Meron
Meron adalah tradisi memperingati kelahiran nabi Muhammad SAW juga
berlangsung di kecamatan Sukolilo, 27 km arah selatan Pati[1]. Upacara ini
ditandai dengan arak-arakan nasi tumpeng yang menurut masyarakat setempat
disebut Meron. Nasi tumpeng tersebut dibawa ke masjid Sukolilo sebagai
kelengkapan upacara selamatan. Prosesi Meron tersebut diikuti oleh aneka
ragam kesenian tradisional setempat. Setelah upacara selamatan selesai, nasi
Meron kemudian dibagikan kepada seluruh pengunjung.
Asal-usul tradisi meron
Pati dan Mataram mempunyai hubungan kekerabatan yang baik. Mereka
sepakat mengembangkan Islam yang subur dan menentang setiap pengaruh
kekuasaan asing.
Banyak pendekar sakti mataram yang didatangkan ke Pati untuk melatih
keprajuritan. Karena itu mereka harus tinggal berbulan-bulan bahkan bertahuntahun di Pati. Ada seseorang bernama Ki Suta Kerta yang menjadi demang
Sukolilo. Meskipun ayah dan kakeknya berasal dari Mataram dia belum pernah
mengenal bumi leluhurnya. Tapi dia bersukur tinggal di Pesantenan karena
kotanya juga makmur. Sebaliknya saudara Ki Suta yang bernama Sura Kadam
ingin berbakti pada Mataram. Diapun pergi ke Mataram, ketika sedang bersiap
menghadap Sultan, ada keributan. Ada seekor gajah mengamuk dan telah
menewaskan penggembalanya.Sura Kadam pun berusaha mengatasi
keadaan. Dia berhasil menjinakkan gajah dan menunggaginya, dia diangkat
menjadi punggawa Mataram yang bertugas mengurus gajah. Suatu hari Sura
Kadam bertugas memimpin pasukan Mataram menaklukkan Kadipaten Pati.
Setelah perang usai Sura Kadam pun menjenguk sudaranya di kademangan
Sukalilo. Demang Sura Kerta terkejut dan ketakutan. Dia takut ditangkap dan
diringkus . Sura Kadam mengetahui hal itu dan menjelaskan bahwa maksud
kedatangannya adalah untuk menyambung tali persaudaraan dan dia sudah
membaktikan diri pada Mataram. Dia minta izin supaya para prajurit diijinkan
menginap di kademangan Sukolilo sambil menunggu saat yang tepat untuk
kembali ke Mataram. Sura Kadampun mengusulkan supaya mengadakan acara
semacam sekaten untuk menghormati Maulud Nabi dan memberi hiburan pada
rakyat. Kemudian mereka membuat gelanggang keramaian
seperti sekaten. Rakyat menyambutnya dengan gembira. Karena itulah
keramaian itu disebut meron yang berasal dari bahasa jawa rame dan iron-tirontiruan.
Dalam arak-arakan acara tersebut, diiring beberapa gunungan yang sangat khas,
karena terbagi menjadi tiga bagian.
1. Bagian teratas adalah mustaka yang berbentuk lingkaran bunga aneka
warna berisi ayam jago atau masjid. Ayam jago menyimbolkan semangat
keprajuritan, masjid merupakan semangat keislaman, dan bunga simbol
persaudaraan.
2. Bagian kedua gunungan itu terbuat dari roncean atau rangkaian ampyang
atau kerupuk aneka warna berbahan baku tepung dan cucur atau kue
tradisional berbahan baku campuran tepung terigu dan tepung. Ampyang
melambangkan tameng atau perisai prajurit dan cucur lambang tekad
manunggal atau persatuan.
3. Adapun bagian ketiga atau bawah gunungan disebut ancak atau
penopang. Ancak itu terdiri ancak atas yang menyimbolkan iman, ancak
tengah simbol islam, dan ancak ba wah simbol ikhsan atau kebaikan