PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Inarningtyas(2014:168) menyatakan bahwa Otot terkilir adalah robeknya otot bagian
tendon karena teregang melebihi batas normal. Otot terkilir disebabkan oleh pembebanan
secara tiba-tiba pada otot.
Kelalaian dalam melakukan suatu aktivitas pun dapat menyebabkan kaki dan tangan
keseleo bagi siapa saja dan tidak pandang bulu, misalnya anak-anak yang bermain kejarkejaran apabila tidak hati-hati dan kehilangan keseimbangan maka kaki dan tangannya akan
jatuh ke dalam selokan dengan posisi miring dan menyebabkan keselo, serta penyebab lain
yang pada dasarnya adalah unsur ketidakhati-hatian.
Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki jutaan masyarakat
dengan profesi yang berbeda-beda dengan tingkat penggunaan fisik dalam bekerja yang
berbeda-beda pula. Terlebih mayoritas masyarakat Jambi yang memiliki pekerjaan dengan
pemakaian fisik yang lebih dominan, di antaranya 46,88% dari jumlah tenaga kerja Provinsi
Jambi bekerja pada sektor pertanian, perkebunan dan perikanan; 21,58% pada sektor
perdagangan dan 12,58% pada sektor jasa. Profesi pada sektor pertanian memiliki risiko
pekerjaan yang tinggi dalam lingkup fisik karena bekerja di tempat yang tidak datar
memungkinkan keadaan tubuh tidak seimbang sehingga menyebabkan terkilir atau keseleo.
Begitu juga para pekerja bangunan. Profesi itulah yang membuat tingginya risiko pekerja
mengalami keseleo atau terkilir.
Pada umumnya, masyarakat tidak melakukan pertolongan pertama dengan benar pada
kaki dan tangan yang keseleo, seperti mengoleskan minyak urut. Sehingga, hal itu berakibat
fatal seperti pembengkakan, kaki dan tangan bengkok dalam waktu lama maupun secara
permanen, ataupun sakit dan nyeri berkepanjangan.
Sakit pada otot yang dirasakan dalam berbagai peristiwa sering terjadi dalam waktu lama
menimbulkan rasa tidak nyaman pada kegiatan sehari-hari dan tidak jarang disertai dengan
memar yang menimbulkan rasa nyeri. Perawatan berkali-kali dan mahal menyebabkan
kantong masyarakat menengah kebawah tidak mampu untuk melakukan perawatan, mereka
lebih memilih untuk membiarkan penyakit tersebut sampai sembuh sendiri, walaupun mereka
tidak tahu sampai kapan.
Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia mengenal dan memakai tanaman berkhasiat
obat yang merupakan salah satu upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan.
Pengetahuan tentang tanaman obat merupakan warisan budidaya bangsa berdasarkan
pengalaman turun-temurun yang telah diwariskan oleh generasi terdahulu kepada generasi
berikutnya (Wijayakusuma, 1992).
Sedangkan di lain kasus, masyarakat yang mampu akan melakukan ronsen dan meminum
obat dari dokter dengan harga yang mahal. Pemberian obat yang diminum berupa obat
(kapsul, pil, sirup) pada penderita yang belum parah ini masih mungkin dilakukan sebab obat
yang diminum dari resep dokter tersebut ini dinilai masih mampu mengatasi luka tersebut. Di
sisi lain, pemberian obat ini dinilai oleh masyarakat sebagai pengobatan yang kurang efektif
karena dibuat dari bahan yang mengandung bahan kimia yang berefek sanping baik pada
jangka pendek maupun pada jamgka panjang. Selain itu, jika pemakaian obat yang diminum
berkepanjangan (masuk ke dalam tubuh) dapat menyebabkan ketergantungan maka obat
tersebut akan berdampak buruk jika diberikan secara terus-menerus yang tanpa ada
perubahan. Selain itu penggunaan obat dari resep dokter juga memerlukan biaya yang mahal.
Pemakaian daun gandarusa tidak memerlukan biaya yang mahal dan mudah untuk
mendapatkannya serta tidak tercampur oleh bahan-bahan kimia yang dapat berdampak buruk
pada tubuh.
Penulis mendapatkan informasi dari narasumber yang menggunakan daun gandarusa
sebagai obat kaki dan tangan terkilir secara turun-temurun yang dapat mengganti peran
minyak urut. Oleh sebab itu, pada penelitian ini penulis berusaha untuk membantu
masyarakat menengah bawah khususnya dan masyarakat luas umumnya dalam mengobati
kaki dan tangan terkilir atau keseleo dan memar dengan menggunakan tanaman gandarusa
yang dalam pengolahannya masih tradisional sebagai pengganti minyak urut.
keseleo
lainnya). Lalu setelah kaki tidak bengkak, namun luka pada pusat terkilir atau keseleo tetap
terasa sakit dan disertai memar berwarna hitam kebiruan, maka inilah yang akan diobati
menggunakan daun Gandarusa. Berikut pengolahan daun Gandarusa sebagai pengganti
minyak urut dengan cara yang masih tradisional:
1. Pemetikan daun
BAB II
PEMBAHASAN
banyak, dimulai dari dekat pangkal batang. Cabang - cabang yang masih muda berwarna
ungu gelap, dan bila sudah tua warnanya menjadi coklat mengkilat. Daun letak berhadapan,
berupa daun tunggal, yang bentuknya lanset dengan panjang 5-20 cm., lebar 1-3,5 cm, tepi
rata, ujung daun meruncing, pangkal berbentuk biji bertangkai pendek antara 5 7,5 mm,
warna daun hijau gelap. Bunga kecil berwarna putih atau dadu yang tersusun dalam
rangkaian berupa malai bulir yang menguncup, berambut menyebar dan keluar dari ketiak
daun atau ujung tangkai. Buah berbentuk bulat panjang. Selain yang berbatang hitam lebih
populer ada juga yang berbatang hijau. Di India dan Asia Tenggara dipakai sebagai penurun
panas, merangsang muntah, anti reumatik, pengobatan sakit kepala, kelumpuhan otot wajah,
eczema, sakit mata dan telinga (Sastroamidjojo, 1967).
Nama lokal Handarusa (Sunda), Gandarusa, Tetean, Trus (Jawa), Puli (Ternate), Besibesi (Aceh), Gandarusa (Melayu), Bo gu dan (China), Gandarisa (Bima). Daun Gandarusa
mengandung justicin, alkaloida, saponin, flavonoida, minyak atsiri, dan tanin. Berkhasiat
sebagai obat pegal linu, obat pening dan obat untuk haid yang tidak teratur. Kegunaan yang
lain untuk obat luka terpukul (memar), patah tulang (fraktur), reumatik pada persendian,
bisul, borok dan korengan. Daun tanaman gandarusa mempunyai banyak kegunaan dalam
pengobatan tradisional. Di antaranya, akar dan daun direbus, kemudian diminum dua kali
dalam sebulan bisa sebagai obat KB bagi laki-laki (Syamsuhidayat, 1991).
Pemakaian tanaman Gandarusa dalam mengobati kaki dan tangan terkilir atau keseleo
dan memar adalah dengan mengambil daun Gandarusa sebanyak 15-30 gr kering atau
sebanyak 30-60 gr gandarusa segar direbus minum airnya. Namun, pengobatan ini tidak dapat
dipakai oleh semua kalangan, khususnya ibu hamil karena mengandung sejenis alkaloid yang
sedikit mengandung racun, yang apabila penggunaannya sembarangan dapat membahayakan
tubuh di masa yang akan datang.
2.1.3 Tanin
Tanin adalah suatu seyawa polifenol yang banyak terdapat pada hijauan pakan ternak.
Suatu senyawa yang bersifat anti nutrisi yang dapat mengakibatkan keracunan pada ternak
apabila dikonsumsi oleh ternak secara berlebihan. Hal ini disebabkan karena sifat utamanya
yang dapat berikatan dengan protein atau polimer lainnya. Tanin mengikat protein
membentuk senyawa kompleks sehingga kelarutan proteinnya menurun dan sulit dicerna.
Tanin juga membentuk komplek dengan komponen polimer dinding sel dari serangan
organisme patogen dan menghentikan pembelahan sel (Swain, 1979). Tanin secara umum
dibagi menjadi dua kelas, yaitu tanin kondensasi dan tanin hidrolisis. Pada tanaman
Gandarusa mengandung tanin kondensasi. Tanin kondensasi dikenal juga sebagai
proanthocyanidin, adalah paling banyak tedistribusi pada tanaman, tidak mudah dihidrolisis
dan terdapat dalam struktur yang komplek (Cheeke dan Shull, 1985). Tanin kondensasi
merupakan senyawa polimer dari flavan -3-01 (catekin) atau flavan -3; 4-diol
(leucoanthocyanidin) atau turunannya yang dihubungkan oleh ikatan C-C atau C-O-C
(Leinmuller et al., 1991).
Sebagai senyawa organik yang terdistribusi meluas pada tanaman, tanin merupakan zat
yang bermanfaat untuk industri dan kesehatan. Hampir setiap famili tanaman mengandung
tanin seperti yang terdapat pada buah-buahan dan sayuran. Apabila tanin terbentuk dalam
jumlah yang cukup, biasanya ditempatkan di daun, buah, kulit kayu atau batang. Tanin
termasuk senyawa flavour, sehingga menimbulkan rasa tertentu dalam makanan. Diantara
manfaat tanin adalah proses tanning leather, yaitu pencoklatan pada industri kulit.
Menurut The American Medical Association (1989), tanin berguna untuk menghentikan
pendarahan dan diare. Senyawa tanin berfungsi sebagai adstringen yang dapat menciutkan
pori-pori kulit membentuk jaringan baru dan anti bakteri. Tanin juga mempunyai daya
antibakteri dengan cara mempresipitasi protein, karena diduga tanin mempunyai efek yang
sama dengan senyawa fenolik (Masduki:1996). Efek antibakteri tanin antara lain melalui:
reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktivasi fungsi materi
genetik. Dalam jumlah besar dan penggunaan jangka waktu lama, tanin dapat menyebabkan
kerusakan hati.
2.1.4 Alkaloid
Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan
heterosiklik dan terdapat di tetumbuhan (tetapi ini tidak mengecualikan senyawa yang berasal
dari hewan). Secara organoleptik, daun-daunan yang berasa sepat dan pahit, biasanya
teridentifikasi mengandung alkaloid. Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri.
Mekanisme yang diduga adalah dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan
pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan
kematian sel tersebut (Robinson, T, 1991).
Banyak Alkaloid golongan Pyrrolizidine bersifat racun terutama terhadap hepar
(hepatotoxic), juga dapat merangsang pembentukan kanker (carcinogenic), dapat
menyebabkan mutasi sel (mutagenic), dan dapat menyebabkan kelainan janin (teratogenic).
Karena itu orang yang sedang hamil muda tidak boleh mengkonsumsi zat yang mengandung
alkaloid, seperti pada tanaman Gandarusa. Terhadap hepar atau liver atau hati Alkaloid
golongan Pyrrolizidine dapat menyebabkan pembesaran hepar (hepatomegali), dalam kasus
yang serius dapat menyebabkan kerusakan hepar bahkan kematian.
atsiri yang aktif sebagai antibakteri dan mengandung proxeronin pada umumnya mengandung
gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil. Turunan fenol berinteraksi dengan sel bakteri
melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk
kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti
penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar
tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis ( Parwata et
al., : 2008).