Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian


Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk
menunjang kesehatannya. Semua orang rela mengeluarkan uangnya untuk
mendapatkan kesehatan, bahkan sampai ada yang mengatakan sehat itu mahal.
Perkembangan jaman yang semakin canggih seperti sekarang ini, sudah banyak
makanan yang bermacam-macam yang nantinya akan berakibat pada kesehatan
kita, untuk itu obat sangat diperlukan dalam kehidupan kita.
Begitu

pentingnya

obat

dalam

hidup

manusia

sehingga

dalam

pembuatannya pun obat harus memenuhi kriteria efficacy, safety, dan quality.
Kriteria tersebut harus terpenuhi mulai dari pembuatan, pendistribusian hingga
penyerahan obat ke tangan konsumen haruslah diperhatikan agar kualitas obat
tersebut tetap terjaga sampai pada akhirnya obat tersebut dikonsumsi oleh pasien.
Pemerintah sudah membuat suatu pedoman (guideline) untuk industri
farmasi yang biasa disebut Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) agar obat
dapat memenuhi ketiga kriteria obat yang sudah disebutkan diatas. Ketentuanketentuan yang terdapat dalam CPOB tentu sangatlah ketat agar tercipta suatu
obat yang benar-benar memenuhi kriteria efficacy, safety, dan quality. Peraturan
yang ketat saat proses pembuatan obat tersebut akan sia-sia jika dalam
pendistribusian obatnya terjadi suatu kesalahan yang membuat kualitas obat

menjadi berkurang atau bahkan dapat menghasilkan suatu produk toksik yang
justru dapat membahayakan keselamatan pasien.
Pemerintah telah membuat suatu peraturan mengenai Cara Distribusi Obat
yang Baik (CDOB), peraturan tersebut tercantum dalam Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, Hk.03.1.34.11.12.7542 Tahun
2012 Tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat Yang Baik. Cara Distribusi
Obat yang Baik (CDOB) adalah cara distribusi atau penyaluran obat dan atau
bahan obat yang bertujuan memastikan mutu sepanjang jalur distribusi atau
penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya (BPOM, 2012b).
Kegiatan yang menyangkut distribusi obat meliputi pengadaan, penyimpanan, dan
penyaluran obat dari produsen hingga ketangan konsumen. Penerapan CDOB ini
diharapkan dapat mempertahankan dan memastikan bahwa mutu obat yang
diterima oleh pasien sama dengan mutu obat yang dikeluarkan oleh industri
farmasi.
Apotek merupakan salah satu fasilitas distribusi yang berhubungan
langsung dengan konsumen, oleh karena itu apoteker di apotek harus
melaksanakan prinsip-prinsip mengenai Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB).
Prinsip tersebut dijalankan agar obat yang diterima oleh pasien memiliki kualitas
yang sama dengan yang dikeluarkan oleh industri dan perlu ada dokumentasi yang
mencakup seluruh kegiatan di apotek tersebut. Proses pengadaan obat,
penyimpanan, sampai pada saat penyerahan obat kepada pasien harus
terdokumentasi dan memenuhi prinsip-prinsip dari CDOB. Apoteker harus
memastikan bahwa pengadaan barang (obat) berasal dari sumber resmi dan sudah

memiliki izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian untuk


penyimpanan obatnya pun harus disimpan sesuai dengan kondisi penyimpanan
yang direkomendasikan dari industri farmasi yang memproduksi obat tersebut
(BPOM, 2012b). Proses penyalurannya pun harus tetap dipastikan bahwa obat
diberikan pada pasien yang tepat dan dengan indikasi yang tepat pula agar tidak
terjadi penyalahgunaan obat.
Jika prinsip-prinsip pada Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) tidak
dilaksanakan maka kualitas obat tidak dapat dipastikan atau dapat terjadi
perubahan kualitas obat dari yang dikeluarkan oleh industri dengan yang diterima
oleh pasien. Salah satunya adalah dengan beredarnya obat palsu yang sudah
masuk ke apotek, yaitu beredarnya obat palsu Phosphodiesterase type 5 inhibitor
(PDE5 inhibitor) yang telah ditemukan di apotek. Berdasarkan penelitian dari
Victory Project yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) sepanjang tahun 2011 hingga
2012 menyatakan 45% obat PDE5 Inhibitor di Indonesia adalah palsu dan jumlah
obat palsu yang ditemukan di apotek adalah sebesar 13%. Peredaran obat palsu
dan ilegal saat ini di Indonesia mencapai angka 0,4% dari jumlah keseluruhan
obat yang beredar di Indonesia (BPOM, 2013). Kasus ini dapat terjadi karena
adanya kelalaian pada saat proses pengadaan obat yang membuat obat palsu
masuk ke dalam rantai distribusi.
Penelitian ini dilakukan pada salah satu sarana distribusi yang ada di
Yogyakarta yaitu apotek di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Berdasarkan data yang terdapat pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman terdapat

232 apotek yang tersebar di 17 kecamatan di Kabupaten Sleman, Yogyakarta


salah satu kecamatan itu adalah Kecamatan Mlati yang berada di sebelah selatan
dari Ibukota Kabuaten Sleman. Agar dapat mengetahui bagaimana pelaksanaan
Cara Distribusi Obat yang Baik pada salah satu sarana distribusi obat yang berada
di sekitar lingkungan peneliti maka penelitian dilakukan pada beberapa apotek di
Kecamatan Mlati. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai pelaksanaan Cara Distribusi Obat yang Baik pada salah satu sara
distribusi obat yaitu apotek khususnya untuk apotek di Kecamatan Mlati,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan Cara Distribusi Obat yang Baik pada Apotek di
Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman Yogyakarta?
2. Berdasarkan kategori penyimpangannya, maka tindak lanjut apa yang
mungkin diterapkan pada apotek di daerah Kecamatan Mlati, Sleman,
Yogyakarta yang tidak memenuhi kualifikasi CDOB?

C. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang evaluasi pelaksanaan Cara Distribusi Obat yang Baik
(CDOB) pada apotek di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta ini
menurut penulis belum pernah dilakukan, kecuali pemeriksaan dan pembinaan

oleh instansi yang berwenang. Penelitian lainnya dengan tema evaluasi CDOB
yang dilakukan oleh peneliti lain dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Penelitian lain dengan tema evaluasi CDOB
No

Judul

Penulis

Keterangan

1.

Implementasi Cara Distribusi


Obat yang Baik Pada Pedagang
Besar Farmasi Di Yogyakarta

Anthonius Ade Purnama


Putra, Yustina Sri
Hartini, tahun 2012

Jurnal Farmasi Indonesia


Vol. 6 No. 1 Januari 2012:
48-54

Persamaan penelitian ini dengan penelitian lainnya pada Tabel 1. adalah


meneliti dengan tema penerapan CDOB. Perbedaannnya, penelitian ini dilakukan
pada apotek di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, sedangkan
penelitian lainnya dilakukan terhadap Pedagang Besar Farmasi di Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada masyarakat
dan instansi-instansi yang terkait mengenai cara pendistribusian obat pada apotek
di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Selain itu penelitian
mengenai evaluasi pelaksanaan Cara Distribusi Obat yang Baik pada Apotek di
Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta ini belum pernah dilakukan
oleh peneliti lain atau mahasiswa lain. Sehingga dengan adanya penelitian ini
diharapkan memberikan pemahaman kepada farmasis yang bekerja pada bidang
pendistribusian obat akan pentingnya diterapkannya aspek-aspek CDOB dalam
kegiatan pendistribusian obat pada fasilitas distribusi salah satunya apotek.

E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengevaluasi pelaksanaan Cara Distribusi Obat yang Baik pada
Apotek Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
2. Tujuan Khusus
Mengetahui tindak lanjut yang mungkin diterapkan kepada Apotek di
Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta yang tidak memenuhi
kualifikasi CDOB.

F. Tinjauan Pustaka
1. Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB)
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik
Indonesia No. Hk.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 Tentang Pedoman Teknis Cara
Distribusi Obat Yang Baik (CDOB), Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB)
adalah suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). CDOB berisi tentang cara
distribusi atau penyaluran obat dan atau bahan obat yang bertujuan memastikan
mutu sepanjang jalur distribusi atau penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan
penggunaannya.
Ruang lingkup Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) meliputi obat,
bahan obat dan produk biologi termasuk vaksin yang digunakan untuk manusia
(BPOM, 2012b). Selain Pedagang Besar Farmasi (PBF), Instalasi Sediaan Farmasi

yang menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat dan/ atau


bahan obat juga wajib menerapkan Pedoman Teknis CDOB.
Prinsip-prinsip Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) berlaku untuk
aspek pengadaan, penyimpanan, penyaluran termasuk pengembalian obat dan/
atau bahan obat dalam rantai distribusi. Aspek dalam CDOB 2012 meliputi:
a) Manajemen Mutu
Fasilitas distribusi harus mempertahankan sistem mutu yang mencakup
tanggung jawab, proses dan langkah manajemen risiko terkait dengan kegiatan
yang dilaksanakan. Fasilitas distribusi harus memastikan bahwa mutu obat dan
atau bahan obat dan integritas rantai distribusi dipertahankan selama proses
distribusi. Seluruh kegiatan distribusi harus ditetapkan dengan jelas, dikaji secara
sistematis dan semua tahapan kritis proses distribusi dan perubahan yang
bermakna harus divalidasi dan didokumentasikan. Sistem mutu harus mencakup
prinsip manajemen risiko mutu. Pencapaian sasaran mutu merupakan tanggung
jawab dari penanggung jawab fasilitas distribusi (BPOM, 2012b).

b) Organisasi, Manajemen, dan Personalia


Pelaksanaan dan pengelolaan sistem manajemen mutu yang baik serta
distribusi obat dan atau bahan obat yang benar sangat bergantung pada personil
yang menjalankannya. Harus ada personil yang cukup dan kompeten untuk
melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung jawab fasilitas distribusi.
Tanggung jawab masing-masing personil harus dipahami dengan jelas dan dicatat.
Semua personil harus memahami prinsip Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB)

dan harus menerima pelatihan dasar maupun pelatihan lanjutan yang sesuai
dengan tanggung jawabnya. Manajemen puncak di fasilitas distribusi menunjuk
seorang penanggung jawab yaitu seorang Apoteker yang memenuhi kualifikasi
dan kompetensi. Penanggung jawab harus memastikan bahwa fasilitas distribusi
telah menerapkan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) dan memenuhi
pelayanan publik (BPOM, 2012b).

c) Bangunan dan Peralatan


Fasilitas distribusi harus memiliki bangunan dan peralatan untuk menjamin
perlindungan dan distribusi obat dan atau bahan obat. Bangunan harus dirancang
dan disesuaikan untuk memastikan bahwa kondisi penyimpanan yang baik dapat
dipertahankan. Harus ada area terpisah dan terkunci antara obat dan atau bahan
obat yang menunggu keputusan lebih lanjut mengenai statusnya, yaitu obat dan
atau bahan obat yang diduga palsu, dikembalikan, yang ditolak, yang akan
dimusnahkan, ditarik, dan yang sudah kadaluarsa dengan obat dan atau bahan obat
yang akan disalurkan (BPOM, 2012b)

d) Operasional
Semua tindakan yang dilakukan oleh fasilitas distribusi harus dapat
memastikan bahwa identitas obat dan atau bahan obat tidak hilang dan
distribusinya ditangani sesuai dengan spesifikasi yang tercantum pada kemasan.
Fasilitas distribusi juga harus menggunakan semua perangkat dan cara yang
tersedia untuk memastikan bahwa sumber obat dan atau bahan obat yang diterima

berasal dari industri farmasi dan atau fasilitas distribusi lain yang mempunyai izin.
Hal ini dilakukan untuk meminimalkan risiko obat dan/atau bahan obat palsu
memasuki rantai distribusi resmi (BPOM, 2012b).

e) Inspeksi Diri
Inspeksi diri harus dilakukan dalam rangka memantau pelaksanaan dan
kepatuhan terhadap pemenuhan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) dan
untuk bahan tindak lanjut langkah-langkah perbaikan yang diperlukan (BPOM,
2012b). Inspeksi diri dilakukan secara berkala pada waktu yang telah ditetapkan
oleh fasilitas distribusi.

f) Keluhan, Obat dan/ atau Bahan Obat Kembalian, Diduga Palsu dan Penarikan
Kembali
Semua keluhan dan informasi lain tentang obat dan atau bahan obat
berpotensi rusak harus dikumpulkan, dikaji dan diselidiki sesuai dengan prosedur
tertulis. Obat dan atau bahan obat yang akan dijual kembali harus melalui
persetujuan dari personil yang bertanggung jawab sesuai dengan kewenangannya.
Koordinasi diperlukan dari setiap instansi, industri farmasi dan fasilitas distribusi
dalam menangani obat dan atau bahan obat yang diduga palsu. Harus tersedia
dokumentasi untuk setiap proses penanganan keluhan termasuk pengembalian dan
penarikan kembali serta dilaporkan kepada pihak yang berwenang (BPOM,
2012b).

10

g) Transportasi
Selama proses transportasi, harus diterapkan metode transportasi yang
memadai. Obat dan atau bahan obat harus diangkut dengan kondisi penyimpanan
sesuai dengan informasi pada kemasan. Metode transportasi yang tepat harus
digunakan mencakup transportasi melalui darat, laut, udara, atau kombinasi di
atas. Apapun moda transportasi yang dipilih, harus dapat menjamin bahwa obat
dan atau bahan obat tidak mengalami perubahan kondisi selama transportasi yang
dapat mengurangi mutu. Pendekatan berbasis risiko harus digunakan ketika
merencanakan rute transportasi (BPOM, 2012b).

h) Fasilitas Distribusi Berdasarkan Kontrak


Semua kegiatan kontrak harus tertulis antara pemberi kontrak dan
penerima kontrak serta setiap kegiatan harus sesuai dengan persyaratan CDOB.
Cakupan kegiatan kontrak, terutama yang terkait dengan keamanan, khasiat
dan mutu obat dan atau bahan obat, yaitu:
(1) Kontrak antar fasilitas distribusi
(2) Kontrak antara fasilitas distribusi dengan pihak penyedia jasa antara lain
transportasi, pengendalian hama, pergudangan, kebersihan dan sebagainya.
(BPOM, 2012b).

i) Dokumentasi
Dokumentasi yang baik merupakan bagian penting dari sistem manajemen
mutu. Dokumentasi tertulis harus jelas untuk mencegah kesalahan dari

11

komunikasi lisan dan untuk memudahkan penelusuran, antara lain sejarah batch,
instruksi, prosedur. Dokumentasi merupakan dokumen tertulis terkait dengan
distribusi (pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan pelaporan), prosedur tertulis,
dan dokumen lain yang terkait dengan pemastian mutu (BPOM, 2012b).
Pelanggaran terhadap ketentuan Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat
yang Baik (CDOB) dapat dikenai sanksi administratif, yaitu:
1. Peringatan tertulis,
2. Penghentian sementara kegiatan,
3. Pencabutan Sertifikat CDOB (BPOM, 2012b).

2. Distribusi Obat
Distribusi adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan meliputi
pengadaan, pembelian, penyimpanan, penyaluran, importasi, eksportasi obat dan
atau bahan obat, tidak termasuk penyerahan obat langsung kepada pasien (BPOM,
2012b). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 14 Ayat 1, Setiap Fasilitas Distribusi atau
Penyaluran Sediaan Farmasi berupa obat harus memiliki seorang Apoteker
sebagai penanggungjawab (Kemenkes, 2009a).
Jalur distribusi obat pada umumnya diawali dari industri farmasi kemudian
disalurkan kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF). Pedagang Besar Farmasi
(PBF) kemudian akan menyalurkan atau mendistribusikan obat pada PBF cabang,
apotek, instalasi farmasi rumah sakit, balai pengobatan, dan gudang farmasi.
Untuk narkotik dan psikotropika memiliki jalur distribusi sendiri.

12

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009


tentang Narkotika menyebutkan bahwa Industri Farmasi tertentu hanya dapat
menyalurkan narkotika kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF) tertentu, apotek,
sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu dan rumah sakit. PBF
tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada PBF tertentu lainnya, apotek,
sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu, dan lembaga ilmu
pengetahuan. Untuk sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu
hanya dapat menyalurkan narkotika kepada rumah sakit pemerintah, pusat
kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan pemerintah tertentu. Sedangkan
untuk narkotika golongan I hanya dapat disalurkan oleh PBF tertentu kepada
lembaga ilmu pengetahuan (Kemenkes, 2009b).
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997
menyatakan penyaluran psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat
kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF), apotek, sarana penyimpanan sediaan
farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan atau lembaga
pendidikan. PBF dapat meyalurkannya kepada PBF lain, apotek, sarana
penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian
dan atau lembaga pendidikan. Sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah
dapat menyalurkannya kepada puskesmas dan balai pengobatan. Psikotropika
golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan PBF kepada lembaga
penelitian dan atau lembaga pendidikan saja (Kemenkes, 1997).

13

3. Apotek
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 tahun 2004 tentang
standar pelayanan kefarmasian di apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah
tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan
farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Apoteker adalah
sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan apoteker (Kemenkes, 2004).
Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik.
Perbekalan kesehatan adalah semua bahan selain obat dan peralatan yang
diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan yang termasuk
pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi,

pengamanan,

pengadaan,

penyimpanan

dan

pendistribusi

atau

penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional
(Kemenkes, 2004).
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Obat palsu
adalah obat yang diproduksi oleh yang tidak berhak berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang
meniru identitas obat lain yang telah memiliki izin edar (BPOM, 2012b).

14

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 1027 tahun 2004


tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek, apotek haruslah berlokasi pada
daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Halaman apotek terdapat
papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan
mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan
pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya.
Hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta
mengurangi resiko kesalahan penyerahan.
Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker
untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga
kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga atau pest.
Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.
Apotek harus memiliki :
1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien,
2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur
atau materi informasi,
3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja
dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien,
4. Ruang racikan,
5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. (Kemenkes, 2004)

15

Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan


obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu,
kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan
dengan temperatur yang telah ditetapkan. Pengelolaan persediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang
berlaku meliputi:
1. Perencanaan,
2. Pengadaan, untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan
sediaan farmasi harus melalui jalur resmi,
3. Penyimpanan dan pelayanan,
Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus
dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada
wadah baru. Informasi tersebut minimal berisi nomor batch dan tanggal
kadaluarsa. Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak
dan menjamin kestabilan bahan.
4. Pengeluaran obat memakai sistim FIFO (first in first out) dan FEFO (first
expired first out) (Kemenkes, 2004).
Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan
kegiatan administrasi yang meliputi :
1.

Administrasi Umum,
Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

16

2. Administrasi Pelayanan,
Pengarsipan

resep,

pengarsipan

catatan

pengobatan

pasien,

dan

pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat (Kemenkes, 2004).


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 922/Menkes/per/1993 Tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, apoteker wajib menyediakan,
menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan terjamin
keabsahannya. Obat dan perbekalan farmasi lainnya yang tidak dapat digunakan
karena rusak atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan dibakar atau
ditanam atau cara lain yang ditetapkan Dirjen POM Pemusnahan tersebut harus
dilakukan apoteker pengelola apotek atau apoteker pengganti dibantu oleh
sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek. Pemusnahan narkotika wajib
mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Anief, 2000).

G. KERANGKA KONSEP

Gambar 1. Kerangka Konsep

17

H. KETERANGAN EMPIRIK
Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai pelaksanaan Cara
Distribusi Obat yang Baik yang sudah ditetapkan oleh BPOM khususnya pada
Apotek di Kecamatan Mlati, Sleman, Yogyakarta. Selain itu, penelitian ini juga
dapat memberikan masukan atau manfaat bagi para farmasis yang berkerja di
bidang distribusi obat serta intansi-instansi terkait.

Anda mungkin juga menyukai