Anda di halaman 1dari 8

hukum kloning dalam Perspektif

Agama Islam
I.

PENDAHULUAN

Ciri-ciri manusia adalah selalu ingin mengetahui rahasia alam, memecahkannya dan
kemudian mencari teknologi untuk memanfaatkannya, dengan tujuan memperbaiki
kehidupan manusia. Kualifikasi tanaman pangan, penangkaran ternak, dan perbaikan
teknologi berburu atau mencari ikan adalah satu manifestasi ciri manusia tersebut. Semuanya
dikembangkan dengan menggunakan akal, atau rasio, yang merupakan salah satu keunggulan
manusia dibanding makhluk hidup lainnya. Sampai sekarangpun ciri watak manusia itu masih
terus berlangsung. Satu demi satu ditemukan teknologi baru untuk memperbaiki kehidupan
manusia agar lebih nyaman, lebih menyenangkan, dan lebih memuaskan.
Tanaman pangan dan ternak yang dipelihara selalu direkayasa agar menghasilkan produk
pangan yang lebih baik, lebih enak dan lebih banyak. Dikembangkan teknologi kawin silang,
hibrida, cangkok, dan sebagainya untuk mencapai keinginan itu. Dengan ditemukannya alatalat bantu yang lebih canggih, seperti misalnya mikroskop dan media pembiakan di
laboratorium, rekayasa itu dilakukan dalam tingkat yang lebih kecil, sehingga ditemukan
tanaman pangan tahan lama dan ternak dengan reproduksi susu yang lebih tinggi. Itulah awal
dari pengembangan rekayasa genetika, kemudian dunia menjadi gempar setelah munculnya
publikasi tentang kloning biri-biri Dolly, terutama menyangkut bagaimana pandangan
agama terhadap kloning manusia. Walaupun kloning manusia belum diumumkan ada, atau
tidak ada, atau minimal rencana bagi para ilmuwan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah
boleh dilakukan atau tidak?
Pada makalah ini akan dkemukakan tentang apakah kloning itu, lalu bagaimana proses
bioteknologi tersebut, dan bagaimana pandangan ulama, atau kajian tentang hukum Islam
terhadap kloning manusia tersebut.
II.

ISTILAH KLONING DAN PROSESNYA

Istilah loning atau klonasi berasal dari kata clone (bahasa Greek) atau klona, yang secara
harfiah berarti potongan/pangkasan tanaman. Dalam hal ini tanam-tanaman baru yang persis
sama dengan tanaman induk dihasilkan lewat penanaman potongan tanaman yang diambil
dari suatu pertemuan tanaman jantan dan betina. Melihat asal bahasa yang digunakan, dapat
dimengerti bahwa praktek perbanyakan tanaman lewat penampangan potongan/pangkasan
tanaman telah lama dikenal manusia. Karena tidak adanya keterlibatan jenis kelamin, maka
yang dimaksud dengan klonasi adalah suatu metode atau cara perbanyakan makhluk hidup
(atau reproduksi) secara aseksual. Hasil perbanyakan lewat cara semacam ini disebut
klonus/klona, yang dapat diartikan sebagai individu atau organisme yang dimiliki genotipus
yang identik.
Dalam perkembangannya, klonasi tidak hanya dikerjakan dengan memanfaatkan potongan
tanaman yang umumnya berbentuk batang yang mengandung titik-titik tumbuh calon ranting
dan daun, tetapi juga memanfaatkan hampir semua jaringan tanaman untuk menghasilkan

tanaman sempurna. Dengan teknologi biakan jaringan, potongan daun atau sekeping jaringan
dari batang tanaman lengkap. Dari sini terlihat bahwa klonasi pada dasarnya memanfaatkan
sel-sel tanaman yang masih memiliki kemampuan untuk memilah-milah diri menghasilkan
berbagai jenis tanaman, seperti akar, batang dan daun dengan fungsinya masing-masing.
Kemampuan semacam ini ternyata semakin menurun seiring dengan meningkatnya status
organisme. Pada organisme tinggi, misalnya mamalia, sel-sel jaringan telah kehilangan
totipotensinya, sehingga apabila tanaman hanya mampu menghasilkan sel sejenis, tetapi tidak
mampu memilah diri lagi untuk menghasilkan organ atau sel dengan fungsi yang lain.
Berbeda dengan tanaman, klonasi mamalia tidak dapat dikerjakan, misalnya dengan
menanam sel atau jaringan dari bagian tubuh, seperti tangan, kaki, jantung, hati untuk
menghasilkan individu baru. Dengan demikian, klonasi pada organisme tingkat tinggi hanya
dapat dikerjakan lewat sel yang masih totipoten, yaitu sel pada aras embrio atau mudghah.
Dari pemahaman tentang sifat sel organisme tadi, jika ditinjau secara umum sesuai dengan
aras kehidupan organisme, maka klonasi dapat dikerjakan pada berbagai aras, yaitu klonasi
pada aras sel, aras jaringan dan aras individu. Pada organisme sel tunggal atau unisel seperti
bakteri, perbanyakan diri untuk menghasilkan individu yang baru, berlangsung lewat klonasi
sel. Dalam hal ini klonasi sel sekaligus juga merupakan klonasi individu pada hewan dan
manusia dapat juga terjadi, misalnya pada kelahiran kembar satu telur. Masing-masing anak
di sini merupakan klonus yang memiliki susunan genetis identik.
Dalam perkembangan biologi molekuler, sekarang dimungkinkan klonasi pada aras yang
lebih kecil daripada sel, yaitu aras gena. Kemampuan manusia melakukan klonasi gena
memunculkan bidang ilmu baru, yang disebut rekayasa genetika. Untuk pertama kalinya
suatu gena berhasil diklonasi dengan teknik DNA rekombinan pada tahun 1973. Hanya dalam
selang waktu tiga tahun, teknologi ini sudah dikomersialkan oleh suatu perusahaan di
California USA, yaitu Genentech. Sebetulnya klonasi gena juga terjadi secara alami pada
beberapa mikroorganisme. Misalnya beberapa mikroorganisme yang semula rentan terhadap
antibiotika berubah menjadi klon mikroorganisme yang kebal antibiotika. Klona ini terjadi
akibat perbanyakan diri lebih lanjut mikroorganisme induk yang telah kemasukan gena kebal
tadi.
Kloning terhadap manusia adalah merupakan bentuk intervensi hasil rekayasa manusia.
Kloning adalah teknik memproduksi duplikat yang identik secara genetis dari suatu
organisme. Klon adalah keturunan aseksual dari individu tunggal. Setelah keberhasilan
kloning domba bernama Dolly pada tahun 1996, para ilmuwan berpendapat bahwa tidak lama
lagi kloning manusia akan menjadi kenyataan. Kloning manusia hanya membutuhkan
pengambilan sel somatis (sel tubuh), bukan sel reproduktif (seperti sel telur atau sperma) dari
seseorang, kemudian DNA dari sel itu diambil dan ditransfer ke dalam sel telur seseorang
wanita yang belum dibuahi, yang sudah dihapus semua karakteristik genetisnya dengan cara
membuang inti sel (yakni DNA) yang ada dalam sel telur itu. Kemudian, arus listrik dialirkan
pada sel telur itu untuk mengelabuinya agar merasa telah dibuahi, sehingga ia mulai
membelah. Sel yang sudah dibuahi ini kemudian ditanam ke dalam rahim seorang wanita
yang ditugaskan sebagai ibu pengandung. Bayi yang dilahirkan secara genetis akan sama
dengan genetika orang yang mendonorkan sel somatis tersebut.
Teknologi kloning diharapkan dapat memberi manfaat kepada manusia, khususnya di bidang
medis. Beberapa di antara keuntungan terapeutik dari teknologi kloning dapat diringkas
sebagai berikut:


Kloning manusia memungkinkan banyak pasangan tidak subur untuk mendapatkan
anak.

Organ manusia dapat dikloning secara selektif untuk dimanfaatkan sebagai organ
pengganti bagi pemilik sel organ itu sendiri, sehingga dapat meminimalisir risiko penolakan.

Sel-sel dapat dikloning dan diregenerasi untuk menggantikan jaringan-jaringan tubuh


yang rusak, misalnya urat syaraf dan jaringan otot. Ada kemungkinan bahwa kelak manusia
dapat mengganti jaringan tubuhnya yang terkena penyakit dengan jaringan tubuh embrio
hasil kloning, atau mengganti organ tubuhnya yang rusak dengan organ tubuh manusia hasil
kloning. Di kemudian hari akan ada kemungkinan tumbuh pasar jual-beli embrio dan sel-sel
hasil kloning.

Teknologi kloning memungkinkan para ilmuan medis untuk menghidupkan dan


mematikan sel-sel. Dengan demikian, teknologi ini dapat digunakan untuk mengatasi kanker.
Di samping itu, ada sebuah optimisme bahwa kelak kita dapat menghambat proses penuaan
berkat apa yang kita pelajari dari kloning.

Teknologi kloning memungkinkan dilakukan pengujian dan penyembuhan penyakitpenyakit keturunan. Dengan teknologi kloning, kelak dapat membantu manusia dalam
menemukan obat kanker, menghentikan serangan jantung, dan membuat tulang, lemak,
jaringan penyambung, atau tulang rawan yang cocok dengan tubuh pasien untuk tujuan bedah
penyembuhan dan bedah kecantikan.
III. KAJIAN KLONING DALAM HUKUM ISLAM
Permasalahan kloning adalah merupakan kejadian kontemporer (kekinian). Dalam kajian
literatur klasik belum pernah persoalan kloning dibahas oleh para ulama. Oleh karenanya,
rujukan yang penulis kemukakan berkenaan dengan masalah kloning ini adalah menurut
beberapa pandangan ulama kontemporer.
Para ulama mengkaji kloning dalam pandangan hukum Islam bermula dari ayat berikut:



(5 :).
Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang
tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa
yang Kami kehendaki (QS. 22/al-Hajj: 5).
Abul Fadl Mohsin Ebrahim berpendapat dengan mengutip ayat di atas, bahwa ayat tersebut
menampakkan paradigma al-Quran tentang penciptan manusia mencegah tindakan-tindakan
yang mengarah pada kloning. Dari awal kehidupan hingga saat kematian, semuanya adalah
tindakan Tuhan. Segala bentuk peniruan atas tindakan-Nya dianggap sebagai perbuatan yang
melampaui batas.
Selanjutnya, ia mengutip ayat lain yang berkaitan dengan munculnya prestasi ilmiah atas
kloning manusia, apakah akan merusak keimanan kepada Allah SWT sebagai Pencipta? Abul
Fadl menyatakan tidak, berdasarkan pada pernyataan al-Quran bahwa Allah SWT telah

menciptakan Nabi Adam As. tanpa ayah dan ibu, dan Nabi Isa As. tanpa ayah, sebagai
berikut:
(59 : ) .
Sesungguhnya misal (penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam.
Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: Jadilah
(seorang manusia), maka jadilah dia (QS. 3/Ali Imran: 59).
Pada surat yang sama juga dikemukakan:

.

.

(47 -45 : )
.
(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan
kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang)
daripada-Nya, namanya al-Masih `Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di
akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara
dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia termasuk di antara orangorang yang saleh. Maryam berkata: Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak,
padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun. Allah berfirman (dengan
perantaraan Jibril): Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila
Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya:
Jadilah, lalu jadilah dia (QS. 3/Ali Imran: 45-47).
Hal yang sangat jelas dalam kutipan ayat-ayat di atas adalah bahwa segala sesuatu terjadi
menurut kehendak Allah. Namun, kendati Allah menciptakan sistem sebab-akibat di alam
semesta ini, kita tidak boleh lupa bahwa Dia juga telah menetapkan pengecualianpengecualian bagi sistem umum tersebut, seperti pada kasus penciptaan Adam As. dan Isa
As. Jika kloning manusia benar-benar menjadi kenyataan, maka itu adalah atas kehendak
Allah SWT. Semua itu, jika manipulasi bioteknologi ini berhasil dilakukan, maka hal itu
sama sekali tidak mengurangi keimanan kita kepada Allah SWT sebagai Pencipta, karena
bahan-bahan utama yang digunakan, yakni sel somatis dan sel telur yang belum dibuahi
adalah benda ciptaan Allah SWT.
Islam mengakui hubungan suami isteri melalui perkawinan sebagai landasan bagi
pembentukan masyarakat yang diatur berdasarkan tuntunan Tuhan. Anak-anak yang lahir
dalam ikatan perkawinan membawa komponen-komponen genetis dari kedua orang tuanya,
dan kombinasi genetis inilah yang memberi mereka identitas. Karena itu, kegelisahan umat
Islam dalam hal ini adalah bahwa replikasi genetis semacam ini akan berakibat negatif pada
hubungan suami-isteri dan hubungan anak-orang tua, dan akan berujung pada kehancuran
institusi keluarga Islam. Lebih jauh, kloning manusia akan merenggut anak-anak dari akar
(nenek moyang) mereka serta merusak aturan hukum Islam tentang waris yang didasarkan
pada pertalian darah.
Berikutnya, KH. Ali Yafie dan Dr. Armahaedi Mahzar (Indonesia), Abdul Aziz Sachedina dan
Imam Mohamad Mardani (AS) juga mengharamkan, dengan alasan mengandung ancaman
bagi kemanusiaan, meruntuhkan institusi perkawinan atau mengakibatkan hancurnya

lembaga keluarga, merosotnya nilai manusia, menantang Tuhan, dengan bermain tuhantuhanan, kehancuran moral, budaya dan hukum.
M. Kuswandi, staf pengajar Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta juga berpendapat teknik
kloning diharamkan, dengan argumentasi: menghancurkan institusi pernikahan yang mulia
(misal: tumbuh suburnya lesbian, tidak perlu laki-laki untuk memproduksi anak), juga akan
menghancurkan manusia sendiri (dari sudut evolusi, makhluk yang sesuai dengan
environment-nya yang dapat hidup).
Dari sudut agama dapat dikaitkan dengan masalah nasab yang menyangkut masalah hak
waris dan pernikahan (muhrim atau bukan), bila diingat anak hasil kloning hanya mempunyai
DNA dari donor nukleus saja, sehingga walaupun nukleus berasal dari suami (ayah si anak),
maka DNA yang ada dalam tubuh anak tidak membawa DNA ibunya. Dia seperti bukan anak
ibunya (tak ada hubungan darah, hanya sebagai anak susuan) dan persis bapaknya (haram
menikah dengan saudara sepupunya, terlebih saudara sepupunya hasil kloning juga). Selain
itu, menyangkut masalah kejiwaan, bila melihat bahwa beberapa kelakuan abnormal seperti
kriminalitas, alkoholik dan homoseks disebabkan kelainan kromosan. Demikian pula masalah
kejiwaan bagi anak-anak yang diasuh oleh single parent, barangkali akan lebih kompleks
masalahnya bagi donor nukleus bukan dari suami dan yang mengandung bukan ibunya.
Sedangkan ulama yang membolehkan melakukan kloning mengemukakan alasan sebagai
berikut:
1. Dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk menggunakan akal dalam memahami agama.
2. Islam menganjurkan agar kita menuntut ilmu (dalam hadits dinyatakan bahkan sampai
ke negri Cina sekalipun).
3. Islam menyampaikan bahwa Allah selalu mengajari dengan ilmu yang belum ia
ketahui (lihat QS. 96/al-Alaq).
4. Allah menyatakan, bahwa manusia tidak akan menguasai ilmu tanpa seizin Allah
(lihat ayat Kursi pada QS. 2/al-Baqarah: 255).
Dengan landasan yang demikian itu, seharusnya kita menyadari bahwa penemuan teknologi
bayi tabung, rekayasa genetika, dan kemudian kloning adalah juga bagian dari takdir
(kehendak) Ilahi, dan dikuasai manusia dengan seizin-Nya. Penolakan terhadap kemajuan
teknologi itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Islam.
Ada juga di kalangan umat Islam yang tidak terburu-buru mengharamkan ataupun
membolehkan, namun dilihat dahulu sisi-sisi kemanfaatan dan kemudharatan di dalamnya.
Argumentasi yang dikemukakan sebagai berikut:
Perbedaan pendapat di kalangan ulama dan para ilmuan sebenarnya masih bersifat tentative,
bahwa argumen para ulama/ilmuan yang menolak aplikasi kloning pada manusia hanya
melihatnya dari satu sisi, yakni sisi implikasi praktis atau sisi applied science dari teknik
kloning. Wilayah applied science yang mempunyai implikasi sosial praktis sudah barang
tentu mempunyai logika tersendiri. Mereka kurang menyentuh sisi pure science (ilmu-ilmu
dasar) dari teknik kloning, yang bisa berjalan terus di laboratorium baik ada larangan maupun
tidak. Wilayah pure science juga punya dasar pemikiran dan logika tersendiri pula.

Dalam mencari batas keseimbangan antara kemajuan IPTEK dan Doktrin Agama,
pertanyaan yang dapat diajukan adalah sejuh mana para ilmuan, budayawan dan agamawan
dapat berlaku adil dalam melihat kedua fenomena yang berbeda misi dan orientasi tersebut?
Menekankan satu sisi dengan melupakan atau menganggap tidak adanya sisi yang lain, cepat
atau lambat, akan membuat orang tertipu dan kecewa. Dari situ barangkali perlu
dipikirkan format kajian dan telaah yang lebih seimbang, arif, hati-hati untuk menyikapi dan
memahami kedua sisi tersebut sekaligus. Sudah tidak zamannya sekarang, jika seseorang
ingin menelaah persoalan kloning secara utuh, tetapi tidak memperhatikan kedua sisi tersebut
secara sekaligus.
Selanjutnya, ada pula agamawan sekaligus ilmuan menyatakan bahwa tujuan agama menurut
penuturan Imam al-Syatibi yang bersifat dharuri ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itulah maka kloning itu kita uji dari sesuai atau
tidaknya dengan tujuan agama. Bila sesuai, maka tidak ada keberatannya kloning itu kita
restui, tetapi bila bertentangan dengan tujuan-tujuan syara tentulah kita cegah agar tidak
menimbulkan bencana. Kesimpulan yang diberikan klonasi ovum manusia itu tidak sejalan
dengan tujuan agama, memelihara jiwa, akal, keturunan maupun harta, dan di beberapa aspek
terlihat pertentangannya.
Untuk menentukan apakah syariat membenarkan pengambilan manfaat terapeutik dari
kloning manusia, kita harus mengevaluasi manfaat vis a vis mudharat dari praktek ini.
Dengan berpijak pada kerangka pemikiran ini, maka manfaat dan mudharat terapeutik dari
kloning manusia dapat diuraikan sebagai berikut:

Mengobati penyakit. Teknologi kloning kelak dapat membantu manusia dalam


menentukan obat kanker, menghentikan serangan jantung, dan membuat tulang, lemak,
jaringan penyambung atau tulang rawan yang cocok dengan tubuh pasien untuk tujuan bedah
penyembuhan dan bedah kecantikan. Sekedar melakukan riset kloning manusia dalam rangka
menemukan obat atau menyingkap misteri-misteri penyakit yang hingga kini dianggap tidak
dapat disembuhkan adalah boleh, bahkan dapat dijustifikasikan pelaksanaan riset-riset seperti
ini karena ada sebuah hadits yang menyebutkan: Untuk setiap penyakit ada obatnya.
Namun, perlu ditegaskan bahwa pengujian tentang ada tidaknya penyakit keturunan pada
janin-janin hasil kloning guna menghancurkan janin yang terdeteksi mengandung penyakit
tesebut dapat melanggar hak hidup manusia.

Infertilitas. Kloning manusia memang dapat memecahkan problem ketidaksuburan,


tetapi tidak boleh mengabaikan fakta bahwa Ian Wilmut, A.E. Schieneke, J. Mc. Whir, A.J.
Kind, dan K.H.S. Campbell harus melakukan 277 kali percobaan sebelum akhirnya berhasil
mengkloning Dolly. Kloning manusia tentu akan melewati prosedur yang jauh lebih rumit.
Pada eksperimen awal untuk menghasilkan sebuah klon yang mampu bertahan hidup akan
terjadi banyak sekali keguguran dan kematian. Lebih jauh, dari sekian banyak embrio yang
dihasilkan hanya satu embrio, yang akhirnya ditanam ke rahim wanita pengandung sehingga
embrio-embrio lainnya akan dibuang atau dihancurkan. Hal ini tentu akan menimbulkan
problem serius, karena nenurut syariat pengancuran embrio adalah sebuah kejahatan. Selain
itu, teknologi kloning melanggar sunnatullah dalam proses normal penciptaan manusia, yaitu
bereproduksi tanpa pasangan seks, dan hal ini akan meruntuhkan institusi perkawinan.
Produksi manusia-manusia kloning juga sebagaimana dikemukakan di atas, akan berdampak
negatif pada hukum waris Islam (al-mirts).


Organ-organ untuk transplantasi. Ada kemungkinan bahwa kelak manusia dapat
mengganti jaringan tubuhnya yang terkena penyakit dengan jaringan tubuh embrio hasil
kloning, atau mengganti organ tubuhnya yang rusak dengan organ tubuh manusia hasil
kloning. Manipulasi teknologi untuk mengambil manfaat dari manusia hasil kloning ini
dipandang sebagai kejahatan oleh hukum Islam, karena hal itu merupakan pelanggaran
terhadap hidup manusia Namun, jika penumbuhan kembali organ tubuh manusia benar-benar
dapat dilakukan, maka syariat tidak dapat menolak pelaksanaan prosedur ini dalam rangka
menumbuhkan kembali organ yang hilang dari tubuh seseorang, misalnya pada korban
kecelakaan kerja di pertambangan atau kecelakaan-kecelakaan lainnya. Tetapi, akan muncul
pertanyaan mengenai kebolehan menumbuhkan kembali organ tubuh seseorang yang
dipotong akibat kejahatan yang pernah dilakukan.

Menghambat Proses Penuaan. Ada sebuah optimisme bahwa kelak kita dapat
menghambat proses penuaan berkat apa yang kita pelajari dari kloning. Namun hal ini
bertentangan dengan hadits yang menceritakan peristiwa berikut:
Orang-orang Baduy datang kepada Nabi SAW, dan berkata: Hai Rasulallah, haruskah kita
mengobati diri kita sendiri? Nabi SAW menjawab: Ya, wahai hamba-hamba Allah, kalian
harus mengobati (diri kalian sendiri) karena sesungguhnya Allah tidak menciptakan suatu
penyakit tanpa menyediakan obatnya, kecuali satu macam penyakit. Mereka bertanya: Apa
itu? Nabi SAW menjawab: Penuaan.

Jual beli embrio dan sel. Sebuah riset bisa saja mucul untuk memperjual-belikan
embrio dan sel-sel tubuh hasil kloning. Transaksi-transaksi semacam ini dianggap bthil
(tidak sah) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1.

Seseorang tidak boleh memperdagangkan sesuatu yang bukan miliknya.

2.
Sebuah hadits menyatakan: Di antara orang-orang yang akan dimintai
pertanggungjawaban pada Hari Akhir adalah orang yang menjual manusia merdeka dan
memakan hasilnya.
Dengan demikian, potensi keburukan yang terkandung dalam teknologi kloning manusia jauh
lebih besar daripada kebaikan yang bisa diperoleh darinya, dan karenanya umat Islam tidak
dibenarkan mengambil manfaat terapeutik dari kloning manusia.
IV. PENUTUP
Dari uraian di atas, penulis sekedar membuat rumusan sebagai berikut:
1.
Kloning sebagai pengembangan IPTEK, termasuk hasil perkembangan fikiran manusia
yang patut disyukuri dan dimanfaatkan bagi peningkatan taraf hidup manusia ke tingkat yang
lebih tinggi dan lebih terhormat.
2.
Hasil pemikiran manusia dengan agama akan seimbang bila hasil pemikiran tersebut
didasarkan pada sistem dan metode pemikiran yang benar, dan agama digali dengan daya
ijtihad yang benar pula. Keduanya saling kuat-menguatkan.

3.
Klonasi ditinjau dari segi aspek teologis memperluas wawasan pengenalan terhadap
kodrat iradat Ilahi, bahkan klonasi itu sebagai bukti kecanggihan sunnah Allah yang tertuang
dalam ciptaan-Nya dan membuktikan ke Maha Kuasaan-Nya.
4.
Klonasi terhadap manusia dengan tujuan untuk dijadikan cadangan transplantasi organ
tubuh manusia dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan syara.
5.
Klonasi jaringan sel dan organ tubuh manusia, selama dibenarkan oleh ilmu
pengetahuan dan sesuai dengan tujuan syara dipandang sangat membantu bagi penyembuhan
dengan jalan transplantasi.
6.
Implementasi klonasi terhadap manusia dipandang bertentangan dengan nilai-nilai
ketinggian martabat manusia dan bertentangan pula dengan tujuan syara, karena dipandang
kemungkinan terjadinya kekacauan hukum keluarga dan hubungan nasab, serta
ketidakpastian eksistensinya.
7.
Keadaan darurat tidak dapat dijadikan alasan untuk melaksanakan implementasi klonasi
manusia, karena tidak ada yang merasa terancam, baik dari segi agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta karena tidak melaksanakan klonasi.

Anda mungkin juga menyukai