2.
3.
4.
Jawab :
1. Pengertian Kewarganegaraan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Kewarganegaraan dalam arti yuridis dan sosilogis
Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan hukum antara
orang-orang dengan negara atau kewarganegaraan sebagai status legal. Dengan
adanya ikatan hukum itu menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu, bahwa orang
tersebut berada di bawah kekuasaan negara yang bersangkutan. Tanda dari adanya
ikatan hukum seperti akte kelahiran, surat pernyataan, bukti kewarganegaraan, dan
lain-lain.
Kewarganegaraan dalam arti sosiologis tidak ditandai dengan adanya ikatan hukum,
tetapi ikatan emosional seperti ikatan perasaan, ikatan keturunan, ikatan nasib, dan
lain-lain. Dengan kata lain ikatan ini lahir dari penghayatan orang yang bersangkutan.
yang
menjadi
warga
negara,
digunakan
dua
sendirinya dianggap sebagai anggota suku itu. Sekarang prinsip ini berlaku
diantaranya di Inggris, Amerika, Perancis, Jepang, dan juga Indonesia.
b. Unsur daerah tempat kelahiran (ius soli)
Daerah tempat seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan. Misalnya, kalau
orang dilahirkan di dalam daerah hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi
warga negara Indonesia. Terkecuali anggota-anggota korps diplomatik dan anggota
tentara asing yang masih dalam ikatan dinas. Prinsip ini berlaku juga di Amerika,
Inggris, Perancis, dan juga Indonesia. Tetapi di jepang, prinsip ius soli ini tidak
berlaku. Karena seseorang yang tidak dapat membuktikan bahwa orang tuanya
berkebangsaan Jepang, ia tidak dapat diakui sebagai warga negara Jepang.
c. Unsur pewarganegaraan (Naturalisasi)
Walaupun tidak dapat memenuhi prinsip ius soli ataupun ius sanguinis, orang dapat
juga memperoleh kewarganrgaraan dengan jalan pewarganegaraan atau naturalisasi.
Syarat-syarat dan prosedur menurut kebutuhan yang dibawakan oleh kondisi dan
situasi negara masing-masing.
Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif ada pula yang pasif. Dalam pewarganegaran
aktif, sesseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak
menjadi warga negara dari suatu negara. Sedangkan dalam pewarganegaraan pasif,
seseorang yang tidak mau diwarganegarakan oleh sesuatu negara atau tidak mau diberi
atau dijadikan warga negara suatu negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan
hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut.
3. Menurut Kurniatmanto Sutoprawiro, Hukum Kewarganegaraan adalah seperangkat
kaidah yang mengatur tentang muncul dan berakhirnya hubungan antara negara dan
warga negara. Jadi hukum kewarganegaraan mempunyai pokok kajian tentang cara
memperoleh dan hilangnya kewarganegaraan. Selain pengertian kewarganegarran seperti
yang disebutkan diatas, pengertian kewarganegaraan dapat pula dilihat dari 2 segi :
a. segi formal (formale Nasionaliteits) yaitu melihat tempat kewarganegaraan itu dalam
sistematika hukum, dimana masalah kewarganegaraan itu terletak dalam jajaran
bidang hukum publik. Mengingat masalah kewarganegaraan terkait dengansalah satu
sendi negara, yaitu rakyat negara.
b. segi material (materieel Nationaliteits Bergip) yaitu melihat akibat hukum dari
pengertian kewarganegaraan, dimana masalah kewarganegaraan erat kaitanya dengan
masalah hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik antara negara dan warganya.
Sedangkan menurut Ko Swan Sik kewarganegaraan juga dibagi menjadi dua yaitu :
a. kewarganegaraan yuridis (yuridisce nationaliteit) adalah ikatan hukum antara negara
dan orang-orang pribadi yang kerena ikatan itu menimbulkan akibat, bahwa orangorang tersebut jatuh kedalam lingkungan kuasa pribadi dari negara yang
bersangkutan, atau dengan kata lain warganegara tersebut. Dalam kewarganegaraan
yuridis, tanda tanya ikatan dapat dilihat secara kongkrit pernyataan dalam bentuk
surat-surat, baik keputusan/keterangan
b.
Jadi keterikatan tersebut hanyalah karena adanya perasaan kesatuan karena keturunan,
sejarah, daerah dan penguasa. Orang dianggap sebagai warganegara adalah dari sudut
penghayatan budaya, tingkah laku maupun cara hidupnya.
Selain dua sisi diatas, menurut BP. Paulus masih ada satu hal lagi yang merupakan ruang
lingkup hukum kewarganegaraan. Hal tersebut adalah mengenai status orang-orang yang
sudah menjadi warga negara sebelum peraturan baru mulai berlaku, yaitu warganegara
berdasrkan penentuan UU. (Citizen by operation of law).
Dalam kaitan dengan status kewarganegaraan, maka menurut Moh. Kusnardi Bintan
Saragih disebutkan bahwa ikatan seseorang yang menjadi warga Negara itu menimbulkan
suatu hak dan kewajiban baginya. Karena hak dan kewajiban itu, maka kedudukan
seseorang warga Negara dapat disimpulkan dalam beberapa hal yaitu :
a. status positif : status positif seorang warganegara adalah memberi hak kepadanya
untuk menuntut tindakan positif daripada negara mengenai perlindungan atas jiwa,
raga, milik, kemerdekaan dan sebagainya. Untuk itu maka negara membentuk badanbadan pengadilan, kepolisian, kejaksaan dan sebagainya yang akan melaksanakan
kepentingan warga negaranya dalam pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan
dengan hal-hal tersebut diatas.
b. status negatif : status seorang warga negara akan memberi jainan kepadanya bahwa
negara tidak boleh ikut campur tangan terhadap hak asai warganya. Campur tangan
negara terhadap warga negaranya terbatas, untuk mencegah tindakan sewenangwenang dari negara. Meskipun demikian dalam hal-hal tertentu, negara dapat
melanggar hak tersebut jika ditujukan demi kepentingan umum.
c. status aktif : suatu status yang memberi hak kepada setiap warga negaranya untuk ikit
serta dalam pemerintahan.
d. status pasif : suat status yang menunjukan kewajiban bagi setiap warga negaranya
untuk mentaati dan tunduk kepada segala perintah negaranya.
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan
antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai
persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki
hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak
dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya
pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak
anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak
mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai
dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958.
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik
yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah,
lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk
mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila
anak-anak tersebut masih dibawah umur.
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang
baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang
menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun
secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan
terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan
yang lahir dari perkawinan campuran.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah
kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip
kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya
bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang
harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan
apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat
pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji
bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan
campuran. Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah : Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum
sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam
kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan
dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia
memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua
manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki
kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain.
Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap
melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili
oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari