicarakan berbagai tahap dalam perekayasaan, yang dijadikan dasar untuk Tahap
Perencanaan adalah perekayasaan yang telah dipersiapkan dalam Tahap.
Dalam Tahap Perencanaan, ada dua taraf perencanaan, yakni:
Perencanaan pendahuluan (awal).
Perencanaan akhir (detail).
Pada taraf perencanaan pendahuluan, diputuskan mengenai daerah irigasi,
ketinggian dan tipe bangunan. Hasil-hasil keputusan ini saling mempengaruhi satu
sama lain secara langsung. Untuk memperoleh hasil perencanaan yang terbaik,
diperlukan pengetahuan dan penguasaan yang mendalam mengenai semua kriteria
perencanaan.
Unsur-unsur kriteria perencanaan jaringan irigasi akan dibicarakan dalam bagian:
Bangunan Utama, Saluran, Bangunan dan Petak Tersier. Kriteria tersebut khusus
sifatnya, artinya kriteria perencanaan untuk saluran hanya berlaku untuk saluran dan
kaitan antara kriteria yang satu dengan yang lain kurang dipentingkan.
2.2 Siklus Hidrologi
Hidrologi adalah suatu ilmu tentang kehadiran dan gerakan air di alam. Pada
prinsipnya, jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti suatu aliran yang dinamakan
siklus hidrologi. Siklus Hidrologi adalah suatu proses yang berkaitan, dimana air
diangkut dari lautan ke atmosfer (udara), ke darat dan kembali lagi ke laut, seperti
pada gambar dibawah.

Sumber : (http://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaanpengelolaan- as/skdirjen- rlps-1)

Gambar 2.1. Ilustrasi Siklus Hidrologi

Hujan yang jatuh ke bumi baik langsung menjadi aliran maupun tidak langsung
yaitu melalui vegetasi atau media lainnnya akan membentuk siklus aliran air mulai

dari tempat yang tinggi (gunung, pegunungan) menuju ke tempat yang rendah baik di
permukaan tanah maupun di dalam tanah yang berakhir di laut.
Dengan adanya penyinaran matahari, maka semua air yang ada dipermukaan
bumi akan berubah wujud berupa gas/uap akibat panas matahari dan disebut dengan
penguapan atau evaporasi dan transpirasi. Uap ini bergerak diatmosfer (udara)
kemudian akibat perbedaan temperatur di atmosfer dari panas menjadi dingin maka
air akan terbentuk akibat kondensasi dari uap menjadi cairan (from air to liquid state).
Bila temperatur berada di bawah titik beku (freezing point) kristal-kristal es terbentuk.
Tetesan air kecil (tiny droplet) umbuh oleh kondensasi dan berbenturan dengan
tetesan air lainnya dan terbawa oleh gerakan udara turbulen sampai pada kondisi yang
cukup besar menjadi butir-butir air. Apabila jumlah butir sir sudah cukup banyak dan
akibat berat sendiri (pengaruh gravitasi) butir-butir air itu akan turun ke bumi dan
proses turunnya butiran air ini disebut dengan hujan atau presipitasi. Bila temperatur
udara turun sampai dibawah 0 Celcius, maka butiran air akan berubah menjadi salju
[Chow dkk.,1988].
2.3. Evapotranspirasi
Evaporasi adalah proses dimana air dalam bentuk cair dikonversi menjadi uap air
(vaporization) dan dipindahkan dari permukaan penguapan (vapour removal). Air
dapat terevaporasi dari berbagai permukaana seperti danau, sungai, tanah dan
vegetasi hijau.
Energi dibutuhkan untuk merubah bentuk molekul air dari fase cair ke fase uap.
Radiasi matahari langsung dan faktor lingkungan yang mempengaruhi suhu udara
merupakan sumber energi. Gaya penggerak untuk memindahkan uap air dari
permukaan penguapan adalah perbedaan tekanan antara uap air di permukaan
penguapan dan tekanan udara atmosfir. Selama berlangsungya proses, udara sekitar
menjadi jenuh secara perlahan dan selanjutnya proses akan melambat will dan
kemungkinan akan berhenti jika udara basah tidan dipindahkan ke atmosfir.
Pergantian udara jenuh dengan udara kering sangat tergantung pada kecepatan angin.
Oleh karena itu, radiasi surya, temperature udara, kelembaban udara dan kecepatan
angin merupakan parameter iklim yang dipertimbangkan dalam penentuan proses
evaporasi.
Jika permukaan penguapan adalah permukaan tanah, maka tingkat penutupan
tanaman pelindung (crop canopy) dan jumlah air tersedia pada permukaan penguapan
juga menjadi faktor yang mempengaruhi proses evaporasi. Kejadian hujan, irigasi dan
gerakan vertikal air dalam tanah dari muka air tanah dangkal merupakan sumber
pembasahan permukaan tanah. Jika tanah dapat menyuplai air dengan cepat yang
memenuhi kebutuhan evaporasi, maka evaporasi dari tanah ditentukan hanya oleh
kondisi meteorologi. Akan tetapi, bila interval antara hujan dan irigasi cukup lama
dan kemampuan tanah mnegalirkan lengas ke dekat permukaan tanah kecil, maka

kandungan air di lapisan topsoil meturun dan menyebabkan permukaan tanah menjadi
kering. Pada lingkungan dimana air terbatas, maka jumlah air tersedia menjadi faktor
pembatas. Berkurangnya supplai air ke permukaan tanah menyebabkan evaporasi
menurun drastis. Proses ini mungkin akan terjadi dalam beberapa hari.
Semua jenis tanaman memerlukan air untuk kelangsungan hidupnya, dan
masing-masing jenis tanaman berbeda-beda kebutuhannya. Hanya sebagian kecil air
yang tinggal di dalam tumbuh-tumbuhan, sebagian besar dari padanya setelah diserap
lewat akar-akar dan dahan-dahan akan ditranspirasikan lewat bagian tumbuhtumbuhan yangberdaun (Soemarto, 1986: 44). Transpirasi adalah suatu proses air
yang ada di dalam tumbuhan dilimpahkan kedalam atmosfir sebagai uap air
(Subarkah, 1980 : 39). Dalam kondisi lapangan tidaklah mungkin untuk membedakan
antara evaporasidan transpirasi jika tanahnya tertutup oleh tumbuh-tumbuhan. Kedua
proses tersebut (evaporasi dan transpirasi) saling berkaitan sehingga dinamakan
evapotranspirasi.Proses transpirasi berjalan terus hampir sepanjang hari dibawah
pengaruh sinar matahari (Soemarto, 1986 : 44).
Pada daerah aliran sungai (catchment area) dengan tanaman tanaman yang
tumbuh didalamnya, juga akan mengalami penguapan, baik penguapan dari tanaman
(transpirasi) ataupun penguapan dari permukaan tanah. Kedua hal diatas dicakup
dalam pengertian Evapotranspirasi.
Evapotranspirasi didefinisikan sebagai penguapan dari suatu daerah aliran sungai
sebagai akibat pertumbuhan tanaman didalamnya (schulz, 1976).
Data-data iklim yang diperlukan untuk perhitungan ini adalah yang berkenaan dengan
:
a. Temperatur (harian maksimum, minimum dan rata-rata).
b. Kelembapan relative.
c. Sinar matahari (lamanya dalam sehari).
d. Angin (kecepatan dan arah).
Data-data di atas adalah standar bagi stasiun-stasiun argometereologi. Jangka
waktu pencatatan untuk keperluan analisis yang cukup tepat dan handal adalah sekitar
sepuluh tahun (Ditjen Pengairan Departemen Pekerjaan Umum, 1986).

Gambar 2.2. Daur Hidrologi

Evapotranspirasi ditentukan oleh banyak faktor yakni :


a. Radiasi surya (Rd) : Komponen sumber energi dalam memanaskan badan-badan
air, tanah dan tanaman. Radiasi potensial sangat ditentukan oleh posisi geografis
lokasi,
b. Kecepatan angin (v) : Angin merupakan faktor yang menyebabkan terdistribusinya
air yang

telah diuapkan ke atmosfir, sehingga proses penguapan dapat

berlangsung terus sebelum terjadinya keejenuhan kandungan uap di udara,


c. Kelembaban relatif (RH) : Parameter iklim ini memegang peranan karena udara
memiliki kemampuan untuk menyerap air sesuai kondisinya termasuk temperatur
udara dan tekanan udara atmosfir
d. Temperatur: Suhu merupakan komponen tak terpisah dari RH dan Radiasi. Suhu ini
dapat berupa suhu badan air, tanah, dan tanaman ataupun juga suhu atmosfir.
Proses terjadinya evaporasi dan transpirasi pada dasarnya akibat adanya energi
yang disuplai oleh matahari baik yang diterima oleh air, tanah dan tanaman.data-data
yang diperoleh dari stasiun klimatologi adalah letak lintang, temperatur rata-rata
bulanan (t), kelembaban relatif rata-rata bulanan (Rh), kecepatan angin rata-rata
bulanan (u), kecerahan matahari rata-rata bulanan (n/N).

Yang dapat dijelaskan sebagai berikut (Suhardjono, 1994 : 30) :


1. Suhu udara rata-rata bulanan (T)
Suhu udara merupakan data yang harus tersedia bila akan menggunakan rumus
Blaney-Criddle, radiasi maupun Pennman. Rata-rata suhu bulanan di Indonesia
berkisar antara 24-29oC dan tidak terlalu berbeda dari bulan yang lain.
2. Kelembaban relatif rata-rata bulanan (RH)
Kelembaban relatif atau relative humidity (dalam prosentase), merupakan
perbandingan tekanan uap air dengan tekanan uap air jenuh. Data pengukuran
diIndonesia menunjukkan besar kelembaban relatif berkisar antara 65-84 %. Hal ini
berarti Indonesia adalah daerah dengan kelembaban udara yang tinggi. Pada musim
penghujan (Oktober-Maret) kelembaban relatif lebih tinggi daripada musim kemarau
(April-September).
3. Kecepatan angin rata-rata bulanan (u)
Data kecepatan angin diukur berdasarkan tiupan angin pada ketinggian 200 meter
diatas permukaan tanah. Bila kecepatan angin diukur tidak pada ketinggian tersebut
diperlukan penyesuaian. Data kecepatan angin dari delapan daerah di Indonesia

menunjukkan kecepatan angin rata-rata bulanan berkisar antara 0,5 m/dt sampai
4.5m/dt atau sekitar 2 sampai 15 km/jam (1 km/hari = 0,0116 m/dt sedangkan 1
km/jam= 0,2778 m/dt).
4. Kecerahan Matahari Rata-Rata Bulanan (n/N)
Data pengukuran kecerahan matahari (%) dibutuhkan pada penggunaan rumus
Radiasi dan Pennman. Kecerahan matahari adalah perbandingan antara n dengan
N,atau disebut rasio keawanan. Nilai N merupakan jumlah jam potensial matahari
yang bersinar dalam sehari, sedangkan nilai n adalah jumlah jam nyata matahari
bersinar dalam sehari. Untuk daerah khatulistiwa besar N adalah sekitar 12 jam setiap
harinya, dan tidak jauh berbeda antara bulan yang satu dengan yang lainnya. Besar n
berhubungan erat dengan keadaaan awan, makin banyak awan makin kecilnilai n.
Harga rata-rata bulanan kecerahan matahari (n/N) di beberapa daerah Indonesia,
berkisar antara 30-88%. Di musim kemarau harga (n/N) lebih tinggi dibanding musim
hujan. Akibat banyaknya awan di musim hujan yang memperkecil harga n dan
prosentase n/N. Dalam menghitung besarnya evapotranspirasi kita bisa menggunakan
beberapa rumus empiris seperti Penman, Tornhwite, Blaney-Criddle, Turc-LangbeinWundt (Soemarto, 1986 : 54).

Besaran evapotranspirasi dapat dihitung dengan menggunakan


metode penman. perhitunganya dirumuskan sebagai berikut :
a. Menghitung En
1. Menghitung Radiasi matahari netto yang diserap bumi (Sn)
Radiasi matahari biasanya diukur di stasiun meteorologi dengan
menggunakan alat radiometer. Selain menggunakan alat tersebut,
radiasi matahari juga dapat diukur dengan alat perekam penyinaran
matahari.

Gambar 2.3. Campbell Stokes


Untuk wilayah indonesia banyaknya radiasi matahari yang jatuh
dapat ditaksir menggunakan persamaan berikut :

Dengan :
Sn = Radiasi matahari netto yang diserap bumi ( c a.c m2 /hari)
S0 = radiasi matahari global harian yang jatuh pada permukaan horizontal tiap
satuan luas dibagian luar atmosfer ( c a.c m2 /hari)

= koefisien refleksi (albedo)

= durasi penyinaran matahari harian (%)

= durasi penyinaran matahari maksimum yang mungkin terjadi


(%)

Tabel 2.1 Nilai albedo

Sumber : ( Ditjen Pengairan Wilayah Profinsi DIY )

Tabel 2.2. Nilai S0

Sumber : ( Ditjen Pengairan Wilayah Profinsi DIY )

Tabel 2.3. Nilai N

Sumber : ( Ditjen Pengairan Wilayah Profinsi DIY )

2.4 Pola Tata Tanam


2.4.1 Tata Tanam
Pada tata tanam adalah susunan rencana penanaman berbagai jenis tanaman
selama satu tahun yang umumnya di Indonesia dikelompokkan dalam 3 jenis tanaman
yaitu padi, tebu, dan palawija. Umumnya pola tanam mengikuti debit andalan yang
tersedia untuk mendapatkan luas tanam yang seluas-luasnya.
Perencanaan dan persiapan pola tanam serta jadwal tanam suatu jaringan irigasi
bervariasi sesuai dengan kebiasaan petani terhadap jenis tanaman yang akan
dibudidayakan dan jadwal tanamnya. Dalam penerapan pola tata tanam dan jadwal
tanam kadang-kadang petani mempertimbangkan banyak faktor antara lain seperti
keterbatasan modal, buruh, cuaca, hama, ketersediaan benih dan pangsa pasar
(Anonim, 1997 : IV-23).
Dalam pengembangan pola dan jadwal tanam pada suatu daerah irigasi dengan
skala besar yang mencakup beberapa kabupaten, perlu dipertimbangkan antara lain
bulan terjadinya banjir, hama, ketersediaan benih, ketersediaan tenaga kerja, dan
jadwal pengeringan saluran untuk pemeliharaan (Anonim, 1997 : IV-12).
Perencanaan terpadu yang mencakup jadwal tanam umum dan jadwal pemberian
air irigasi untuk beberapa kabupaten disiapkan oleh instansi Pengairan dan instansi
Pertanian sebelum masa tanam dimulai ( Anonim, 1997 : IV-12).
Tata tanam merupakan upaya pengaturan air, yang disesuaikan dengan kebutuhan
tanaman menurut jenis dan luas tanaman pada suatu lahan sawah atau daerah irigasi
(Anonim/Bagian Jaringan Irigasi desa, 1997 : III-1).

Dalam menyusun rencana tata tanam suatu Daerah Irigasi perlu diperhatikan
kondisi setempat, untuk hal-hal sebagai berikut (Anonim, 2000 : II-2).
1. Keinginan dan kebiasaan petani.
2. Kebijaksanaan pemerintah.
3. Kesesuaian lahan terhadap jenis tanaman.
4. Ketersediaan air.
5. Iklim dan Hama.
6. Ketersediaan tenaga Kerja.
7. Hasil dan biaya usaha tani.

2.4.2 Jadwal Tata Tanam


Sekurang-kurangnya 3 bulan sebelum masa tanam dimulai, instansi pengairan
meminta/mengumpulkan laporan daridaerah irigasi dan instansi terkait dari berbagai
kabupaten sebagai dasar perencanaan kebutuhan air tiap masa tanam.
Yang terdiri dari laporan (Anonim, 1997 : IN-12) :
1. Jenis tanaman yang akan ditanami.
2. Luas areal yang diusulkan.
Berdasarkan laporan tersebut di atas, data ketersediaan debit, perkiraan curah
hujan efektif, dan sumber air lainnya, ditambah pemanfaatan air buangan, maka
instansi pengairan akan menyiapkan rencana alokasi air sementara untuk setiap
Daerah Irigasi (Anonim, 1997 : IV-14). Rencana alokasi air sementara disampaikan
kepada instansi Pengairan untuk diperiksa, disesuaikan dan ditanggapi sebelum
Panitia Irigasi mengadakan rapat untuk penetapan rencana pemberian air yang final.
2.5 Kebutuhan Air Tanaman
Kebutuhan air tanaman adalah sejumlah air yang dibutuhkan untuk mengganti air
yang hilang akibat penguapan. Air dapat menguap melalui permukan air (evaporasi)
yang dipengaruhi oleh faktor iklim, yaitu (Suhardjono, 1994 : 11) :
Suhu udara.
Kecepatan angin.
Kelembaban udara.
Kecerahan matahari.
Air juga dapat menguap melalui daun-daun tanaman (transpirasi) yang
dipengaruhi oleh faktor iklim dan faktor tanaman, yaitu :
Jenis tanaman.
Varietas tanaman.

Umur tanaman.
Kegiatan mengatur jenis, varietas dan umur pertumbuhan tanaman disebut
sebagai pengaturan pola tata tanam. Dengan demikian usaha mengatur pola tata
tanam dimaksudkan untuk mengatur besar koefisien tanaman agar mendapatkan besar
ET, sehingga sesuai dengan ketersediaan air irigasi.

Gambar 2.4 Kebutuhan air tanaman (ET)


Besar penguapan air melalui permukaan tanah (evaporasi) berhubungan dengan
faktor iklim (suhu udara, kecepatan angin, kelembaban udara dan kecerahan sinar
matahari). Besar air yang menguap melalui tanaman (transpirasi) disamping
dipengaruhi oleh keadaan iklim juga dipengaruhi oleh faktor tanaman (jenis, macam
dan umur).
Dengan demikian, besar kebutuhan air tanaman adalah sebesar jumlah air yang
hilang akibat proses evapotranspirasi.
Kebutuhan air tanaman dapat dirumuskan sebagai berikut (Suhardjono, 1994 :
12) :
ET = k . Eto
Dengan :
ET

= Kebutuhan air untuk tanaman (mm/hr)

= Koefisien tanaman, yang besarnya tergantung pada jenis, macam, dan umur
tanaman

ETo = Evapotranspirasi potensial (mm/hr)


2.5.1 Kebutuhan Air di sawah
Tanaman membutuhkan air agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Air
tersebut dapat berasal dari air hujan maupun aair irigasi. Air irigasi adalah sejumlah
air yang pada umumnya diambil dari sungai atau waduk dan dialirkan melalui sistem
jaringan irigasi, guna menjaga keseimbangan jumlah air di lahan pertanian
(Suhardjono, 1994 : 6) : Besarnya kebutuhan air di sawah dipengaruhi oleh faktorfaktor sebagai berikut (Anonim/KP-01, 1986 : 157) :

Penyiapan lahan.
Penggunaan konsumtif.
Perkolasi.
Pergantian lapisan air.
Curah hujan efektif.
Pendugaan kebutuhan air di sawah dilakukan berdasarkan jenis tanaman,
persamaan netto kebutuhan air (Netto Farm Requirement) dengan Metode standar
perencanaan jaringan irigasi, yaitu dengan persamaan sebagai berikut (Anonim dalam
Sriwidjajanto, 2002 : 10) :
NFR Padi

= LP + ET + WLR + P Re Padi (2-24)

NFR plw

= ET Re plw (2-25)

NFR tebu

= ET Re tebu (2-26)

dengan :
NFR padi

= Netto kebutuhan air padi di sawah (mm/hr).

NFR plw

= Netto kebutuhan air palawija (mm/hr).

NFR tebu

= Netto kebutuhan air tebu (mm/hr).

LP

= Kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hr).

ET

= Kebutuhan air untuk tanaman.

WLR

= (Water Lever Requirement ) kebutuhan air untuk


penggantian lapisan air (mm/hr).

= Perkolasi (mm/hr)

Re padi

= Curah hujan efektif untuk padi sawah (mm/hr).

Re plw

= Curah hujan efektif untuk palawija (mm/hr).

Re tebu

= Curah hujan efektif untuk tebu (mm/hr).

2.5.2 Kebutuhan air untuk penyiapan lahan


Penyiapan lahan diperlukan untuk menciptakan kondisi lembab yang memadai
untuk persemaian. Kebutuhan air untuk penyiapan lahan tanaman padi biasa diambil
200 mm yang meliputi penjenuhan dan penggenangan. Pada awal transplantasi akan
ditambahkan air 50 mm. Apabila lahan dibiarkan bero selama jangka waktu yang
lama (2,5 bulan atau lebih), maka diambil 250 mm sebagai kebutuhan air untuk
penyiapan lahan (Anonim/KP-01, 1986 ; 159). Pekerjaan penyiapan lahan untuk
daerah irigasi yang luas dapat diselesaikan sekitar 30 sampai 45 hari sebelum tanam
dimulai ( Anonim dama Sumiadi : 9).
Kebutuhan air untuk penyiapan lahan dipengaruhi oleh evaporasi, kejenuhan
tanah, perkolasi dan jangka waktu untuk penyiapan lahan. Untuk menghemat
pemakaian air irigasi pada saat penyiapan lahan, maka dilakukan hal-hal sebagai
berikut (Wirosoedarmo, 1985 : 87) :

1. Penyiapan lahan tidak dilakukan secara serempak.


2. Saat penyiapan lahan untuk tanaman padi musim hujan, biasanya menunggu
cukup turunnya hujan sehingga air hujan dapat digunakan seefektif mungkin dan
pada saat penyiapan lahan untuk padi gandum biasanya kondisi tanah masih
lembab.
Kebutuhan air untuk penyiapan lahan dapat dihitung dengan metode
yangdisumbangkan oleh Van de Goor dan Zijlstra (1968) dengan persamaan sebagai
berikut (Anonim/KP-01,1986 : 160) :

IR =
Dengan :
IR

= Kebutuhan air untuk pengolahan lahan, mm/hari

= Kebutuhan air untuk mengganti air yang hilang akibat evaporasi


dan perkolasi di sawah yang telah dijenuhkan (mm/hari)

= Eo + P (2-28)

E0

= Evaporasi air terbuka yang diambil 1.1 Eto selama pengolahan


lahan, mm/hari.

= (M.T) / S (2-29)

= Jangka waktu penyiapan lahan (hari)

= Air yang dibutuhkan untuk penjenuhan ditambah dengan 50 mm


berdasarkan dari tekstur tanah.

2.6 Perkolasi
Perkolasi adalah gerakan air sampai ke bawah dari zona tak jenuh (antara
permukaan tanah sampai ke bawah permukaan air tanah) ke dalam daerah jenuh
(daerah di bawah permukaan air tanah) (Soemarto, 1986: 80). Daya perkolasi (Pp)
adalah laju perkolasi maksimum yang dimungkinkan dan besarnya dipengaruhi
kondisi tanah dan muka air tanah perkolasi terjadi saat daerah tak jenuh mencapai
daya medan (field capacity).
Jenis Tanah
Tanah Porous (Sandy Loam)

Perkolasi ( mm/hari )
36

Lempung Sedang (Loam)

29

Liat berat (Clay)

12

Tabel : 2.1. Harga perkolasi untuk berbagai tekstur tanah


Sumber : Soemarto, 1986 : 80

2.7 Pengolahan Tanah dan Persamaian ( Sesuai KP PU )


2.7.1 Pengolahan Air

Pengolahan tanah untuk tanaman padi di sawah membutuhkan lebih banyak


daripada untuk tanaman palawija. Banyaknya air yang diperlukan untuk tanaman
padi,berkisar antara 250-300 mm, dengan masa pengolahan yang lamanya berkisar
antara 1-1,5 bulan.
Besar air yang diperlukan untuk pengolahan tanah ditentukan dari rumus :
WP = A x S + A x d (n + 2)
dimana :
Wp

= Banyaknya air yang diperlukan pada saat pengolahan tanah (m3).

= Luas daerah yang akan diolah (ha).

= Tinggi air untuk pengolahan tanah (pudding water depth).

= unit water requirement (mm), adalah jumlah evapotranspirasi dan


perkolasi.

= Lama waktu yang dibutuhkan untuk pengolahan tanah.


Besar air yang diperlukan untuk pengolahan tanah pada suatu hari dapat dihitung

dengan persamaan :
Wpx = A x S + (x 1) d x 10 m3
Pekerjaan pengolahan tanah ini dilakukan dengan dua tahap, yaitu membajak dan
menggaru. Maksud membajak adalah :

Memperbaiki sirkulasi udara dalam tanah.

Membuat tanah menjadi gembur sehingga tanaman berkembang dengan baik.


Maksud menggaru adalah :

Menyempurnakan tanah dari bajakan sehingga tanaman berkembang dengan


baik.

Meratakan tanah yang akan diolah.

Membuat tanah menjadi lebih kedap air, sehingga peresapan dapat lebih

diperkecil.

2.7.2 Persamaian
Air untuk persemaian diberikan bersamaan dengan pemberian air untuk
pengolahan tanah. Persemaian harus sudah disiapkan antara 20-30 hari sebelum masa
tanam padi di sawah. Luas lahan untuk persemaian berkisar antara 3-5% dari luas
lahan seluruhnya yang akan ditanami. Tanah untuk persemaian dibajak, digaru, dan
kemudian dicangkul sampai menjadi lumpur. Pada umur 25 hari atau 3 sampai 4
minggu setelah pengolahan lahan bibit siap untuk dipindah ke petak-petak sawah
yang telah disediakan.
2.8 Curah Hujan Efektif

Tanah yang berada dalam kondisi alamiah mengandung air. Yang terpenting bagi
tanaman adalah bahwa air dalam tanah harus senantiasa berada dalam keadaan yang
mudah untuk diserap (Sosrodarsono, 1976 : 215). Untuk menjaga agar ketersediaan
air di dalam tanah selalu berada dalam keadaan yang sesuai bagi pertumbuhan
tanaman maka diperlukan adanya penberian air irigasi atau yang berasal dari alam
yaitu air hujan. Hujan yang turun jumlahnya tidak selalu tepat untuk membuat
kondisi tanah sedemikian rupa hingga memudahkan tanaman untuk menyerap air.
Di dalam memperhitungkan kebutuhan air irigasi, curah hujan diperhitungkan
sebagai penambah untuk memenuhi kebutuhan air tanaman (Sosrodarsono, 1976 :
215). Jika curah hujan yang jatuh intensitasnya rendah, maka air akan habis menguap
dan tidak bias dipergunakan untuk pertumbuhan tanaman. Air hujan yang jatuh dan
dimanfaatkan oleh tanaman untuk memenuhi kebutuhan air konsumtifnya disebut
curah hujan efektif. Jadi curah hujan efektif ini merupakan sebagian dari curah hujan
yang jatuh pada suatu daerah pada kurun waktu tertentu. Berdasarkan pengertian
diatas maka perlu dibedakan antara curah hujan efektif dan curah hujan efektif nyata
sebagai berikut :

Curah hujan nyata adalah sejumlah curah hujan yang jatuh pada suatu daerah pada
kurun waktu tertentu.

Curah hujan efektif adalah sejumlah curah hujan yang jatuh pada suatu daerah dan
dapat digunakan oleh tanaman untuk pertumbuhannya.
Untuk mendapatkan curah hujan efektif digunakan metode Basic Year, dimana

menentukan suatu tahun tertentu sebagai tahun dasar perencanaan. Untuk irigasi
dipakai R80, artinya curah hujan yang lebih kecil dari R80 mempunyai kemungkinan
20% dan yang lebih besar atau sama dengan R80 sebesar 80%. Dihitung dengan
persamaan sebagai berikut :
R80 = n/5 + 1
Dengan :
R80 = Curah hujan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 80% (mm).
n

= Periode lamanya pengamatan curah hujan (tahun).

Curah hujan efektif merupakan bagian dari keseluruhan curah hujan yang secara
efektif tersedia untuk kebutuhan air tanaman dalam pertumbuhannya (Anonim, 1986
(a) : 75).
Nilai curah hujan efektif untuk masing-masing tanaman adalah sebagai berikut
(Anonim, 1986 (f) : 10) :
1. Untuk tanaman padi, curah hujan efektif ditentukan 70% dari curah hujan 10
harian yang terlampaui 80% dari waktu periode tersebut.
2. Untuk tanaman palawija, curah hujan efektif adalah 50% dari curah hujan
bulanan.

2.9 Pergantian lapisan air (LWR)


Pergantian lapisan erat air hubungannya dengan kesuburan tanah. Beberapa saat
setelah penanaman, air yang digenangkan di permukaan sawah akan kotor dan
mengandung zat tidak lagi diperlukan tanaman, bahkan akan merusak. Air genangan
ini perlu dibuang agar tidak merusak tanaman di lahan. Saat pembuangan lapisan
genangan, sampah-sampah yang ada di permukaan air akan tertinggal, demikian pula
lumpur yang terbawa dari saluran pengairan. Air genangan yang dibuang perlu
diganti dengan air baru yang bersih. Adapun ketentuan-ketentuan dalam WLR adalah
sebagai berikut (Anonim, 1986 (f): 10) :
1. WLR diperlukan saat terjadi pemupukan maupun penyiangan, yaitu 1-2 bulan dari
transplating.
2. WLR = 50 mm (diperlukan penggantian lapisan air, diasumsikan = 50 mm).
3. Jangka waktu WLR = 1,5 bulan (selama 1,5 bulan air digunakan untuk WLR
sebesar 50 mm).
2.10 Efisiensi Irigasi
Sebelum sampai di petak sawah, air harus dialirkan melalui saluran-saluran
induk, sekunder, dan tersier. Kehilangan air irigasi dinamakan efisiensi irigasi yang
besarnya adalah perbandingan antara jumlah air yang nyata bermanfaat bagi
pertumbuhan tanaman di tambah perkolasi lahan dengan jumlah air yang dikeluarkan
dari pintu pengambilan. Efisiensi dinyatakan dalam prosentase (Anonim, 1986 (b):6).
Tabel 2.2. Harga-harga Efisiensi Untuk Tanaman Ladang (upland crops)

Jaringan Irigasi utama

0,75

Peningkatan yang
Dapat dicapai
0,80

Petak Tersier

0,65

0,75

Keseluruhan

0,50

0,60

Nama

Awal

Efisiensi berkisar antara 35% pada musim hujan sampai 60% pada musim
kemarau, penyebab rendahnya effisiensi pada musim hujan karena ketidakmampuan
memberikan air secara pasti sesuai yang dibutuhkan, akibat pertimbangan curah hujan
effektif.
Dalam studi ini besarnya efisiensi irigasi pada saluran adalah sebagai berikut
(Anonim, 1986 (f) : 10) :
Efisiensi saluran primer sebesar 95%
Efisiensi saluran sekunder sebesar 90%
Efisiensi jaringan tersier sebesar 80%
Jadi besarnya efiesiensi secara keseluruhan adalah sebesar 65% atau 0,65.
2.11 Kebutuhan air irigasi

Besarnya kebutuhan air di air sawah tergantung dari jenis tanaman, diperoleh
dengan persamaan sebagai berikut (Anonim, 1986 (f) : 5) :
a. Untuk tanaman padi
NFR = ET + IR + WLR + P Reff
b. Untuk tanaman palawija
NFR = ET + P Reff
dengan :
NFR

= Kebutuhan air di sawah {1 mm/hari x (10.000/24) x 60 x 60 = 11/dt/ha}.

ET

= Kebutuhan air tanaman (mm/hari).

IR

= Kebutuhan air untuk pengolahan tanah (mm/hari).

WLR = Kebutuhan air untuk pembibitan (mm/hari).


P

= Perkolasi (mm/hari).

Reff

= Curah hujan efektif (mm).

Sedang kebutuhan air irigasi total yang diukur dalam pintu pengambilan atau
intake dinyatakan dengan rumus (Anonim, 1986 (a) : 159) :

dengan :

DR =
( NFR . A )
ER

DR = Kebutuhan air irigasi pada pintu pengambilan atau intake (m3/dt).


ER

= Efisiensi irigasi.

= Luas sawah yang diairi (m2).

NFR = Kebutuhan air di sawah (mm).


Air irigasi adalah sejumlah air yang umumnya diambil dari sungai atau waduk
dan dialirkan melalui sistem jaringan irigasi guna menjaga keseimbangan jumlah air
dilahan pertanian. Jumlah kebutuhan air guna memenuhi kebutuhan air irigasi dapat
dicari dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menghitung evapotranspirasi potensial.
2. Menghitung penggunaan konsumtif tanaman.
3. Memperkirakan laju perkolasi lahan yang dipakai.
4. Memperkirakan kebutuhan air untuk penyiapan lahan (pengolahan lahan dan
persemaian).
5. Menghitung kebutuhan air di sawah.
6. Menentukan efisiensi irigasi.
7. Menghitung kebutuhan air di intake.
2.12 Sistem Pemberian Air

Secara garis besar, Schwab et al. (1981) membagi pengairan ke dalam empat
cara, yaitu:
1. pemberian air di permukaan tanah (surface irrigation), Pemberian air
dipermukaan

tanah

meliputi

penggenangan

(flooding),

biasanya

di

persawahan, dan pemberian air melalui saluran-saluran (furrow irrigation) dan


dalam barisan tanaman(corrugation irrigation).
2. pemberian air di bawah permukaan tanah (subsurfaceirrigation), Pemberian air di
bawah permukaan tanah dilakukan dengan menggunakanpipa (tiles) yang
dibenamkan ke dalam tanah. Pemberian air di permukaan dan dibawah permukaan
tanah disebut juga pengairan gravitasi, karena air dialirkan berdasarkan gaya berat
air
3. penyiraman (sprinkle irrigation), dan Pemberian air dengan cara penyiraman
mancakup oscillating sprinkler dan rotary sprinkler, semuanya disebut juga
overhead irrigation karena air diberikan atau disiramkan dari atas seperti air
hujan. Pemberian air dengan penyiraman sangat efisien. Pada tanah bertekstur
kasar, efisiensi pemakaian air dengan penyiraman dua kali lebih tinggi dari
pemberian air permukaan.
4. irigasi tetes (drip or trickle irrigation). Pada irigasi tetes, air diberikan dalam
kecepatan yang rendah di sekitar tanaman menggunakan emitter.Pada pemberian
air dengan penyiraman dan irigasi tetes, ke dalam air pengairan dapat
ditambahkan pestisida atau pupuk.
2.13 Perencanaan Sistem jaringan
2.13.1 Bangunan Irigasi
Keberadaan bangunan ingasi diperlukan untuk menunjang pengambilan dan
pengaturan air irigasi, Beberapa jenis bangunan irigasi yang sering dijurnpai dalam
praktek irigasi antara lain :
1. Bangunan Utama
Bangunan utama dimaksudkan sebagai penyadap dari suatu sumber air untuk
dialirkan ke seluruh daerah irigasi yang dilayani. Berdasarkan sumber airnya,
bangunan utarna dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori :
a) Bendung
Bendung adalah adalah bangunan air dengan kelengkapannya yang dibangun
melintang sungai atau sudetan yang sengaja dibuat dengan maksud untuk
meninggikan elevasi muka air sungai. Apabila muka air di bending mencapai elevasi
tertentu yang dibutuhkan, maka air sungai dapat disadap dan dialirkan secara
gravitasi ke tempat-ternpat yang mernerlukannya.
Terdapat beberapa jenis bendung, diantaranya adalah :
1. bendung tetap (weir),

2. bendung gerak (barrage),


3. bendung karet (inflamble weir).
Pada bangunan bendung biasanya dilengkapi dengan bangunan pengelak,
peredam energi, bangunan pengambilan, bangunan pembilas , kantong lumpur dan
tanggul banjir.
b) Pengambilan bebas
Pengambilan bebas adalah bangunan yang dibuat ditepi sungai menyadap air
sungai untuk dialirkan ke daerah irigasi yang dilayani. Perbedaan dengan bendung
adalah pada bangunan pengambilan bebas tidak dilakukan pengaturan tinggi muka air
di sungai. Untuk dapat mengalirkan air secara, gravitasi muka air di sungai harus
lebih tinggi dari daerah irigasi yang dilayani.
c) Pengambilan dari waduk
Salah satu fungsi waduk adalah menampung air pada saat terjadi kelebihan air
dan mengalirkannya pada saat diperlukan. Dilihat dari kegunaannya, waduk dapat
bersifat eka guna dan multi guna. Pada urnumnya waduk dibangun memiliki banyak
kegunaan seperti untuk irigasi, pernbangkit listrik, peredam banjir, pariwisata, dan
perikanan. Apabila salah satu kegunaan waduk untuk irigasi, maka pada bangunan
outlet dilengkapi dengan bangunan sadap untuk irigasi. Alokasi pernberian air sebagai
fungsi luas daerah irigasi yang dilayani serta karakteristik waduk.
d) Stasiun pompa
Bangunan pengambilan air dengan pompa menjadi pilihan apabila upaya-upaya
penyadapan air secara gravitasi tidak memungkinkan untuk dilakukan, baik dari segi
teknik maupun ekonomis. Salah satu karakteristik pengambilan irigasi dengan pompa
adalah investasi awal yang tidak begitu besar namun biaya operasi dan eksploitasi
yang sangat besar.
2.

Bangunan Pembawa
Bangunan pembawa mempunyai fungsi membawa/mengalirkan air dari

sumberya menuju petak irigasi. Bangunan pembawa meliputi saluran primer, saluran
sekunder, saluran tersier dan saluran kwarter. Termasuk dalam bangunan pembawa
adalah talang, gorong-gorong, siphon, terjunan dan got miring. Saluran primer
biasanya dinamakan sesuai dengan daerah irigasi yang dilayaninya. Sedangkan
saluran sekunder sering dinamakan sesuai dengan nama desa yang terletak pada petak
sekunder tersebut. Berikut ini penjelasan berbagai saluran yang ada dalam suatu
sistem irigasi.
a) Saluran primer membawa air dari bangunan sadap menuju saluran sekunder dan ke
petak-petak tersier yang diairi. Batas ujung saluran primer adalah pada bangunan
bagi yang terakhir.

b) Saluran sekunder membawa air dari bangunan yang menyadap dari saluran primer
menuju petak-petak tersier yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut. batas
akhir dari saluran sekunder adalah bangunan sadap terakhir.
c) Saluran tersier membawa air dari bangunan yang menyadap dari saluran sekunder
menuju petak-petak kuarter yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut batas
akhir dari saluran sekunder adalah bangunan boks tersier terakhir.
d) Saluran kuarter mernbawa air dari bangunan yang menyadap dari boks tersier
menuju petak-petak sawah yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut. batas
akhir dari saluran sekunder adalah bangunan boks kuarter terakhir.
3. Bangunan bagi dan sadap
Bangunan bagi merupakan bangunan yang terletak pada saluran primer, sekunder
dan tersier yang berfungsi untuk membagi air yang dibawa oleh saluran yang
bersangkutan. Khusus untuk saluran tersier dan kuarter bangunan bagi ini masing
masing disebut boks tersier dan boks kuarter. Bangunan sadap tersier mengalirkan air
dari saluran primer atau sekunder menuju saluran tersier penerima. Dalam rangka
penghematan bangunan bagi dan sadap dapat digabung menjadi satu rangkaian
bangunan.
Bangunan bagi pada saluran-saluran besar pada umumnya mempunyai 3 (tiga)
bagian utama, yakni :
a. Alat pembendung, bermaksud untuk mengatur elevasi muka air sesuai dengan
tinggi pelayanan yang direncanakan.
b. Perlengkapan jalan air melintasi tanggul, jalan atau bangunan lain menuju saluran
cabang. Konstruksinya dapat berupa saluran terbuka ataupun gorong-gorong.
Bangunan ini dilengkapi dengan pintu pengatur agar debit yang masuk saluran
dapat diatur.
c. Bangunan ukur debit, yaitu suatu bangunan yang dimaksudkan untuk mengukur
besarnya debit yang mengalir.
4. Bangunan pengatur dan pengukur
Agar pemberian air irigasi sesuai dengan yang direncanakan, perlu dilakukan
pengaturan dan pengukuran aliran di bangunan sadap (awal saluran primer), cabang
saluran jaringan primer serta bangunan sadap primer dan sekunder. Bangunan
pengatur muka air dimaksudkan untuk dapat mengatur muka air sampai batas-batas
yang diperlukan untuk dapat memberikan debit yang konstan dan sesuai dengan yang
dibutuhkan. Sedangkan bangunan pengukur dimaksudkan untuk dapat member
informasi mengenai besar aliran yang dialirkan.

5. Bangunan drainase
Bangunan drainase dimaksudkan untuk membuang kelebihan air di petak sawah
maupun saluran. Kelebihan air di petak sawah dibuang melalui saluran pernbuang,
sedangkan kelebihan air disaluran dibuang melalui bengunan pelimpah.
Terdapat beberapa jenis saluran pembuang, yaitu saluran pembuang kuerter,
saluran pernbuang tersier, saluran pernbuang sekunder dan saluran pembuang primer.
Jaringan pembuang tersier dimaksudkan untuk :
a) Mengeringkan sawah
b) Membuang kelebihan air hujan
c) Membuang kelebihan air irigasi
2.13.2. Bangunan Pelengkap Dalam Saluran
Sebagaimana namanya, bangunan pelengkap berfungsi sebagai pelengkap
bangunan-bangunan irigasi yang telah disebutkan sebelumnya. Bangunan pelengkap
berfungsi sebagai untuk memperlancar para petugas dalam eksploitasi dan
pemeliharaan. Bangunan pelengkap dapat juga dimanfaatkan untuk pelayanan umum.
Jenis-jenis bangunan pelengkap antara lain jalan inspeksi, tanggul, jernbatan
penyebrangan, tangga mandi manusia, sarana mandi hewan, serta bangunan lainnya.
2.13.3 Layout Jaringan Irigasi Daerah Rencana
Lay out jaringan irigasi adalah suatu cara yang membedakan bagian-bagian yang
terdapat dalam irigasi bentuknya serupa Lay out map. Lay out map berisi skema
jaringan irigasi. Tujuan pembuatan skema jaringan irigasi adalah mengetahui jaringan
irigasi, bangunan irigasi, serta daerah-daerah yang diairi meliputi luas, nama dan
debit.
1. Bangunan utama (head work)
2. Sistyem saluran pembawa (irigasi)
3. Sistem saluran pembuang (drainase)
4. Primer unit, sekunder unit, tersier unit.
5. Lokasi bangunan irigasi
6. Sistem jalan
7. Non irigated area (lading)
8. Non irigatable area (tidak dapat dialiri)
Saluran pembawa adalah saluran yang membawah air irigasi dari bangunan
utama ke petak-petak sawah. Ada empat macam saluran pembawa, yaitu saluran
primer, sekunder, tersier, dan kuarter.
Prinsip pembuatan saluran primer adalah direncanakan bedasarkan titik elevasi
tertinggi dari daerah yang dapat dialiri. Jika daerah yang dialiri diapit oleh dua buah
sungai, maka saluran dibuat mengikuti garis prmisah air. Saluran sekunder
direncanakan melalui punggung kontur.

Selain saluran pembawa, pada daerah irigasi harus terdapat saluran pembuang.
Saluran pembuang dibuat untuk menampung buangan (kelebihan) air dari petak
sawah. Sistem pembuangan ini disebut sistem drainase. Tujuan sistem drainase
adalah mengeringkan sawah, membuang kelebihan air hujan, dan membuang
kelebihan air irigasi. Saluran pembuangan di buat di lembah kontur.
Tata warna peta adalah :

Biru untuk jaringan irigasi

Merah untuk jaringan pembuang

Cokelat untuk jaringan jalan

Kuning untuk daerah yang tidak dialiri

Hijau untuk perbatasan Kabupaten, Kecamatan, desa dan kampung

Merah untuk tata nama bangunan

Hitam untuk jalan kereta api

Skala Lay Out Map

General Lay Out Map dan Topographic map adalah 1 : 5000

Skema irigasi adalah 1 : 10000

Skema unti tersier adalah 1 : 5000 atau 1 : 2000

Standarisasi jaringan ukuran gravitasi :

Ukuran petak tersier 50 100 Ha

Ukuran petak kuartier adalah 8 15 Ha

Panjang saluran tersier adalah 1500 km

Panjang saluran kuartier adalah 500 km

Jarak saluran kuartier ke pembangan adalah 300 km


Dasar perencanaan lahan untuk jaringan irigasi adalah unit tersier. Petak tersier
adalah petak dasar disuatu jaringan irigasi yang mendapatkan air irigasi dari suatu
bangunan sadap tersier dan dilayani suatu suatu jaringan tersier. Faktor-faktor yang
harus dipertimbangkan dalam pembuatan Lay Out tersier adalah :
1) Luas petak tersier
2) Batas-batas petak
3) Bentuk yang optimal
4) Kondisi medan
5) Jaringan irigasi yang ada
6) Eksploitasi jaringan

Batas-batas untuk perencanaan lahan untuk daerah irigasi :

1. Batas alam

Topografi (puncak gunung)

Sungai

Lembah

2. Batas Administrasi
Untuk perencanaan detail jaringan pembawa dan pembuang diperlukan peta
topografi yang akurat dan bisa menunjukkan gambaran-gambaran muka tanah yang
ada. Peta topografi tersebut bisa dieroleh dari hasil pengukura topografi atau dari foto
udara. Peta teesebut mencakup informasi yang berhubungan dengan :

Garis kontur dengan interval

Batas petak yang akan dicat

Tata guna tanah, saluran pembuang dan jalan yang sudah ada serta
bangunannya.

Garis kontur pada peta menggambarkan medan daerah yang akan direncanakan.
Topografi suatu daerah akan menentukan Lay out serta konfigurasi yang paling
efektif untuk saluran pembawa atau saluran pembuang. Dari kebanyakan tipe medan
Lay out yang cocok digambarkan secara sistematis. Tiap peta tersier yang
direncanakan terpisah agar sesuai dengan batas alam dan topografi. Dalam banyak hal
biasanya dibuat beberapa konfigurasi Lay Out jaringan irigasi dan pembuang.
2.13.4. Skema Jaringan Irigasi

Gambar 2.5. Skema Jaringan Irigasi


2.13.5. Petak Tersier Percontohan
Perencanaan jaringan irigasi tersier harus sedemikian sehingga pengelolaan air
dapat dilaksanakan dengan baik. Untuk mendapatkan hasil perencanaan yang baik
perlu diperhatikan hal sebagai berikut :
1. Petak Tersier Ideal

Petak tersier ideal adalah petak yang masing-masing pemilik sawahnya memiliki
pengambilan sendiri dan dapat membuang kelebihan air langsung ke jaringan
pembuang. Para petani dapat mengangkut hasil pertanian dan peralatan mesin atau
ternaknya dari dan kesawah melalui jalan petani yang ada.
2. Ukuran Petak Tersier dan Kuarter
Ukuran optimum suatu petak tersier adalah 50-100 ha. Ukuran ini dapat
ditambah sehingga 150 ha, jika keadaan topogrfi memaksa. Di petak tersier yang
berukuran kecil, efisiensi irigasi akan lebih tinggi karena :

Diperlukan titik pembagi yang lebih

Saluran-saluran yang lebih pendek menyebabkan kehilangan air yang kecil

Lebih sedikit petani yang terlibat kerja sama lebih baik

Pengaturan air yang lebih baik sesuai dengan kondisi tanaman

Perencanaan lebih fleksibel sehubungan dengan batas-batas desa.

Kriteria umum untuk pengembangan petak tersier :


Ukuran petak tersier

: 5-100 hektar

Ukuran petak kuarter

: 8-15 hektar

Panjang saluran tersier

: 1500 meter

Panjang saluarn kuarter

: 500 meter

Jarak antara saluran kuarter dan pembuang

: 300 meter

3. Batas Petak
Batas berdasarkan pada kondisi topografi. Daerah itu hendaknya diatur sebaik
mungkin, sedemikian hingga satu petak tersier terletak dalam satu daerah
administrative desa agar eksploitasi dan pemeliharaan jaringan lebih baik.
Jika ada dua desa di petak tersier yang sangat luas maka dianjurkan untuk
membagi petak-petak tersebut menjadi dua petak subtersier yang berdampingan
sesuai dengan daerah desa masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai