Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Teknik kimia merupakan ilmu teknik yang mempelajari pemrosesan
bahan mentah menjadi barang yang lebih berguna. Seorang sarjana teknik
kimia harus dapat memahami dan merancang suatu proses pengolahan bahan
baku menjadi produk yang lebih berguna. Untuk mengolah bahan baku
menjadi produk yang berguna diperlukan reaktor. Sistem yang terbatas dan
sesuai kondisi operasi tertentu, sistem inilah yang disebut sebagai reaktor.
Perancangan reaktor harus dilakukan secara detail karena reaktor merupakan
alat utama yang berperan dalam proses pembuatan suatu produk. Peran
seorang sarjana teknik kimia adalah merancang reaktor yang efisien agar hasil
yang didapatkan maksimal.
Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja reaktor. Perlakuan paling
tepat pada faktor faktor tersebut merupakan masalah utama dalam
perancangan reaktor (Levenspiel, 1999). Pada beberapa perancangan reaktor
yang telah ada, perhitungan berbagai macam data dilakukan dengan metode
numerik secara manual. Perhitungan tersebut merupakan masalah numerik
yang kompleks. Sebagai perbaikan metode yang telah ada, akan dilakukan
perancangan dan simulasi reaktor secara numerik menggunakan perangkat
lunak yang disebut Scilab. Perangkat lunak ini hampir menyerupai Matlab,
sebagai sebuah program interaktif untuk komputasi numerik dan visualisasi
data (Sasongko, 2010). Dua kelebihan utama dari Scilab yaitu gratis
(freeware) dan tersedia untuk berbagai sistem operasi seperti Windows, Mac
OS/X, Unix dan Linux.
1.2. Rumusan Masalah
Reaktor merupakan sistem yang terbatas sesuai kondisi operasi
tertentu maka dalam merancang sebuah reaktor diperlukan banyak
pertimbangan dan perhitungan yang kompleks. Pertimbangan tersebut
diantaranya adalah jenis reaktor, volume reaktor yang dibutuhkan, kondisi
operasi reaktor, serta konversi yang dihasilkan oleh reaktor tersebut.
Pehitungan-perhitungan

mengenai

neraca

massa,

kinetika

reaksi,

termodinamika reaksi, neraca energi, dan lain-lain. Perhitungan matematis

secara manual tidak memungkinkan hasil yang tepat dan akurat, maka dengan
menggunakan Scilab 5.1.1 diharapkan dapat menyelesaikan perhitungan
tersebut sehingga lebih cepat dan akurat.
1.3. Tujuan
1. Menyusun program komputasi dan merancang reaktor alir pipa nonadiabatis pada reaksi pembentukan stirena.
2. Dapat mensimulasikan dan menentukan profil hubungan suhu terhadap
konversi.
3. Dapat mensimulasikan dan menentukan profil hubungan suhu terhadap
volume reaktor.
1.4. Manfaat
1. Mahasiswa mampu menyusun program Scilab dalam perancangan reaktor
alir pipa non-adiabatis pada pembentukan stirena.
2. Mahasiswa mampu mensimulasikan dan menentukan profil hubungan suhu
terhadap konversi.
3. Mahasiswa mampu mensimulasikan dan menentukan profil hubungan suhu
terhadap volume reaktor.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Teori
2.1.1. Jenis Reaktor Berdasarkan Prosesnya
Dalam perancangan sebuah sistem produksi, salah satu komponen
utama yang perlu diperhatikan adalah reaktor. Pemilihan reaktor didasarkan
pada jenis reaktan serta kondisi operasi dari reaktor tersebut. Secara umum,
reaktor ideal terbagi menjadi 3 jenis: reaktor batch, reaktor plug flow dan
reaktor mixed flow (Levenspiel, 1999).

Gambar 2.1 Tiga jenis reaktor ideal: (a) reaktor batch; (b) reaktor plug
flow; dan (c) reaktor mixed flow
a. Reaktor Batch
Pada reaktor batch, reaktan dimasukkan ke dalam tangki kemudian
dilakukan pengadukan dan dibiarkan bereaksi dalam waktu tertentu. Setelah
itu campuran dialirkan keluar tangki dan tangki diisi kembali dengan reaktan
yang baru (Levenspiel, 1999).

Gambar 2.2 Pemodelan reaktor batch untuk fase gas


Operasi pada reaktor batch termasuk operasi unsteady-state dimana
komposisi dalam reaktor berubah terhadap waktu namun komposisi campuran
di dalam reaktor selalu seragam. Tidak ada fluida yang masuk maupun keluar

selama reaksi berlangsung (Levenspiel, 1999). Sehingga persamaan neraca


massa pada reaktor dapat dituliskan:
=
0 () 0 = / () = /
b. Reaktor Plug Flow
Reaktor plug flow, atau sering pula disebut reaktor slug flow, piston
flow, ideal tubular, atau unmixed flow, termasuk pada jenis reaktor steadystate. Pada reaktor jenis ini, terjadi pencampuran lateral antar fluida di
dalamnya. Pada reaktor jenis ini, komposisi fluida di sebuah titik berbeda
dengan komposisi fluida di titik lain di sepanjang reaktor (Levenspiel, 1999).

Gambar 2.3 Profil konsentrasi pada reaktor plug flow


Persamaan neraca massa pada reaktor plug flow:
= () + = /
Aliran pada reaktor plug flow adalah aliran steady state sehingga persamaan
menjadi:
() + = 0
c. Reaktor Mixed Flow
Selain reaktor plug flow, jenis reaktor steady state yang lain adalah
reaktor mixed flow atau sering dikenal dengan Continuous Stirred Tank
Reactor (CSTR). Seperti namanya, fluida di dalam tangki diaduk kemudian
dikeluarkan dengan laju alir tertentu. Oleh karena itu, komposisi keluaran
reaktor sama dengan komposisi fluida yang ada di dalam reaktor (Levenspiel,
1999).

Gambar 2.4 Pemodelan reaktor mixed flow


Persamaan neraca massa pada reaktor mixed flow:
= 0 () = /
Aliran pada reaktor mixed flow adalah aliran steady state sehingga persamaan
menjadi:
0 () = 0
2.1.2. Jenis Reaktor Berdasarkan Keadaan Operasinya
a. Reaktor Isotermal
Reaktor isotermal adalah jika umpan atau fluida yang masuk dan
tercampur dalam reaktor maka aliran fluida yang keluar dari reaktor selalu
seragam dan bersuhu sama (/=0). Bila reaksi eksotermis atau
endotermis, maka diperlukan pengendalian temperatur (T) untuk menjaga
kondisi isotermal dengan memberi pendingin atau pemanas (Budiaman,
2007).
b. Reaktor Adiabatis
Pada reaktor adiabatis, tidak ada perpindahan panas antara reaktor
dengan sekelilingnya (Q=0). Ditinjau dari segi operasionalnya, reaktor
adiabatis yang paling sederhana, cukup dengan menyekat reaktor, sehingga
tidak ada panas yang hilang ke sekelilingnya (Maranatha, 2015).
c. Reaktor Non-adiabatis
Reaktor non-adiabatis merupakan reaktor yang dalam kerjanya
melepas atau menyerap panas dari lingkungannya (Maranatha, 2015).
2.1.3. Jenis-Jenis Reaksi
1. Berdasarkan Panas Reaksi

Terdapat hubungan antara energi panas dan energi kimia yang


dipelajari dalam ilmu termokimia. Energi kimia didefinisikan sebagai
energi yang dikandung senyawa (energi potensial kimia). Energi potensial
kimia tersebut dikeal dengan entalpi. Selisih antara entalpi produk dan
entalpi reaktan disebut dengan perubahan entalpi reaksi (H). Nilai
perubahan entalpi reaksi dapat dihitung dari entalpi pembentukan masingmasing senyawa yang menyusun reaksi atau dengan energi ikatan dari
senyawa-seyawa tersebut. Berdasarkan perubahan entalpinya, reaksi dapat
dibedakan menjadi reaksi endotermis dan reaksi eksotermis (Elida dkk.,
1994).
a. Reaksi Endotermis
Apabila perubahan entalpi reaksi bernilai positif (H = +), yang
artinya reaksi tersebut berlangsung dengan membutuhkan panas sebesar
H.
b. Reaksi Eksotermis
Apabila reaksi melepas panas sebesar H yang menyebabkan besar
perubahan entalpi reaksi bernilai negatif (H = -).
2. Berdasarkan Kesetimbangan Reaksi
Dalam ilmu kimia dikenal dua jenis reaksi, yaitu reaksi dapat balik
(reversibel) dan reaksi berkesudahan (irreversibel). Reaksi irreversibel
adalah suatu reaksi yang berlangsung dalam satu arah. Zat hasil reaksi
tidak dapat bereaksi kembali untuk membentuk zat pereaksi. Reaksi
reversibel adalah suatu reaksi yang berlangsung dalam dua arah. Zat hasil
reaksi dapat bereaksi kembali membentuk zat pereaksi. Kesetimbangan
terjadi pada reaksi reversibel saat kecepatan pembentukan zat-zat hasil
reaksi sama dengan kecepatan pembentukan kembali zat-zat pereaksi
(Kristianingrum, 2010).
Penentuan tetapan kesetimbangan dapat dilakukan dengan dua
cara: (1) melalui penentuan konsentrasi pereaksi dan hasil reaksi pada
keadaan setimbang dan (2) dengan perhitungan dari data termodinamika
melalui hubungan Go dan K, o = ln (Kristianingrum, 2010).
3. Berdasarkan Jumlah Reaktan
a. Monomolekuler

Pada reaksi monomolekuler, zat pereaksi hanya terdiri dari satu


buah senyawa.
Contoh: 2NOBr(g)

2NO(g) + Br2(g)

b. Bimolekuler
Pada reaksi bimolekuler, terdapat dua buah senyawa yang berperan
sebagai zat reaktan dalam sebuah reaksi.
Contoh: 2H2(g) + O2(g)

2H2O(g)

4. Reaksi Kompleks
a. Reaksi Seri
Reaksi seri atau reaksi konsekutif yaitu dari reaktan terbentuk
produk antara yang aktif kemudian lebih lanjut berubah menjadi produk
lain yang stabil. Reaksi seri yang terkenal pada skala industri adalah reaksi
antara etilen-oksid dan ammonia berurutan terbentuk mono-etanol-amin,
kemudian reaksi berlanjut terbentuk di-etanol-amin dan produk akhir
adalah tri-etanol-amin (Harsanti, 2015).
C2H4O+NH3NH3

HOCH2CH2NH2

(HOCH2CH2NH)2NH

(HOCH2CH2)3N
b. Reaksi Paralel
Reaksi paralel atau reaksi samping (competitive reaction) yaitu dari
reaktan yang sama dihasilkan produk yang berbeda melalui jalur reaksi
yang berbeda pula. Contoh reaksi paralel yang cukup terkenal pada skala
industri adalah reaksi oksidasi terhadap etilen akan dihasilkan produk yang
diinginkan adalah etilen oksid sementara selama terjadi reaksi oksidasi
sebagian etilen terbakar sempurna dan dihasilkan produk yang tidak
diinginkan adalah uap air dan karbon dioksida (Harsanti, 2015).
C2H4 + O2

C2H4O

C2H4 + 3O2

2CO2 + 2H2O

2.2. Studi Kasus


2.2.1. Deskripsi Proses
Dehidrogenasi adalah salah satu reaksi yang penting dalam industri
kimia meskipun penggunaannya relatif sedikit bila dibandingkan dengan
proses hidrogenasi. Reaksi dehidrogenasi adalah reaksi yang menghasilkan
komponen yang berkurang kejenuhannya dengan cara mengeliminasi atom

hidrogen dari suatu senyawa menghasilkan suatu senyawa yang lebih


reaktif. Pada prinsipnya semua senyawa yang mengandung atom hidrogen
dapat dihidrogenasi, tetapi umumnya yang dibicarakan adalah senyawa
yang mengandung carbon seperti hidrokarbon dan alkohol. Proses
dehidrogenasi

kebanyakan

berlangsung

secara

endotermis

yaitu

membutuhkan panas.
Reaksi monomolekuler merupakan reaksi berlangsung dengan
molekul reaktan yang sama. Sebagai contoh adalah reaksi polimerisasi
kondensasi, dekomposisi, dan dehidrogenasi (cracking).
Reaksi paralel merupakan reaksi dimana suatu reaktan akan
menghasilkan produk yang berbeda, sehingga ada selektivitas reaktan
untuk menghasilkan produk yang satu terhadap yang lain. Proses
pembuatan stirena dari etilbenzena berdasarkan pada reaksi dehidrogenasi
pada molekul etilbenzena dengan melepaskan dua atom hidrogen dari
cabang etil. Reaksi berlangsung dalam fasa gas, bersifat reversibel
endotermis. Panas yang dibutuhkan digunakan untuk memutus ikatan C-H.
Reaksi Utama:
C6H5C2H5(g) C6H5C2H3(g) + H2(g)
Reaksi dehidrogenasi ini juga menimbulkan reaksi samping sebagai
berikut:
C6H5C2H5(g) C6H6(g) + C2H4(g)
2.2.2. Spesifikasi Bahan Baku dan Produk
A. Spesifikasi Bahan Baku

Etilbenzena (PT. Styrindo Mono Indonesia, 2009)


Wujud
= Cair
Kenampakan
= Tidak berwarna
Bau
= Khas aromatis
Komposisi :

Etilbenzena

= Minimal 99,85 % berat

Benzena

= Maksimal 0,15 % berat

Berat jenis pada 25oC


Viskositas pada 25oC

= 0,867 g/mL
= 0,6268 cp

B. Spesifikasi Produk Utama

C.

Stirena (Cevron Philips Chemical Company, 2004)


Wujud
= Cair
Kenampakan = Tidak berwarna
Bau
= Khas aromatis
Komposisi :
Stirena
= Minimal 99,7 % berat
Etilbenzena = Maksimal 0,3 % berat
Inhibitor
= 4-tert-butylcatechol 10 20 ppm
Spesifikasi Produk Samping
Benzena (Chevron Philips Chemical Company, 2004)
Wujud
= Cair
Kenampakan = Tidak berwarna
Bau
= Khas aromatis
Komposisi :
Benzena
= Minimal 99,95 % berat
Toluena
= Maksimal 0,05 % berat

2.2.3. Kondisi Operasi


Reaksi pembentukan stirena dengan proses degidrogenasi senyawa
etilbenzena dengan kondisi operasi:

Suhu operasi: 650oC atau 923K.


Tekanan operasi: 1,2 atm.
Reaksinya monomolekuler, paralel, endotermis dan reversibel.
Reaktor beroperasi dengan kondisi non-adiabatis dan non-isotermal

(adanya perpindahan kalor).


Selektivitas stirena adalah 97% (Kirk Othmer, 1980).
Selektivitas benzena adalah 3%.

2.2.4. Tinjauan Termodinamika


Menurut Smith Van Ness (1975), tinjauan segi termodinamika
adalah untuk mengetahui apakah reaksi tersebut melepaskan panas
(eksotermis) atau memerlukan panas (endotermis), dan juga apakah reaksi
berjalan searah atau bolak-balik.
Reaksi utama dehidrogenasi etilbenzena :
C6H5C2H5(g) C6H5C2H3(g) + H2(g)
Etilbenzena

Stirena

Hidrogen

Reaksi dehidrogenasi merupakan reaksi endotermis. Hal ini dapat


dilihat dari harga H reaksinya yang positif.
Data-data Hof pada T= 298K :

Hof hidrogen

=0

Hof etilbenzena

= 2,992 x 107 J/kmol

Hof stirena

= 14,74 x 107 J/kmol

Horeaksi

= Hof produk - Hof reaktan


= (Hof stirena+ Hof hidrogen) - (Hof etilbenzena)
= (14,74 + 0 2,992) x 107 J/kmol
= 11,748 x 107 J/kmol

Dengan

demikian

reaksi

yang

berlangsung

adalah

endotermis yang membutuhkan panas.


Goreaksi

= Goproduk - Goreaktan
= (Gostirena + Gohidrogen) (Goetilbenzena)
= (21,39 + 0 13,073) x 107 J/kmol
= 8,317 x 107 J/kmol

Go

= -RT ln K

ln K

= -Go/ RT
7

8,317 x 10 J /kmol
J
8314
x 298 K
kmol . K

= -33,569
= 2,63 x 10-15

Harga K pada suhu operasi reaktor yaitu 650C (923K) adalah:


ln

K 2 H reaksi
1
1
=
x

K1
R
T1 T 2

ln

K 923 11,748 x 104 J /mol


1
1
=
x

K 298
8,314 J /(mol . K )
298 K 923 K

ln

K 923
2,63 x 1015
K 923
15

2,63 x 10

=32,1

=e32,1

29

K 923 =3,014 x 10

)
)

reaksi

Karena harga konstanta kesetimbangan sangat kecil maka reaksi berjalan


bolak-balik (reversibel).
Reaksi samping:
C6H5C2H5(g) C6H6(g) + C2H4(g)
Etilbenzena

Benzena

Etilen

Data-data Hof pada T

= 298K :

Hof Etilbenzena

= 2,992 x 107 J/kmol

Hof Benzena

= 8,288 x 107J/kmol

Hof Etilen

= 5,251 x 107J/kmol

Horeaksi

= Hof produk - Hof reaktan


= (Hof benzena + Hof etilen) - (Hof etilbenzena)
= (8,288 + 5,251 2,992) x 107 J/kmol
= 10,547 x 107 J/kmol

2.2.5. Tinjauan Kinetika


Tinjauan secara kinetika dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh
perubahan suhu terhadap kecepatan reaksi.
Reaksi utama: C6H5C2H5(g) C6H5C2H3(g) + H2(g)
Reaksi samping: C6H5C2H5(g) C6H6(g) + C2H4(g)
C6H5C2H5 (g) + H2 (g) C6H5CH3 (g) + CH4 (g)
Dan persamaan kecepatan reaksinya adalah :
r1= k1 (PE PSPH2/K)
r2= k2 PE
r3= k3 PE PH2
Dengan harga k masing-masing reaksi :
logk1 = (-31.370/5,575T) + 0,883
logk2 = (-50.800/5,575T) + 9,130
logk3 = (-21.800/5,575T) + 2,780
Dimana :
r

= kecepatan reaksi dehidrogenasi; lbmol/(hr)(lbcat)

= konstanta kecepatan reaksi; lbmol/(hr)(atm)(lbcat)

= konstanta kesetimbangan; atm

= temperatur reaksi; K

PE

= Tekanan parsial etilbenzena; atm

PS = Tekanan parsial stirena; atm


PH2 = Tekanan parsial hidrogen; atm
Menurut persamaan Arhenius :
k = A e-Ea/RT
Dalam hubungan ini :
k

= konstanta kecepatan reaksi

= faktor frekuensi tumbukan

Ea

= faktor energi aktivasi

= tetapan gas ideal

= temperatur mutlak
Dari persamaan Arhenius, diketahui bahwa dengan bertambahnya

suhu reaksi maka akan memperbesar harga konstanta kecepatan reaksi (k),
yang berarti mempercepat kecepatan reaksinya.
2.2.6. Kasus yang Akan Dirancang
2.2.6.1. Neraca Massa
Tabel 2.1 Neraca Massa pada Reaktor
Komponen
C8H10
C8H8
H2
C6H6
C2H4
C7H8
CH4
Total

Masuk (kg/jam)
8816,984
0
0
12,029
0
71,884
0
8900,897

Keluar (kg/jam)
881,698
7557,868
143,367
68,713
20,358
205,609
23,283
8900,897

2.2.6.2. Neraca Panas


Tabel 2.2 Neraca Panas pada Reaktor
Komponen
C8H10
C8H8
H2
C6H6
C2H4
C7H8
CH4
Panas reaksi
Pemanas
Total

Masuk (kJ/jam)

Keluar (kJ/jam)

11995089,2019

1199508,9202
9612991,0433
1305801,3519
85554,7181
31641,6910
259205,1758
47862,6217
8519931,0255
0
21062496,5476

0
0
14977,7705

0
85491,3076

0
0
8966938,2676
21062496,5476

2.2.6.3. Data Cp
Tabel 2.3 Data Panas Jenis
Kompone

Tmin, K

n
C8H10
C8H8
H2
C6H6
C2H4
C7H8
CH4

200
100
250
200
60
200
50

Tmax, K

Cp at Tmin x

Cp at Tmax x

1500
1500
1500
1500
1500
1500
1500

1E-05
0,8912
0,8931
0,2843
0,5358
0,3338
0,7016
0,3330

1E-05
3,6147
3,2416
0,3225
2,4157
1,0987
3,0029
0,8890

Berdasarkan data tersebut diinginkan untuk mengetahui hubungan


suhu terhadap konversi serta volume reaktor pada reaksi pembentukan stirena
menggunakan reaktor PFR non-adiabatis.

BAB III
METODE PENYELESAIAN
3.1. Pemodelan Kasus
Reaksi pembuatan stirena dari etilbenzena:
C6H5C2H5(g) C6H5C2H3(g) + H2(g)
A

Reaksi samping:
C6H5C2H5(g) C6H6(g) + C2H4(g)
A

Gambar 3.1 Model Reaktor Alir Pipa


Keterangan:
FA0

= Laju alir umpan

FAe

= Laju alir produk saat kesetimbangan

T0

= Suhu umpan masuk

Te

= Suhu produk saat kesetimbangan

= Suhu reaksi

= Volume

= Penambahan Volume

3.2. Algoritma
3.2.1.Neraca Massa

Pada reaktor jenis plug flow, aliran bersifat steady-state selama


reaksi berlangsung sehingga tidak terbentuk akumulasi produk dan reaktan
di dalam reaktor. Oleh karena itu, persamaan menjadi:
A (A) A + = 0
A = (A)
A = (A)
dV
1
=
d F A r A
Dengan A = A0(1A)

A = A0 A
dV
1
=
d F A r A
F
dV
= A0
d X A r A

Laju Reaksi
Reaksi pembentukan stirena pada hidrogenasi etilbenzena merupakan

reaksi endotermis monomolekuler dengan reaksi sebagai berikut:


C6H5C2H5(g) C6H5C2H3(g) + H2(g)

Horeaksi = 11,748 x 107 J/kmol (1)

C6H5C2H5(g) C6H6(g) + C2H4(g)

Horeaksi = 10,547 x 107 J/kmol (2)

Reaksi monomolekuler reversibel dapat dituliskan sebagai:


B+C (1)
D+E (2)
Dengan persamaan laju reaksi:

1 = 1 2BC
2 = 3
= 1 + 2BC 3
Pada kondisi setimbang, laju pembentukan produk sama dengan
laju pembentukan kembali reaktan (-rA1 = 0).
1 = 1 2BC
1 = 2BC
k1 C B C C
=
=K 1
k2
CA

dan k3 =

1
CA

K2

Nilai K dikenal dengan konstanta kesetimbangan reaksi.

Stoikiometri
Konsentrasi CA dalam suatu reaksi dapat dinyatakan sebagai:

Asumsi umpan terdiri dari etilbenzena murni dengan laju alir 8816,984
kg/jam = 1,386 kmol/menit.
Nilai epsilon () penghitungan CA reaksi 1
= (-1+1+1) x (FA0/Ftotal) = 1(FA0/Ftotal) = 1(1/1) = 1
Nilai epsilon () penghitungan CA reaksi 2
= (-1+1+1) x (FA0/Ftotal) = 1(FA0/Ftotal) = 1(1/1) = 1
NIlai P=P0
Nilai konsentrasi senyawa tiap waktu:
A
A
A
1X
1X
1X

A
A
A
CA = C6H5C2H5(g) = 1+ X + 1+ X = 1+ X

C A0
C A0
2C A 0

A
1X

A
CB = C6H5C2H3(g) = 1+X

C A0

A
1X

A
CC = H2(g) = 1+ X

C A0

A
1X

A
CD = C6H6(g) = 1+X

C A0

A
1X

A
CE = C2H4(g) = 1+ X

C A0

Kombinasi

= 1 2BC + 3
A
A
A
A
1X

1X
1X
1X

A
A
A
A
1+ X
= k1( 1+ X ) k2( 1+ X )(
+ k3( 1+ X )
T0

( )

T
2C A 0
C A0
2C
A0
CA 0

dV F A 0
=
dX A r A

A
1X

A
1+ X
A
1X

A
1+ X
A
1X

A
1+ X
A
1X

A
1+ X
2 CA 0

T0
( )+k 3
T
C A0

T
( 0 )
T
C A0

T0
( ) k 2
T
2 CA 0

k1
dV F A 0
=

dX A

3.2.2. Neraca Panas

Jika persamaan dideferensialkan terhadap V dan disusun maka akan menjadi:

Setelah disubstitusi maka akan didapatkan persamaan:

3.2.3. Hubungan T vs XA
dT
dT dV
=
x
d X A dV d X A

A
1X

A
1+ X
A
1X

A
1+ X
A
1X

A
1+ X
A
1X

H RX (T )
A

= Ua ( TaT )+ (rA ) x
1+ X
2 CA 0

T0
( )+k 3
T
C A0

T
( 0 )
T
C A0

T0
( ) k 2
T
2 CA 0

k1
F A0

3.3. Logika Pemrograman


Start

Input data T0, XA, FA0 dan V

Menghitung nilai T dari persamaan:


A
1X

A
1+ X
A
1X

A
1+ X
Menghitung nilai V dari persamaan:
A
1X
F

dV
= A0

d X A r A
A
1+ X
A
1X

Hitung Panjang Pipa


A
x
1+ X
2 CA 0

Input data D
T0
( )+k 3
T
C A0

T0
Tampilkan Profil ( T )
C A0

T0
( ) k 2
T
2 CA 0

k1
F A0

END
3.4. Bahasa Pemrograman

Anda mungkin juga menyukai