Anda di halaman 1dari 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demam Tifoid


2.1.1. Definisi
Demam tifoid (Tifus abdominalis, enteric fever) ialah penyakit infeksi
akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam satu minggu
atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran (Astuti, 2013).
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada
usus halus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella
typhi) (Widodo, 2006). Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang
mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah. Faktor- faktor yang mempengaruhi adalah daya tahan tubuh, higienitas,
umur, dan jenis kelamin. Infeksi demam tifoid ditandai dengan bakterimia,
perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan
mikroabses, dan ulserasi plaque peyeri di distal ileum (Putra, 2012).
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid
dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah
sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan
oleh spesies Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai pada
demam tifoid maupun demam paratifoid (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2008).

2.1.2. Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia,
secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas
sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah
yang mana di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemik (Putra, 2012).
Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003,
terdapat 17 juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian
mencapai 600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Angka
kejadian penyakit demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000
penduduk per tahun sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun.
Demam tifoid terutama ditemukan di negara sedang berkembang dengan
kepadatan penduduk tinggi, serta kesehatan lingkungan yang tidak memenuhi
syarat (Lestari, 2011).
Demam tifoid merupakan penyakit yang tersebar di seluruh dunia. Pada
tahun 2000, angka kejadian demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000
penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk (Harahap, 2011). Data
WHO tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun (Pramitasari,
2013).
Angka kejadian demam tifoid di Eropa yaitu 3 per 100.000 penduduk, di
Afrika yaitu 50 per 100.000 penduduk dan di Asia yaitu 274 per 100.000
penduduk. Pada tahun 2005, angka kejadian demam tifoid di Dhaka berjumlah
390 per 100.000 penduduk (Harahap, 2011).
Survei Kesehatan Rumah Tangga 1985/1986 menunjukkan demam tifoid
(klinis) sebesar 1200 per 105 penduduk/ tahun (Lestari, 2011). Di Indonesia,
demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001,
angkakejadian demam tifoid berjumlah 680 per 100.000 penduduk, dan pada
tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk (Harahap, 2011).
Berdasarkan Data Surveilans tahun 2007, angka kejadian demam tifoid
tahun 2007 berjumlah sangat tinggi yaitu sebesar 110,7 per 100.000 penduduk.
Propinsi Lampung merupakan propinsi di seluruh Indonesia yang merupakan
insiden demam tifoid yang tertinggi sebesar 344,7 per 100.000 penduduk.
Berdasarkan Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2008, demam tifoid
yang rawat jalan di Rumah Sakit menempati urutan ke-5 dari 10 penyakit terbesar
yaitu 661 penderita dari 12876 pasien rawat jalan (5.1%), sedangkan rawat inap di
Rumah Sakit menempati urutan ke-2 dari 10 penyakit terbesar yaitu sebanyak
1.276 penderita dari 11.182 pasien rawat inap (11.4%) (Harahap, 2011).
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai
natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat
mengeksresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka
waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia
dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu, atau
kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. typhi hanya dapat hidup
kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi
dan pasteurisasi (temp 63oC) (Rampengan, 2005).
Demam tifoid erat hubungannya dengan lingkungan, terutama lingkungan
yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti penyediaan air minum yang tidak
memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi lingkungan yang buruk (Soewando,
2002).
Faktor- faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit tersebut antara
lain sanitasi umum, temperatur, polusi udara, dan kualitas air. Faktor sosial
ekonomi seperti kepadatan penduduk, kepadatan hunian, dan kemiskinan juga
mempengaruhi penyebarannya (Harahap, 2011).

2.1.3. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhosa/
Eberthella typhosa/ Salmonella typhi yang merupakan kuman gram negatif,
bergerak dengan rambut getar dan tidak menghasilkan spora (Lestari, 2011).
Kuman ini dapat tumbuh pada semua media dan pada media yang selektif,
bakteri ini memfermentasi glukosa dan manosa, tetapi tidak dapat memfermentasi
laktosa. Waktu inkubasi berkisar tiga hari sampai satu bulan (Putra, 2012).
Sumber penularan utama demam tifoid adalah penderita itu sendiri dan
karier yang dapat mengeluarkan berjuta-juta kuman S. typhi dalam tinja, dan tinja
inilah yang menjadi sumber penularan (Rasmilah, 2012).
Bakteri ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun yang
sedikit lebih rendah, serta mati pada suhu 70o C ataupun oleh antiseptik
(Rampengan, 2008).
akteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di
dalam air, es, sampah, dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu
60o C) selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi (Harahap,
2011).
S. typhi mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu:
1. Antigen O (Antigen Somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan
terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella) yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis (Harahap, 2011). Selain itu, S. typhi juga
dapat menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum. Antigen Vi
berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin (Putra, 2012).
Ketiga macam antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin (Harahap, 2011).
4. Outer Membrane Protein (OMP) merupakan bagian dari dinding sel terluar
yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang
membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya. OMP berfungsi sebagai barier fisik
yang mengendalikan masuknya cairan ke dalam membran sitoplasma, selain itu
juga berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin yang sebagian
besar terdiri dari protein urin, berperan pada patogenesis demam tifoid dan
merupakan antigen yang penting dalam mekanisme responimun penjamu.
Sedangkan protein non purin hingga kini fungsinya belum diketahui pasti (Putra,
2012).

2.1.4. Cara penularan


Infeksi dapat ditularkan dengan cara menelan makanan atau minuman
yang terkontaminasi dengan tinja (WHO, 2003). Selain itu, penularan dapat terjadi
juga dengan kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja, urin, sekret
saluran nafas, atau dengan pus penderita yang terinfeksi (Putra, 2012).
Penularan S. typhi juga dapat terjadi melalui transmisi transplasental dari
seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya. Sebagian besar
penularan terjadi melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman di tinja
atau urin penderita atau karier (Harahap, 2011).
Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan dalam
penularan adalah:
- Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa.
- Higiene makanan dan minuman yang rendah, seperti mencuci makanan
dengan air yang terkontaminasi, makanan yang dihinggapi lalat.
- Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran,
dan sampah tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
- Penyediaan air bersih kepada warga yang tidak memadai.
- Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.
- Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2006).
Penderita demam tifoid merupakan sumber utama infeksi yangselalu
mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit baik ketika ia sedang sakit,
maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan, penderita
umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan
ginjal. Karier demam tifoid adalah seseorang yang kotorannya (tinja atau urin)
mengandung S. typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala
klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 3 bulan masih
dapat ditemukan kuman S. typhi di tinja atau urin. Penderita ini disebut karier
pasca penyembuhan (Harahap, 2011).

2.1.5. Patogenesis
Kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh
manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus, dan
selanjuntnya berkembang biak (Widodo, 2006). Di usus terjadi produksi IgA
sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang berfungsi untuk mencegah
melekatnya kuman pada mukosa usus. Sedangkan untuk imunitas humoral
sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis kuman oleh
makrofag. Imunitas seluler sendiri berfungsi untuk membunuh kuman intraseluler
(Astuti, 2013).
Bila respons imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, maka
kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina
propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesentrika (Widodo, 2006).
Melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama
hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk
ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dan
disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati,
kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi
(Widodo, 2006).
Kelainan utama terjadi di ileum terminal dan plaque peyer yang
hiperplasia (minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu
ketiga) serta bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus
berbentuk bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat
menyebabkan perdarahan bahkan perforasi (Rampengan, 2008).

2.1.6. Manifestasi Klinis


Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala- gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik
hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian
(Widodo, 2006).
Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis (Widodo, 2006). Pada orang dewasa,
umumnya konstipasi dijumpai pada awal penyakit (Nelwan, 2012). Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam pada
demam tifoid adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga
malam hari (Widodo, 2006).
Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardi relatif (bradikardi relatif adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah,
tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus,
dan gangguan kesadaran (somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis)
(Widodo, 2006).
Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama
minggu pertama (suhu berkisar 39-40 oC), terutama pada sore dan malam hari
(febris remiten). Pada minggu kedua dan ketiga, demam terus-menerus tinggi dan
(febris kontinyu) kemudian turun secara lisis. Demam tidak hilang dengan
antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan kadang disertai epistaksis
(Astuti, 2013).
2.1.7. Diagnosis
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa
diberikan terapi yang tepat. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat
penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu,
dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis yang
berupa pemeriksaan rutin, uji widal, dan kultur darah (Widodo, 2006).
Pada pemeriksaan rutin sering ditemukan hitung leukosit rendah
(leukopenia), anemia ringan, jumlah trombosit menurun (trombositopenia), laju
endap darah (LED) pada demam tifoid dapat meningkat, SGOT dan SGPT sering
meningkat (Widodo, 2006), dan hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia)
dengan limfositosis relatif (Astuti, 2013).
Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah terhadap
antigen bakteri Salmonella typhi atau paratyphi. Pada uji ini, hasil dikatakan
positif jika terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Oleh karena itu, antibodi jenis ini dikenal sebagai febrile aglutinin.
Hasil positif palsu dapat disebabkan karena riwayat vaksinasi, reaksi silang
dengan spesies lain (Enterobacteriaceac sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan
adanya faktor reumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan karena sudah
mendapatkan terapi antibiotik, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu
sakit, keadaan umum buruk, dan adanya penyakit imun lain (Astuti, 2013).
Pada pemeriksaan uji widal, yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid
adalah hanya aglutinin O dan H. Semakin tinggi titernya, semakin besar terjadinya
kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada
akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai
puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada
fase akut mula-mula timbul aglutinin O, dan kemudian diikuti dengan aglutinin H
(Widodo, 2006).
Saat ini walaupun uji widal telah digunakan secara luas, namun belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point) (Hosoglu, Bosnak,
Akalin, Geyik, Ayaz, 2008). Nilai standar agglutinin Widal untuk beberapa
wilayah endemis di Indonesia adalah di Yogyakarta titer O > 1/160, Manado titer
O > 1/80, Jakarta titer O > 1/80, Maksaar titer O > 1/320 (Rachman, 2011). Jika
titer O sekali periksa 1/200 atau terjadi kenaikan titer 4 ka li, diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan (Astuti, 2013).
Hasil pemeriksaan tes widal dianggap positif mempunyai arti klinis
sebagai berikut (Koasih, 1984):
a. Titer antigen O sampai 1/80 pada awal penyakit berarti suspek demam
tifoid, kecuali pasien yang telah mendapat vaksinasi
b. Titer antigen O diatas 1/60 berarti indikasi kuat terhadap demam tifoid
c. Titer antigen H sampai 1/40 berarti suspek terhadap demam tifoid, kecuali
pada pasien yang divaksinasi jauh lebih tinggi
d. Titer antigen H diatas 1/80 memberi indikasi adanya demam tifoid
Tanda dan gejala yang tidak spesifik membuat diagnosis klinis demam
menjadi sulit. Kultur darah adalah metode diagnosis standar yang hasilnya positif
60-80 % pada pasien tifoid. Sensitivitas dari kultur darah lebih tinggi pada minggu
pertama sakit. Kultur sumsum tulang lebih sensitif hasilnya 80-95% pada pasien
tifoid. Pada kultur feses, hasilnya positif 30% pada pasien dengan akut demam
tifoid (Parry et al, 2002).
Selain dari kultur yang positif, tidak ada tes laboratorium lain untuk
diagnosis demam tifoid. Leukopenia dan neutropenia terdetekasi 15-25% pada
kasus. Diagnosis defenitif demam tifoid dengan isolasi dari Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi dari darah, sumsum tulang, rose spots dan feses.
Sensitivitas dari kultur darah mencapai 90% selama minggu pertama terinfeksi
dan menurun sampai 50% pada minggu ketiga. Sensitivitas kultur sumsum tulang
mencapai 90%. Ada juga tes serologi termasuk The classic Widal test (Fauci et al,
2008).

2.1.8. Penatalaksanaan
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam
dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Eradikasi total
bakteri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan karier merupakan hal yang
penting untuk dilakukan (Nelwan, 2012). Trilogi penatalaksanaan demam tifoid
yang dimaksud, yaitu (Widodo, 2006) :
1. Istirahat dan perwatan. Tirah baring dengan perawatan sepenunhnya di tempat
seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan
membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan, perlu dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien
perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan penumonia.
2. Diet dan terapi penunjang cukup penting karena makanan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan
proses peyembuhan akan menjadi lama. Ada pendapat bahwa usus harus
diistirahatkan dan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna
atau perforasi usus maka diberikan bubur saring. Namun beberapa peneliti
menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk
pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat
diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
3. Pemberian antimikroba yang sering digunakan adalah Kloramfenikol,
Tiamfenikol, Kotrimoksazol, Ampisilin dan Amoksisilin, Sefalosporin
Generasi Ketiga, Golongan fluorokuinolon, dan Kortikosteroid. Antibiotik
golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin)
merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat
tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis
sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan
fecal karier kurang dari 2%. Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan
yang sangat baik, dapat membunuh S. typhi intraseluler di dalam
monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu
dibandingkan antibiotik lain (Nelwan, 2012).
2.1.9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain adalah (Widodo, 2006):
1) Intestinal
- Perdarahan intestinal
Pada plague peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/ luka
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah, maka terjadi
perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka
perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat
terjadi karena gangguan koagulasi darah atau gabungan kedua faktor.
- Perforasi usus
Hal ini biasanya timbul pada minggu ketiga, namun dapat pula terjadi
pada minggu pertama dengan keluhan nyeri perut yang hebat terutama di
daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut
dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah dan
terkadang pekak hati tidak ditemukan karena ada udara bebas di
abdomen. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah
turun, dan bahkan dapat terjadinya syok.
- Peritonitis dapat menyertai perforasi atau tanpa perforasi dengan gejala
abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang dan
nyeri pada tekanan.
2) Ekstra-intestinal
Hal ini dapat terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis
(bakteremia) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefelopati dan lain-lain.
Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat masukan makanan yang kurang
(Hasibuan, 2009).
Komplikasi hematologi berupa trombositopenia, peningkatan
prothrombin time, peningkatan partial thromboplastine time, peningkatan
fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskular diseminata
(KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid (Widodo,
2006).
2.1.10. Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S. typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang

mereka konsumsi. S. typhi akan mati dalam air yang dipanaskan setinggi 57oC

dalam beberapa menit atau dengan prose iodinasi/ klorinasi. Vaksinasi atau
imunisasi memberikan pendidikan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan secara
berkala terhadap penyaji makanan baik pada industri makanan maupun restoran
dapat berpengaruh terhadap penurunan angka kejadian demam tifoid (Soedarno,
Garna, Hadinegoro, 2012).
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin
yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan, mengkonsumsi
makanan sehat, memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan perilaku
hidup bersih dan sehat dengan budaya cuci tangan yang benar dan memakai
sabun, meningkatkan higiene makanan dan minuman, dan perbaikan sanitasi
lingkungan. Di Indonesia terdapat tiga jenis vaksin tifoid, yaitu:
1. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna
2. Vaksin parenteral sel utuh
3. Vaksin polisakarida Typhin Vi Aventis Pasteur Merrieux.
Pencegahan sekunder dilakukan dengan mendiagnosa penyakit secara dini
dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi
keparahan akibat komplikasi. Apabila telah sembuh sebaiknya tetap menerapkan
pola hidup sehat dan pada penderita carier perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium pasca penyembuhan (Harahap, 2011).
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan
karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian
akibat demam tifoid. Tindakan preventif dan kontrol penularan kasus luar biasa
(KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman S. typhi
sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor lingkungan (Widodo,
2006).
Secara garis besar, terdapat tiga strategi pokok untuk memutuskan
transmisi tifoid, yaitu (Widodo. 2006).:
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi baik pada kasus demam tifoid maupun
kasus karier tifoid. Pelaksanaanya dapat dilakukan secara aktif dengan
mendatangi sasaran dan pasif dengan menunggu bila ada penerimaan
pegawai di suatu instansi. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi
tertentu seperti pengelola sarana makanan/ minuman. Sasaran lainnya
adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas
kesehatan, petugas kebersihan, dan lainnya.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S. typhi akut
maupun karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di
rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman
S. typhi.
3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi dapat dilakukan dengan cara
vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik

Anda mungkin juga menyukai