Anda di halaman 1dari 4

Ziarah Daun Gugur1

Lazimnya daun menyerap karbon dioksida, dan cahaya matahari,


begitulah yang kita dengar dari buku pelajaran biologi. Tetapi bagaimana
jika daun memilih untuk menyerap kenangan dan menolak pohonnya
sendiri? Mari kita kunjungi sebuah pohon beringin di tengah kuburan, dan
lihatlah ke atas menembus kerindangannya. Di puncak pohon itu ada
pucuk muda. Si pemula ini bisa dikatakan beruntung sebab dapat bernafas
lega dan mendapat asuhan matahari tanpa terhalangi.
Bila kita pernah mengunjungi kuburan, pastilah batu nisan yang jadi
tujuannya. Padahal di balik itu ada gudang kenangan. Sayang, yang paling
tahu hanya pohon beringin dan dedauannya. Lantaran akarnya menyatu
dengan tanah, demikian juga seluruh kenangan.
Ia belum mekar benar sebagai daun, karena itu akar senantiasa
mengirim pasokan air padanya. Tiap kali hujan turun, lalu air merembes ke
dalam tanah hingga akar, ia juga membawakan kenangan. Baik yang
tersimpan di tanah itu, atau dari tempat asalnya. Saat pertama kalinya
menerima pesan tersembunyi dari air yang disalurkan padanya, si Pucuk
muda menganggapnya sebagai keajaiban. Suatu hari ia mendapat pesan
yang tidak biasa. Semua pesan memang seperti potongan teka-teki, tetapi
kali ini pesan itu memiliki perasaan yang kuat seolah tidak berasal dari
kenangan satu orang saja. Seperti inilah isi pesan tersebut, Kiamat...wasiat
dilanggar...jangan sampai ada tiga jembatan.
Saat itu ia telah menjadi daun muda. Kebetulan angin datang dan
menepuknya hingga si Daun muda bersentuhan dengan tetangganya. Di
saat bersentuhan, si Daun bisa mencuri dengar pesan yang di dapat daun
lainnya. Isi pesan dari

tetangganya

seperti ini, tinggal menunggu

waktu...hujan terus turun...akan ditambah lagi satu jembatan.


Kedua pesan terakhir itu menggugah minatnya. Ia selalu bertanyatanya dan berharap hujan turun lagi. Selain kepada dirinya sendiri, ia juga
bertanya kepada angin yang melintas, tetapi selalu saja angin menjawab,
tunggulah awan hujan. Namun, dengan semangat klorofil muda ia tak
menyerah, ia lalu bertanya pada sinar matahari yang diserapnya.
Wahai sinar yang hangat, dapatkah engkau menceritakan suatu
tempat di mana terdapat tiga jembatan dan terjadi musibah?
Perjalanan kami adalah cerita yang panjang dan engkau tak akan
pernah memahaminya. Tunggulah hujan turun.
1 Didedikasikan untuk mengenang musibah banjir bandang Garut 2016.

Tapi hujan belum juga turun. Sementara sinar matahari sedang terikteriknya sampai tonggeret banyak yang memainkan tymbal2-nya. Sampai ia
berubah jadi lebih gelap dan besar hujan belumlah turun juga.
Selama waktu berlalu, setiap angin yang membuat

si

Daun

menyentuh sesamanya, adalah kesempatan untuk menggali arti pesan itu


lebih mendalam lagi. Tetapi setiap daun yang bersentuhan dengannya
mengatakan hal yang sama, kembalilah jadi daun. Apakah sebuah tabu
bagi daun untuk menyimpan rasa penasaran, renungnya.
Tak puas bertanya pada sesamanya, kini giliran ia bertanya pada
pohonnya. Pohon sebagai asal-usulnya tentu jadi yang paling tahu tentang
semua kenangan. Semua kenangan pada daun adalah miliknya, tetapi
kenangan milik si pohon bukan milik semua daun. Atas dasar itu ia merasa
si pohon bukan dirinya, malah ia adalah bagian dari diri si pohon. Setelah
membuat kontak, tanggapan yang ia terima tak sesuai harapannya.
Bukan main, semua yang termasuk bagian pabrik itu bereaksi.
Rerimbunan daun membunyikan gemerisik yang paling berisik. Pada sulur
dan dahan terasa seolah sesuatu menarik mereka kuat-kuat. Sebagai satu
entitas, pohon, mereka sepakat bahwa, jadilah daun, yang hanya haus
pada udara dan cahaya matahari. Bukan kenangan, apalagi pertanyaan!
Tak cukup sampai disitu, mereka menambahkan, engkau hanya hama
yang bisa menular. Apa jadinya kalau semua daun jadi seperti dirimu?!
Hanya merenung sampai layu sendiri? Pada akhirnya, kita semua
menghancurkan diri.
Jawaban itu membuat ia memandang antara dirinya dan pohon,
adalah sama-sama orang asing. Bagi si Daun, untuk pertama kalinya
ranting yang menumpu hidupnya malah terasa memenjarakan. Dan
semakin meradang ketika merasa jika hidup juga memenjarakannya,
dengan cara ia sebagai daun.
Sejak saat itu si Daun selalu berharap angin kencang menculiknya
dari belenggu ranting. Meskipun dalam arti lain adalah kematian. Tapi
kematian baginya malah tampak seperti fajar. Ada ilham yang ia temukan,
dan itu terasa seperti ia diselimuti embun pagi. Ia mendapat wawasan
bahwa kematian adalah penyeimbang. Pohon jati yang tak jauh dari
kuburan, akan menggugurkan daunnya pada musim kemarau, semua itu
untuk menyeimbangkan hidup si pohon agar tak kehausan, renungnya.
Atas dasar ini, daun kita dengan mantap mengatakan Ya pada kematian.

2 Organ pada pangkal sayap tonggeret yang digetarkan untuk mengeluarkan bunyi.

Ada benarnya apa yang dikatakan daun-daun lain. Semakin daun


kita mendalami perenungannya, ia semakin cepat tua, gelap sebelum
waktunya, dan tampak layu walau bermandikan embun. Tetapi, tidak ada
kecemasan yang menghinggapi daun kita ini. Ia malah tak peduli walau
gugur dan jatuh dimakan tanah. Tak pernah lagi bertemu cahaya matahari.
Lenyap.
Semakin renggang pegangan dengan rantingnya, semakin ia cicipi
seperti apa kebebasan yang dirasakan oleh angin. Tak henti-hentinya, ia
menyampaikan pesan pada setiap angin yang berhembus, supaya nanti
mengantarkan dirinya pada tempat melulu diangan-angankan dalam
perenungannya. Keinginan itu begitu besar, sebab kenangan-kenangan yang
disusupkan air padanya telah ia anggap sebagai diri sendiri. Maka, dengan
berada langsung di sebuah tempat yang memiliki tiga jembatan itu, ia
merasa telah menziarahi asal-usul dirinya.
Di atas si Daun, langit tampak murung lantaran awan pekat
menghalangi sinar matahari. Angin kencang berulang kali menerpa pohon
beringin, seperti deras air sungai yang menumbuk batu kali. Tentu saja, si
Daun menganggap ini kesempatan yang baik. Tak akan ada lagi ranting
yang mengekangnya, memasukannya pada bagian nasib si pohon. Sebentar
lagi, ia adalah dirinya sendiri. Meskipun, ia ragu karena jerat si ranting tak
terasa melemah. Ia butuh angin yang lebih kencang.
Barulah setelah rintik-rintik hujan menjadi semakin deras, ia lepas
dari rantingnya.

Air hujan yang membasahinya adalah tanda air mata

bahagia. Seberapa bahagia? Si Daun justru jadi semakin ragu, hembusan


angin terlalu liar baginya, dan merasa bahwa dirinya hanya jadi mainan
bagi si angin. Terutama ketika dibawa terbang dan bertumbukan dengan
daun-daun lainnya, ia mendapat ejekan dari setiap persentuhan dengan
daun-daun sepohonnya. Meskipun ia menyalahkan angin, tetap saja ia tak
berdaya, tidak membuat si angin gentar. Malah semakin menjadi-jadi, ia
harus merasakan dirinya tersilet-silet kala menumbuk ranting. Dan si
angin tak berhenti menerbangkannya walau ia sempat terjerat jaring labalaba.
Karena tubuhnya semakin berat, si Daun bisa merasakan panggilan
gaya tarik bumi. Setiap kali ia kehilangan ketinggian, gaya tarik bumi jadi
sejelas berat tubuhnya, dan menyampaikan pesan, sebentar lagi engkau
menjadi milik penghuni tanah.

Ya, dan menjadi bagian dari seluruh kenangan yang terkubur di


dalamnya. Diriku menjadi sesuatu yang lebih besar! Si Daun membatin,
sambil menikmati saat-saat kejatuhannya.
Tiba-tiba angin kencang datang lagi bersamaan dengan sambaran
kilat. Si Daun harus bersabar lagi untuk terombang-ambing. Dan kali ini ia
menumbuk batu nisan berbentuk lingga. Ia tetap tertahan pada muka batu
itu selama angin kencang berhembus. Ia benar-benar harus bersabar, dan
ternyata untuk waktu yang sangat lama.
Lama setelah hujan berhenti. Daun kita ini tetap tertahan di sana.
Sepanjang hari ia berjemur, sampai kering dan tipis pun tak dapat
bersentuhan

dengan

tanah.

Ia

menyalahkan

jaring

laba-laba

yang

membuatnya lengket dengan batu itu. Juga angin yang membawanya ke


mari. Karena kali ini ia menghadapi ketakutan lain. Setiap hari, ada bagian
tubuhnya yang pecah. Jatuh ke tanah, atau dibawa angin, sendiri-sendiri.
Yang paling menakutkan ia kehilangan setiap kenangan yang membuatnya
adalah dirinya sendiri dan bukan si pohon. Setiap pecahan daun yang
menyimpan kenangannya terpecah jadi diri masing-masing. Sekarang,
dirinya hanya bersama dengan tulang daun, hal terakhir yang ia miliki.
Tanpa sepengetahuan si Daun, di pekuburan itu banyak orang-orang
yang dimakamkan. Mereka adalah korban bencana yang bertempat tinggal
di daerah dengan tiga jembatan yang selalu dilihatnya. Jawaban yang ia cari
selama ini akan terkubur, di tanah yang tak pernah tersentuh olehnya. Tak
terziarahi dirinya.

Anda mungkin juga menyukai