Anda di halaman 1dari 46

INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT SAPI

A.

Bahan Baku
Salah satu sentra produksi kulit mentah dan kulit samak adalah Padang Panjang di
pulau Sumatera. Selain itu, terdapat pula sentra industri penyamakan kulit banyak
terdapat di daerah Sukaregang, Garut, Jawa Barat. Industri ini

sudah berkembang

dengan baik sejak jaman penjajahan Belanda. Produk kulit samakannya pun sudah cukup
dikenal oleh para pelaku industri kerajinan kulit, tidak hanya di wilayah Sukaregang dan
Kabupaten Garut saja tetapi juga kalangan pelaku industri kerajinan kulit di berbagai
daerah lainnya di tanah air. Bahkan, sebagian kulit samakan produksi sentra industri
penyamakan kulit Sukaregang, Garut juga diekspor ke berbagai negara untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku kalangan industri kulit di luar negeri.
Keterampilan dan keahlian dalam mengolah kulit hewan di kalangan pengusaha industri
penyamakan kulit di Sukaregang, Garut umumnya diperoleh secara turun temurun dari orang tua
mereka. Sebagian pengusaha lainnya mendapatkan keterampilan atau keahlian tersebut melalui
pengalaman kerja bertahun-tahun di industri penyamakan kulit milik pengusaha lainnya. Keterampilan
dan keahlian menyamak kulit hingga kerajinan mengolah kulit hewan menjadi berbagai produk
kerajinan di Kecamatan Sukaregang, Garut seolah-olah sudah menjadi keterampilan/keahlian milik
bersama seluruh anggota masyarakat. Karena sebagian besar masyarakat Sukaregang, Garut kini
menggantungkan kehidupannya dari kegiatan industri penyamakan kulit dan industri kerajinan kulit
lainnya. Saat ini setidaknya terdapat 330 industri penyamakan kulit di Kecamatan Sukaregang, Garut.
Di Kecamatan Sukaregang, Garut sendiri terdapat tiga kelompok industri penyamakan kulit
yang sudah cukup mapan. Pertama, industri penyamakan kulit yang memasok kebutuhan bahan baku
kulit untuk industri sepatu. Bahan baku kulit untuk kebutuhan industri sepatu biasanya lebih tebal dan
lebih kaku. Untuk keperluan industri sepatu ini industri penyamakan kulit biasanya menggunakan
bahan mentah dari kulit sapi atau kulit kerbau. Kedua, industri penyamakan kulit yang memasok
kebutuhan bahan baku kulit untuk industri garmen dari kulit. Biasanya kulit samakan untuk industri
garmen memiliki ketebalan kulit yang lebih tipis jika dibandingkan dengan kulit samakan untuk
industri sepatu. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kulit bagi industri garmen dari kulit, biasanya
kalangan industri penyamakan kulit menggunkan bahan mentah berupa kulit kambing atau kulit
domba. Selain dipergunakan sebagai bahan baku untuk industri garmen (seperti jaket kulit), jenis kulit
ini biasanya juga dipakai sebagai bahan baku untuk industri sarung tangan golf. Ketiga industri

penyamakan kulit yang memasok kebutuhan bahan baku kulit untuk industri sarung tangan kerja
(working gloves) dari kulit. Bahan kulit mentah yang dipakai untuk proses penyamakan kulit jenis ini
biasanya diambil dari hasil split atau seset dari kulit sapi atau kulit kerbau.
Selain ketiga jenis sentra industri penyamakan kulit tersebut, di Sukaregang masih ada sentra
industri kulit lainnya, yaitu sentra industri kerupuk kulit. Biasanya bahan baku untuk industri
pembuatan kerupuk kulit ini menggunakan bahan mentah berupa kulit sapi atau kulit kerbau segar.
Sentra industri kulit di Kabupaten Garut, khususnya di Kecamatan Sukaregang kini telah berkembang
menjadi klaster industri yang cukup lengkap dan mapan, mulai dari industri hulu berupa industri
penyamakan kulit hingga industri hilir berupa industri kerajinan sepatu, tas, jaket, dompet, ikat
pinggang, topi dan lain-lain. Keterkaitan antara industri hulu dengan industri hilirnya pun sudah
terjalin dengan sangat erat sehingga tumbuh menjadi hubungan yang saling membutuhkan antara satu
dengan yang lainnya.
Sumber : http://arifh.blogdetik.com/endies-leather-company-memasok-bahan-baku-kulit-berkualitashingga-ke-mancanegara/
Tingkat produksi kulit samak pada tahun ini mengalami penurunan karena pemasokan bahan
baku bekurang , penyamakan kulit Indonesia kekurangan sekitar 70 persen bahan baku. Selama ini
kapasitas produksi industri penyamakan Indonesia untuk produk kulit sapi, kambing dan domba
totalnya mencapai 150 juta square feet per tahun. Rata-rata dari produksi sebanyak 25% diekspor ke
luar negeri.
Sumber

http://finance.detik.com/read/2009/04/16/102544/1116299/4/3-pabrik-

penyamakan-kulit-berhenti-produksi
Untuk menjaga mutu dari tiap produk olahan kulit sapi dibuat standar mutu kulit sapi mentah.
Standar mutu kulit sapi mentah basah yaitu :
-

Bau

Warna dan kebersihan

: Khas kulit sapi


: Merata, segar/cerah, bersih dan tidak ada warna yang

mencurigakan
-

Bulu

: Tidak rontok

Ukuran kulit

Berdasarkan berat kulit sapi dibagi dalam dua tingkatan yaitu :


A = berat < 20 kg
B = berat >= 20 kg

Elastisitas

Kandungan air

: cukup elastis
:

a)

Kulit mentah segar, maksimum 60%

b)

Kulit metah garaman, maksimum 25%

Cacat

a)

Mekanis

: Luka cambuk, goresan/potongan dan lain-lain

b)

Termis

: Cap bakar atau terkena api

c)

Parasit

: Caplak, lalat dan lain-lain

Sumber : Dewan standardisasi Nasional. 1992. Kulit Sapi Mentah (SNI 06-2736-1992). Jakarta : LIPI

B.

Produk
Pohon industri (Lampiran 1)

Salah satu jenis produk dari kulit samak yaitu kulit sol. Kulit sol adalah kulit yang
diperoleh dari penyamakan kulit sapi dengan menggunakan bahan penyamak nabati.
Kulit sol digunakan sebagai lapisan bawah pada sepatu sehingga kulit tersebut harus
keras. Dalam pengujian kulit sol perlu dilakukan pengujian secara organoleptis, fisis dan
kimiawi untuk mengetahui kualitas dari kulit sol tersebut. Kulit Sol adalah kulit jadi,
matang dari bahan baku kulit sapi yang disamak nabati, atau dikombinasikan krom
nabati, umumnya digunakan sebagai bawahan sepatu, insole, maupun out sole.
Penggunaannya dalam sepatu antara lain untuk : pengeras muka dan belakang, penguat
tengah, sol luar, pengisi telapak kaki muka, pita, sol dalam, sol tengah, lapis hak.
Selain itu masih banyak kegunakan kulit samak dari kulit sapi yaitu sebagai bahan baku
pembuatan produk fashion, furniture dan kerajinan tangan seperti sepatu, jaket, tas, handycraft, jok
mobil atau motor.
Standar mutu dari tiap produk dari kulit samak juga harus tetap dijaga. Standar mutu dari
produk kulit samak sebagai berikut.

Tabel 1. Standar Mutu Produk Kulit Samak


No.
1.

Uraian
Kimiawi :

Persyaratan

1.1. Kadar air


1.2. Kadar minyak/lemak

Maksimum 18%

1.3. Kadar zat larut dalam air

(2 - 6)%

1.4. Kadar abu

Maksimum 6%

1.5. Kadar krom oksida

Maksimum 2% diatas kadar Cr2O3

1.6. Derajat penyamakan

Minimum 2%

1.7. pH

Minimum 25
3,5 7

2.

Fisis :
1.1. Tebal
1.2. Kekuatan Zwik

0,7 1,2 mm

1.3. a). Kekuatan tarik

Nerf tidak retak

b). Kemuluran pada waktu putus

Minimum 100 kg/cm2

2.4. Penyerapan air

Maksimum 80%

a). 2 jam
b). 24 jam

Minimum 75%
Minimum 100%
3.

Organoleptis :
3.1. Nerf
Warna coklat muda dan rata

Sumber : Badan Standarisasi Nasional. 1989. Kulit Sapi atau Kerbau Samak Kombinasi Krom
Nabati, Mutu dan Cara Uji. SNI 06-0484-1989. Jakarta : LIPI

C.

Proses Produksi dan Analisis Finansial


-

Proses produksi Industri Penyamakan Kulit


Industri penyamatan kulit adalah industri yang mengolah kulit mentah (hides atau

skins) menjadi kulit jadi atau kulit tersamak (leather) dengan menggunakan bahan
penyamak. Pada proses penyamakan, semua bagian kulit mentah yang bukan colagen saja
yang dapat mengadakan reaksi dengan zat penyamak. Kulit jadi sangat berbeda dengan
kulit mentah dalam sifat organoleptis, fisis, maupun kimiawi.
Dalam Industri penyamatan kulit, ada tiga pokok tahapan penyamakan kulit,
yaitu:
1) Proses Pengerjaan basah (beam house).

2) Proses Penyamakan (tanning).


3) Penyelesaian akhir (finishing).
Masing- masing tahapan ini terdiri dari beberapa macam proses. Setiap proses
memerlukan tambahan bahan kimia dan pada umumnya memerlukan banyak air,
tergantung jenis kulit mentah yang digunakan serta jenis kulit jadi yang dikehendaki.
Secara prinsip, ditinjau dari bahan penyamak yang digunakan, maka ada beberapa macam
penyamakan yaitu:
a.

Penyamakan Nabati
Penyamakan dengan bahan penyamakan nabati yang berasal dari tumbuhan

yang mengandung bahan penyamak misalnya kulit akasia, sagawe, tengguli, mahoni,
dan kayu quebracho, eiken, gambir, the, buah pinang, manggis, dan lainnya. Kulit jadi
yang dihasilkan misalnya kulit tas koper, kulit sol, kulit pelana kuda, kulit ban mesin,
kulit sabuk.
b. Penyamakan mineral
Penyamak dengan bahan penyamak mineral, misalnya bahan penyamak krom.
Kulit yang dihasilkan misalnya kulit boks, kulit jaket, kulit glase, kulit suede.
Disamping itu, ada pula bahan penyamak aluminium yang biasanya untuk
menghasilkan kulit berwarna putih (misalnya kulit shuttle cock).
c.

Penyamakan minyak
Penyamak dengan bahan penyamak yang berasal dari minyak ikan hiu atau

ikan lain, biasanya disebut minyak kasar. Kulit yang dihasilkan misalnya: kulit
berbulu tersamak, kulit chamois (kulit untuk lap kaca) dan lainnya. Dalam praktiknya
untuk mendapatkan sifat fisis tertentu yang lebih baik, misalnya tahan gosok, tahan
terhadap keringat dan basah, tahan bengkuk, biasanya dilakukan dengan cara
kombinasi. Ada kalanya suatu pabrik penyamkan kulit hanya melaksanakan proses
basah saja, proses penyamakan saja, proses penyelesaian akhir atau melakukan 2
tahapan atau ketiga- tiganya sekaligus.
Secara garis besar tahapan proses industri penyamakan kulit sebagai berikut,

yaitu
1. Tahapan Proses Pengerjaan Basah (Beam House)
Urutan proses pada tahap proses basah beserta bahan kimia yang
ditambahkan dan limbah yang dikeluarkan, yaitu :
a.

Perendaman (Soaking).
Maksud perendaman ini adalah untuk mengembalikan sifat- sifat kulit
mentah menjadi seperti semula, lemas, lunak dan sebagainya. Kulit mentah kering
setelah ditimbang, kemudian direndam dalam 800- 1000% air yang mengandung
1 gram/ liter obat pembasah dan antiseptik, misalnya tepol, molescal, cysmolan
dan sebagainya selama 1- 2 hari. Kulit dikerok pada bagian dalam kemudian
diputar dengan drum tanpa air selama 1/ 5 jam, agar serat kulit menjadi longgar
sehingga mudah dimasuki air dan kulit lekas menjadi basah kembali. Pekerjaan
perendaman dianggap cukup apabila kulit menjadi lemas, lunak, tidak
memberikan perlawanan dalam pegangan atau bila berat kulit telah menjadi 220250% dari berat kulit mentah kering, yang berarti kadar airnya mendekati kulit
segar (60-65 %). Pada proses perendaman ini, penyebab pencemarannya ialah sisa
desinfektan dan kotoran- kotoran yang berasal dari kulit.

b. Pengapuran (Liming)
Maksud proses pengapuran ialah untuk.
1) Menghilangkan epidermis dan bulu.
2) Menghilangkan kelenjar keringat dan kelenjar lemak.
3)

Menghilangkan semua zat-zat yang bukan collagen yang aktif


menghadapi zat-zat penyamak.
Cara mengerjakan pengapuran, kulit direndam dalam larutan yang terdiri

dari 300-400% air (semua dihitung dari berat kulit setelah direndam), 6-1 %,
Kapur Tohor Ca (OH)2, 3-6%, dan Natrium Sulphida (Na2S). Perendaman ini
memakan waktu selam 2-3 hari. Dalam proses pengapuran ini mengakibatkan
pencemaran yaitu sisa- sisa Ca (OH)2, Na2S, zat-zat kulit yang larut, dan bulu

yang terlepas.
c.

Pembelahan (Splitting)
Untuk pembuatan kulit atasan dari kulit mentah yang tebal (kerbau-sapi)
kulit harus ditipiskan menurut tebal yang dikehendaki dengan jalan membelah
kulit tersebut menjadi beberapa lembaran dan dikerjakan dengan mesin belah
atau Splinting Machine. Belahan kulit yang teratas disebut bagian rajah atau nerf,
digunakan untuk kulit atasan yang terbaik. Belahan kulit dibawahnya disebut
split, yang dapat pula digunakan sebagai kulit atasan dengan diberi nerf palsu
secara dicetak dengan mesin press (Emboshing machine) pada tahap penyelesaian
akhir. Selain itu, kulit split juga dapat digunakan untuk kulit sol dalam, krupuk
kulit, dan lem kayu. Untuk pembuatan kulit sol, tidak dikerjakan proses
pembelahan karena diperlukan seluruh tebal kulit.

d. Pembuangan Kapur (Deliming)


Oleh karena semua proses penyamakan dapat dikatakan berlangsung
dalam lingkungan asam maka kapur didalam kulit harus dibersihkan sama sekali.
Kapur yang masih ketinggalan akan mengganggu proses- proses penyamakan.
Misalnya :
1)

Untuk kulit yang disamak nabati, kapur akan bereaksi dengan zat
penyamak menjadi kalsium tannat yang berwarna gelap dan keras
mengakibatkan kulit mudah pecah.

2)

Untuk kulit yang akan disamak krom, bahkan kemungkinan akan


menimbulkan pengendapan Krom Hidroksida yang sangat merugikan.
Pembuangan kapur akan mempergunakan asam atau garam asam,
misalnya H2SO4, HCOOH, (NH4)2SO4, Dekaltal dll.

e.

Pengikisan Protein (Bating)


Proses ini menggunakan enzim protese untuk melanjutkan pembuangan
semua zat- zat bukan collagen yang belum terhilangkan dalam proses pengapuran
antara lain:

1) Sisa- sisa akar bulu dan pigmen.


2) Sisa- sisa lemak yang tak tersabunkan.
3) Sedikit atau banyak zat- zat kulit yang tidak diperlukan artinya untuk kulit
atasan yang lebih lemas membutuhkan waktu proses bating yang lebih
lama.
4) Sisa kapur yang masih ketingglan.
f.

Pengasaman (Pickling)
Proses ini dikerjakan untuk kulit samak dan krom atau kulit samak sintetis
dan tidak dikerjakan untuk kulit samak nabati atau kulit samak minyak. Proses
pengasaman untuk mengasamkan kulit pada pH 3- 3,5 dengan tujuan kulit dapat
menyesuaikan dengan pH bahan penyamak yang akan dipakai nanti dan kulit
tidak bengkak.
Selain itu pengasaman juga berguna untuk:
1) Menghilangkan sisa kapur yang masih tertinggal.
2)

Menghilangkan noda- noda besi yang diakibatkan oleh Na2gS, dalam


pengapuran agar kulit menjadi putih bersih.

2. Tahapan Proses Penyamakan (Tanning)


Proses penyamakan dimulai dari kulit pikel untuk kulit yang akan
disamakkrom dan sintan, sedangkan untuk kulit yang akan disamak nabati dan
disamak minyak tidak melalui proses pickling (pengasaman).
Fungsi masing-masing bagian pada proses penyamakan, yaitu:
a.

Penyamakan
Pada tahap penyamakan ini ada beberapa cara yang bisa dilakukan, yakni:
1) Cara penyamakan dengan bahan penyamakan nabati
a) Cara Counter Current
Kulit direndam dalam bak penyamakan yang berisis larutan ekstrak

nabati + 0,50. Be selama 2 hari, kemudian kepekatan cairan penyamakan


dinaikkan secara bertahap sampai kulit menjadi masak yaitu 3- 4 0Be untuk
kulit yang tipis seperti kulit lapis, kulit tas, kuli pakaian kuda, dan lain-lain.
Sedangkan untuk kulit- kulit yang tebal seperti kulit sol, ban mesin dan lainlain pada kepekatan 6-8 0Be. Untuk kulit sol yang keras dan baik biasanya
setelah kulit tersamak masak dengan larutan ekstrak, penyamakan masih
dilanjutkan lagi dengan cara kulit ditanam dalam babakan dan diberi larutan
ekstrak pekat selama 2-5 minggu.
b) Sistem samak cepat
Penyamakan awal menggunakan 200% air, 3% ekstrak mimosa
(Sintan) putar dalam drum selam 4 jam. Putar terus tambahkan zat peyamak
hingga masak diamkan 1 malam dalam drum.
2) Cara penyamakan dengan bahan penyamakan mineral
a)

Menggunakan bahan penyamak krom


Zat penyamak krom yang biasa digunakan adalah bentuk kromium

sulphat basa. Basisitas dari garam krom dalam larutan menunjukkan berapa
banyak total velensi kroom diikat oleh hidriksil sangat penting dalam
penyamakan kulit. Pada basisitas total antara 0 - 33,33%, molekul krom
terdispersi dalam ukuran partikel yang kecil (partikel optimun untuk
penyamakan). Zat penyamak komersial yang paling banyak digunakan
memunyai basisitas 33,33%. Jika zat penyamak krom ini ingin difiksasikan
didalam substansi kulit, maka basisitas dari cairan krom harus dinaikkan
sehingga mengakibatkan bertambah besarnya ukuran partikel zat penyamak
krom. Dalam penyamakan diperlukan 2,5- 3,0% Cr2O3 hanya 25 %, maka
dalam pemakainnya diperlukan 100/25 x 2,5 % Cromosol B= 10% Cromosol
B. Obat ini dilautkan dengan 2-3 kali cair, dan direndam selama 1 malam.
Kulit yang telah diasamkan diputar dalam drum dengan 80- 100%, air, 3-4 %
garam dapur (NaCl), selama 10-15 menit kemudian bahan penyamak krom
dimasukkan sebagai berikut:

- 1/3 bagian dengan basisitas 33,3 % putar selama 1 jam.


- 1/3 bagian dengan basisitas 40-45 % putar selama 1 jam.
- 1/3 bagian dengan basisitas 50 % putar selama 3 jam
b) Cara penyamakan dengan bahan penyamak aluminium (tawas putih).
Kulit yang telah diasamkan diputar dengan:
- 40- 50 % air
- 10% tawas putih
- 1- 2% garam, putar selama 2-3 jam lu ditumpuk selama 1 malam.
- Esok harinya kulit diputar lagi selama 1 jam, lalu digantung
dan dikeringkan pada udara yang lembab selama 2-3 hari. Kulit
diregang dengan tangan atau mesin sampai cukup lemas.
3) Cara penyamakan dengan bahan penyamakan minyak
Kulit

yang

akan

dimasak

minyak

biasanya

telah

disamak

pendahuluan dengan formalin. Kulit dicuci untuk menghilangkan kelebihan


formalin kemudian dierah unuk mengurangi airnya, diputar dengan 20-30 %
minyak ikan, selama 2-3 jam, tumpuk 1 malam selanjutnya digantung dan
diangin- anginkan selama 7-10 hari.
Tanda-tanda kulit yang masak kulit bila ditarik mudah mulur dan bekas
tarikan kelihatan putih. Kulit yang telah masak dicuci dengan larutan Na2CO3
1%.
b. Pengetaman (Shaving)
Kulit yang telah masak ditumpuk selama 1-2 hari kemudian diperah
dengan mesin atau tangan untuk menghilangkan sebagian besar airnya, lalu
diketam dengan mesin ketam pada bagian daging guna mengatur tebal kulit agar
rata. Kulit ditimbang guna menentukan jumlah khemikalia yang akan diperlukan
untuk proses- proses selanjutnya, selanutnya dicuci dengan air mengalir jam.
c.

Pemucatan (Bleaching)

Hanya dikerjakan untuk kulit samak nabati dan biasanya digunakan asamasam organik dengan tujuan:
- Menghilangkan flek- flek bsi dari mesin ketam.
- Menurunkan pH kulit yang berarti memudahkan warna kulit.
Cara mengerjakan proses pemucatan, kulit diputar dengan 150-2005 air
hangat (36- 40 0C). 0,5-1,0%, asam oksalat selama - 1 jam.
d. Penetralan (Neutralizing)
Hanya dikerjakan untuk kulit samak krom. Kulit samak krom di
lingkungannya sangat asam ( pH 3-4), maka kulit perlu dinetralkan kembali agar
tidak mengganggu dalam proses selanjutnya. Penetralan biasanya menggunakan
garam alkali misalnya NaHCO3 dan Neutriga.
Cara melakukan penetralan, kulit diputar dengan 200% air hangat 4060oC. 1-2% NaHCO3 atau Neutrigan. Putar selama - 1 jam. Penetralan dianggap
cukup bila - penampang kulit bagian tengah berwarna kuning terhadap Bromo
Cresol Green (BCG) indikator, sedangkan kulit bagian tepi berwarna biru,
kemudian dicuci kembali.
e.

Pengecetan (Dyeing)
Tujuan pengecetan dasar ialah untuk memberikan warna dasar pada kulit

agar pemakaian cat tutup nantinya tidak terlalu tebal sehingga cat tidak mudah
pecah.
Cat dasar yang dipakai untuk kulit ada 3 macam:
1). Cat direct, untuk kulit samak krom.
2). Cat asam, untuk kulit samak krom dan nabati.
3). Cat basa, untuk kulit samak nabati.
f.

Peminyakan (Fat liguoring)


Tujuan proses peminyakan pada kulit antara lain sebagai berikut:
1) Untuk pelumas serat- serat kulit ag kulit menjadi tahan tarik dan tahan

getar.
2) Menjaga serat kulit agar tidak lengket satu dengan yang lainnya.
3) Membuat kulit tahan air.
Cara mengerjakan peminyakan, kulit setelah dicat dasar, diputar selama
1jam dengan 150%- 200% air 40- 60 oC, 4-15% emulsi minyak. Ditambahkan
0,2- 0,5% asam formiat untuk memecahkan emulsi minyak. Minyak akan
tertinggal dalam kulit dan airnya dibuang. Kulit ditumpuk pada kuda- kuda
selama 1 malam.
g. Pelumasan (Oiling)
Pelumasan hanya dikerjakan untuk kulit sol samak nabati. Tujuan
pelumasan ialah untuk menjaga agar bahan penyamak tidak keluar kepermukaan
kulit sebelum kulit menjadi kering, yang berakibat kulit menjadi gelap warnanya
dan mudah pecah nerfnya bila ditekuk..
Cara pelumasan, kulit sol sebagian airnya diperah kemudian kulit diulas
dengan campuran:
1) 1 bagian minyak parafine.
2) 1 bagian minyak sulfonir.
3) 3 bagian air.
Kulit diulas tipis tetapi rata kedua permukaannya, kemudian dikeringkan.
h. Pengeringan
Kulit yang diperah airnya dengan mesin atau tangan kemudian
dikeringkan. Proses ini bertujuan untuk menghentikan semua reaksi kimia
didalam kulit. Kadar air pada kulit menjadi 3-14%.
i.

Kelembaban
Kulit setelah dikeringkan dibiarkan 1-3 hari pada udara biasa agar kulit

menyesuaikan dengan kelembaban udara sekitarnya. Kulit kemudian dilembabkan


dengan ditanam dalam serbuk kayu yang mengandung air 50- 55% selama 1

malam, kulit akan mengambil air dan menjadi basah dengan merata. Kulit
kemudian dikeluarkan dan dibersihkan serbuknya.
j.

Peregangan dan Pementangan


Kulit diregang dengan tangan atau mesin regang. Tujuan peregangan ini

ialah untuk menarik kulit sampai mendekati batas kemulurannya dengan tujuan
jika dibuat barang kerajinan tidak terlalu mulur, tidak merubah bentuk ukuran.
Setelah diregang sampai lemas kulit kemudian dipentang dan setelah kering, kulit
dilepas dari pentangnya, digunting dibagian tepinya sampai lubang-lubang dan
keriput- keriputnya hilang.
3. Tahapan Penyelesaian Akhir (Finishing)
Penyelesaian akhir bertujuan untuk memperindah penampilan kulit jadinya,
memperkuat warna dasar kulit, mengkilapkan, menghaluskan penampakan rajah kulit
serta menutup cacat-cacat atau warna cat dasar yang tidak rata.
-

Analisis Ekonomi Penyamakan Kulit

Dalam Analisis Ekonomi usaha penyamakan kulit perlu diketahui bahwa:

Kulit dijual dalam satuan luas (per square foot), sehingga dalam perhitungan

ekonomis kita menggunakan satuan tersebut

Pengecualian untuk sole leather dijual dalam satuan berat dan kulit-kulit yang

dibuat secara khusus yang mungkin dijual perlembar atau dalam penghitungan lain
seperti halnya kulit fur, dan reptil
Komponen utama biaya langsung (variable cost) pada industri pengolahan kulit :

bahan baku (kulit),

bahan pembantu (zat kimia),

tenaga kerja langsung, air, listrik,

penanganan limbah, dan

biaya pemeliharaan.

Komponen Biaya tidak langsung (overhead cost) pada industri pengolahan kulit

diantaranya :

biaya administrasi,

supervisi,

penjualan,

transportasi,

komunikasi,
sewa,
bunga bank, pajak, asuransi, dan
penyusutan gedung dan peralatan.

Biaya langsung (variable cost)


Variable cost adalah biaya yang langsung dipengaruhi oleh banyaknya (unit)
barang yang diproduksi. Untuk pengolahan kulit yang termasuk biaya langsung (variable
cost) adalah sebagai berikut: Bahan baku (kulit mentah) harganya sangat berfluktuasi
mencapai 50% tergantung pada ketersediaan kulit mentah dan permintaan pasar. Kulit
mentah dibeli dengan satuan berat atau satuan lembar sedangkan penjualan dilakukan
dalam satuan luas. Rasio luas yang dihasilkan diekspresikan dalam satuan sq ft per kg.
Rasio tersebut dipengaruhi oleh jenis ternak, waktu pemotongan, dan teknik pengulitan.
-

Kulit garaman dengan berat lebih dari 20 kg menghasilkan kulit jadi dengan luas
1 2 sq ft/kg, dengan rataan 1,5 sq. ft./kg

Kulit garaman dengan berat antara 10 20 kg menghasilkan kulit jadi dengan


luas 2,0 2,5 sq ft/kg

Kulit kecil (skin) dengan berat kulit garaman dibawah 4 kg menghasilkan


kulit jadi dengan luas antara 3,0 4,0 sq.ft/kg.

Kulit mentah mengalami penyusutan sampai dengan 10% dari rasio tersebut,
tergantung pada sumber kulit mentahnya. Biaya kulit mentah dapat mencapai 50%
atau lebih dari total biaya kulit jadi, sehingga biaya kulit mentah menjadi faktor
utama yang diperhatikan oleh perusahaan pengolahan kulit.

Berkenaan dengan kontribusi biaya kulit mentah yang sangat besar maka
sebaiknya proses penyamakan kulit dilakukan dengan hati-hati agar kulit tidak rusak.
Penanganan yang harus hati-hati terutama melakukan penyesuaian antara tebal kulit
mentah dengan permintaan ketebalan kulit jadi sehingga dapat mengurangi hilangnya
kulit karena splitting dan shaving; meminimalisir limbah trimming; menghindari
kerusakan mesin yang dapat menjadikan kulit bolong atau sobek. Maksimal kerusakan
kulit pada proses produksi adalah 5%.
Kulit mentah dibeli secara keseluruhan/borongan, sehingga dapat berpengaruh
apabila kualitas kulit jadinya banyak yang low gradeapalagi kalau sampai banyak yang
reject. Kulit mentah yang low gradeapabila ingin dinaikan grade-nya dibutuhkan biaya
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kulit yang bahan bakunya memang sudah baik,
oleh karena itu apabila akan membeli bahan baku harus dilakukan sortir (quality control)
sebaik-baiknya.
Bahan pembantu (zat kimia) termasuk zat kimia untuk soaking, liming, tanning,
peminyakan, pewarnaan, finishing dan lain-lain. Bahan kimia untuk proses basah (beam
house) biasanya dihitung berdasarkan berat mengacu pada berat kulit mentah, proses
tanning didasarkan pada berat bloten, proses drying didasarkan pada berat shaving, dan
bahan kimia yang digunakan pada proses finishing dihitung secara keseluruhan tidak
hanya zat kimia yang menempel pada kulit tetapi dihitung secara keseluruhan termasuk
dengan zat kimia yang terbuang (over spray, kelebihan mencampur dan lainnya).
Tenaga kerja langsung adalah tenaga kerja yang langsung berhubungan dengan
proses produksi kulit seperti tenaga kerja pada bagian beam house; proses tanning; proses
drying, shaving, dan splitting; proses persiapan untuk finishing; dan proses finishing.
Apabila seluruh biaya tenaga kerja langsung kita hitung maka komposisinya adalah
sebagai berikut: beam house 12%; proses tanning 11%; proses drying, shaving, dan
splitting 25%; persiapan untuk finishing 24%; dan proses finishing 28%. Pada umumnya
kulit yang dapat dihasilkan per jam kerja tenaga kerja langsung adalah sebagai berikut: 17
sq ft per jam untuk kulit besar, 14 sq ft per jam untuk kulit sedang, dan 10 sq ft per jam
untuk kulit kecil.
Utility, termasuk didalamnya adalah air, energi (listrik, panas, dan lampu),

penanganan limbah, maintenance mesin. Besarnya biaya untuk utility tergantung dari
kulit yang diproses, skala pabrik, lokasi, dan fasilitas yang ada.
Biaya tidak langsung (overhead cost)
Overhead cost adalah biaya yang tidak langsung dipengaruhi oleh banyaknya
(unit) barang yang diproduksi biaya ini dikenal juga dengan istilah biaya tetap (fixed
cost), untuk memperkirakan biaya tidak langsung biasanya didasarkan pada data historis
perusahaan atau mengacu pada data perusahaan lain yang sejenis dengan skala usaha
yang sama. Dalam situasi era perdagangan bebas, produksi dapat sangat berfluktuasi
tidak hanya jumlahnya tetapi juga jenis produk yang diproduksi, hal ini tergantung pada
ketersediaan produk dan permintaan pasar karena beberapa produk kulit bersifat seasonal.
Walaupun produksi berfluktuasi tetapi biaya tetap pada umumnya relative tidak
berfluktuasi. Biaya tidak langsung pada industri penyamakan kulit berkisar antara 10%
20% dari total penjualan.
Kecepatan waktu roduksi dipengaruhi oleh kecepatan proses dari bahan baku
sampai menjadi kulit jadi (leather) dan akan berpengaruh terhadap kecepatan penjualan
pula. Kecepatan waktu produksi ini berpengaruh terhadap perputaran modal (capital
turnover), semakin cepat produksi semakin cepat dijual sehingga semakin cepat pula
menerima pembayaran. Semakin pendek waktu mengeluarkan uang untuk proses
produksi dengan penerimaan uang dari konsumen maka biaya modal menjadi lebih
sedikit. Kecepatan waktu produksi juga berpengaruh terhadap kuantitas produksi dan
kuantitas penjualan sehingga total biaya produksi menjadi lebih efisien.
Peningkatan efisiensi produksi dapat dilakukan dengan menggunakan pabrik,
tenaga kerja, dan lain-lain secara maksimum. Melakukan pengiriman sesuai dengan
jadwal tanpa ada penundaan jadwal pengiriman, mengidentifikasi dan memperbaiki
bottleneck di pabrik, waktu terbuang bagi tenaga kerja karena proses yang sebenarnya
tidak memerlukan tenaga kerja (misalnya saat menunggu putaran drum).
Harga jual, pencarian harga jual yang termahal dengan pembayaran yang cepat
masih menjadi strategi berbagai perusahaan pengolahan kulit. Pada jaman dulu
pengurangan harga dibandingkan harga produsen lain menjadi yang paling umum
dilakukan agar perusahaan dapat lebih kompetitif, tetapi mulai sekarang strategi

penjualan seperti itu tidak dapat dilakukan secara langsung. Minimum harga jual yang
diajukan seharusnya dapat menutup biaya produksi ditambah dengan keuntungan yang
pantas.
Harga Pokok Produksi
Harga pokok produksi merupakan kumpulan biaya-biaya yang melekat pada suatu
produk yang diproduksi oleh suatu perusahan. Ada tiga elemen pokok biaya dalam suatu
perusahaan manufaktur, yaitu: biaya bahan baku (material cost), biaya tenaga kerja
(labor cost), dan biaya produksi (indirect manufacturing expenses).
Biaya bahan baku terdiri dari direct material costdan indirect material cost. Direct
material cost adalah biaya semua bahan yang secara fisik dapat diidentifikasi sebagai
bagian dari produk jadi dan biasanya merupakan bagian terbesar dari material pembentuk
harga pokok produksi.
Biaya tenaga kerja dibagi menjadi direct labor cost dan indirect labor cost. Direct
labor cost adalah semua biaya yang menyangkut gaji dan upah seluruh pekerja yang
secara praktis dapat diidentifikasi dengan kegiatan dari pengolahan bahan baku menjadi
produk jadi.
Indirect manufacturing expenses meliputi semua biaya produksi selain ongkos
utama (direct material cost dan direct labor cost) yang bersifat menunjang atau
memperlancar proses produksi dan dibebankan terhadap pabrik
Sebagai contoh harga pokok produksi pada industri penyamakan kulit secara tidak
langsung adalah menghitung total biaya langsung seperti:
Biaya bahan baku (harga kulit mentah) : Rp. 15.000/kg
Biaya tenaga kerja langsung : Rp. 3.400/jam
Biaya zat kimia (keseluruhan) : Rp. 2.000/sq. ft
Biaya utility (peralatan, dll) : Rp. 500/sq. ft.
Catatan:
-

Kulit besar lebih dari 20 kg dapat menghasilkan 1,5 sq ft/kg kulit jadi. Jadi, biaya
bahan baku per sq ft adalah 15.000/1,5 = Rp. 10.000/sq.ft.

Tingkat penyusutan kulit mentah adalah 10%, dan kerusakan produksi sebanyak

5%. Jadi, biaya bahan baku total adalah 10.000 + (15% x 10.000) = Rp.
11.500/sq.ft.
-

Tenaga kerja dapat menghasilkan 17 sq ft/jam. Jadi biaya tenaga kerjanya adalah
3.400/17 = Rp. 200/sq ft.

Jadi, Harga Pokok Produksi Kulit tersebut adalah:


HPP = Biaya bahan baku + Biaya zat kimia + Biaya tenaga kerja langsung + Biaya utility
HPP = Rp.11.500 + Rp.2.000 + Rp.200 + Rp.500
= Rp.14.200 / sq ft
Laba Usaha
Laba usaha dikenal pula dengan marjin usaha, dikenal menjadi dua jenis yaitu
marjin kontribusi (contribution margin) atau marjin bruto (gross margin). Marjin
kontribusi adalah kelebihan dari penjualan atas seluruh biaya variabel. Marjin kontribusi
dapat dinyatakan sebagai suatu angka yang menunjukkan total, sebagai suatu angka
perunit, sebagai rasio, dan sebagai persentase. Marjin bruto adalah suatu pengertian yang
digunakan secara luas, khususnya di dalam industri eceran. Marjin bruto dirumuskan
sebagai kelebihan penjualan atas harga pokok penjualan (yaitu harga pokok barang
dagangan yang dibuat atau dibeli dan dijual kembali).
Perbedaan antara marjin kontribusi dengan marjin bruto yaitu: kalau marjin
kontribusi memusatkan perhatian pada penjualan dalam kaitannya dengan seluruh
perilaku biaya variabel, sedangkan marjin bruto memusatkan perhatian pada penjualan
dalam kaitannya dengan satu hal saja yaitu biaya perolehan barang dagangan yang telah
dijual.
Sebagai contoh, harga jual kulit sapi atasan saat ini adalah Rp. 19.000/sq ft, oleh
karena itu marjin/laba bruto penjualan kulit sapi tersebut adalah
Laba Bruto = Penjualan harga pokok produksi
Laba Bruto = Rp. 19.000 Rp. 14.200 = Rp. 4.800
Break Event Point (BEP)
Break event point atau titik pulang pokok adalah suatu studi mengenai kaitan
antara biaya, volume, dan laba dimana kondisi perusahaan memperoleh laba bersih sama

dengan nol. Biaya terdiri dari biaya langsung (variable cost) yaitu biaya per unit barang
dikalikan dengan volume produksi, biaya tidak langsung (overhead cost / fixed cost) yaitu
biaya tetap yang dikeluarkan pada periode tertentu. Laba bersih adalah kelebihan dari
penjualan atas seluruh variable cost dan fixed cost. Penjualan merupakan harga jual per
unit barang dikalikan dengan volume barang terjual.
Laba bersih = Penjualan variable cost fixed cost
BEP adalah pada kondisi Laba bersih = 0.
Sehingga, Penjualan = Variable cost + Fixed cost
(Q X P) = (Q X C) + Fc
Dimana, Q = jumlah
P = harga jual per sq.ft.
C = harga pokok produksi per sq.ft
Fc= total biaya tetap per periode
Contoh: Mengacu pada contoh sebelumnya dan apabila biaya tetap perusahaan
sebesar Rp. 50.000.000,- per bulan maka agar perusahaan tidak mengalami kerugian
(BEP) maka jumlah minimal kulit yag harus diproduksi adalah:
BEP Q X P = Q X C + Fc
Q (P-C) = Fc
Q (19.000- 14.200) = 50.000.000
Q = 50.000.000/4.800
Q = 1.041,67 sq ft
Sumber : http://adifirman.wordpress.com/2011/04/25/analisis-ekonomi-usahapenyamakan-kulit/(oleh: Jajang Gumilar, SPt.,MM, Fakultas Peternakan Unpad, 2010)
D.

Limbah Kulit Samak


1. Sumber dan Karakteristik Limbah cair.
Menurut David Winter 1984, penggunaan air untuk proses penyamakan kulit
dari tahun ke tahun ada kecenderungan semakin menurun. Dijelaskan pada tahun
1962 pemakaian air 103 l/ kg tahun 1975 sebanyak 71 l/kg tahun 1977 turun menjadi
40 l/kg kulit yang diproses. David Winter 1984 dan Clonvero 1987 cenderung
memilih penggunaan air untuk proses ini sebanyak 45 l/kg kulit yang diproses.

Di Indonesia sampai saat ini belum ada penelitian khusus tentang penggunaan
air untuk tiap 25 kg kulit namun berdasarkan pengamatan pemakaian air berukuran
antara 30-70 l/kg kulit mentah.
Tabel 2. Kisaran Pemakaian Air pada Proses Penyamakan Kulit
Macam Proses

Pemakaian air l/kg kulit mentah

Kulit besar (hide) samak krom.

30- 50

Kulit besar (hide) samak nabati.

20- 40

Kulitkecil (skin)

30- 60

Kulit kecil (skin) berbulu tersamak

50- 100

Sumber data: Clanfero 1993


Dilihat dari asal bahan pencemar, maka sumber dan sifat air limbah industri
penyamakan kulit dapat dibedakan pertahapan proses sbb:

Perendaman (Soaking)
Air limbah soaking mengandung sisa daging, darah, bulu, garam, mineral,
debu, dan kotoran lain atau bahkan bakteri antrax. Pada proses perendaman air
limbah cairnya berbau busuk, kotor, dengan kandungan suspended solid 0,05- 0,1
%. Menurut ESCAP 1982, volume limbah soaking berkisar antara 2,5- 4 l/kg
kulit, pH 7,5- 8. Total Solid 8.000- 28.000 mg/l. Suspended Solid 2.500- 4.00
mg/l.
Selain itu UNEP 1991 menambahkan bahwa air limbah soaking juga
mengandung garam dan bahan organic lain yang akan mempengaruhi
BOD,COD,SS.

b. Buang bulu dan pengapuran (Unhairing dan Liming).


Air pada proses ini berwarna putih kehijauan dan kotor, berbau
menyengat, pH air limbah pada proses ini berkisar antara 9-10, mengandung
kalsium , natrium, sulfide, albunin, bulu sisa daging, dan lemak. Suspended solid
36%. Menurut CTTE 1979, ESCAP 1982, bahwa air limbah pada proses
unhairing mengandung total solid 16.000-45.000 mg/l, suspended solid 4.500-

6.500 mg/l. BOD 1.100-2.500 mg/l, pH berkisar 10-12.5. Dampak yang


ditimbulkan akibat buangan dalam proses tersebut adalah bahwa air limbah
berpengaruh tehadap air, tanah, dan udara. Pengaruh terhadap air terutama pada
BOD, COD,SS, alkalinitas, sulphida, N-Organik, N- ammonia. Adanya gas H2S
pada pencemaran ini menyebabkan terjadinya pencemaran udara.
c.

Air limbah buanagan kapur (Deliming)


Air limbah pada proses deliming mempunyai beban polutan yang lebih
kecil dibanding dengan unhairing dan liming. Menurut CTTE 1979,ESCAP 1982,
air limbah pada proses tersebut mempunyai pH 3-9, total solid 1.200- 12.000
mg/l, suspended solid 200- 1.200 mg/l dan BOD 1.000- 2.000 mg/l. UNEP
menambahkan bahwa air limbah tersebut akan menyebabkan pencemaran air
berupa BOD,COD, DS, dan N- ammonia. Kemudian adanya ammonia akan
menimbulkan pencemaran udara.

d. Air limbah pengikisan Protein (Degreasing)


Pada proses ini air limbah yang dihasilkan pencemaran air yang
ditunjukkan dengan tingginya nilai COD,BOD,DS dan lemak. (UNEP 1991).
e.

Air limbah Pikel (Pickling) dan Krom (Tanning)


Air limbah dari proses ini akan mengandung bahan protein, sisa garam,
sejumlah kecil mineral dan crome velensi 3 yang apabila tercampur dengan alkali
akan terbentuk chrome hidroksida, pH berkisar antara 3,5-4, suspendid solid 0,010,02 % ( Koziowroski dan Kucharski 1972). Sedangkan CTTE 1979, ESCAP
1982, membedakan antara air limbah partikel dengan penyamakan chorome
sebagai berikut:
1). Air limbah pikel volume 2-3 l/kg kulit, pH 2,9-4, total solid 1.6000- 45.000
mg/l, suspended solid 16.000- 45.000 mg/l, dan BOD 800- 2.2000 mg/l.
2). Air lmbah samak chrome, volume 4-5 l/kg, pH 2,6-3,2, total solid 2.40012.000 mg/l, suspended solid 300-1.000 mg/ l dan BOD 800- 1.200 mg/l.
3). Selain yang tersebut diatas UNEP menambahkan bahwa air limbah pikel dan

krom akan menimbulkan pencemaran air berupa BOD, COD, SS, DS, asam
garam krom, dan sisa samak nabati.
f. Air limbah Gabungan Termasuk Pencucian.
Pada buangan air limbah gabungan ini ESCAP menjelaskan untuk volume
air 30-35 l/kg, pH berkisar antara 7.5-10, total solid 10- 25 mg/l, suspended solid
1.250- 6.000 mg/l dan BOD 2.000- 3.000 mg/l.
Untuk lebih jelasnya beban pencemaran air limbah penyamatan kulit dari
beberapa tahapan proses dapat dilihat pada table berikut ini.
Tabel 3. Beban Pencemaran Air Limbah Penyamakan Kulit dari Beberapa Tahapan
Proses.
Parameter.
Jenis

COD
air (mg/l)

BOD

CR

N.NH

Lema

TSS

pH

(mg/l)

(mg/l)

(mg/l)

(mg/l)
31.204 12
4.154

Limbah
Soaking

40.576,48

17.000 991.1.

(mg/l) (mg/l)
207.68 944

Pengapuran

10.964.64

3.500

448

16.35

632

Buang bulu

18.555.36

5.800

86.75

57.68

12.547 27.085 5

Pikel

7.454,9

2.400

147.2

6.254

217.28 10.120 17.084 4

12

Samak Krom
Sunaryo,dkk 1993.
2. Sumber dan Karateristik Limbah Padat
Didalam proses penyamakan disamping limbah cairjuga menghasilkan limbah
padat sebagai hasil samping. Dikatakan hasil samping karena dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan, misalnya sebagai bahan makanan,obat-obatan, kosmetik, pupuk,
kerajinan, dan bahan bangunan lainnya. Bahan padat yang dimaksud antara lain bulu,
sisa trimming, fleshing, sisa split, shaving, buffing, dan lumpur.
3. Proses Pengolahan Limbah Penyamakan Kulit.
Limbah cair industri penyamakan kulit nampak paling menonjol dibandingkan
limbah padat maupun gasnya karena volumenya yang cukup banyak yaitu 30-70 l / kg
bahan baku yang diolah dari awal. Disamping volume yang banyak, zat- zat

pencemaran yang terkandung dapat menimbulkan dampak negatif terhadap


lingkungan dan dampak yang paling cepat berpengaruh adalah berbau busuk dan
kadang- kadang secara visual nampak berbuih banyak. Secara umum air limbah
penyamakan kulit mengandung bagian- bagian dari kulit seperti bulu, sisa daging,
potongan kulit dan bahan kimia sisa dari yang ditambahkan dalam proses
penyamakan kulit.
Seperti yang terjadi pada pada kasus pencemaran Limbah Industri Kulit
Sungkareng , Kabupaten Garut Jawa Barat., yang mencemari lingkungan sejak tahun
1920. Selain tantangan untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan membuka pasar,
ada satu hal lagi yang juga menjadi tantangan sejak tiga dekade terakhir yaitu, limbah.
Persoalan limbah sering kali menjadi isu penting. Sejak digunakannya bahan kimia
untuk penyamakan kulit, pada saat itu pula persoalan limbah muncul. Bahan chroom
yang digunakan untuk menyamak kulit ternyata sangat berbahaya bagi kesehatan,
terutama sekali pada kulit manusia. Dampak dari limbah Sukaregang sangat dirasakan
oleh masyarakat di daerah hilir sungai Ciwalen, yang notabene bukan kalangan
penggiat bisnis kulit. Protes pun mulai bermunculan karena banyaknya warga di
daerah hilir yang mengalami gangguan kesehatan kulit.
Untuk mengantisipasi peningkatan jumlah limbah yang dibuang ke sungai,
pada awal 1980-an, saat Garut dipimpin oleh Bupati Taufik Hidayat, ada rencana
untuk merelokasi sentra industri kulit Sukaregang, namun tidak terealisasi. Oleh
penerusnya, Bupati Toharudin Gani rencana tersebut kembali dicoba diwujudkan
namun tak juga berhasil.
Karena berbagai hambatan tersebut, akhirnya yang dapat dilaksanakan adalah
revitalisasi. Artinya, lokasi Sukaregang akan ditata sedemikian rupa, termasuk
ditetapkannya zona-zona industri serta pembatasan jumlah industri dengan dilengkapi
instalasi pengelolaan air limbah (IPAL). Untuk revitalisasi ini pemerintah pusat
memberi bantuan untuk membangun dua buah instalasi pengelolaan air limbah
(IPAL) pada 1992 agar air dari Sukaregang dapat kembali bersih saat dialirkan ke
sungai. IPAL tersebut baru dapat beroperasi pada 1994, namun persoalan limbah tidak
selesai karena jumlah IPAL yang ada tidak sesuai dengan jumlah limbah yang

dihasilkan industri kulit Sukaregang. Kesadaran masyarakat pengusaha akan


persoalan limbah ini juga kurang mendukung. Hingga kini hanya beberapa yang mau
membangun IPAL sendiri. Padahal, untuk menangani masalah limbah idealnya setiap
perusahaan

memiliki

satu

mesin

recovery

sendiri.

(http://www.pikiran-

rakyat.com/cetak/0104/13/0806.htm )
Dalam proses produksi Industri penyamakan kulit ada beberapa tahapan
proses pengolahan yaitu:
a.

Pemisahan padatan kasar

b. Segresi
c.

Ekualisasi

d. Koagulasi
e.

Proses pengolahan limbah cair.


Agar supaya setiap tahapan pengolahan dapat berlangsung secara efektif

maka sebaiknya aliran yang khas dan pekat dipisahkan untuk melewati tahap
pengolahan terlebih dahulu, yaitu penghilangan sulfida, penghilangan krom
kemudian dijadikan satu dalam bak ekualisasi, aliran limbah (efluent) dengan
kandungan maupun aliran keluar untuk tahahp primer.
Dari bak ekualisasi air limbah tersebut diatur pH kemudian ditambahkan
larutan penggumpal dan pengendap yang selanjutnya endapan dapat dilakukan
penanganan lumpur (primer). Penanganan lumpur harus hati- hati agar tidak
terlarut pada proses selanjutnya.
a.

Pemisahan padatan kasar


Sebelum diolah air limbah perlu disaring terlebih dahulu untuk

menghilangkan padatan kasar yang dapat menutup pipa, pompa-pompa dan


saluran- saluran. Pada proses ini lebih dari 30% padatan tersuspensi total dalam
cairan air limbah dapat dihilangkan dengan saringan.
b. Segresi
Pada tahap ini dilakukan pemisahan cairan-cairan limbah yang

mempunyai sifat khas dan memerlukan perlakuan tertentu untuk menangani zat
pencemar agar nanti setelah dicampur dengan cairan limbah yang lain tidak
menimbulkan kontradiksi yang merugikan. Adapun cairan- cairan limbah dari
proses penyamakan kulit yang perlu dipisahkan adalah:
Cairan limbah pengapuran (buang bulu).
Cairan limbah ini banyak mengandung Sulfida dari Na2S atau NaHS
sisa dari proses buang bulu sebagai agensia perontok bulu/ rambut. Sebelum
proses pengolahan segresi air limbah pada proses buang bulu berwarna putih
kehijauan dan kotor, dengan konsntrasi pH 10-12,5 dengan total solid 16.00045.000 mg/l. Namun setelah proses pengolahan dapat menetralisir asam, serta
kandungan slfida yang terkandung didalamnya dapat teratasi. Hal ini dapat
dilakukan dengan dua cara:

Oksidasi Katalitik Sulfida, yaitu dengan aerasi dan pemberian


mangan sebagai katalisator. Seharusnya hal ini dilakukan setiap hari
untuk menghindari bau busuk (H2S) dari air limbah tampungan.
Aerasi dapat dilakukan pada tang ki yang memanjang keatas (tinggi)
dan udara dihembuskan dari bagian dasar melalaui difusir atau dapat
juga memakai aerator.

Pengendapan Langsung.
Fero sulfat dan feri klorida dapat digunakan untuk menghilangkan

sulfida dari larutan denganpengendapan. Pengolahan ini akan menurunkan


pH karena hidroksidanya mengendap.
Cairan limbah Krom.
Pengendapan krom relatif mudah dilakukan, pengendapan limbah
krom dapat mempengaruhi biaya produksi/ pengolahan limbahnya. Pada
pengolahan ini menghasilkan cairan supernatan yang hampir bebas krom dan
juga dapat menurunkan BOD.
c.

Ekualisasi

Proses pengolahan pada bak ekualisasi bertujuan untuk penghilangan


sulfida dan krom agar dapat menghemat air yang dapat mengencerkan limbah
kapran dan cairan limbah krom sebelum diolah lebih lanjut.
Pada tahapan ini juga meningkatkan efisiensi pengolahan dan untuk
menghindari rancangan baik yang diantisipasi untuk aliran puncak ( peak Flow)
maka dilakukan sistem pengaturan laju aliran dan pencampuran seluruh air
limbah.
Praktek pencampuran ini meberi kesempatan terjadinya proses netralisasi
dan pengendapan. Oleh karena itu sebaiknya air limbah dicampur dengan baik
dan intensif, misalnya dengan mixer atau blower mengingat dalam bak ini padatan
tersuspensinya dijaga jangan samapai mengendap dan kondisi air limbahnya harus
aerobik, hal ini dapat dicapai dengan menghembuskan udara dari dasar bak
melaluai beberapa difuser untuk memasok O2 yang intensif. Tenaga yang
diperlukana untuk mengaduk kira- kira 30 watt/m2 air limbah. Jika dilakukan
injeksi udara pada bak sedalam 2-4 m, aliran udara optimalnya 3-4 m3/jam per
m2 permukaan bak. Dalam bak ekualisasi dapat dilakukan pergantian garamgaram aluminium maka penghilangan Nitrogen melalui proses nitrifikasi/
denitrifikasi perlu dilakukan.Pada tahapan ini untuk meningkatkan efisiensi
pengolahan dan untuk menghindari rancangan baik yang diantisipasi untuk aliran
puncak (peakflow) maka dilakukan sistem pengaturan laju aliran dan
pencampuran seluruh air limbah.
d. Koagulasi
Pada tahapan ini dilakukan perlakuan fisiko kimiawi untuk menghilangkan
BOD dan padatan. Dengan perlakuan fisiko kimiawi yang relatif mudah dan
sederhana dapat menghilangkan > 95 % padatan tersuspensi dan BOD sekitar
70%. Untuk menghilangkan BOD sepenuhnya dapat dilakukan dalam pengolahan
proses biologis selanjutnya.
Perlakuan fisiko kimia terhadap air limbah penyamakan kulit terdiri dari
perlakuan awal dengan pemberian penggumpal yang dilanjutkan dengan
pemberian pengendap sampai dengan pemisahan lumpurannya untuk dibuang.

Efesiensi penggumpalan dapat diperoleh dengan penambahan larutan


pengendap yang berupa larutan polyelektrolit anionik rantai panjang dengan
konsentrasi 1-10 mg/l.
e.

Pengolahan limbah cair dengan proses biologis


Dalam persyaratan baku mutu air limbah, maka perlu adanya pegolahan

sekunder. Pilihan cara pengolahan sekunder untuk air limbah penyamakan kulit
sbb:
Filter biologis
Filter biologis dalam pengolahan limbah penyamakan kulit sering
tidak dipertimbangkan.
Lumpur aktif (kolam oksidasi)
Pengolahan lumpur aktif pada prinsipnya adalah mempertemukan
antara air limbah yang mengandung bahan pengencer organik dengan
sejumlah besar bakteri aerob dan mokroorganisme lain yang terkandung
dalam lumpur biologis (lumpur aktif). Pengolahan dengan lumpur aktif
berbeban ringan sangat sesuai untuk air limbah penyamakan kulit. Cara ini
dikenal deng oksidasi kolam PASVEER.
Lumpur aktif konvensional
Jika dibandingkan dengan cara konvensional yang berbeban berat,
maka waktu yang diperlukan adalah 2-4 hari dan beban organik yang ringan
lebih mudah menahan variasi keadaan air limbah dan beban mendadak yang
menjadi proses penyamakan kulit, dengan demikian lumpur yang dihasilkan
berkurang.

Kolam

oksidasi

PASVEER

relatif

lebih

murah,

dan

pemeliharaannya mudah, juka dioprasikan sebagaimana mestinya dapat


menghasilkan air limbah terolah dengan BOD , 20 mg/l.
Pengolah dengan lumpur aktif konvensional ( bebn berat) dapat dipilih
dengan cara pegolahan sekundernya jika lahan yang ada sangat tebatas.
Oksidasi berlangsung terus menerus dalam bk aerasi karena itu kebutuhan

aerasinya juga agak intensif ( sampai kra- kira 1 Kw/ kg BOD). Waktu tingga l
yang diperlukan hanya 6-12 jam sudah cukup.
Lagun (kolam)
Ada pendekatan lain bagi daerah pedesaan atau yang memiliki lahan
luas, yaitu kolam dapat dibuat dengan biaya rendah dan perawatan pengolahan
juga sangat mudah. Ada beberapa pilihannya :
v Kolam aerob
Dapat mengurangi sampai > 85 % BOD dalam waktu 10 hari,
namun biasanya kolam tersebut mengeluarkan pencemaran udara dan
memungkinkan terbentuknya kembali sulfida bersamaan dengan
terlepasnya gas H2S. Hal ini sesuai bila hanya untukpemanfaatan
ruang/ ahan dan biaya kolam-kolam tersebut rendah, sedangkan yang
diperlukan hanya membuat kedalaman 3 meter.
v Kolam fakultatif
Dengan 2 lapisan (zone) pengolahan yaitu lapisan aerob (yang
ada di atas, berhubungan dengan udara) dal lapisan anaerob (zone di
bawahnya). Biasanya berukuran lebih besar dari an aerob dan kurang
efektif.Kolam ini lebih mengandalkan kekuatn fotosintetik dengan
demikian tergantung pada perubahan musim dan tidak dapat diperiksa/
dipantau dengan baik.
v Kolam aerasi
Kolam ini sudah banyak dioperasikan di banyak perusahaan
dan membutuhkan tenaga 10 30 w/m3 yang biasanya digunakan
adalah aerator permukaan mekanik.
4. Dampak Industri Penyamakan Kulit terhadap Kesehatan Manusia
Didalam Industri Penyamakan kulit menggunakan bahan- bahan pembantu
yang tersusun dari senyawa- senyawa kimia. Ada yang berwujud bubuk, kristal,
maupun cair, semi liguid yang berbahaya terhadap kesehatan manusia. Bahan- bahan

kimia tersebut akan kontak dengan pekerja Industri Penyamakan Kulit dengan
berbagai macam cara, yaitu melalui kontak dengan kulit atau dengan cara
penghirupan dalam bentuk gas atau uap..
Bahan bahan yang bersifat korosif dapat menyebabkan kerusakan pada
bagian tubuh yang terkena tumpahan ke kulit, mata atau juga bisa terminum, tertelan,
maupun terhirup ke paru- paru.
Dibawah ini akan dijelaskan akibat yang ditimbulkan apabila kontak dengan
bahan- bahan yang bersifat korosif atau beracun, yaitu :
o Natrium Sulfida (Na2S), berfungsi pada buangan bulu pada industri penyamakan
kulit. Berupa kristal putih atau kekuningan. Bereaksi dengan karbon. Bersifat
tidak stabil, sehingga dalam proses penyimpanannya harus dijaga agar terhindar
dari pemanasan karena dapat meledak.
o Asam Sulfida (H2SO4), bersifat korosif dan bersifat racun terhadap jaringn kulit.
Kontak dengan kulit menyebabkan terbakar, sehingga merusak jaringan.
Penghisapan kabut/ uap asam sulfat dapat menyebabkan inflamasi pada
tenggorokan bagian atas sehingga menyebabkan bronkitis, dan bila kontak dengan
konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kolaps.
o

Asam Klorida (HCL), bahan ini merupakan bahan pengoksidasi yang sangat
kuat.Berbahaya jika terkena panas. Pengaruhnya terhadap kesehatan manusia
yang akan menghasilkan methemoglobin dalam darah serta akan merusak butirbutir darah merah pada akhirnya akan merusak buah ginjal juga otot- otot hati.

o Asam Format ( HCCOH), bahan mudah terbakar dapat menyebabkan iritasi pada
kulit, mata, membran mukosa.
o

Amonium Hidroksida (NH4OH), suatu bahan apbila dipanaskan akan


mengeluarkan racun yang berbahaya bagi kesehata, uapnya bersifat racun.

o Natrium Hidroksida (NaOH), berbentuk padat atau larutan bersifat korosif pada
kulit manusia apabila kontak terlalu lama, dapat menyebabkan kerusakan jaringan
tubuh manusia. Penghisapan pada hidung dapat menyebabkan iritasi pada

membran mukosa.
Senyawa Benzidin (NH2 C6 H4 NH2), apabila kontak dengan kulit dapat

menyebabkan iritasi, dapat menyebabkan kerusakan pada darah (hemolisis),


apabila terhisap menyebabkan mual, muntah-muntah dan pada akhirnya diikuti
dengan kerusakan hati.
o Kalium Permanganat (KMNO4), sangat iritasif, debu KMNO4 sangat beracun,
dapat terhisap melalui pori-pori, dapat menyebabkan kerusakan pada paru-paru,
pernafasan pada bagian atas .
o Formalin (HCHO)., iritasi pada kulit mata membran mukosa apabila tertelan dapat
menyebabkan muntah, diare, kolaps. Bersifat karsinogenik terhadap paru-paru.
o Arsen (AS), arsen bila tdapat terhisap melaluerhisap maka dapat menimbulkan
menyebabkan muntah, mual dapat terhisap melalui maka dapat menimbulkan
menyebabkan muntah, mual, diare. Kerusakan arsen menyebabkan kelainan
sistem syaraf , kerusakan hati, gangguan sistem pembuluh darah, pigmentasi kulit
serta dapat menyebabkan kanker.
o

Naftol (C10HOH), apabila terhisap dapat menyebabkan mual, muntah, diare,


bahkan anemia. Naftol dapat diserap oleh kulit.

o Phenol (C6H3OH), penyerapan larutan phenol pada kulit terjadi dengan cepat.
Kontak dengan larutan phenol selama 30 menit sampai beberapa jam dapat
menyebabkan kematian, untuk kontak dengan kulit seluas 64 inchi. Gejala yang
timbul apabila seseorang keracunan phenol yaitu pusing, otot lemah, pandangan
kabur, telinga berdengung, napas terengah-engah.
o Krom (Cr), yang bersifat asam sangat bersifat korosif pada kulit serta membran
mukasid (selaput lendir). Kontak dengan Cr secara langsung dan terus menerus
bagi kulit yang sensitif akan menyebabkan koreng (ulcer) selebar ujung pensil di
sekitar kuku maupun punggung tangan.
5. Teknik Pengendalian Limbah Penyamakan Kulit
a.

Penerapan Cleaner Production

Produksi bersih adalah strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat


pereventif dan terpadu yang perlu dilaksanakan secara terus menerus pada proses
produksi sehingga mengurangi risiko negative terhadap manusia dan lingkungan.
Produksi bersih pada proses produksi berarti meningkatkan efisiensi dan
efektifitas pengguanaan bahan baku, energi, dan sumber daya lainnya, serta
mengganti atau mengurangi jumlah dan toksitas seluruh emisi dan limbah
sebelum keluar dari proses. Pencegahan, pengurangan, dan penghilangan limbah
atau bahan pencemaran pada sumbernya merupakan elemen utama di produksi
bersih. Kegiatan yang merupakan produksi bersih adalah:
Penghematan pemakaian air pencucian atau pembilasan.

Penghematan penggunaan zat kimia misalnya penyamakan dengan


menggunakan garam krom dengan kadar larutan cuku dengan 8% tidak
perlu dipakai 12%.

Modifikasi proses, seperti pada proses pengapuran menggunakan drum


dengan jumlah bahan-bahan yang dipakai dapat dikurang ( air, kapur,
sulfida) atau dengan pemisahan cairan pada proses buang bulu dan
pengpuran.
Pemakaian tekhnologi dan peralatan yang tepat.
b. Pemisahan Krom
Krom dapat dipisahkan dari cairan buangan dengan jalan penyaringan
yang kemudian di daur ulang dengan cara sbb : Air buangan dari penyamakan
kromdan air pencucian (sebanyak 2 x 100 % air) yang sudah bebas dari padatan
diberi larutan magnesium hidroksida, dan diendapkan kira-kira 10 jam, yang
kemudian cairan dipindahkan ke bak lain (dengan pipa penyedot, tetapi jangan
sampai endapannya ikut tersedot). Cairan tersebut bila benar-benar bebas dari
endapan akan mengandung krom kurang dari 2 ppm sehingga bias langsung
dibuang atau dipakai untuk daur ulang.
Endapan yang terjadi kemudian ditambah asam sulphat yang sesuai,

endapan tersebut akan larut dalam waktu sekitar 15 menit dan akan memberikan
suatu larutan krom sebesar 50 gram krom oksida/liter. Pada daur ulang proses
selanjutnya masih membutuhkan penambahan krom kira-kira sejumlah 30 %.

E.

Pemasaran
1. Permintaan
Mulai tahun 2001 sampai saat ini dan seiring dengan kondisi perekonomian yang
membaik, pasar produk dari kulit khususnya tas kulit mulai kembali membaik. Pengusaha
kecil industri kulit dapat kembali pada produksi tas kulit asli. Namun karena tas kulit
imitasi juga telah memiliki pangsa pasar sendiri, sebagian produsen tas kulit tetap
memproduksi tas dari kulit imitasi. Tantangan selanjutnya yang dihadapi industri tas kulit
dalam negeri adalah persaingan di pasar luar negeri yaitu produk tas kulit dari Cina. Di
pasaran internasional, tas kulit dari China dipasarkan dengan harga relatif lebih murah.
Sedangkan produk tas kulit Indonesia yang beredar di pasar luar negeri harganya lebih
mahal. Hal ini disebabkan belum adanya akses langsung ke pasar luar negeri.
Permintaan pasar tas kulit relatif bagus karena produk dengan bahan baku khusus
ini memiliki pangsa pasar tersendiri. Data mengenai besarnya permintaan pasar produk
tas kulit di Indonesia, baik permintaan dalam maupun luar negeri, masih cukup sulit.
Salah satu pengusaha pengrajin tas kulit di Tanggulangin, diperoleh informasi bahwa
mereka biasa memasarkan produknya di dalam negeri, baik melalui agen yang menjadi
relasi pengusaha pengrajin yang berada di beberapa kota seperti Jakarta dan Bali, maupun
pesanan baik dari peorangan atau institusi, serta melayani pesanan dari luar negeri.
Terdapat beberapa merk tas asing yang melakukan pesanan langsung ke Tanggulangin
dengan memberikan spesifikasi atau model yang khusus dan kemudian memberikan logo
sesuai dengan brand pemesan.
2. Penawaran
Kerajinan tas kulit memerlukan keterampilan tangan dan keuletan. Salah satu
daerah pengusaha pengrajin tas kulit di Tanggulangin mengungkapkan bahwa tidak ada

yang tidak bisa dibuat oleh pengrajin Tanggulangin. Hal ini dikarenakan kemampuan
pengrajin Tanggulangin dalam membuat produk tas kulit tidak diragukan. Para pengrajin
ini seringkali mengoleksi majalah-majalah mode dunia untuk melihat trend tas kulit yang
berkembang. Dari melihat gambar tersebut mereka mampu memproduksinya dengan
hasil yang persis dengan aslinya.
Konsumen yang menginginkan model tas yang berbeda, dapat membuat desain
sendiri atau memberikan contoh produk yang ia punya dan para pengrajin ini akan
membuatnya sesuai selera pemesan. Pemesan juga dapat melihat contoh produk yang ada
pada koleksi pengrajin kemudian meminta pengrajin untuk membuat produk
modifikasinya. Pengusaha bahkan telah terbiasa memproduksi tas dalam jumlah ribuan
dalam waktu satu minggu. Jumlah minimal produk pesanan tidak dibatasi. Hal ini
dikarenakan karakteristik biaya produksi yang sebagian besar adalah biaya variabel.
Apabila pesanan dalam jumlah sedikit, maka harga per item produk menjadi sedikit lebih
mahal.
3. Impor
Impor kulit samak termasuk kulit domba dan kambing menunjukkan kenaikan
pada tahun 1997 2001. Pada tahun 1997 produksi kulit sebesar 17,3 ribu ton dan pada
tahun 2001 menjadi 25,1 ribu ton (kenaikan 45,1%). Kebutuhan kulit dunia cukup tinggi,
hal ini merupakan peluang dan prospek yang cukup besar bagi pengembangan industri
penyamakan kulit (baik kulit sapi maupun domba dan kambing).
4.

Ekspor
Pemanfaatan kulit ternak atau hewan untuk kepentingan manusia itu berjalan

searah dengan perkembangan peradaban manusia. Dari keseluruhan produk sampingan


hasil pemotongan ternak, maka kulit merupakan produk yang memiliki nilai ekonomis
yang paling tinggi. Berat kulit pada sapi, kambing dan kerbau memikiki kisaran 7-10%
dari berat tubuh. Secara ekonomis kulit memiliki harga berkisar 10-15% dari harga
ternak.
Sebelum era krisis moneter, pihak pemerintah dengan syarat tertentu masih
mengizinkan industri-industri penyamakan kulit untuk mengimpor kulit mentah dan

awetan dari luar negeri, dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kulit
dalam negeri yang sepenuhnya belum mencukupi. Namun demikian sejak mulainya krisis
moneter, pemerintah akhirnya mengeluarkan suatu kebijakan untuk melarang impor kulit
mentah maupun kulit setengah jadi dari luar negeri dengan alasan tingginya harga dasar
barang (naik kurang lebih 300-400%) dan pajak impor yang harus ditanggung oelh
importir akibat fluktuasi rupiah oleh mata uang asing.
Dengan langkah kebijakan tersebut para pengusaha dalam negeri tentunya harus
menyediakan bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Masalah yang
timbul, apakah mutu kulit mentah maupun kuliut awetan yang dihasilakan oleh
masyarakat yang di dalam negeri sudah memenuhi standar yang sesuai atau paling tidak
telah mendekati standar kualitas yang telah ditetapkan?
Sebuah catatan penting yang patut diingat bahwa kejayaan pesat, ekspor kulit
samak merupakan sumber devisa negara non migas selain kayu, tekstil dan elektronik.
Berdasarkan gambaran tersebut, tentunya bahanyak hal yang harus dikaji dan terpulang
kepada bagaimana perkembangan ilmu dan terknologi khususnya ilmu dan teknologi
pengolahan kulit ke depan serta kualitas SDM peternakan yang dimiliki.
5. Peluang Pasar
Potensi ketersediaan kulit khususnya di Sulawesi Selatan sendiri cukup besar. Bila
dilihat dari perolehan angka statistik di Sulawesi Selatan untuk tahun 2004, jumlah
pemotongan yang tercatat di RPH dan luar RPH khususnya ternak besar seperti sapi yang
mencapai 62.020 ekor, kerbau 17.295 ekor, kuda 2.376 ekor dan ternak kecil seperti
kambing 19.525 ekor serta domba 203 ekor. Total untuk ternak besar dan kecil secara
keseluruhan mencapai 101.419 ekor. Berdasarkan data tersebut diasumsikan bahwa
terdapat kurang lebih 101.419 lembar kulit yang dapat dioleh menajdi produk lembaran
kulit jadi sebagai bahan baku untuk membuat produk barang kulit seperti jaket, sepatu,
tas, assesoris, jok mobil dan sadel motor, pelapis kursi dan sebagainya. Data diatas
merupakan data pemotongan ternak yang tercatat, namun bila dijumlahkan dengan data
pemotongan yang tidak tercatat (gelap) potensi kulit dapat mencapai 156.976 lembar.
(Anonim. 2005. Statistika Peternakan Tahun 2005. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Dinas Peternakan, Makassar.)

6. Prospek
Secara rinci perhitungan nilai investasi untuk produk olahan komoditas sapi
potong yang berpotensi dan prospektif dikembangkan pada masa yang akan datang
adalah jenis usaha kulit sapi samak. Berdasarkan data statistik tahun 2003, bahan baku
yang tersedia untuk mendukung industri kulit sapi samak menunjukkan jumlah yang
mencukupi untuk berkembangnya jenis usaha-usaha tersebut (skala UKM). Keseluruhan
kebutuhan dana investasi bagi skala UKM serta lokasi dan jumlahnya di Indonesia
disajikan pada Tabel 4. Penentuan lokasi didirikannya UKM antara lain berdasarkan
pertimbangan ketersediaan bahan baku, strategis, serta merupakan daerah atau pusat
wisata Indonesia yang memungkinkan berkembangnya produk kerajinan dari kulit samak.
Tabel

4. Perkiraan Nilai Investasi dan Keuntungan, serta Jumlah UKM dan

LokasiPengembangan Usaha Pengolahan Kulit Sapi Samak


No
1

Jenis Usaha
Kulit sapi samak

Nilai Investasi

Keuntungan

BEP

Rp. 420.000.000

Bersih
Rp.

618,94

Meliputi tanah,

526.239.100

unit/tahun

bangunan,

dengan harga

perlengkapan kantor,

jual

dan alsin. Biaya

minimal

pengeluaran

per produk Rp.

tahun
Rp. 575.730.000

5 (Sumbar, Jabar,

Jumlah Jateng,
/lokasi
UKM

Sulsel)

Total investasi

Kaltim, Rp. 2.100.000. 000


@ Rp. 420.000.000

78.065/unit

II.

A.

PEMBAHASAN

Bahan Baku
Di Indonesia cukup banyak terdapat industri penyamakan kulit , salah satunya yaitu di
wilayah Sukaregang, Garut yang merupakan sentra produksi penyamakan kulit di Pulau Jawa. Di
wilyah tersebut setidaknya terdapat 330 industri penyamakan kulit yang memproduksi bahan baku
kulit samak untuk industry sepatu dan industri garmen. Dari tahun ke tahun industri di kawasan ini
berkembang begitu pesat sehingga pendapatan masyarakat di daeah tersebut meningkat serta ekspor
ke luar negeri pun mengalami peningkatan .
Tingkat produksi kulit samak pada tahun ini mengalami penurunan karena pemasokan bahan
baku bekurang ,penyamakan kulit di Indonesia kekurangan sekitar 70 persen bahan baku, hal inilah
yang memacu para pengusaha kulit sapi samak gulung tikar. Kurangnya perhatian pemerintah
terhadap masalah ini merupakan salah satu faktor terjadinya penurunan produktifitas di industry ini.
Selain itu, adanya ekspor yang berlebih terhadap kulit sapi mentah menyebabkan para pengusaha
penyamakan kulit kekurangan bahan baku, padahal jika kita mengolah sendiri kulit mentah tersebut
kita dapat meningkatkan nilai tambah terhadap komoditi sehingga penghasilan masyarakat dapat
meningkat. Hal inilah yang harus diperbaiki demi terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat dan
kesejahteraan masyarakat dapat meningkat.
Kulit sapi yang akan diolah/ disamak

harus memenuhi standar tertentu , ketentuan

ketentuan tersebut sudah diatur di dalam SNI ( Standar Nasional Indonesia ) mengenai standar kulit
sapi mentah basah yang meliputi standar untuk bau, warna dan kebersihan, bulu, ukuran kulit, berat

kulit, elastisitas, kandungan air, cacat ( mekanis, termis, parasit ). Standar standar tersebut harus
dipenuhi agar menghasilkan kulit sapi samak yang berkualitas tinggi. Di industry penyamakan kulit
standar tersebut dipakai untuk memastikan bahwa kulit sapi yang akan disamak mememang layak
untuk diolah agar produk yang dihasilkan memiliki mutu yang tinggi.

B.

Produk
Kulit sapi samak banyak dimanfaatkan untuk pembuatan produk fashion,
furniture , dan pembuatan kerajinan dari kulit seperti jaket, sepatu, tas, dan lainnya.
Selain itu, dikenal pula istilah kulit sol, istilah ini digunakan untuk kulit yang diperoleh
dari penyamakan kulit sapi dengan menggunakan bahan penyamak nabati. Penyamakan
dengan bahan penyamakan nabati

berasal dari tumbuhan yang mengandung bahan

penyamak misalnya kulit akasia, sagawe , tengguli, mahoni, dan kayu quebracho, eiken,
gambir, teh, buah pinang, manggis, dll. Pada proses penyamakan, semua bagian kulit
mentah yang bukan colagen saja yang dapat mengadakan reaksi dengan zat penyamak.
Kulit jadi sangat berbeda dengan kulit mentah dalam sifat organoleptis, fisis, maupun
kimiawi. Kulit jadi yang dihasilkan misalnya kulit tas koper, kulit sol, kulit pelana kuda,
kulit ban mesin, kulit sabuk dll. Kulit sol banyak digunakan sebagai lapisan bawah pada
sepatu . Untuk mengetahui kualitas dari kulit saol tersebut digunakan pengujian secara
organoleptis, fisis dan kimiawi.
Mutu produk kulit samak harus memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan pada SNI
( Standar Nasional Indonesia ) agar produk tersebut dapat memilki kualitas yang baik sehingga dapat
mempunyai daya jual yang tinggi. Standar tersebut meliputi Kimiawi ( kadar air , kadar
minyak/lemak, kadar zat larut dalam air, kadar abu, kadar krom oksida, derajat penyamakan, pH ),
Fisis ( tebal, kekuatan Zwik, kekuatan tarik, kemuluran pada waktu putus, penyerapan air ), dan
Organoleptis. Standar yang telah ditentukan harus dipenuhi karena apabila salah satu dari ketentuan
tersebut tidak dipenuhi maka kualitas dari produk kulit sapi samak kurang baik.

C.

Teknologi Proses
Industri penyamakan kulit adalah industri yang mengolah kulit mentah (hides
atau skins) menjadi kulit jadi atau kulit tersamak (leather) dengan menggunakan bahan
penyamak. Teknologi proses dalam industri penyamakan kulit terdiri dari tiga pokok

tahapan yaitu proses pengerjaan basah (beam house), proses penyamakan (tanning) dan
penyelesaian (finishing). Masing- masing tahapan ini terdiri dari beberapa macam proses.
Setiap proses memerlukan tambahan bahan kimia dan pada umumnya memerlukan
banyak air, tergantung jenis kulit mentah yang digunakan serta jenis kulit jadi yang
dikehendaki.
Penambahan bahan kimia ini tentu menyebabkan pencemaran yang cukup besar
dari industri ini. Bahan-bahan kimia ini dapat mencemari air sisa pengolahan kulit samak
berupa air limbah. Air limbah ini memerlukan perlakuan-perlakuan tersendiri agar dapat
dibuang ke lingkungan dan tidak merusak lingkungan. Perlakuan yang dilakukan
tergantung jenis limbah dan jenis bahan kumia yang mencemari air. Jenis bahan kimia
yang mencemari dapat dilihat dari proses-proses yang dilakukan dalam penyamakan
kulit.
Tahapan proses pengerjaan basah (beam house) diantaranya perendaman
(soaking) untuk mengembalikan sifat- sifat kulit mentah menjadi seperti semula, lemas,
lunak dan sebagainya. Pada proses perendaman ini, penyebab pencemarannya ialah sisa
desinfektan dan kotoran- kotoran yang berasal dari kulit. Selanjutnya pengapuran (liming)
untuk menghilangkan epidermis dan bulu, menghilangkan kelenjar keringat dan kelenjar
lemak serta menghilangkan semua zat-zat yang bukan collagen yang aktif menghadapi
zat-zat penyamak. Dalam proses pengapuran ini mengakibatkan pencemaran yaitu sisasisa Ca (OH)2, Na2S, zat-zat kulit yang larut, dan bulu yang terlepas.
Tahap selanjutnya yaitu pembelahan (splitting) untuk mendaptkan ukuran dan
ketebalan kulit yang diinginkan. Setelah didaptkan ukuran yang diinginkan kemudian
dilakukan pembuangan kapur (delimming). Pembuangan kapur akan mempergunakan
asam atau garam asam, misalnya H2SO4, HCOOH, (NH4)2SO4, Dekaltal dan lain-lain.
Selanjutnya proses pengikisan protein (bating). Proses ini menggunakan enzim protese
untuk melanjutkan pembuangan semua zat- zat bukan collagen yang belum terhilangkan
dalam proses pengapuran. Tahap terakhir yaitu pengasaman (pckling).Proses ini
dikerjakan untuk kulit samak dan krom atau kulit samak sintetis dan tidak dikerjakan
untuk kulit samak nabati atau kulit samak minyak.
Tahapan proses penyamakan (tanning), proses penyamakan dimulai dari kulit

pikel untuk kulit yang akan disamak krom dan sintan, sedangkan untuk kulit yang akan
disamak nabati dan disamak minyak tidak melalui proses pickling (pengasaman).
Tahapan proses ini terdiri dari penyamakan, pengetaman (shaving), pemucatan
(bleaching), penetralan (neutralizing), pengecetan (dyeing), peminyakan (fat liguoring),
pelumasan (oiling), pengeringan, kelembaban serta peregangan dan pementangan
Tahapn yang terakhir yaitu tahapan penyelesaian akhir (finishing). Penyelesaian
akhir bertujuan untuk memperindah penampilan kulit jadinya, memperkuat warna dasar
kulit, mengkilapkan, menghaluskan penampakan rajah kulit serta menutup cacat-cacat
atau warna cat dasar yang tidak rata.
D.

Prakiraan Biaya Produksi


Variable cost adalah biaya yang langsung dipengaruhi oleh banyaknya (unit)
barang yang diproduksi. Variable cost terdiri dari biaya bahan baku, biaya bahan
pembantu (zat kimia), biaya tenaga kerja, biaya penanganan limbah dan biaya
pemeliharaan.
Biaya bahan baku dipengaruh oleh rendemen kulit mentah untuk menhasilkan
kulit jadi diantaranya sebagai berikut :
-

Kulit garaman dengan berat lebih dari 20 kg menghasilkan kulit jadi dengan luas
1 2 sq ft/kg, dengan rataan 1,5 sq. ft./kg

Kulit garaman dengan berat antara 10 20 kg menghasilkan kulit jadi dengan


luas 2,0 2,5 sq ft/kg

Kulit kecil (skin) dengan berat kulit garaman dibawah 4 kg menghasilkan


kulit jadi dengan luas antara 3,0 4,0 sq.ft/kg.

Kulit mentah mengalami penyusutan sampai dengan 10% dari rasio tersebut,
tergantung pada sumber kulit mentahnya. Biaya kulit mentah dapat mencapai 50%
atau lebih dari total biaya kulit jadi, sehingga biaya kulit mentah menjadi faktor
utama yang diperhatikan oleh perusahaan pengolahan kulit.
Untuk biaya bahan pembantu yaitu bahan kimia dipengaruhi oleh kebutuhan

bahan kimia dari tiap proses penyamakan kulit yang dilakukan. Jumlahnya bergantung
dengan jumlah kulit mentah yang diolah. Selanjutnya biaya tenaga kerja langsung.

Apabila seluruh biaya tenaga kerja langsung kita hitung maka komposisinya adalah
sebagai berikut: beam house 12%; proses tanning 11%; proses drying, shaving, dan
splitting 25%; persiapan untuk finishing 24%; dan proses finishing 28%. Pada umumnya
kulit yang dapat dihasilkan per jam kerja tenaga kerja langsung adalah sebagai berikut: 17
sq ft per jam untuk kulit besar, 14 sq ft per jam untuk kulit sedang, dan 10 sq ft per jam
untuk kulit kecil.
Utility, termasuk didalamnya adalah air, energi (listrik, panas, dan lampu),
penanganan limbah, maintenance mesin. Besarnya biaya untuk utility tergantung dari
kulit yang diproses, skala pabrik, lokasi, dan fasilitas yang ada.
Overhead cost adalah biaya yang tidak langsung dipengaruhi oleh banyaknya
(unit) barang yang diproduksi biaya ini dikenal juga dengan istilah biaya tetap (fixed
cost), untuk memperkirakan biaya tidak langsung biasanya didasarkan pada data historis
perusahaan atau mengacu pada data perusahaan lain yang sejenis dengan skala usaha
yang sama. Biaya tidak langsung pada industri penyamakan kulit berkisar antara 10%
20% dari total penjualan.
Sebagai contoh harga pokok produksi pada industri penyamakan kulit secara tidak
langsung adalah menghitung total biaya langsung seperti:
Biaya bahan baku (harga kulit mentah) : Rp. 15.000/kg
Biaya tenaga kerja langsung : Rp. 3.400/jam
Biaya zat kimia (keseluruhan) : Rp. 2.000/sq. ft
Biaya utility (peralatan, dll) : Rp. 500/sq. ft.
Catatan:
-

Kulit besar lebih dari 20 kg dapat menghasilkan 1,5 sq ft/kg kulit jadi. Jadi, biaya
bahan baku per sq ft adalah 15.000/1,5 = Rp. 10.000/sq.ft.

Tingkat penyusutan kulit mentah adalah 10%, dan kerusakan produksi sebanyak
5%. Jadi, biaya bahan baku total adalah 10.000 + (15% x 10.000) = Rp.
11.500/sq.ft.

Tenaga kerja dapat menghasilkan 17 sq ft/jam. Jadi biaya tenaga kerjanya adalah
3.400/17 = Rp. 200/sq ft.

Jadi, Harga Pokok Produksi Kulit tersebut adalah:


HPP = Biaya bahan baku + Biaya zat kimia + Biaya tenaga kerja langsung + Biaya utility
HPP = Rp.11.500 + Rp.2.000 + Rp.200 + Rp.500
= Rp.14.200 / sq ft
Laba usaha dikenal pula dengan marjin usaha, dikenal menjadi dua jenis yaitu
marjin kontribusi (contribution margin) atau marjin bruto (gross margin). Sebagai
contoh, harga jual kulit sapi atasan saat ini adalah Rp. 19.000/sq ft, oleh karena itu
marjin/laba bruto penjualan kulit sapi tersebut adalah
Laba Bruto = Penjualan harga pokok produksi
Laba Bruto = Rp. 19.000 Rp. 14.200 = Rp. 4.800
Laba bersih = Penjualan variable cost fixed cost
BEP adalah pada kondisi Laba bersih = 0.
Sehingga, Penjualan = Variable cost + Fixed cost
(Q X P) = (Q X C) + Fc
Dimana, Q = jumlah
P = harga jual per sq.ft.
C = harga pokok produksi per sq.ft
Fc= total biaya tetap per periode
Contoh: Mengacu pada contoh sebelumnya dan apabila biaya tetap perusahaan
sebesar Rp. 50.000.000,- per bulan maka agar perusahaan tidak mengalami kerugian
(BEP) maka jumlah minimal kulit yag harus diproduksi adalah:
BEP Q X P = Q X C + Fc
Q (P-C) = Fc
Q (19.000- 14.200) = 50.000.000
Q = 50.000.000/4.800
Q = 1.041,67 sq ft
E.

Limbah Industri Samak


1. Limbah cair pabrik penyamaan berasal dari larutan yang digunakan unit pemprosesan
itu sendiri yaitu perendaman air, penghilangan bulu, pemberian bubur kapur,
perendaman ammonia, pengasaman, penyamaan, pemucatan, pembarian warna coklat,

dan pewarnaan dan dari bekas cuci , tetesan serta tumpahan. Penghilangan bulu
dengan kapur dan sulfida biasanya merupakan penyumbang utama beban pencemaran
dalam pabrik penyamaan. Limbah dengan BOD dan PTT tinggi berasal dari cairan
bekas perendaman, cairan kapur bekas dan cairan penyamaan nabati. Ciran samak
krom mengandung krom-trivalen kadar tinggi. Perendaman ammonia meninggalkan
banyak campuran nitrogen-amonia dan sedikit bahan organic. Limbah cair dari operasi
penghilangan bulu mengandung bulu dan sulfida.

Tabel 5. Karakteristik Limbah pada Tiap Proses


N Proses

Bahan

Karakteristik

Limbah Cair

.
1 Perendaman

Air, Sodium Hipoklorida

Mengandung
Sodium

2 Pengapuran

Air,

Air

Kapur

Hipoklorida
(Kalsium Bersifat basa

.
Hidroksida)
3 Pembuangan bulu Air, Sodium Sulfida

Bersifat

limbah Hidrogen

dan bekas daging

4 Penghilangan
.

Enzim, Garam Amonium

kapur

alkalin,

Sulfida
Bersifat

basa,

limbah

gas

amonia
Bersifat basa

5 Pencucian

Air

.
6 Pengasaman

Air,

.
7 Proses Krom

Klorida
Krom dioksida, Sodium Klorida, Bersifat

Sodium Bikarbonat

8 Pemutihan

Krom Trivalen
Air, Natrium Karbonat, Asam Bersifat asam

Sulfat

Asam

Sulfur,

Sodium Bersifat asam


asam

mengandung

9 Pencucian

Air

Bersifat

asam,

mengandung

1 Fat Liquoring

Krom
Mengandung

Minyak

minyak

.
1 Pemucatan

Bahan pemucat

Mengandung

zat

pemucat

2.

Limbah padat
Didalam proses penyamakan disamping limbah cair juga menghasilkan limbah padat
sebagai hasil samping. Dikatakan hasil samping karena dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan, misalnya sebagai bahan makanan,obat-obatan, kosmetik, pupuk, kerajinan,
dan bahan bangunan lainnya. Bahan padat yang dimaksud antara lain bulu, sisa trimming,
fleshing,sisasplit, shaving, buffing

3.

Limbah gas
Bau yang dikeluarkan limbah cair industri penyamakan kulit berasal dari
pembusukan material organik berupa Hidrogen sulfida yang dilepaskan selama
proses penghilangan

bulu,

dan

amonia

yang

dilepaskan

pada

proses

pengapuran
Limbah cair industri penyamakan kulit nampak paling menonjol dibandingkan
limbah padat maupun gasnya karena volumenya yang cukup banyak yaitu 30-70 l / kg
bahan baku yang diolah dari awal. Disamping volume yang banyak, zat- zat
pencemaran yang terkandung dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan dan dampak yang paling cepat berpengaruh adalah berbau busuk dan
kadang- kadang secara visual nampak berbuih banyak. Secara umum air limbah
penyamakan kulit mengandung bagian- bagian dari kulit seperti bulu, sisa daging,
potongan kulit dan bahan kimia sisa dari yang ditambahkan dalam proses
penyamakan kulit.
Dalam proses produksi Industri penyamakan kulit ada beberapa tahapan

proses pengolahan yaitu:


f.

Pemisahan padatan kasar

g. Segresi
h. Ekualisasi

F.

i.

Koagulasi

j.

Proses pengolahan limbah cair.

Pemasaran
Permintaan pasar tas kulit relatif bagus karena produk dengan bahan baku
khusus ini memiliki pangsa pasar tersendiri. Data mengenai besarnya permintaan pasar
produk tas kulit di Indonesia, baik permintaan dalam maupun luar negeri, masih cukup
sulit. Kerajinan tas kulit memerlukan keterampilan tangan dan keuletan
Impor kulit samak termasuk kulit domba dan kambing menunjukkan kenaikan
pada tahun 1997 2001. Pada tahun 1997 produksi kulit sebesar 17,3 ribu ton dan pada
tahun 2001 menjadi 25,1 ribu ton (kenaikan 45,1%). Kebutuhan kulit dunia cukup tinggi,
hal ini merupakan peluang dan prospek yang cukup besar bagi pengembangan industri
penyamakan kulit (baik kulit sapi maupun domba dan kambing). Sejak mulainya krisis
moneter, pemerintah akhirnya mengeluarkan suatu kebijakan untuk melarang impor kulit
mentah maupun kulit setengah jadi dari luar negeri dengan alasan tingginya harga dasar
barang (naik kurang lebih 300-400%) dan pajak impor yang harus ditanggung oleh
importir akibat fluktuasi rupiah oleh mata uang asing.

III. PENUTUP

A.

Kesimpulan
Industri penyamakan kulit adalah industri yang mengolah kulit mentah (hides
atau skins) menjadi kulit jadi atau kulit tersamak (leather) dengan menggunakan bahan
penyamak. Teknologi proses dalam industri penyamakan kulit terdiri dari tiga pokok
tahapan yaitu proses pengerjaan basah (beam house), proses penyamakan (tanning) dan
penyelesaian (finishing). Industri penyamakan kulit dari kulit sapi sudah banyak
berkembang di Indonesia. Produk-produk olahan yang dihasilkan juga sudah cukup
banyak.
Setiap proses memerlukan tambahan bahan kimia dan pada umumnya

memerlukan banyak air, tergantung jenis kulit mentah yang digunakan serta jenis kulit
jadi yang dikehendaki. Penambahan bahan kimia ini tentu menyebabkan pencemaran
yang cukup besar dari industri ini. Bahan-bahan kimia ini dapat mencemari air sisa
pengolahan kulit samak berupa air limbah. Air limbah ini memerlukan perlakuanperlakuan tersendiri agar dapat dibuang ke lingkungan dan tidak merusak lingkungan.
Limbah cair industri penyamakan kulit nampak paling menonjol dibandingkan
limbah padat maupun gasnya karena volumenya yang cukup banyak. Disamping volume
yang banyak, zat- zat pencemaran yang terkandung dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan dan dampak yang paling cepat berpengaruh adalah berbau busuk dan
kadang- kadang secara visual nampak berbuih banyak. Secara umum air limbah
penyamakan kulit mengandung bagian- bagian dari kulit seperti bulu, sisa daging,
potongan kulit dan bahan kimia sisa dari yang ditambahkan dalam proses penyamakan
kulit.
Permintaan pasar tas kulit relatif bagus karena produk dengan bahan baku
khusus ini memiliki pangsa pasar tersendiri. Kualitas produk dari kulit samak dari
Indonesia cukup baik sehingga tidak jarang diekspor hingga ke mancanegara. Untuk
menjaga harga produk, dilakukan proteksi terhadap impor bahan baku kulit mentah
maupun bahan setengah jadi ke Indonesia

Anda mungkin juga menyukai