Anda di halaman 1dari 6

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/230557245

The Biopsychosocial Concept in Psychosomatic


Complaints
Article September 2011

READS

2,055

1 author:
Andri Andri
Universitas Kristen Krida Wacana
12 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE

Available from: Andri Andri


Retrieved on: 04 June 2016

Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan

Konsep Biopsikososial pada


Keluhan Psikosomatik

Andri
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta

Abstrak: Konsep biopsikososial merupakan konsep yang diperkenalkan oleh George Engel
untuk menggantikan konsep biomedik. Konsep biomedik adalah konsep yang memandang
kondisi kesehatan hanya dari sisi biologik dan medik saja. Pendekatan biologik, psikologik,
dan sosial adalah pendekatan yang paling cocok untuk keluhan psikosomatik. Keluhan
psikosomatik adalah keluhan fisik yang didasari oleh kondisi psikis. Keluhan psikosomatik
paling banyak dialami oleh pasien yang menderita gangguan somatisasi, hipokondrik, cemas,
dan depresi. Tata laksana untuk pasien dengan keluhan psikosomatik adalah psikofarmaka
dan psikoterapi. Hubungan dokter pasien yang baik harus selalu menjadi landasan utama bagi
tata laksana keluhan psikosomatik. J Indon Med Assoc. 2011;61:375-9.
Kata kunci: psikosomatik, biopsikososial, psikiatri, somatoform

The Biopsychosocial Concept in Psychosomatic Complaints


Andri
Faculty of Medicine Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta

Abstract: Biopsychosocial concept introduced by George Engel to replace biomedic concept,


which only see medical condition in terms of biological and medical aspects. Biologic, psychologic, and social appproach is a suitable approach for psychosomatic symptoms. Psychosomatic
complaints are physical complaints that are based on psychological conditions. Psychosomatic
complaints are usually experienced by patients who suffer from somatization disorder, hypochondriasis, anxiety disorders, and depressive disorders. Treatment in patients with psychosomatic
complaints consist of combination between psychotherapy and psychopharmatherapy. Good patient-doctor relationship is always the main basis of therapy for psychosomatic complaints. J
Indon Med Assoc. 2011;61:375-9..
Keywords: psychosomatic, biopsychosocial, psychiatry, somatoform

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 9, September 2011

375

Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik


Pendahuluan
Pada tahun 1977 George Engel memperkenalkan suatu
konsep baru dalam penanganan gangguan medis yaitu
konsep biopsikososial. Konsep biopsikososial adalah suatu
konsep yang melibatkan interaksi antara faktor biologis,
psikologis, dan sosial dalam upaya memahami proses
penyakit dan sakitnya seseorang yang memandang pikiran
dan tubuh sebagai satu kesatuan.1 Pendekatan tersebut
membawa pengertian bahwa kondisi sakit bukan saja dari
segi medis fisik tetapi juga dari kondisi psikologis yang
dipengaruhi oleh faktor lingkungan.1,2
Walaupun sudah sejak 1977 diperkenalkan di Amerika
Serikat, konsep biopsikososial masih belum mendapatkan
perhatian yang besar dalam pendidikan dokter, terutama di
Indonesia. Masih banyak dokter yang lebih terfokus pada
faktor fisik. Hal tersebut membuat penanganan pasien terkadang tidak menyentuh sisi kejiwaannya. Sisi kejiwaan
dianggap sebagai bagian yang tidak ada hubungannya dalam
proses terapi pasien dengan gangguan medis.
Konsep Biopsikososial
Konsep biopsikososial memberikan suatu gambaran
yang menyeluruh tentang munculnya suatu kondisi sakit
yang dihubungkan dengan faktor lingkungan dan stres yang
terkait di dalamnya. Kondisi lingkungan, dalam hal ini
dukungan sosial, dapat juga memberikan perbaikan kondisi.
Salah satu contoh penerapan konsep tersebut adalah ilmu
kedokteran jiwa.1,2
Kondisi kesehatan jiwa seseorang dapat dilihat sebagai
suatu keadaan yang melibatkan faktor biologis, psikologis,
dan sosial orang tersebut. Secara biologis, gangguan pada
kondisi kesehatan jiwa seseorang diakibatkan karena
ketidakseimbangan sistem hormon dan neurotransmiter di
otak. Secara psikologis, gangguan kondisi kesehatan jiwa
disebabkan oleh mekanisme adaptasi psikis individu yang
tidak bekerja dengan baik. Sementara, secara sosial, kondisi
gangguan kesehatan jiwa dapat dipicu oleh lingkungan yang
tidak nyaman, serta penuh dengan tekanan dan ketakutan.1,2
Ketiga faktor tersebut akan berkontribusi secara sinergis
dalam terjadinya gangguan kesehatan jiwa seseorang.
Dengan mengetahui kondisi tersebut maka penatalaksanaan
gangguan kesehatan jiwa juga melibatkan ketiga faktor di
atas. Biologis dengan menggunakan obat, psikologis dengan
menggunakan psikoterapi, sosial dengan menggunakan
dukungan dan modifikasi sosial.2
Keluhan Psikosomatik
Keluhan psikosomatik sering ditemukan pada praktik
klinis sehari-hari. Dokter umum juga seringkali mendapati
pasien dengan keluhan psikosomatik. Kepustakaan melaporkan lebih dari 50% pasien dengan keluhan fisik yang
tidak mempunyai penyebab objektif dari keluhannya itu.
Keluhannya bisa dari kelelahan, nyeri dada, batuk, nyeri
376

punggung, napas pendek, hingga berbagai keluhan yang


melibatkan organ tubuh.3-6
Keluhan psikosomatik sebaiknya dikaji dengan
pendekatan biopsikososial. Dalam praktik sehari-hari, keluhan
tersebut dapat diatasi dengan kemampuan komunikasi yang
baik dari dokter yang merawat. Rasa tertarik dokter terhadap
keluhan pasien, empati, dan apresiasi terhadap pasien, serta
mem-berikan kepastian pengobatan sering membuat pasien
dengan keluhan psikosomatik menjadi lebih baik. Sayangnya
hal itu seringkali tidak dilakukan dengan baik dan menyebabkan pasien berpindah-pindah dokter untuk mencari
jawaban akan keluhannya. Pasien seperti itu sering dikenal
dengan sebutan pasien sulit yang sering menimbulkan rasa
frustasi pada pasien dan juga dokter.4-6
Keluhan yang juga sering disebut Medically Unexplained Physical Symptoms (MUPS) sebenarnya merujuk
pada suatu kondisi gangguan kejiwaan yang tergabung dalam
golongan besar gangguan somatoform. Gangguan somatoform mempunyai beberapa sub-gangguan yaitu, gangguan
somatisasi, gangguan hipokondriasis, gangguan nyeri,
gangguan citra tubuh, dan gangguan konversi. Masingmasing mempunyai ciri khas tersendiri. Gangguan yang paling sering ditemui dalam praktik klinik adalah gangguan
somatisasi dan hipokondriasis.5-7
Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi didiagnosis sesuai dengan
pedoman Diagnostic Statistic Manual (DSM) IV-Text Revision (TR) dengan kriteria berikut: (1) riwayat keluhan fisik
yang sering terjadi selama beberapa tahun yang dimulai
sebelum usia 30 tahun dengan hendaya yang nyata walaupun
pengobatan telah dilakukan, (2) dalam suatu masa sakit harus
ada empat gejala/gangguan yang setidaknya di empat fungsi
yang berbeda; setidaknya terdapat dua gejala sistem gastrointestinal, setidaknya satu keluhan seksual selain nyeri
berhubungan badan misalnya disfungsi ereksi yang terjadi
kadang-kadang, setidaknya satu gejala pseudoneurologi yang
tidak terbatas pada nyeri misalnya kelemahan, kebutaan,
kejang, dan amnesia. Untuk semua keluhan tersebut, pemeriksaan medis fisis secara objektif gagal untuk menemukan
penyebab fisis keluhan yang dialami, ataupun jika memang
terdapat kondisi penyakit, keluhan yang dilaporkan oleh
pasien melebihi apa yang sebenarnya terjadi pada penyakit
tersebut. Kondisi di atas perlu diingat bukanlah merupakan
bagian dari sindrom Munchaunsen (factitious disorder) atau
malingering.5-7
Menurut literatur dari negara-negara barat, gangguan
somatisasi lebih banyak terjadi pada perempuan, namun pada
praktiknya sering ditemukan sama banyak antara perempuan
dan laki-laki. Kepribadian pasien yang biasanya erat kaitannya dengan gangguan somatisasi adalah kepribadian
histrionik. Pasien dengan gangguan tersebut secara dramatis
memperlihatkan kebutuhan yang berlebihan untuk mencari
pertolongan, terkadang tanpa berpikir panjang menyetujui
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 9, September 2011

Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik


semua pertolongan yang ditawarkan untuk mengatasi
penyakitnya. Dalam wawancara yang menanyakan tentang
lamanya keluhan pasien, biasanya mereka menjawab
sepanjang hidupnya.5-8
Gangguan Hipokondriasis
Gangguan hipokondriasis didiagnosis sesuai dengan
pedoman diagnosis gangguan jiwa DSM IV-TR, dengan
kriteria sebagai berikut: (1) adanya preokupasi atau pikiran
yang terus menerus mengenai suatu kondisi penyakit yang
serius berdasarkan kesalahan mengintepretasikan gejala,
walaupun pada pemeriksaan klinis dan penunjang tidak
ditemukan adanya dasar untuk keluhan tersebut, (2) keluhan
tersebut bukanlah keluhan yang bersifat waham somatik atau
sesuatu yang berhubungan dengan citra tubuh seperti pada
kondisi gangguan citra tubuh, (3) preokupasi tersebut
menyebabkan distres dan disfungsi pada pasien, (4) durasi
keluhan minimal enam bulan, dan (5) preokupasi tersebut
bukanlah keluhan tambahan dari kondisi gangguan cemas,
gangguan depresi berat, atau sub gangguan somatoform
yang lain.4,5
Berbeda dengan gangguan somatisasi, gangguan
hipokondriasis hanya mengeluhkan satu penyakit yang
dirasakan berat. Keluhan itu terus dikeluhkan walaupun
berbagai macam pemeriksaan telah membuktikan tidak adanya
penyebab fisis yang mendasarinya.8-10
Penatalaksanaan
Non-Farmakoterapi
Etiologi fisik gangguan somatisasi dan hipokondrik
tidak diketahui. Oleh karena itu, pendekatan untuk tata
laksana pasien yang mengalami gangguan tersebut adalah
dengan mencari dasar gangguan jiwa yang dialami pasien.
Gangguan cemas dan depresi merupakan dua diagnosis
yang biasanya mendasari gangguan somatisasi maupun
hipokondrik pasien. Walaupun untuk keadaan saat ini
keluhan depresi dan cemas sering ditemukan sudah tidak
lagi memenuhi kriteria diagnosis, namun biasanya dari riwayat
pasien ditemukan adanya suatu gangguan depresi dan
cemas di masa lalu.11
Tata laksana pasien dengan kondisi somatisasi dan
hipokondrik sebenarnya lebih bertumpu pada upaya
psikoterapi dan psikoedukasi. Tiga pilar utama dalam
penanganan kasus somatisasi dan hipokondrik adalah (a)
hubungan dokter pasien yang kuat di antara keduanya, (b)
edukasi pasien tentang sebab dan asal mula keluhan somatik,
serta (c) dukungan dan bantuan yang menenangkan pasien.11
Hubungan dokter pasien yang kuat adalah pilar utama
dan terpenting dalam penanganan pasien dengan keluhan
somatisasi. Pasien yang datang ke psikiater biasanya sudah
mengalami berbagai macam pengalaman yang kurang
menyenangkan dengan dokter sebelumnya. Salah satu hal
yang sering diungkapkan pasien adalah kekesalan mereka
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 9, September 2011

pada dokter-dokternya terdahulu yang mengatakan bahwa


keluhan mereka itu tidak benar, dibuat-buat, atau semua itu
ada di kepala.11
Fokus utama hubungan antara dokter dan pasien adalah
bahwa dokter (psikiater) percaya bahwa gejala dan penderitaan yang dialami pasien adalah benar. Kepercayaan
terhadap pasien akan memperlihatkan bahwa dokter
mempunyai minat terhadap kondisi pasien dan niat yang
tinggi untuk membantu masalahnya. Dokter harus
mendapatkan riwayat medis dan latar belakang psikososial
pasien secara lengkap. Penilaian pasien harus secara jelas
dan luas mengenai riwayat kondisi fisik medis dan
pemeriksaan apa saja yang telah dilakukan.
Dengan melakukan hal tersebut, dokter dapat membina
hubungan dokter-pasien yang baik, dan kemudian
mengonfirmasi diagnosisnya, serta menegaskan hubungan
sebab akibat yang mungkin terjadi antara gejala yang dialami
dengan stres psikososial yang pernah atau masih dialami
pasien. Ketika diagnosis ditegakkan dan hubungan dokterpasien terbina baik, dokter dapat mulai merencanakan terapi
terbaik untuk pasiennya.11
Langkah kedua dalam penanganan adalah edukasi
pasien. Pasien perlu dijelaskan secara detil mengenai apa yang
membuatnya mengalami kondisi demikian. Keluhan somatik
adalah keluhan yang dikenal di dalam dunia medis. Untuk itu
dokter yang menangani pasien seperti ini perlu mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang konsep biopsikososial,
patofisiologi gangguan kejiwaan, neuropsikiatri, ilmu perilaku,
dan psikoneuroimunologi sebagai salah satu cabang ilmu
terbaru yang mendukung penjelasan tentang faktor stres
psikososial dan hubungannya dengan terjadinya keluhan
somatik pasien.11
Langkah ketiga adalah selalu memberikan kepastian
kepada pasien. Pasien dengan gangguan somatisasi dan
hipokondrik seringkali tetap selalu memperhatikan tentang
keluhan somatiknya dari waktu ke waktu. Suatu waktu dalam
masa kehidupannya, keluhan somatiknya akan berulang dan
inilah saat dokter diuji dalam memberikan dukungan kepastian
tentang keadaan yang sebenarnya.
Hubungan yang kuat antara dokter dan pasien menjadi
hal yang sangat penting untuk memberikan keamanan dan
kenyamanan bagi pasien. Pasien harus diberikan pemahaman
bahwa segala hal yang dianggap sebagai faktor penyebab
kondisinya telah dinilai. Tujuan jangka panjangnya adalah
mengubah diskusi pasien mengenai keluhannya menjadi
diskusi tentang kehidupan pasien sehari-hari. 11
Farmakoterapi
Walaupun keluhan somatik pasien dengan gangguan
somatisasi dan hipokondrik paling baik diterapi dengan
psikoterapi, pada praktiknya sering ditemukan dasar dari
keluhan somatik tersebut adalah gangguan cemas dan depresi.
Gangguan cemas yang paling sering dialami oleh pasien
dengan keluhan somatik adalah gangguan panik dan
377

Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik


gangguan cemas menyeluruh. Hampir semua gejala kecemasan melibatkan sistem saraf otonom sehingga menimbulkan gejala khas, seperti palpitasi, nafas pendek, mual atau
perasaan tidak nyaman di perut, serta mulut kering. Hal
tersebut yang membuat dokter langsung berpikir untuk
memberikan obat anti cemas golongan benzodiazepin ketika
menemukan kasus keluhan somatik di tempat praktiknya.11,12
Obat golongan benzodiazepin sangat efektif mengatasi
cemas. Efeknya yang beragam tergantung jenis obat membuat
obat tersebut paling sering diresepkan para dokter di Amerika
Serikat untuk mengatasi keluhan kecemasan akut. Namun,
penggunaan obat tersebut banyak menimbulkan penyalahgunaan, toleransi, dan ketergantungan. Hal itu disebabkan
oleh penggunaan benzodiazepin dalam jangka waktu panjang,
tanpa dosis yang tepat dan tanpa pengawasan dokter.11,12
Beberapa obat golongan benzodiazepin yang sering
digunakan dalam pengobatan keluhan cemas adalah
alprazolam, clonazepam, lorazepam, dan diazepam. Alprazolam dan clonazepam telah lama dipakai sebagai obat untuk
gangguan panik karena efektif dan cepat mengatasi gejala
serangan panik. Dosis alprazolam yang digunakan untuk
pengobatan gangguan cemas panik lebih besar daripada
pengobatan gangguan cemas menyeluruh. Rentang dosis
yang biasa digunakan dalam praktik sehari-hari adalah 0,5
mg sampai 1,5 mg untuk kondisi gangguan panik dengan
dosis terbagi. Walaupun demikian, obat tersebut harus
digunakan dengan dosis efektif terendah agar tidak menimbulkan ketergantungan dan reaksi putus zat.11,12
Menurut pedoman pengobatan terkini American Psychiatric Association (APA) dan Food Drug Administration
(FDA), gangguan panik yang sering menjadi dasar keluhan
psikosomatik diobati dengan antidepresan golongan serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI) yaitu sertralin dan
paroxetin. Walaupun demikian, terdapat juga obat golongan
trisiklik yang efektif untuk mengobati gangguan cemas panik.
Imipramin adalah salah satu obat dari golongan trisiklik
yang merupakan pilihan utama. Namun, obat tersebut sulit
ditemukan selain harganya yang agak tinggi11,12 Selain
imipramin, terdapat beberapa obat golongan trisoklik lain
yang dapat dipakai untuk kondisi gangguan panik, salah
satunya adalah amitriptilin. Amitriptilin dapat digunakan
dengan dosis antara 12,5-50 mg. Obat tersebut merupakan
antidepresan trisiklik yang sangat murah dan banyak terdapat
di pusat pelayanan primer di Indonesia.
Penatalaksanaan di Pelayanan Primer
Dokter di pelayanan primer harus dapat mengenali
keluhan psikosomatik dan memahami gangguan jiwa yang
terkait dengan keluhan psikosomatiknya. Penelitian yang
dilakukan oleh Hidayat et al.13 melaporkan bahwa 28,5%
pasien yang berkunjung ke puskesmas memenuhi kriteria
diagnosis psikosomatik. Hal tersebut memperlihatkan bahwa
keluhan psikosomatik merupakan kasus yang cukup banyak
ditemukan di pelayanan primer. 13
378

Keterampilan untuk mendiagnosis keluhan psikosomatik sebagai dasar diagnosis gangguan kesehatan jiwa
merupakan hal yang seharusnya tidak terlepas dari keterampilan dokter di pelayanan primer. Walaupun kompetensi
dokter umum dalam ilmu psikiatri hanya mengobati kasuskasus insomnia, namun kemampuan mendiagnosis kondisi
yang berhubungan dengan keluhan psikosomatik perlu
ditingkatkan.
Rujukan ke spesialis kedokteran jiwa memang terkadang
perlu dilakukan. Namun jika di daerahnya tidak terdapat
praktik psikiatri di rumah sakit umum atau institusi rumah
sakit jiwa, maka dokter umum dapat mengobati sesuai dengan
pedoman tata laksana terbaru.
Ringkasan
Dokter harus menggunakan pendekatan biopsikososial
dalam tata laksana pasien walaupun bukan pasien dengan
kondisi gangguan jiwa. Hal tersebut disebabkan bahwa
keluhan fisik pasien sering mempunyai latar belakang kondisi
kesehatan jiwa.
Tata laksana pasien dengan gangguan somatisasi dan
hipokondriasis maupun keluhan somatisasi dengan dasar
gangguan kejiwaan seharusnya berlangsung secara
menyeluruh baik dari segi farmakoterapi dan psikoterapi. Jika
rujukan ke tingkat spesialis tidak dapat dilakukan, dokter
umum di pelayanan primer dapat memberikan obat sesuai
pedoman tata laksana terbaru.
Daftar Pustaka
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Waldstein SR, Neumann SA, Drossman DA, Novack DH. Teaching psychosomatic (biopsychosocial) medicine in United States
medical schools: Survey findings. Psychosomatic Medicine.
2001;63:335-43.
Novack DH, Cameron O, Epel E, Ader R, Waldstein SR, Levenstein
S, et al. Psychosomatic medicine: The scientific foundation of
the biopsychosocial model. Academic Psychiatry. 2007;31:388401.
Simon GE, Gureje O. Stability of somatization disorder and somatization symptoms among primary care patients. Arch Gen Psychiatry. 1999;56:90-5.
Khan AA, Khan A, Harezlak J, Tu W, Kroenke K. Somatic symptoms in primary care: Etiology and outcome. Psychosomatics.
2003;44:4718.
Interian A, Allen LA, Gara MA, Escobar JI, Diaz-Martinez AL.
Somatic complaints in primary care: Further examining the validity of the patient health questionnaire (PHQ-15). Psychosomatics. 2006;47:392-8.
Bronheim HE, Fulop G, Kunkel EJ, Muskin PR, Schindler BA,
Yates WR, et al. The academy of psychosomatic medicine practice guidelines for psychiatric consultation in the general medical
setting. Psychosomatics. 1998;39:S8-30.
Feder A, Olfson M, Gameroff M, Fuentes M, Shea S, Lantigua
RA, et al. Medically unexplained symptoms in an urban general
medicine practice. Psychosomatics. 2001;42:261-8.
Hoehn-Saric R, McLeod DR, Funderburk F, Kowalski P. Somatic
symptoms and physiologic responses in generalized anxiety disorder and panic disorder an ambulatory monitor study. Arch Gen
Psychiatry. 2004;61:913-21.
Henningsen P, Zimmermann T, Sattel H. Medically unexplained
physical symptoms, anxiety, and depression: A meta-analytic

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 9, September 2011

Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik


review. Psychosomatic Medicine. 2003;65:528-33.
10. Allen LA, Escobar JI, Lehrer PM, Gara MA, Woolfolk RL. Psychosocial treatments for multiple unexplained physical symptoms: A review of the literature. Psychosomatic Medicine.
2002;64:939-50.
11. Yutzy SH. Somatization. In: Blumenfield M, Strain JJ, penyunting.
Psychosomatic Medicine. 1st ed. New York: Lippincott Williams
& Wilkins; 2006. p. 538-43.

12. Schatzberg AF, Cole JO, DeBattista C, editors. Manual of Clinical


Psychopharmacology. 7th ed. Virginia: American Psychiatric Publishing; 2010.
13. Hidayat D, Ingkiriwang I, Andri, Asnawi E, Widya RS, Susanto
DH. Penggunaan metode dua menit (M2M) dalam menentukan
prevalensi gangguan jiwa di pelayanan primer. Maj Kedokt Indon.
2010;60(10):448-54.
ZD/FS/MS

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 9, September 2011

379

Anda mungkin juga menyukai