Anda di halaman 1dari 23

1

Referat
Ruptures of membranes (rom)
Ketuban pecah dini (kpd)

Alfaries radea marciantoro


201210330311055

Universitas muhammadiyah malang


Fakultas kedokteran
Program studi pendidikan dokter
Juni 2016

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pecah ketuban secara spontan paling sering terjadi sewaktu-waktu pada
persalinan aktif. Pecah ketuban secara khas tampak jelas sebagai semburan cairan
yang normalnya jernih atau sedikit keruh hampir tidak berwarna dengan jumlah
yang bervariasi. Selaput ketuban yang masih utuh sampai bayi lahir lebih jarang
ditemukan. Jika kebetulan selaput ketuban masih utuh sampai pelahiran selesai,
janin yang lahir dibungkus oleh selaput ketuban ini, dan bagian yang
membungkus kepala bayi yang baru lahir kadangkala disebut sebagai caul. Pecah
ketuban sebelum persalinan mulai pada tahapan kehamilan mana pun disebut
sebagai ketuban pecah dini. 5
Ketuban pecah dini (Premature Rupture of Membranes/PROM) mengacu
kepada pasien yang melampaui usia kehamilan 37 minggu dan ditampilkan
dengan adanya pecah ketuban (Rupture of Membranes/ROM) sebelum awal
persalinan. Ketuban pecah dini preterm (Preterm Premature Rupture of
Membranes/PPROM) adalah pecahnya ketuban (ROM) sebelum kehamilan 37
minggu. Spontaneus preterm rupture of the membranes (SPORM) adalah
pecahnya selaput ketuban mendahului atau bersamaan dengan waktu persalinan
yang berlangsung pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Terakhir adalah
prolonged rupture of membranes

atau pecah ketuban berkepanjangan adalah

setiap pecahnya ketuban yang berlangsung selama lebih dari 24 jam dan lebih
dahulu pecah pada awal persalinan. 5
Pada jangka waktu tertentu, kematian sel terprogram dan aktivasi dari
katabolisme

enzim

seperti

kolagenase

dan

trauma

mekanis

nyatanya

menyebabkan pecahnya selaput ketuban tersebut. PPROM terjadi karena


mekanisme yang sama seperti diatas. Namun, awal terjadinya PROM juga diduga
berhubungan dengan underlying phatologic processes, seperti pada kebanyakan
yaitu adanya proses peradangan dan atau infeksi pada selaput ketuban. Faktor

klinis turut mengambil peran dalam terjadinya PPROM diantaranya status sosialekonomi yang rendah, rendahnya body mass index (BMI), paparan rokok, riwayat
persalinan preterm, infeksi saluran kencing, perdarahan pervaginam pada berbagai
kasus seperti kehamilan, prosedur cerclage, amniosintesis. 5
Delapan puluh lima persen kecacatan dan kematian neonatus adalah
karena prematuritas. PPROM berhubungan dengan 30-40% dari kelahiran preterm
dan pemuncak dari penyebab kelahiran preterm yang dapat diidentifikasi.
Komplikasi PPROM sekitar 3% dari seluruh kasus kehamilan dan terjadi pada
sekitar 150.000 kasus kehamilan pertahun di United States. Ketika kejadian
PPROM masih jarang, secara signifikan resiko kecacatan dan kematian terjadi
baik pada ibu dan bayinya. Sehingga, dokter akan mengambil peran penting
dalam penanganan wanita hamil dengan penyulit PPROM tersebut dan mengenali
berbagai kemungkinan komplikasi dan intervensi serasional mungkin dengan
resiko yang seminimal mungkin dan memaksimalkan berbagai kemungkinan jalan
keluar yang mungkin.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pecah

ketuban

dini (Premature

Rupture

of

Membranes/

PROM) biasanya didefinisikan sebagai pecahnya amnion setiap saat sebelum


terjadinya kontraksi. Karena kata prematur juga membawa konotasi kehamilan
prematur,

penulis

(Danforths

Obstetrics

and

Gynecology,

10th

Edition) menggunakan kata prematur untuk merujuk pada usia kehamilan


kurang dari 37 minggu untuk menghindari kebingungan. Dengan demikian,
ketuban pecah dini preterm (Preterm Premature Rupture of Membranes/
PPROM) mengacu pada PROM sebelum 37 minggu kehamilan.5
Dengan demikian Premature rupture membranes (PROM) secara
istilah diartikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum waktu persalinan
pada usia kehamilan sama dengan atau lebih dari 37 minggu. PROM terjadi
pada kurang lebih 10% dari seluruh kasus kehamilan. Pasien dengan PROM
hadir dengan selaput ketuban yang pecah, vaginal discharge, vaginal bleeding,
dan pelvic pressure, namun mereka tidak merasakan adanya his/ kontraksi.
Sementara itu, Preterm Premature Rupture of the Membranes (PPROM)
terjadi dari usia 24-37 minggu dengan penanganan yang jauh lebih sulit
dibanding PROM.5
Saat ini klinis lebih relevan pada perbedaan PROM preterm (PPROM)
menjadi previable PROM yang terjadi sebelum batas dari viabilitas (kurang
dari 23 minggu), preterm PROM remote from term (dari kelangsungan hidup
menjadi sekitar 32 minggu kehamilan), dan preterm PROM near term
(sekitar

B. Epidemiologi

usia

kehamilan

32-36

minggu).5

Ketuban pecah dini premature (PPROM) bertanggung jawab atas 25%


sampai 33% dari seluruh kelahiran prematur setiap tahun. Antara 13% dan 60%
dari pasien dengan PPROM memiliki infeksi intraamniotic. Antara 2% dan 13%
dari pasien dengan PPROM memiliki endometritis postpartum. Usia kehamilan
muda, memiliki potensi semakin besar untuk memperpanjang kehamilan; 75%
dari pasien melahirkan dalam waktu 1 minggu.8
C. Etiologi
Pada kebanyakan kasus, etiologi tidak terbukti secara klinis. Pada PROM
penyebabnya mungkin karena melemahnya membran amnion secara fisiologis.
Kondisi

klinis

seperti

inkompetensi

serviks

dan

polihidramnion

telah

diidentifikasi sebagai faktor risiko yang jelas dalam beberapa kasus ketuban pecah
dini.8
Sebuah tinjauan ilmiah penyebab PPROM diidentifikasi penyebab potensial
banyak dalam kasus tertentu. Ini termasuk penurunan umum dalam kekuatan
peregangan membran amnion, cacat lokal pada membran amnion, penurunan
kolagen cairan ketuban dan perubahan dalam struktur kolagen, iritabilitas uterus,
apoptosis, degradasi kolagen, dan peregangan membran. The Jaringan MaternalFetal Medicine Unit (MFMU) menemukan bahwa faktor risiko PPROM adalah
PPROM sebelumnya, fibronektin janin positif pada kehamilan 23 minggu, dan
leher rahim pendek (<25 mm) pada umur kehamilan 23 minggu.5,8
Bukti Substansial yang ada menunjukkan bahwa infeksi subklinis mungkin
menjadi penyebab PROM. Bukti kuat untuk peran infeksi ditunjukkan oleh
penelitian yang menunjukkan hubungan antara vaginosis bakteri klinis didiagnosis
dan kelahiran prematur / PPROM. Beberapa bakteri kelamin mngeluarkan enzim
seperti protease, phospholipases, dan collagenases yang dapat bertindak untuk
melemahkan membran. Ketika cairan ketuban diperoleh dengan amniosentesis
dalam kasus PPROM, kultur positif dapat ditemukan pada sekitar 30% pasien jika
spesimen dikerjakan dengan benar untuk aerob, anaerob, dan mycoplasmas
kelamin.8

Dalam studi kasus-kontrol besar, tiga faktor yang terkait dengan PPROM
dalam analisis multifaktorial. Tiga faktor tersebut adalah (i) kelahiran prematur
sebelumnya (odds ratio [OR] 2,5, 95% confidence interval [CI] 1,4-2,5); (ii)
merokok (berhenti selama kehamilan, OR 1,6, 95% CI 0,8-3,3; dan (iii) lanjutan
selama kehamilan, OR 2.1, 95 % CI 1,4-3,1), dan perdarahan (trimester pertama,
OR 2,4, 95% CI 1,5-3,9; trimester ketiga, OR 6,5, 95% CI 1,9-23,0; lebih dari
satu trimester, OR 7,4, 95% CI 2,2-26,0 ).8
Penelitian terdaftar ini terkontrol pada usia kehamilan yang sama dan
menemukan tidak adanya hubungan antara hubungan seksual dan PROM. Barubaru ini koitus mungkin bukan penyebab PROM. Penyelidikan histologi plasenta
telah memberikan berkorelasi dengan hasil klinis dalam kasus PPROM. Secara
keseluruhan, 43% terlihat peradangan akut, 20% terlihat lesi vaskuler, 20%
terlihat inflamasi plus lesi vascular, temuan normal 14%, dan temuan lainnya 3%.
Ketika peradangan akut terlihat di plasenta (baik dengan sendirinya atau dicampur
dengan lesi vascular), umumnya kelahiran terjadi kurang dari 26 minggu, dan
dicurigai untuk persalinan atau infeksi klinis terbukti juga lebih umum.8
D. Faktor Resiko
Adapun faktor resiko yang mungkin melatarbelakangi terjadinya ketuban
pecah dini ini seperti infeksi intraurine yang merupakan faktor risiko yang paling
signifikan untuk PPROM. Faktor risiko lain termasuk riwayat PPROM atau
kelahiran prematur, insufisiensi serviks, polyhydramnios, kehamilan ganda,
trauma, malformasi janin, amniosentesis, dan conization sebelumnya. Status sosial
ekonomi rendah, merokok, dan infeksi menular seksual yang umumnya terkait
dengan PPROM.6
E. Patofisiologi
Ketuban pecah dini premature (PPROM) mendefinisikan ruptur spontan membran
janin sebelum mencapai umur kehamilan 37 minggu dan sebelum onset persalinan
(American College of Obstetricians dan Gynecologists, 2007). Pecah tersebut
kemungkinan memiliki berbagai penyebab, namun banyak yang percaya infeksi
intrauterin menjadi salah satu predisposisi utama.2

Beberapa studi menunjukkan bahwa patogenesis PPROM berkaitan


dengan peningkatan apoptosis komponen selular membran dan peningkatan
tingkat protease spesifik dalam membran dan cairan amnionic. Kekuatan tahanan
membran banyak diperoleh dari matriks ekstraselular dalam amnion. Amnionic
kolagen interstisial, terutama tipe I dan III, diproduksi dalam sel mesenchymal
dan merupakan komponen struktural yang paling penting untuk kekuatan. Untuk
itu, degradasi kolagen telah menjadi fokus penelitian.2
Keluarga Metalloproteinase Matriks (MMP) yang terlibat dengan renovasi
jaringan normal dan terutama dengan degradasi kolagen. MMP-2, MMP-3, dan
MMP-9 anggota keluarga ini ditemukan dalam konsentrasi yang lebih tinggi
dalam cairan amnionic dari kehamilan dengan PPROM. Kegiatan MMPs sebagian
diatur oleh inhibitor jaringan matriks metaloproteinase (TIMPs). Beberapa
inhibitor ini ditemukan dalam konsentrasi yang lebih rendah dalam cairan
amnionic dari wanita dengan PPROM. Peningkatan tingkat MMP ditemukan pada
waktu saat ekspresi protease inhibitor menurun mendukung lebih lanjut bahwa
ekspresi tersebut mengubah kekuatan regangan amnionic. Studi eksplan
amniochorion telah menunjukkan bahwa ekspresi MMPs dapat ditingkatkan
dengan perlakuan dengan IL-1, TNF-, dan IL-6 (Fortunato dan rekan, 1999a, b,
2002). Jadi, induksi MMP dapat menjadi bagian dari proses peradangan. Protein
terlibat dalam sintesis kolagen cross-linked matang atau protein kolagen matriks
yang mengikat dan mempromosikan kekuatan tarik juga telah ditemukan diubah
PPROM.2
Dalam kehamilan dengan PPROM, menunjukkan tingkat kematian sel
amnion yang lebih tinggi dari pada amnion pada masa aterm. Penanda apoptosis
dengan PPROM juga menunjukkan level yang meningkat dibandingkan dengan
membran aterm. Dalam penelitian in vitro menunjukkan apoptosis yang mungkin
diatur oleh IL-1bendotoksin bakteri dan TNF-. Secara keseluruhan, pengamatan
ini menunjukkan bahwa banyak kasus hasil PPROM dari aktivasi degradasi
kolagen, perubahan dalam perakitan kolagen, dan kematian sel semua mengarah
ke amnion melemah.2

Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk memastikan kejadian infeksiPPROM diinduksi. Kultur bakteri dari cairan amnionic mendukung peran untuk
infeksi dalam proporsi yang signifikan. Sebuah review dari 18 studi yang terdiri
dari hampir 1500 wanita dengan PPROM menemukan bahwa sepertiganya bakteri
dapat diisolasi dari cairan amnionic. Karena temuan ini, beberapa telah diberi
perlakuan antimikroba profilaksis untuk mencegah PPROM. Meskipun hasilnya
bertentangan, ada bukti bahwa pengobatan awal infeksi tanpa gejala yang dipilih
lebih rendah saluran kelamin dan radang periodontal aktif akan mengurangi
timbulnya PPROM dan kelahiran prematur. Dengan demikian, ada bukti kuat
bahwa infeksi menyebabkan proporsi yang signifikan dari kasus PPROM. Respon
inflamasi yang mengarah ke membran pelemahan saat ini sedang didefinisikan.
Penelitian difokuskan pada mediator proses ini dengan tujuan identifikasi penanda
awal bagi perempuan beresiko untuk PPROM.2
F. Diagnosis
Diagnosis KPD bisa dilakukan dengan menentukan adanya pengeluaran
cairan ketuban pada wanita hamil yangbelum memasuki keadaan inpartu. Riwayat
keluar cairan bisa didapatkan dengan anamnesis. Bila keadaan ini didapatkan pada
pasien hamil muda (bagian terbawah janin belum masuk panggul), cairan yang
keluar biasanya cukup banyak. Hal ini dikarenakan tidak adanya bagian tubuh
janin yang menutup rongga panggul sehingga seluruh cairan ketuban bisa keluar
dari cerviks. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan adanya pengurangan cairan
ketuban. Kondisi ini bisa diperiksa dengan pemeriksaan Leopold. Pada
pemeriksaan dengan inspekulo, bisa didapatkan adanya pooling cairan di belakang
forniks

posterior

atau

ada

cairan

yang

keluar

dari

ostium

uteri

eksternum/serviks.1,2
Untuk mengkonfirmasi bisa dilakukan pemeriksaan pH cairan di vagina.
Sekret vagina akan memilki pH 4,5-5,0. Sementara cairan ketuban memiliki pH
7,0-7,5. Angka pH di atas 6,5 sudah memperkuat diagnosis pecahnya ketuban.
Pemeriksaan H umumnya dilakukan dengan nitrazine. Hasil positif palsu bisa
didapat pada kondisi bakterial vaginosis, adanya darah, dan adanya semen atau

alkali antiseptik di liang vagina. Hasil negatif palsu bisa didapat bila cairan di
liang vagina telah kering.2
Uji ferning harus dilakukan pada sampel yang dikumpulkan dari fornix
posterior atau lateral dinding samping vagina untuk menghindari lendir dari leher
rahim, yang mungkin juga menghasilkan hasil yang positif palsu. Kebocoran yang
berkepanjangan dengan cairan sisa minimal dapat menyebabkan Nitrazine negatif
palsu atau ferning tes. Sebaliknya pengujian awal dapat negatif tapi kecurigaan
klinis ketuban pecah tetap ada, pasien dapat diuji ulang setelah beberapa lama
kemudian atau langkah-langkah alternatif dapat dipertimbangkan.1,2
Evaluasi USG mungkin berguna jika diagnosis tetap diragukan setelah
pemeriksaan spekulum. Diagnosis ketuban pecah dapat dikonfirmasikan dengan
tegas oleh USG dipandu amnioinfusion indigo carmine (1 mL dalam 9 ml salin
normal steril), diikuti dengan observasi untuk melihat adanya cairan biru per
vaginum. Meskipun terdapat oligohydramnios tanpa jelas adanya malformasi dari
saluran kemih janin atau kemungkinan pertumbuhan janin yang terhambat akibat
pecahnya membran amnion, USG saja tidak dapat mendiagnosa atau
mengecualikan pecahnya ketuban dengan pasti.1,2
Cervicovaginal screening untuk fibronektin janin telah disarankan sebagai
penanda untuk PPROM saat diagnosis tetap ragu setelah pemeriksaan spekulum
awal. Namun, dampak dari ketuban pecah lama hasil fibronektin belum
dijelaskan. Selanjutnya, tes positif mungkin mencerminkan gangguan desidua,
bukan ketuban pecah. Dengan demikian, pengujian fibronektin janin untuk
diagnosis PROM prematur tidak dianjurkan untuk pemeriksaan rutin.1,2
Sampai saat selain diagnosa ketuban pecah, disarankan untuk menghindari
pemeriksaan serviks digital, yang telah terbukti menurunkan latency dan
meningkatkan infeksi menular tanpa menamba informasi substansial yang
diperoleh oleh visualisasi secara hati-hati selama pemeriksaan speculum steril
(Sterile Speculum Examination/SSE).1,2
Pemeriksaan spekulum juga memberikan kesempatan untuk memastikan
infeksi yang biasa terjadi (misalnya, klamidia endoserviks dan gonore), jika
pemeriksaan diatas belum dilakukan atau ada kecurigaan klinis infeksi yang baru.

10

Infeksi anovaginal biasa terjadi oleh streptokokus grup B, dan hal tersebut harus
dibuktikan jika pemeriksaan diatas belum dilakukan dalam waktu 5 minggu.1,2
Beberapa pemeriksaan lain juga telah dikembangkan sebagai penanda
pecah ketuban diantaranya penyuntikan pewarna ke kantong amnion per
abdominal dan deteksi alpha-fetoprotein pada cairan vagina.2
G. Penatalaksanaan
Karena risiko komplikasi perinatal berubah secara dramatis sejalan dengan
usia kehamilan pada ketuban pecah dan persalinan, pendekatan berbasis usia
kehamilan pada manajemen PPROM sangat tepat. Meskipun tidak ada manfaat
pada neonatal yang nyata pada manajemen konservatif setelah ketuban pecah pada
aterm, ada potensi manfaat untuk neonatal saat manajemen konservatif dari
PPROM yang dilakukan untuk janin yang lebih dewasa. Manfaat ini hanya dapat
didapat jika langkah-langkah konservatif menyebabkan perpanjangan kehamilan
yang dihasilkan akibat pengurangan morbiditas yang tergantung dari usia
kehamilan, atau melalui pencegahan infeksi perinatal. Manajemen harus
didasarkan pada penilaian individual dari perkiraan risiko komplikasi ibu, janin,
dan neonatal yang kemudian harus berupa manajemen konservatif atau kelahiran
yang dipercepat.1,7
Meskipun banyak cara bervariasi dan ada cukup kontroversi mengenai
manajemen premature yang optimal pada PPROM, ada konsensus umum
mengenai beberapa isu tersebut. Pertama, usia kehamilan harus ditetapkan
berdasarkan tentang sejarah klinis dan penilaian USG sebelumnya jika tersedia.
USG harus dilakukan jika dapat dikerjakan untuk memperkirakan usia kehamilan
(jika tidak dilakukan USG sebelumnya) serta pertumbuhan janin, posisi, dan
volume residu cairan ketuban, dan untuk mengevaluasi kelainan janin yang
mencolok yang dapat menyebabkan polihidramnion. Wanita dengan PPROM
harus dievaluasi secara klinis untuk membuktikan kemajuan persalinan,
chorioamnionitis, abruptio plasenta, dan gawat janin.1,7
Mereka yang dengan persalinan lanjutan, infeksi intrauterin, pendarahan
vagina signifikan, atau pengujian nonreassuring janin adalah yang terbaik untuk

11

persalinan tanpa memandang usia kehamilan. Jika malpresentasi janin


berdampingan dengan pelebaran serviks yang signifikan, ada peningkatan risiko
prolaps tali pusat, yang mungkin meningkatkan risiko kematian janin. Keadaan ini
mungkin membenarkan dilakukannya persalinan dini mengingat resiko terhadap
janin meningkat.4
Wanita dengan infeksi virus herpes simplex genital (HSV) atau human
immunodeficiency virus (HIV) umumnya harus dikelola tidak secara konservatif.
Dalam kasus-kasus tertentu (misalnya, HSV berulang atau infeksi HIV yang dekat
atau sebelum batas viabilitas), manajemen konservatif PPROM dapat dibenarkan
karena sangat tinggi risiko mortalitas dan morbiditas kronisnya saat persalinan
segera dilakukan. Kasus-kasus ini harus dikelola secara individual. Meskipun ada
publikasikan mengenai beberapa kasus yang mendukung pengelolaan konservatif
dalam penanganan infeksi HSV berulang, tidak adanya data dalam hal ini adalah
perempuan yang terinfeksi HIV. Profilaksis intrapartum terhadap kelompok B
streptokokus direkomendasikan untuk gravida yang melahirkan prematur, kecuali
jika kultur awal streptococcus grup B pada anovaginal ditemukan negative. Jika
Manajemen konservatif PPROM akan diimplementasikan, pasien harus dirawat
pada fasilitas yang mampu menangani persalinan jika muncul abruptio plasenta,
malpresentasi persalinan janin, dan atau distress janin akibat kompresi tali pusat
atau infeksi rahim. Fasilitas ini juga harus mampu memberikan resusitasi neonatal
24 jam dan perawatan intensif, karena manajemen konservatif umumnya harus
dilakukan hanya pada kehamilan yang dimana memiliki risiko morbiditas dan
mortalitas yang signifikan yang kemudian harus dilakukan persalinan segera. Jika
fasilitas yang memadai untuk ibu dan perawatan neonatal tidak ada, persalinan
pasien harus dilakukan di awal proses manajemen untuk menghindari munculnya
komplikasi persalinan.7

12

An algorithm for evaluation and management of preterm premature rupture of the


membranes (pPROM). PgE2 = prostaglandin E2; NIH = National Institutes of Health
Maternal-Fetal Medicine Units Network.
Mercer. Treatment of Preterm PROM. Obstet Gynecol 2014

a. Previable PPROM (<23 Minggu)


Memberikan konseling dengan cepat antara persalinan atau terapi
konservatif. Konseling harus mencakup kajian tentang bahaya pada ibu dan janin
terkait tatalaksana konservatif dan penilaian dari tatalaksana pada bayi. Bila
menejemen konservatif dipilih, yang direkomendasikan

untuk jangka waktu

singkat (24-48 jam) dengan pemantuan dari isti rahat seluruh tubuh atau panggul
saja untuk evaluasi berkembang tidaknya agen infeksi disan, solusio plasenta, dan
persalinannya. USG rinci juga harus dilakukan

untuk mengidentifikasi dan

mengexclude abnormalitas janin. USG serial dilakukan tiap 1-2 minggu untuk
mengevalusi AFV dan pertumbuhan dan kematangan paru.1,3,7
b. Periviable PPROM (23-23,6 Minggu)
Tatalaksana untuk kasus ini adalah memberikan konseling dengan cepat
antara persalinan atau terapi konservatif. Konseling harus mencakup kajian
tentang bahaya pada ibu dan janin terkait tatalaksana konservatif dan penilaian
dari tatalaksana pada bayi. Bila menejemen konservatif dipilih, keputusan untuk
pemberian antibiotik selama masa laten dan kortikosteroid untuk mengurangi
komplikasi prematuritas. 1,3
c. PPROM Remote from Term (21-31 Minggu)
Dari Guideline prematuritas PPROM dengan usia gestasi 21-31 minggu
dilakukan tatalaksana konservatif, yaitu

rawat inap dengan

tujuan

bedrest

termodifikasi selanjutnya evaluasi berkala kehidupan janin dan pertumbuhannya,


evaluasi berkala untuk mendeteksi ada tidaknya infeksi, solusio plasenta, dan atau
persalinannya. Selanjutnya berikan kortikosteroid dan antibiotik sesuai ketentuan
MFMU-NIH . Berikan pula ampicillin 2 mg i.v setiap 6 jam dan eritromisin 250

13

mg i.v setiap 6 jam selama 48 jam diikuti dengan amoxicilin 250 mg p.0 tiap 8
jam dan eritromisin 333 mg p.o tiap 8 jam selama 5 hari. Azitromisin bisa
dipertimbangkan sebagai pengganti eritromisin

dengan

regimen dosis yang

setara dengan peroral 500 mg pada hari pertama diikuti dengan dosis 250 mg
peoral perhari selama 6 hari.1,3,4,7
Tokolitik juga harus digunakan secara hati-hati dalam penggunanya pada
PPROM, pada beberapa jurnal dikatakan bila pemberian tokolitik sampai saat ini
tidak jelas menunjukan penurunan angka mortalitas perinatal maupun neonatal.
Penggunaan tokolitik hanya direkomendasikan untuk wanita dengan ancaman
persalinan prematur tanpa adanya komplikasi kehamilan seperti kelainan
kongenital, infeksi intrauterine, preeklamsia berat, solusio plasenta, dilatasi
serviks, dan adanya bukti insufisiensi plasenta. Sebenarnya tujuan utama
pemberian tokolitik ini adalah untuk memberikan kesempatan pemberian
kortikosteroid. Pemilihan jenis tokolitik biasanya adalah nifedipine dan atosiban.
Pada penggunaan nifedipine bisa diberikan intial dose 20 mg, dilanjutkan 10-20
mg, 3-4 kali perhari, disesuaikan dengan aktivitas uterus hingga 48 jam. Dosis
maksimal60 mg/hari. Untuk atosiban diberika dosis wal 6,75 mg bolus dalam 1
menit diikuti 18 mg/jam selama 3 jam perinfus kemudian 6 mg/jam selama 45
jam. Dosis maksimal 330 mg. 1,3,4,7
d. PPROM Near Term (32-33 Minggu)
Ketika

PPROM

terjadi

pada

usia

kehamilan

32-33

minggu,

direkomendasikan bahwa kematangan paru janin dinilai dari spesimen pool


vagina jika tersedia, dan amniosentesis harus dilakukan oleh terampil dokter jika
dianggap tidak adanya cairan vagina yang memadai untuk evaluasi kematangan
paru. Ketika kematangan paru janin terbukti setelah PPROM pada 32-33 minggu,
ada sedikit yang bisa diperoleh dari lanjutan kehamilan, dan cara terbaik yang
dianjurkan adalah persalinan segera. Tidak ada studi yang lebih unggul dari
melakukan penanganan pada perempuan yang di mana tes kematangan paru tidak
dilakukan atau tidak tersedia setelah PPROM pada 32-33 minggu kehamilan. Pada
kehamilan ini, kemungkinan kelangsungan hidup dengan persalinan tinggi, tetapi

14

masih ada risiko yang signifikan dari ketidakmatangan paru dan morbiditas
kehamilan lainnya yang tergantung usia janin yang cukup.4,6
Jika usia gestasi kurang dari 34 minggu dan tidak ada indikasi ibu atau
janin untuk melakukan pelahiran, ibu tersebut diamati ketat di unit Persalinan dan
Pelahiran. Pemantauan frekuensi denyut jantung janin kontinu dipasang untuk
mencari bukti kompresi tali pusat, khususnya bila persalinan sedang berlangsung
juga. Bila denyut jantung janin janin baik-baik saja, dan kalau persalinan tidak
sedang berlangsung, ibu tersebut dipindahkan ke unit Kehamilan Berisiko Tinggi
untuk observasi ketat tanda-tanda persalinan, infeksi, atau bahaya pada janin. Jika
usia gestasi di atas 34 minggu lengkap dan bila persalinan belum mulai setelah
pemeriksa oksitosin intravena bila tidak ada kontraindikasi. Kalau induksi gagal,
dilakukan seksio sesarea.4,6
e. PPROM Near Term (34-36 Minggu)
Ketika PPROM terjadi pada kehamilan 34-36 minggu, risiko morbiditas
akut yang parah dan kematian yang terjadi rendah ketika persalinan cepat
dilakukan. Kortikosteroid umumnya tidak diberikan untuk mempercepat
pematangan paru-paru janin. Sebaliknya, manajemen konservatif pada 34-36
minggu berkaitan dengan peningkatan risiko dari amnionitis, lama ibu rawat inap,
dan pH yang rendah (dibawah rata-rata) pada tali pusat saat persalinan tanpa
manfaat dari penurunan yang signifikan pada komplikasi perinatal berhubungan
dengan

prematuritas.

Kematangan

fosfatidilkolin

gliserol,

Amniostat

FLM (Irvine Scientific, Santa Ana, CA), fluoresensi polarisasi TDX FLMII assay
(surfaktan / rasio albumin) (Abbott Laboratories, Abbott Park, IL), rasio
lecithinsphingomyelin, atau hasil penghitungan lamellar body dari cairan yang
dikumpulkan baik dari pooling cairan vagina atau amniosentesis yang dikaitkan
dengan risiko yang rendah dari komplikasi paru-paru yang signifikan setelah
PPROM jangka pendek, terlepas dari adanya darah atau kontaminasi mekonium.
Adanya darah atau mekonium dalam penanganan dari PPROM harus
meningkatkan kecurigaan terhadap plasenta abruptio atau fetal compromise dan
yang pada akhirnya mengakibatkan pertimbangan ulang tentang manfaat
manajemen konservatif. Seharusnya kematangan paru-paru merupakan bukti yang

15

didasarkan dari cairan ketuban, pool vagina, atau dari amniosentesis pada
kehamilan 32-36 minggu, jelas bahwa risiko utama dari komplikasi perinatal
nonpulmonary adalah rendah dan manajemen konservatif akan memperpanjang
kehamilan hanya sebentar, meningkatkan risiko amnionitis, dan tempat janin
berisiko untuk kompresi tali pusar sementara dimonitor, tanpa memberikan
pengurangan morbiditas yang signifikan pada morbiditas neonatal. Dengan
demikian wanita yang menderita PPROM pada 34-36 minggu penanganan yang
tebaik umumnya adalah persalinan yang segera.4,6,7
(Cox et al) mengevaluasi praktek persalinan segera dibanding manajemen
konservatif yang tidak dipilih sebagai tindakannya pada 129 perempuan dengan
PROM prematur pada kehamilan 30-33 minggu. Tocolytics dan steroid antenatal
tidak diberikan, dan profilaksis terhadap streptokokus grup B tidak diberikan.
Konservatif pengelolaan PPROM dikaitkan dengan hanya peningkatan yang
singkat pada latency untuk persalinan (59% 100% dilahirkan dalam waktu 48
jam), tetapi peningkatan yang signifikan dalam amnionitis, dan tidak ada
pengurangan yang jelas pada morbiditas yang tergantung usia kehamilan. Ada
resiko yang signifikan dari RDS dalam populasi ini (35%). Selain itu, ada satu
kelahiran janin yang mati karena dicurigai berhubungan dengan kompresi tali
pusar pada kelompok yang dikelola secara konservatif konservatif, dan tiga
kematian neonatal segera pada kelompok kelahiran (dua dari sepsis dan satu
karena hipoplasia paru). Meskipun studi ini tidak mendukung bahwa persalinan
segera bisa mengurangi kemampuan eksposur janin terhadap infeksi intrauterin
dan menghindari gangguan janin akibat kompresi tali pusar, ini menegaskan
bahwa bayi yang dilahirkan pada 30-33 minggu tetap beresiko untuk sepsis
neonatal dan morbiditas lain yang berhubungan dengan umur gestasi lainnya yang
signifikan dalam kekurangan dokumentasi mengenai kematangan paru. Dengan
demikian, Janin harus dicurigai mengalami imatur paru pada 32-33 minggu, atau
harus dengan pengujian cairan jika itu tidak ada, pilihan untuk mengobati secara
konservatif dengan pemantauan janin yang cepat, terapi antibiotik adjuvan, dan
kortikosteroid antenatal untuk pematangan janin (lihat di bawah). Cara alternative
lainnya, jika tidak ada satupun rencana yang terbaik untuk menginduksi

16

pematangan janin dengan kortikosteroid atau memperpanjang kehamilan dan


menekan infeksi dengan antibiotik, pasien ini mungkin lebih baik ditangani
dengan persalinan yang segera.4,6,7
H. Pencegahan
Secara logika, melalui apa yang telah disebutkan pada pembahasan
sebelumnya, pencegahan dapat dilakukan lebih kepada etiologi yang dapat
dihindari. Namun untuk pencegahan-pencegahan atas etiologi yang sukar
dihindari masih sulit dilakukan. Pencegahan juga lebih kepada faktor resiko yang
ada, langkah preventif itu antara lain.9
a.
kehamilan secara teratur.
I. Pemeriksaan

b. Kebiasaan hidup sehat, seperti mengkonsumsi makanan yang sehat,


minum cukup, olahraga teratur, dan berhenti merokok.
c. Hindari makan - makanan yang bisa meerangsang terjadinya kontraksi
rahim, misalnya minuman beralkohol kadar tinggi, makanan yang
mengandung zat fermentasi berlebihan.
d. Kebiasaan membersihkan daerah kemaluan dari depan ke belakang setelah
berkemih atau BAB dan rajin mebersihkan daerah perineum (antara vagina
dengan anus).
e. Hindari hubungan seksual lebih dari satu partner.
f. Berkonsultasi dengan dokter bila ada bau sekret vagina yang berbeda.
g. Konsumsi 100 mg vitamin C secara teratur saat usia kehamilan lebih dari 20
minggu dapat menurunkan resiko terjadinya ketuban pecah dini.
h. Hindari perjalanan jauh yang melelahkan dan menimbulkan ketegangan fisik
maupun mental bagi ibu hamil
i. Hindari trauma atau benturan fisik pada daerah perut
j. Pada ibu hamil kembar, kurangi aktifitas yang berlebihan, karena kehamilan
kembar sendiri sudah beresiko ketuban pecah sebelu waktunya akibat
pereganagan rahim.
k. Jaga tubuh ibu hamil dari infeksi terutama infeksi pada daerah alat kelamin
l. Hindari stress berlebihan yang akan merangsang hormon
tubuh untuk
menimbulkan kontraksi pada rahim
J. Komplikasi

17

Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia
kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan premature,
hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden
seksio sesarea, atau gagalnya persalinan normal.3
a. Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode
laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24
jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan
dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1
minggu.9
b. Infeksi
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu
terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis.
Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah
dini prematur, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara umum insiden infeksi
sekunder pada ketuban pecah dini meningkat sebading dengan lamanya periode
laten. Dari semua wanita dengan PPROM, infeksi intraamnion terjadi pada 1360% kasus, dan infeksi postpartum terjadi pada 2-13% kasus. Diagnosis adanya
infeksi bisa dilakukan secara klinis saja, yaitu demam (peningkatan suhu menjadi
38 C atau lebih) disertai dua atau lebih tanda berikut ini: takikardia pada ibu,
takikardia pada janin, nyeri tekan uterus, cairan amnion menjadi kental dan
berbau, atau leukositosis pada ibu (leukosit di atas 18.000 dengan pergeseran ke
kiri). Secara histopatologi, ditemukan infiltrasi sel-sel polimorfonuklear pada
cairan amnion. Tanda ini lebih sering ditemukan sebelum adanya gejala klinis bila
dilakukan pemeriksaan histopatologi sebagai pemeriksaan rutin.6,9
c. Hipoksia dan Asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali
pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya
gawat janin dan derajat oligohidramnion. Semakin sedikit air ketuban, janin
semakin gawat. 6,9
d. Hipoplasia pulmoner

18

Oligohidroamnion dan kompresi pada paru-paru janin bisa menyebabkan


hipoplasia pulmoner. Keadaan ini terutama terjadi pada PPROM dengan usia
kehamilan di bawah 26 minggu. Resiko hipoplasia pulmoner pada PPROM usia
16-26 minggu dilaporkan bervariasi, mulai dari kurang dari 1%-27%.1 Pada
PPROM dengan usia kehamilan di atas 26 minggu, hipoplasia pulmoner jarang
terjadi. Hal ini kemungkinan dikarenakan paru-paru sudah cukup tumbuh untuk
bisa mendukung perkembangan post natal.6
Hipoplasia pulmoner ditandai dengan distres pernafasan yang terjadi
segera setelah bayi lahir dan membutuhkan dukungan maksimal ventilator. Paruparu kecil dan terlihat opak pada foto toraks. Perjalanan penyakit berikutnya
adalah munculnya pneumotoraks multipel dan emfisema interstisial. Akibatnya
biasanya fatal. Diagnosis adanya hipoplasia pulmoner seringkali tidak akurat.
Cara terbaik adalah dengan mengukur rasio lingkar dada terhadap lingkar perut.
Rasio ini akan tetap konstan selama hamil dan bila mencapai 0,89 atau lebih maka
prognosisnya baik.6
e. Abruptio placentae
Risiko terjadinya abruptio placentae pada pasien yang mengalami ketuban
pecah dini, rata-rata 6% dan 2% bisa terjadi pada pasien tanpa ketuban pecah dini.
Kondisi ini biasanya terjadi bila air ketuban menjadi jauh berkurang sehingga
terjadi perburukan yang progresif pada tempat menempelnya plasenta dan
menyebabkan plasenta lepas. Tanda klinis yang ditemukan adalah perdarahan
pervaginan ringan sampai sedang dan persalinan preterm. 9
f. Distress pada janin
ROM, seperti telah disebutkan akan meningkatkan resiko terjadinya
kompresi tali pusat. Hal ini, selain beberapa factor lain, akan mnimbulkan distress
pada janin. Distress ini dapat diketahui dari adanya perubahan pada pola denyut
jantung janin. Hal ini terjadi pada 7,9% janin yang ibunya mengalami ketuban
pecah dini dan 1,5% janin yang ibunya tidak mengalami ketuban pecah dini.
Perubahan yang paling sering terlihat pada pola denyut jantung janin adalah
adanya deselerasi variabel yang menggambarkan adanya kompresi tali pusat.9

19

K. Prognosis
Prognosis ketuban pecah dini ditentukan oleh maturitas paru janin, posisi
janin, adanya infeksi, penatalaksanaan, dan komplikasi yang mungkin timbul
serta usia kehamilan. Prognosa untuk janin tergantung pada (i) Maturitas janin.
Semakin muda usia kehamilan, semakin buruk prognosisny; (ii) Infeksi intra
uterin meningkatkan mortalitas janin. Semakain lama kehamilan berlangsung
dengan ketuban yang pecah, maka semakin besar kemungkinan infeksi intra
uterin.9

20

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas amnion dan
korion yang sangat erat ikatannya. Selaput ketuban berfungsi menghasilkan air
ketuban dan melindungi janin

terhadap

infeksi.

Dalam

keadaan

normal,

selaput ketuban pecah dalam proses persalinan. Ketuban pecah dini (KPD)
atau ruptures of membranes (ROM) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban
sebelum persalinan. Bila ketuban pecah sebelum usia kehamilan 37 minggu
disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur.5
ROM merupakan masalah yang penting dalam obstetri berkaitan dengan
penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi korioamnionitis sampai sepsis,
yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal dan menyebabkan infeksi
ibu.5
Pada kehamilan preterm, insidensinya 1% dari semua kehamilan

dan

bertanggung jawab atas sepertiga dari semua kelahiran prematur. insidensinya 8


10%. Etiologi ketuban pecah dini antara lain infeksi, faktor sosial seperti
merokok, alkohol, dan keadaan sosial ekonomi yang rendah, kelainan genetik,
rendahnya vitamin C dan ion Cu dalam serum, overdistensi uterus yang
dikarenakan kehamilan kembar atau hiramniion, adanya sefalopelvik disproposi,
servix

inkompeten,trauma,

dan

sebagian

lagi

tidak

diketahui

penyebabnya.5
Pecahnya selaput ketuban dikarenakan perubahan biokimia yang
menyabakan selaput ketuban inferior menjadi rapuh dan juga dapat dikarenakan

21

perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen yang menyebabkan


aktivitas kolagen beruban sehingga selaput ketuban pecah.2
Dalam melakuka penanganan, terdapat tiga pilihan tindakan yang dapat
dilakukan pada ketuban pecah dini yakni konservatif, aktif, dan agresif. Pemilihan
penangan ini disesuaikan dengan melakukan pertimbangan terhadap usia gestasi,
adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan.
Komplikasi yang dapat terjadi pada ketuban pecah dini antara lain meingkatnya
persalinan prematur, seksio cesarea, infeksi pada janin dan maternal, hipoksia dan
asfiksia, sindrom deformitas janin, dan korioamnionitis.6
Prognosis tergantung pada usia gestasi, ada tidaknya infeksi, dan penangan
yang tepat. Semakin kecil usia gestasi, maka prognosisnya akan semakin bruk.
Demikian juga dengan infeksi bahwa dengan adanya infeksi maka akan
memperbruk prognosis.9

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Bouet PE, Brun S, Madar H, et al. Implementation of an antenatal magnesium


sulfate protocol for fetal neuroprotection in preterm infants. Sci Rep. 2015 Sep
29. 5:14732.
2. Cunningham GF, Gant NF, Leveno JK, et al, Williams Obstetrics 23 st ed.
2014. McGraw Hill companies USA.
3. De Silva DA, Sawchuck D, von Dadelszen P, et al. Magnesium sulphate for
eclampsia and fetal neuroprotection: a comparative analysis of protocols
across Canadian tertiary perinatal centres. J Obstet Gynaecol Can. 2015 Nov.
37 (11):975-87.
4. Hidayat W, Firman F, Sofie R, Panduan Pengelolaan Persalinan Preterm
Nasional, Himpunan Fetomaternal POGI, 2015 Juni. Hal 1-17.
5. Jazayeri A, Premature Rupture of Membranes. Diakses di http://emedicine
.medscape.com/article/261137-overview#showall pada tanggal 20 Juni 2016.
6. Kamyar M, Manuck TA, Stoddard GJ, Varner MW, Clark E. Chorioamnionitis, and development after preterm birth. BJOG. 2015 Jun 3.
7. Meller CH, Izbizky G, Otano L. Update on the use of magnesium sulphate for
fetal neuroprotection in preterm birth. Arch Argent Pediatr. 2015 Aug. 113
(4):345-51.
8. Ng BK, Lim PS, Shafiee MN, et al. Comparison between AmniSure placental
alpha microglobulin-1 rapid immunoassay and standard diagnostic methods
for detection of rupture of membranes. Biomed Res Int. 2014. 2013:587438.

23

9. Practice Bulletin No. 160: Premature Rupture of Membranes. Obstet Gynecol.


2016 Jan. 127 (1):e39-51.

Anda mungkin juga menyukai