PEMBAHASAN
4.1
Tiak Huriah atau Tiak Ndeu yang dikelola pemerintah dijadikan cagar budaya sebagai
rumah adat tradisional suku Rejang di Kabupaten Lebong.
Desa Gunung Alam ini, setelah di telusuri masih merupakan salah satu desa
paling tertinggal di Kabupaten Lebong, sehingga masih terdapat beberapa rumah yang
asli adat rejang. Dan ditahun 1986 Kantor sejarah dan Kepurbakalaan melakukan
peninjauan tentang peninggalan Rumah Adat Suku Rejang ini, dan pada rumah milik
Tiak Huriah (Bapaknya Huriah) atau Tiak Ndeu yang sangat masih asli berbentuk
rumah Rejang dilakukan pembelian lahan untuk dikelola pemerintah, yang sekarang
rumah tersebut dijadikan cagar budaya sebagai rumah adat tradisional suku Rejang.
Dan ditahun 1986 itulah, terjadi pemugaran rumah adat ini, oleh kantor sejarah
dan kepurbakalan yang berpusat di Jambi dan tim pelaksana, dilaksanakan oleh orang
Lebong sendiri yang dipercayai mengerti dan memahami budaya daerah, sehingga
tidak ada mengurangi makna dan bentuk seperti dulu dari rumah adat tersebut.
Adapun tim pelaksananya yaitu Bapak Anthoni Mukhtar Selaku pegawai Dinas
Kancam bagian Kebudayaan dan seorang yang di tua kan atau budayawan Lebong
Bapak H. Syaimanjai, sejak dari pemugaran yang pertama di tahun tersebut, barulah
di pugar lagi ditahun 2015, oleh Pemerintahan daerah Kabupaten Lebong.
Gb.2. Samping kiri gambar dari rumah adat sebelum di rehab sekitar tahun 2010 dan samping kanan
gambar setelah di rehab 2015
4.2
4.3
Tiang Rumah
Tiang rumah dibuat dari kayu yang dipilih dari jenis kayu medang atau
meranti. Setiap tiang rumah adalah sepotong kayu yang panjangnya
disesuaikan dengan tinggi lantai rumah, sehingga rumah adat ini seperti
berpanggung. Hal ini memiliki nilai kearifan yang baik untuk kehidupan yaitu
untuk mencegah binatang (tikus, ular atau binatang melata lainnya) masuk ke
dalam rumah.
2. Ruang Daet
Ruang ini terletak disebelah dalam ruang kauk, berfungsi sebagai
kamar tidur keluarga/ayah, dan anak laki-laki bujang. Tempat tidur
kepala keluarga berada disisi kanan pintu masuk ruang daet, berdekatan
dengan pedukuak, yakni jendela kecil pada dinding pemisah antara ruang
daet dan ruang senigo. Tempat tidur untuk anak bujang laki-laki
disebelah kiri pintu masuk ruang daet.
3. Ruang Umeak Dopoa
Terletak dibagian depan bersebelahan dengan ruang kauk. Umeak
dopoa berarti ruang dapur tempat memasak nasi dan air. Sebagai dapur,
ruangan ini memiliki tungku tempat memasak, bidai yang terbuat dari
bambu tempat menyalai ikan, dan tempat kayu bakar di atas bidai.
Ruangan umeak dopoa ini juga biasa digunakan untuk tempat
menganyam tikar, beronang, teleng dan lain-lain. Hal ini menunjukkan
bahwa suku rejang memiliki jiwa seni tradisional masyarakat sejak
dahulu kala.
4. Ruang Senigo
Ruang senigo ini terletak di sebelah ruang umeak dopoa dan
bersebrangan dengan ruang daet, berfungsi sebagai kamar tidur anak
perempuan yaitu kamar tidur bagi Ibu dan anak-anak kecil
perempuannya, demikian juga bila ada tamu perempuan yang
menginap disini.
Kemudian ruang senigo ini merupakan tempat bagi anak gadis
ketika ada acara menyambei atau perkenalan muda-mudi (bujang
gadis). Pada acara ini, para anak gadis berada diruang senigo, sedang
pemudanya berada di ruang daet, kemudian mereka berkomunikasi
lewat pedukuak. Acara menyambei ini disaksikan ibu dari anak gadis
sambil menganyam tikar.
5. Ruang Umeak Lem
Umeak Lem dalam bahasa indonesia berarti kamar. Terletak di
sebelah dalam sesudah ruang senigo. Ruang ini berfungsi sebagai
tempat menyimpan barang-barang berherga seperti pakaian adat, bahan
pangan/beras, dan lain-lain. Kemudian ruangan ini juga berfungsi
sebagai temat tidur anak perempuan yang sudah kawin sekaligus
tempat perkakas anak gadis.
6. Ruang Geligei
Ruang geligei terletak pada bagian paling atas rumah, yakni
dibawah bubungan atau dekat atap. Ruang ini berfungsi sebagai kamar
tidur anak gadis. Untuk naik ke ruang geligei, anak gadis
menggunakan tangga yang terletak di atas pagu. Bilamana anak gadis
telah naik keruang geligei maka tangga diangkat keruang tersebut. Hal
ini bertujuan untuk menjaga keamanan sang anak gadis. Lantai ruang
geligei terbuat dari bambu yang dianyam agak jarang guna untuk
mengawasi keberadaan nak, apakah sang anak gadis ada atau tidak ada
di dalam ruang geligei.
7. Ukiran Rumah
Masyarakat adat rejang ini tidak sembarang mengecat rumahnya
pada zaman dulu, mereka menggunakan tanah liat yang berwarna agak
kemerahan, kunyit, kapur, tanah dari kulit siput yang dibakar, air jeruk
nipis, dan arang lampu.
Selain cat yang menarik karena dibuat sendiri oleh masyarakatnya.
Rumah adat Rejang ini diwarnai lagi dengan ukiran didinding
rumahnya, namun ukiran yang ada bukan sembarang ukiran. Ukiran
rumah terdiri dari :
a
melambangkan
bahwa
dengan raja.
Lambang sangkar kalong (Sakok keluang). Lambang ini
memiliki makna simbolik bahwa masyarakat suku lain
8. Lubang angin
Lubang angin rumah pada umumnya berada diatas jendela atau
pintu, maka berbeda pada rumah adat Lebong yang berada di atas
yakni pada geligei. Hal ini dimaksudkan agar orang tidak mudah
memasukkan benda atau sesatu yang berbahaya kedalam rumah,
seperti guna-guna dan sebagainya.
4.4
Nilai
kearifan
yang
terkandung
dalam
rumah
adat
Lebong
guna
mengabaikan perannya sebagai anggota keluarga yang baik dimana anggota keluarga
yang baik ini harus bertanggung jawab atas keluarganya.
Kemudian rumah adat ini sangat menjaga dan melindungi anggota keluarga
perempuan. Kamar atau ruangannya diletakkan disebelah dalam, terutama anak gadis
perempuan. suku rejang ini sangat menjaga martabat keluarga, kamar anak gadisnya
tempatkan di kamar tersendiri agak keatas akses ke kamarnya pun mengunakan
tangga yang tidak tetap ketika anak gadis sudah naik tangganya pun disimpan di
kamarnya, sehingga hal yang ditakutkan tidak terjadi. Anak gadisnya pun jika ingin
berpacaran dalam hal ini menyambei (perkenalan dengan lawan jenisnya) berada
dalam 2 ruangan berbeda dirumahnya, dan disaksikan pula oleh sang ibu. Ini
menunjukkan adanya perlindungan atas perempuan dan menerangkan bahwa suku
Rejang melarang adanya pergaulan bebas remaja, dimana dizaman sekarang sangat
marak terjadi dikalangan remaja karena kesalahan dalam pergaulan serta peran orang
tua yang sangat kurang dalam mengawasi dan mengontrol anak-anaknya.
Rumah adat ini juga menjadi bukti sejarah bahwa suku Rejang memiliki
tingkatan dalam masyarakat adatnya pada zaman dahulu, namun mereka tetap
menerima tamu dari berbagai kalangan, dan menerima juga menantu dari suku
manapun, sehingga dari zaman dahulu sangat terkenal bahwa masyrakat Indonesia
khusunya di Suku Rejang ini sangat ramah tamah. Serta menjaga kesatuan dan
mengecilkan perbedaan ditengah-tengah kehidupan. Selain itu tergambar sekali lewat
ukiran dinding rumahnya, bahwa Suku Rejang mempunyai jiwa seni yang tinggi,
memiliki kreatifitas dan sentuhan kekuatan magis yang sangat melekat dalam rumah
adat di Kabupaten Lebong ini. Sehingga sebagai bagian dari masyarakat dan generasi
muda, penting sekali untuk belajar dan mempunyai rasa ingin tahu tentang kehidupan
leluhur bangsa, karena kita tidak boleh lupa bahwa cita-cita dari leluhur bangsa inilah
yang membawa kita menuju gerbang kemerdekaan.
Kehidupan yang penuh keterarutan ikut tergambar yang menjadi bukti
perjalanan kehidupan zaman yaitu sebuah cagar budaya Rumah adat. Jika masyarakat
dengan penuh kesadaran dan ada punya rasa kepedulian, hal-hal yang sifat arif yang
terkandung dalam rumah adat Rejang ini dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan
bermasyarakat agar ada keterikatan silahturahmi antar warga yang mulai meluntur
akibat pengaruh globalisasi ini.
Belajar meningkatkan rasa kepedulian yang merupakan cikal bakal dari cinta
tanah air ini, bisa dilakukan lewat melestarikan income kebudayaan daerah, salah
satunya melestarikan cagar budaya rumah adat daerah. Selain ikut terlibat dalam
program pemerintah dalam pelestarian, sebagai generasi muda juga dapat menambah
jiwa patriotisme dan nasionalisme ditengah derasnya pengaruh budaya barat yang
mulai melunturkan jiwa nasionalisme generasi muda sebagai penerus bangsa.
4.1
Tiak Huriah (Bapaknya Huriah) atau Tiak Ndeu yang sangat masih asli berbentuk
rumah Rejang dilakukan pembelian lahan untuk dikelola pemerintah, yang sekarang
rumah tersebut dijadikan cagar budaya sebagai rumah adat tradisional suku Rejang.
Dan ditahun 1986 itulah, terjadi pemugaran rumah adat ini, oleh kantor sejarah
dan kepurbakalan yang berpusat di Jambi dan tim pelaksana, dilaksanakan oleh orang
Lebong sendiri yang dipercayai mengerti dan memahami budaya daerah, sehingga
tidak ada mengurangi makna dan bentuk seperti dulu dari rumah adat tersebut.
Adapun tim pelaksananya yaitu Bapak Anthoni Mukhtar Selaku pegawai dinas
Kancam bagian Kebudayaan dan seorang yang di tua kan atau budayawan Lebong
Bapak H. Syaimanjai, sejak dari pemugaran yang pertama di tahun tersebut, barulah
di pugar lagi ditahun 2015, oleh Pemerintahan daerah Kabupaten Lebong.
Gb.2. Samping kiri gambar dari rumah adat sebelum di rehab sekitar tahun 2010 dan samping kanan
gambar setelah di rehab 2015
4.2
4.3
Tiang Rumah
Tiang rumah dibuat dari kayu yang dipilih dari jenis kayu medang atau
meranti. Setiap tiang rumah adalah sepotong kayu yang panjangnya
disesuaikan dengan tinggi lantai rumah, sehingga rumah adat ini seperti
berpanggung. Hal ini memiliki nilai kearifan yang baik untuk kehidupan yaitu
untuk mencegah binatang (tikus, ular atau binatang melata lainnya) masuk ke
dalam rumah.
d Tata Letak Ruangan
Rumah adat tradisional suku Rejang berisi lima ruangan yang terletak
pada lantai utama/lantai bawah , dan satu ruang geligei (tempat tidur anak
gadis) dengan lantai yang berbeda. Kelima ruangan ini disusun dalam dua
deretan. Deretan pertama terdiri dari dua ruangan yang dalam bahasa Rejang
disebut ruang kauk dan ruang daet. Deretan kedua terdiri dari tiga ruang,
yakni ruang umeak dopoa, ruang senigo, dan umeak lem.
2 Ruang Kauk
Ruang kauk terletak di dekat pintu masuk, berfungsi sebagai :
c
d
2. Ruang Daet
Ruang ini terletak disebelah dalam ruang kauk, berfungsi sebagai
kamar tidur keluarga/ayah, dan anak laki-laki bujang. Tempat tidur
kepala keluarga berada disisi kanan pintu masuk ruang daet, berdekatan
dengan pedukuak, yakni jendela kecil pada dinding pemisah antara ruang
daet dan ruang senigo. Tempat tidur untuk anak bujang laki-laki
disebelah kiri pintu masuk ruang daet.
3. Ruang Umeak Dopoa
melambangkan
bahwa
dengan raja.
Lambang sangkar kalong (Sakok keluang). Lambang ini
memiliki makna simbolik bahwa masyarakat suku lain
laki.
Hiasan rumah melambangkan bahwa tuan rumah siap
menerima semua tingkatan tamu.
8. Lubang angin
Lubang angin rumah pada umumnya berada diatas jendela atau
pintu, maka berbeda pada rumah adat Lebong yang berada di atas
yakni pada geligei. Hal ini dimaksudkan agar orang tidak mudah
memasukkan benda atau sesatu yang berbahaya kedalam rumah,
seperti guna-guna dan sebagainya.
4.4
Nilai
kearifan
yang
terkandung
dalam
rumah
adat
Lebong
guna
tangga yang tidak tetap ketika anak gadis sudah naik tangganya pun disimpan di
kamarnya, sehingga hal yang ditakutkan tidak terjadi. Anak gadisnya pun jika ingin
berpacaran dalam hal ini menyambei (perkenalan dengan lawan jenisnya) berada
dalam 2 ruangan berbeda dirumahnya, dan disaksikan pula oleh sang ibu. Ini
menunjukkan adanya perlindungan atas perempuan dan menerangkan bahwa suku
Rejang melarang adanya pergaulan bebas remaja, dimana dizaman sekarang sangat
marak terjadi dikalangan remaja karena kesalahan dalam pergaulan serta peran orang
tua yang sangat kurang dalam mengawasi dan mengontrol anak-anaknya.
Rumah adat ini juga menjadi bukti sejarah bahwa suku Rejang memiliki
tingkatan dalam masyarakat adatnya pada zaman dahulu, namun mereka tetap
menerima tamu dari berbagai kalangan, dan menerima juga menantu dari suku
manapun, sehingga dari zaman dahulu sangat terkenal bahwa masyrakat Indonesia
khusunya di Suku Rejang ini sangat ramah tamah. Serta menjaga kesatuan dan
mengecilkan perbedaan ditengah-tengah kehidupan. Selain itu tergambar sekali lewat
ukiran dinding rumahnya, bahwa Suku Rejang mempunyai jiwa seni yang tinggi,
memiliki kreatifitas dan sentuhan kekuatan magis yang sangat melekat dalam rumah
adat di Kabupaten Lebong ini. Sehingga sebagai bagian dari masyarakat dan generasi
muda, penting sekali untuk belajar dan mempunyai rasa ingin tahu tentang kehidupan
leluhur bangsa, karena kita tidak boleh lupa bahwa cita-cita dari leluhur bangsa inilah
yang membawa kita menuju gerbang kemerdekaan.
Kehidupan yang penuh keterarutan ikut tergambar yang menjadi bukti
perjalanan kehidupan zaman yaitu sebuah cagar budaya Rumah adat. Jika masyarakat
dengan penuh kesadaran dan ada punya rasa kepedulian, hal-hal yang sifat arif yang
terkandung dalam rumah adat Rejang ini dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan
bermasyarakat agar ada keterikatan silahturahmi antar warga yang mulai meluntur
akibat pengaruh globalisasi ini.
Belajar meningkatkan rasa kepedulian yang merupakan cikal bakal dari cinta
tanah air ini, bisa dilakukan lewat melestarikan income kebudayaan daerah, salah
satunya melestarikan cagar budaya rumah adat daerah. Selain ikut terlibat dalam
program pemerintah dalam pelestarian, sebagai generasi muda juga dapat menambah
jiwa patriotisme dan nasionalisme ditengah derasnya pengaruh budaya barat yang
mulai melunturkan jiwa nasionalisme generasi muda sebagai penerus bangsa.