Referat
Ruptures of membranes (rom)
Ketuban pecah dini (kpd)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pecah ketuban secara spontan paling sering terjadi sewaktu-waktu pada
persalinan aktif. Pecah ketuban secara khas tampak jelas sebagai semburan cairan
yang normalnya jernih atau sedikit keruh hampir tidak berwarna dengan jumlah
yang bervariasi. Selaput ketuban yang masih utuh sampai bayi lahir lebih jarang
ditemukan. Jika kebetulan selaput ketuban masih utuh sampai pelahiran selesai,
janin yang lahir dibungkus oleh selaput ketuban ini, dan bagian yang
membungkus kepala bayi yang baru lahir kadangkala disebut sebagai caul. Pecah
ketuban sebelum persalinan mulai pada tahapan kehamilan mana pun disebut
sebagai ketuban pecah dini. 5
Ketuban pecah dini (Premature Rupture of Membranes/PROM) mengacu
kepada pasien yang melampaui usia kehamilan 37 minggu dan ditampilkan
dengan adanya pecah ketuban (Rupture of Membranes/ROM) sebelum awal
persalinan. Ketuban pecah dini preterm (Preterm Premature Rupture of
Membranes/PPROM) adalah pecahnya ketuban (ROM) sebelum kehamilan 37
minggu. Spontaneus preterm rupture of the membranes (SPORM) adalah
pecahnya selaput ketuban mendahului atau bersamaan dengan waktu persalinan
yang berlangsung pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Terakhir adalah
prolonged rupture of membranes
setiap pecahnya ketuban yang berlangsung selama lebih dari 24 jam dan lebih
dahulu pecah pada awal persalinan. 5
Pada jangka waktu tertentu, kematian sel terprogram dan aktivasi dari
katabolisme
enzim
seperti
kolagenase
dan
trauma
mekanis
nyatanya
klinis turut mengambil peran dalam terjadinya PPROM diantaranya status sosialekonomi yang rendah, rendahnya body mass index (BMI), paparan rokok, riwayat
persalinan preterm, infeksi saluran kencing, perdarahan pervaginam pada berbagai
kasus seperti kehamilan, prosedur cerclage, amniosintesis. 5
Delapan puluh lima persen kecacatan dan kematian neonatus adalah
karena prematuritas. PPROM berhubungan dengan 30-40% dari kelahiran preterm
dan pemuncak dari penyebab kelahiran preterm yang dapat diidentifikasi.
Komplikasi PPROM sekitar 3% dari seluruh kasus kehamilan dan terjadi pada
sekitar 150.000 kasus kehamilan pertahun di United States. Ketika kejadian
PPROM masih jarang, secara signifikan resiko kecacatan dan kematian terjadi
baik pada ibu dan bayinya. Sehingga, dokter akan mengambil peran penting
dalam penanganan wanita hamil dengan penyulit PPROM tersebut dan mengenali
berbagai kemungkinan komplikasi dan intervensi serasional mungkin dengan
resiko yang seminimal mungkin dan memaksimalkan berbagai kemungkinan jalan
keluar yang mungkin.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pecah
ketuban
dini (Premature
Rupture
of
Membranes/
penulis
(Danforths
Obstetrics
and
Gynecology,
10th
B. Epidemiologi
usia
kehamilan
32-36
minggu).5
klinis
seperti
inkompetensi
serviks
dan
polihidramnion
telah
diidentifikasi sebagai faktor risiko yang jelas dalam beberapa kasus ketuban pecah
dini.8
Sebuah tinjauan ilmiah penyebab PPROM diidentifikasi penyebab potensial
banyak dalam kasus tertentu. Ini termasuk penurunan umum dalam kekuatan
peregangan membran amnion, cacat lokal pada membran amnion, penurunan
kolagen cairan ketuban dan perubahan dalam struktur kolagen, iritabilitas uterus,
apoptosis, degradasi kolagen, dan peregangan membran. The Jaringan MaternalFetal Medicine Unit (MFMU) menemukan bahwa faktor risiko PPROM adalah
PPROM sebelumnya, fibronektin janin positif pada kehamilan 23 minggu, dan
leher rahim pendek (<25 mm) pada umur kehamilan 23 minggu.5,8
Bukti Substansial yang ada menunjukkan bahwa infeksi subklinis mungkin
menjadi penyebab PROM. Bukti kuat untuk peran infeksi ditunjukkan oleh
penelitian yang menunjukkan hubungan antara vaginosis bakteri klinis didiagnosis
dan kelahiran prematur / PPROM. Beberapa bakteri kelamin mngeluarkan enzim
seperti protease, phospholipases, dan collagenases yang dapat bertindak untuk
melemahkan membran. Ketika cairan ketuban diperoleh dengan amniosentesis
dalam kasus PPROM, kultur positif dapat ditemukan pada sekitar 30% pasien jika
spesimen dikerjakan dengan benar untuk aerob, anaerob, dan mycoplasmas
kelamin.8
Dalam studi kasus-kontrol besar, tiga faktor yang terkait dengan PPROM
dalam analisis multifaktorial. Tiga faktor tersebut adalah (i) kelahiran prematur
sebelumnya (odds ratio [OR] 2,5, 95% confidence interval [CI] 1,4-2,5); (ii)
merokok (berhenti selama kehamilan, OR 1,6, 95% CI 0,8-3,3; dan (iii) lanjutan
selama kehamilan, OR 2.1, 95 % CI 1,4-3,1), dan perdarahan (trimester pertama,
OR 2,4, 95% CI 1,5-3,9; trimester ketiga, OR 6,5, 95% CI 1,9-23,0; lebih dari
satu trimester, OR 7,4, 95% CI 2,2-26,0 ).8
Penelitian terdaftar ini terkontrol pada usia kehamilan yang sama dan
menemukan tidak adanya hubungan antara hubungan seksual dan PROM. Barubaru ini koitus mungkin bukan penyebab PROM. Penyelidikan histologi plasenta
telah memberikan berkorelasi dengan hasil klinis dalam kasus PPROM. Secara
keseluruhan, 43% terlihat peradangan akut, 20% terlihat lesi vaskuler, 20%
terlihat inflamasi plus lesi vascular, temuan normal 14%, dan temuan lainnya 3%.
Ketika peradangan akut terlihat di plasenta (baik dengan sendirinya atau dicampur
dengan lesi vascular), umumnya kelahiran terjadi kurang dari 26 minggu, dan
dicurigai untuk persalinan atau infeksi klinis terbukti juga lebih umum.8
D. Faktor Resiko
Adapun faktor resiko yang mungkin melatarbelakangi terjadinya ketuban
pecah dini ini seperti infeksi intraurine yang merupakan faktor risiko yang paling
signifikan untuk PPROM. Faktor risiko lain termasuk riwayat PPROM atau
kelahiran prematur, insufisiensi serviks, polyhydramnios, kehamilan ganda,
trauma, malformasi janin, amniosentesis, dan conization sebelumnya. Status sosial
ekonomi rendah, merokok, dan infeksi menular seksual yang umumnya terkait
dengan PPROM.6
E. Patofisiologi
Ketuban pecah dini premature (PPROM) mendefinisikan ruptur spontan membran
janin sebelum mencapai umur kehamilan 37 minggu dan sebelum onset persalinan
(American College of Obstetricians dan Gynecologists, 2007). Pecah tersebut
kemungkinan memiliki berbagai penyebab, namun banyak yang percaya infeksi
intrauterin menjadi salah satu predisposisi utama.2
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk memastikan kejadian infeksiPPROM diinduksi. Kultur bakteri dari cairan amnionic mendukung peran untuk
infeksi dalam proporsi yang signifikan. Sebuah review dari 18 studi yang terdiri
dari hampir 1500 wanita dengan PPROM menemukan bahwa sepertiganya bakteri
dapat diisolasi dari cairan amnionic. Karena temuan ini, beberapa telah diberi
perlakuan antimikroba profilaksis untuk mencegah PPROM. Meskipun hasilnya
bertentangan, ada bukti bahwa pengobatan awal infeksi tanpa gejala yang dipilih
lebih rendah saluran kelamin dan radang periodontal aktif akan mengurangi
timbulnya PPROM dan kelahiran prematur. Dengan demikian, ada bukti kuat
bahwa infeksi menyebabkan proporsi yang signifikan dari kasus PPROM. Respon
inflamasi yang mengarah ke membran pelemahan saat ini sedang didefinisikan.
Penelitian difokuskan pada mediator proses ini dengan tujuan identifikasi penanda
awal bagi perempuan beresiko untuk PPROM.2
F. Diagnosis
Diagnosis KPD bisa dilakukan dengan menentukan adanya pengeluaran
cairan ketuban pada wanita hamil yangbelum memasuki keadaan inpartu. Riwayat
keluar cairan bisa didapatkan dengan anamnesis. Bila keadaan ini didapatkan pada
pasien hamil muda (bagian terbawah janin belum masuk panggul), cairan yang
keluar biasanya cukup banyak. Hal ini dikarenakan tidak adanya bagian tubuh
janin yang menutup rongga panggul sehingga seluruh cairan ketuban bisa keluar
dari cerviks. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan adanya pengurangan cairan
ketuban. Kondisi ini bisa diperiksa dengan pemeriksaan Leopold. Pada
pemeriksaan dengan inspekulo, bisa didapatkan adanya pooling cairan di belakang
forniks
posterior
atau
ada
cairan
yang
keluar
dari
ostium
uteri
eksternum/serviks.1,2
Untuk mengkonfirmasi bisa dilakukan pemeriksaan pH cairan di vagina.
Sekret vagina akan memilki pH 4,5-5,0. Sementara cairan ketuban memiliki pH
7,0-7,5. Angka pH di atas 6,5 sudah memperkuat diagnosis pecahnya ketuban.
Pemeriksaan H umumnya dilakukan dengan nitrazine. Hasil positif palsu bisa
didapat pada kondisi bakterial vaginosis, adanya darah, dan adanya semen atau
alkali antiseptik di liang vagina. Hasil negatif palsu bisa didapat bila cairan di
liang vagina telah kering.2
Uji ferning harus dilakukan pada sampel yang dikumpulkan dari fornix
posterior atau lateral dinding samping vagina untuk menghindari lendir dari leher
rahim, yang mungkin juga menghasilkan hasil yang positif palsu. Kebocoran yang
berkepanjangan dengan cairan sisa minimal dapat menyebabkan Nitrazine negatif
palsu atau ferning tes. Sebaliknya pengujian awal dapat negatif tapi kecurigaan
klinis ketuban pecah tetap ada, pasien dapat diuji ulang setelah beberapa lama
kemudian atau langkah-langkah alternatif dapat dipertimbangkan.1,2
Evaluasi USG mungkin berguna jika diagnosis tetap diragukan setelah
pemeriksaan spekulum. Diagnosis ketuban pecah dapat dikonfirmasikan dengan
tegas oleh USG dipandu amnioinfusion indigo carmine (1 mL dalam 9 ml salin
normal steril), diikuti dengan observasi untuk melihat adanya cairan biru per
vaginum. Meskipun terdapat oligohydramnios tanpa jelas adanya malformasi dari
saluran kemih janin atau kemungkinan pertumbuhan janin yang terhambat akibat
pecahnya membran amnion, USG saja tidak dapat mendiagnosa atau
mengecualikan pecahnya ketuban dengan pasti.1,2
Cervicovaginal screening untuk fibronektin janin telah disarankan sebagai
penanda untuk PPROM saat diagnosis tetap ragu setelah pemeriksaan spekulum
awal. Namun, dampak dari ketuban pecah lama hasil fibronektin belum
dijelaskan. Selanjutnya, tes positif mungkin mencerminkan gangguan desidua,
bukan ketuban pecah. Dengan demikian, pengujian fibronektin janin untuk
diagnosis PROM prematur tidak dianjurkan untuk pemeriksaan rutin.1,2
Sampai saat selain diagnosa ketuban pecah, disarankan untuk menghindari
pemeriksaan serviks digital, yang telah terbukti menurunkan latency dan
meningkatkan infeksi menular tanpa menamba informasi substansial yang
diperoleh oleh visualisasi secara hati-hati selama pemeriksaan speculum steril
(Sterile Speculum Examination/SSE).1,2
Pemeriksaan spekulum juga memberikan kesempatan untuk memastikan
infeksi yang biasa terjadi (misalnya, klamidia endoserviks dan gonore), jika
pemeriksaan diatas belum dilakukan atau ada kecurigaan klinis infeksi yang baru.
10
Infeksi anovaginal biasa terjadi oleh streptokokus grup B, dan hal tersebut harus
dibuktikan jika pemeriksaan diatas belum dilakukan dalam waktu 5 minggu.1,2
Beberapa pemeriksaan lain juga telah dikembangkan sebagai penanda
pecah ketuban diantaranya penyuntikan pewarna ke kantong amnion per
abdominal dan deteksi alpha-fetoprotein pada cairan vagina.2
G. Penatalaksanaan
Karena risiko komplikasi perinatal berubah secara dramatis sejalan dengan
usia kehamilan pada ketuban pecah dan persalinan, pendekatan berbasis usia
kehamilan pada manajemen PPROM sangat tepat. Meskipun tidak ada manfaat
pada neonatal yang nyata pada manajemen konservatif setelah ketuban pecah pada
aterm, ada potensi manfaat untuk neonatal saat manajemen konservatif dari
PPROM yang dilakukan untuk janin yang lebih dewasa. Manfaat ini hanya dapat
didapat jika langkah-langkah konservatif menyebabkan perpanjangan kehamilan
yang dihasilkan akibat pengurangan morbiditas yang tergantung dari usia
kehamilan, atau melalui pencegahan infeksi perinatal. Manajemen harus
didasarkan pada penilaian individual dari perkiraan risiko komplikasi ibu, janin,
dan neonatal yang kemudian harus berupa manajemen konservatif atau kelahiran
yang dipercepat.1,7
Meskipun banyak cara bervariasi dan ada cukup kontroversi mengenai
manajemen premature yang optimal pada PPROM, ada konsensus umum
mengenai beberapa isu tersebut. Pertama, usia kehamilan harus ditetapkan
berdasarkan tentang sejarah klinis dan penilaian USG sebelumnya jika tersedia.
USG harus dilakukan jika dapat dikerjakan untuk memperkirakan usia kehamilan
(jika tidak dilakukan USG sebelumnya) serta pertumbuhan janin, posisi, dan
volume residu cairan ketuban, dan untuk mengevaluasi kelainan janin yang
mencolok yang dapat menyebabkan polihidramnion. Wanita dengan PPROM
harus dievaluasi secara klinis untuk membuktikan kemajuan persalinan,
chorioamnionitis, abruptio plasenta, dan gawat janin.1,7
Mereka yang dengan persalinan lanjutan, infeksi intrauterin, pendarahan
vagina signifikan, atau pengujian nonreassuring janin adalah yang terbaik untuk
11
12
singkat (24-48 jam) dengan pemantuan dari isti rahat seluruh tubuh atau panggul
saja untuk evaluasi berkembang tidaknya agen infeksi disan, solusio plasenta, dan
persalinannya. USG rinci juga harus dilakukan
mengexclude abnormalitas janin. USG serial dilakukan tiap 1-2 minggu untuk
mengevalusi AFV dan pertumbuhan dan kematangan paru.1,3,7
b. Periviable PPROM (23-23,6 Minggu)
Tatalaksana untuk kasus ini adalah memberikan konseling dengan cepat
antara persalinan atau terapi konservatif. Konseling harus mencakup kajian
tentang bahaya pada ibu dan janin terkait tatalaksana konservatif dan penilaian
dari tatalaksana pada bayi. Bila menejemen konservatif dipilih, keputusan untuk
pemberian antibiotik selama masa laten dan kortikosteroid untuk mengurangi
komplikasi prematuritas. 1,3
c. PPROM Remote from Term (21-31 Minggu)
Dari Guideline prematuritas PPROM dengan usia gestasi 21-31 minggu
dilakukan tatalaksana konservatif, yaitu
tujuan
bedrest
13
mg i.v setiap 6 jam selama 48 jam diikuti dengan amoxicilin 250 mg p.0 tiap 8
jam dan eritromisin 333 mg p.o tiap 8 jam selama 5 hari. Azitromisin bisa
dipertimbangkan sebagai pengganti eritromisin
dengan
setara dengan peroral 500 mg pada hari pertama diikuti dengan dosis 250 mg
peoral perhari selama 6 hari.1,3,4,7
Tokolitik juga harus digunakan secara hati-hati dalam penggunanya pada
PPROM, pada beberapa jurnal dikatakan bila pemberian tokolitik sampai saat ini
tidak jelas menunjukan penurunan angka mortalitas perinatal maupun neonatal.
Penggunaan tokolitik hanya direkomendasikan untuk wanita dengan ancaman
persalinan prematur tanpa adanya komplikasi kehamilan seperti kelainan
kongenital, infeksi intrauterine, preeklamsia berat, solusio plasenta, dilatasi
serviks, dan adanya bukti insufisiensi plasenta. Sebenarnya tujuan utama
pemberian tokolitik ini adalah untuk memberikan kesempatan pemberian
kortikosteroid. Pemilihan jenis tokolitik biasanya adalah nifedipine dan atosiban.
Pada penggunaan nifedipine bisa diberikan intial dose 20 mg, dilanjutkan 10-20
mg, 3-4 kali perhari, disesuaikan dengan aktivitas uterus hingga 48 jam. Dosis
maksimal60 mg/hari. Untuk atosiban diberika dosis wal 6,75 mg bolus dalam 1
menit diikuti 18 mg/jam selama 3 jam perinfus kemudian 6 mg/jam selama 45
jam. Dosis maksimal 330 mg. 1,3,4,7
d. PPROM Near Term (32-33 Minggu)
Ketika
PPROM
terjadi
pada
usia
kehamilan
32-33
minggu,
14
masih ada risiko yang signifikan dari ketidakmatangan paru dan morbiditas
kehamilan lainnya yang tergantung usia janin yang cukup.4,6
Jika usia gestasi kurang dari 34 minggu dan tidak ada indikasi ibu atau
janin untuk melakukan pelahiran, ibu tersebut diamati ketat di unit Persalinan dan
Pelahiran. Pemantauan frekuensi denyut jantung janin kontinu dipasang untuk
mencari bukti kompresi tali pusat, khususnya bila persalinan sedang berlangsung
juga. Bila denyut jantung janin janin baik-baik saja, dan kalau persalinan tidak
sedang berlangsung, ibu tersebut dipindahkan ke unit Kehamilan Berisiko Tinggi
untuk observasi ketat tanda-tanda persalinan, infeksi, atau bahaya pada janin. Jika
usia gestasi di atas 34 minggu lengkap dan bila persalinan belum mulai setelah
pemeriksa oksitosin intravena bila tidak ada kontraindikasi. Kalau induksi gagal,
dilakukan seksio sesarea.4,6
e. PPROM Near Term (34-36 Minggu)
Ketika PPROM terjadi pada kehamilan 34-36 minggu, risiko morbiditas
akut yang parah dan kematian yang terjadi rendah ketika persalinan cepat
dilakukan. Kortikosteroid umumnya tidak diberikan untuk mempercepat
pematangan paru-paru janin. Sebaliknya, manajemen konservatif pada 34-36
minggu berkaitan dengan peningkatan risiko dari amnionitis, lama ibu rawat inap,
dan pH yang rendah (dibawah rata-rata) pada tali pusat saat persalinan tanpa
manfaat dari penurunan yang signifikan pada komplikasi perinatal berhubungan
dengan
prematuritas.
Kematangan
fosfatidilkolin
gliserol,
Amniostat
FLM (Irvine Scientific, Santa Ana, CA), fluoresensi polarisasi TDX FLMII assay
(surfaktan / rasio albumin) (Abbott Laboratories, Abbott Park, IL), rasio
lecithinsphingomyelin, atau hasil penghitungan lamellar body dari cairan yang
dikumpulkan baik dari pooling cairan vagina atau amniosentesis yang dikaitkan
dengan risiko yang rendah dari komplikasi paru-paru yang signifikan setelah
PPROM jangka pendek, terlepas dari adanya darah atau kontaminasi mekonium.
Adanya darah atau mekonium dalam penanganan dari PPROM harus
meningkatkan kecurigaan terhadap plasenta abruptio atau fetal compromise dan
yang pada akhirnya mengakibatkan pertimbangan ulang tentang manfaat
manajemen konservatif. Seharusnya kematangan paru-paru merupakan bukti yang
15
didasarkan dari cairan ketuban, pool vagina, atau dari amniosentesis pada
kehamilan 32-36 minggu, jelas bahwa risiko utama dari komplikasi perinatal
nonpulmonary adalah rendah dan manajemen konservatif akan memperpanjang
kehamilan hanya sebentar, meningkatkan risiko amnionitis, dan tempat janin
berisiko untuk kompresi tali pusar sementara dimonitor, tanpa memberikan
pengurangan morbiditas yang signifikan pada morbiditas neonatal. Dengan
demikian wanita yang menderita PPROM pada 34-36 minggu penanganan yang
tebaik umumnya adalah persalinan yang segera.4,6,7
(Cox et al) mengevaluasi praktek persalinan segera dibanding manajemen
konservatif yang tidak dipilih sebagai tindakannya pada 129 perempuan dengan
PROM prematur pada kehamilan 30-33 minggu. Tocolytics dan steroid antenatal
tidak diberikan, dan profilaksis terhadap streptokokus grup B tidak diberikan.
Konservatif pengelolaan PPROM dikaitkan dengan hanya peningkatan yang
singkat pada latency untuk persalinan (59% 100% dilahirkan dalam waktu 48
jam), tetapi peningkatan yang signifikan dalam amnionitis, dan tidak ada
pengurangan yang jelas pada morbiditas yang tergantung usia kehamilan. Ada
resiko yang signifikan dari RDS dalam populasi ini (35%). Selain itu, ada satu
kelahiran janin yang mati karena dicurigai berhubungan dengan kompresi tali
pusar pada kelompok yang dikelola secara konservatif konservatif, dan tiga
kematian neonatal segera pada kelompok kelahiran (dua dari sepsis dan satu
karena hipoplasia paru). Meskipun studi ini tidak mendukung bahwa persalinan
segera bisa mengurangi kemampuan eksposur janin terhadap infeksi intrauterin
dan menghindari gangguan janin akibat kompresi tali pusar, ini menegaskan
bahwa bayi yang dilahirkan pada 30-33 minggu tetap beresiko untuk sepsis
neonatal dan morbiditas lain yang berhubungan dengan umur gestasi lainnya yang
signifikan dalam kekurangan dokumentasi mengenai kematangan paru. Dengan
demikian, Janin harus dicurigai mengalami imatur paru pada 32-33 minggu, atau
harus dengan pengujian cairan jika itu tidak ada, pilihan untuk mengobati secara
konservatif dengan pemantauan janin yang cepat, terapi antibiotik adjuvan, dan
kortikosteroid antenatal untuk pematangan janin (lihat di bawah). Cara alternative
lainnya, jika tidak ada satupun rencana yang terbaik untuk menginduksi
16
17
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia
kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan premature,
hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden
seksio sesarea, atau gagalnya persalinan normal.3
a. Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode
laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24
jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan
dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1
minggu.9
b. Infeksi
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu
terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis.
Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah
dini prematur, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara umum insiden infeksi
sekunder pada ketuban pecah dini meningkat sebading dengan lamanya periode
laten. Dari semua wanita dengan PPROM, infeksi intraamnion terjadi pada 1360% kasus, dan infeksi postpartum terjadi pada 2-13% kasus. Diagnosis adanya
infeksi bisa dilakukan secara klinis saja, yaitu demam (peningkatan suhu menjadi
38 C atau lebih) disertai dua atau lebih tanda berikut ini: takikardia pada ibu,
takikardia pada janin, nyeri tekan uterus, cairan amnion menjadi kental dan
berbau, atau leukositosis pada ibu (leukosit di atas 18.000 dengan pergeseran ke
kiri). Secara histopatologi, ditemukan infiltrasi sel-sel polimorfonuklear pada
cairan amnion. Tanda ini lebih sering ditemukan sebelum adanya gejala klinis bila
dilakukan pemeriksaan histopatologi sebagai pemeriksaan rutin.6,9
c. Hipoksia dan Asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali
pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya
gawat janin dan derajat oligohidramnion. Semakin sedikit air ketuban, janin
semakin gawat. 6,9
d. Hipoplasia pulmoner
18
19
K. Prognosis
Prognosis ketuban pecah dini ditentukan oleh maturitas paru janin, posisi
janin, adanya infeksi, penatalaksanaan, dan komplikasi yang mungkin timbul
serta usia kehamilan. Prognosa untuk janin tergantung pada (i) Maturitas janin.
Semakin muda usia kehamilan, semakin buruk prognosisny; (ii) Infeksi intra
uterin meningkatkan mortalitas janin. Semakain lama kehamilan berlangsung
dengan ketuban yang pecah, maka semakin besar kemungkinan infeksi intra
uterin.9
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas amnion dan
korion yang sangat erat ikatannya. Selaput ketuban berfungsi menghasilkan air
ketuban dan melindungi janin
terhadap
infeksi.
Dalam
keadaan
normal,
selaput ketuban pecah dalam proses persalinan. Ketuban pecah dini (KPD)
atau ruptures of membranes (ROM) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban
sebelum persalinan. Bila ketuban pecah sebelum usia kehamilan 37 minggu
disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur.5
ROM merupakan masalah yang penting dalam obstetri berkaitan dengan
penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi korioamnionitis sampai sepsis,
yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal dan menyebabkan infeksi
ibu.5
Pada kehamilan preterm, insidensinya 1% dari semua kehamilan
dan
inkompeten,trauma,
dan
sebagian
lagi
tidak
diketahui
penyebabnya.5
Pecahnya selaput ketuban dikarenakan perubahan biokimia yang
menyabakan selaput ketuban inferior menjadi rapuh dan juga dapat dikarenakan
21
22
DAFTAR PUSTAKA
23