Anda di halaman 1dari 47

1

BAB I
PENDAHULUAN

Air merupakan komponen utama dari seluruh cairan yang berada dalam
tubuh dan jumlahnya berbeda-beda tergantung usia dan jenis kelamin serta
banyaknya lemak didalam tubuh. Dengan makan dan minum tubuh mendapatkan
asupan air dan elektrolit dan dikeluarkan dalam jumlah yang relatif sama.
Pengeluaran cairan dan elektrolit dari tubuh dapat berupa urin, tinja, keringat, dan
uap air pada saat bernafas. 1
Ketika terjadi gangguan keseimbangan cairan (homeostasis), harus segera
diberikan terapi cairan untuk mengembalikan keseimbangan air dan elektrolit.
Selain itu, terapi cairan juga dapat digunakan untuk memasukkan obat dan zat
makanan secara rutin atau juga digunakan untuk menjaga keseimbangan asam
basa.1
Manajemen resusitasi cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat
berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input harus
sama untuk mengganti cairan yang hilang. Tujuan terapi cairan bukan untuk
kesempurnaan

keseimbangan

menurunkan angka mortalitas.1

cairan,

tetapi

penyelamatan

jiwa

dengan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Fisiologi Cairan Tubuh

2.1.1

Karakteristik Air
Air adalah senyawa esensial untuk makhluk hidup dan mempunyai
beberapa karakteristik fisiologik, diantaranya : media utama pada reaksi
intrasel dan diperlukan oleh sel untuk mempertahankan kehidupan.
Hampir semua reaksi biokimia tubuh terjadi dalam media air, sehingga
dapat dikatakan air merupakan pelarut dalam kehidupan. Air juga
merupakan pelarut terbaik untuk solut polar dan ionik, media transport
untuk sistem sirkulasi, ruang disekitar sel (ruang intravaskular,
interstisium) dan intrasel serta pengaturan suhu tubuh.2

2.1.2

Jumlah Air Tubuh


Jumlah cairan tubuh total 55-60% dari berat badan (BB) dan
persentase ini berhubungan dengan jumlah lemak tubuh, jenis kelamin,
dan umur. Pengaruh terbesar berhubungan dengan jumlah lemak tubuh.
Kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah dibandingkan kandungan
air dalam sel otot, sehingga persentase cairan total tubuh pada orang
gemuk (obes) lebih rendah dari mereka yang tidak gemuk. Pada bayi dan
anak persentase cairan tubuh total lebih besar dibanding dengan orang
dewasa dan akan menurun sesuai dengan pertambahan usia. Pada bayi
prematur jumlah cairan tubuh total sebesar 80% dari BB, sedangkan pada

bayi normal 70%-75% dari BB, pra pubertas 65%-70% dari BB, dan pada
orang dewasa sebesar 55-60% dari BB.2
Kadar lemak pada wanita umumnya lebih banyak dibandingkan
pria, sehingga kadar air pada pria lebih besar daripada wanita.
Tabel 1 persentase cairan tubuh berdasarkan usia
Umur
10-18
18-40
40-60
>60

Pria
59%
61%
55%
52%

Wanita
57%
51%
47%
46%

Bila diperkirakan rata-rata orang dengan berat 70 kg, memiliki total


cairan tubuh 60% BB, atau 42 liter merupakan air, yang tetap bergantung
pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas, maka perhitungan cairan
tubuh total menggunakan rumus : 2
Jumlah total air tubuh (L) = BB (kg) x 60%
Perhitungan ini hanya berlaku untuk individu dalam keadaan
keseimbangan cairan tubuh normal. Untuk dewasa obes hasil perhitungan
rumus dikurangi 10%, sedangkan untuk orang kurus ditambahkan 10%.
Pada keadaan dehidrasi berat, cairan tubuh total berkurang sekitar 10%,
maka pada keadaan dehidrasi berat cairan tubuh total dihitung dengan
rumus :2
Jumlah total air tubuh (L) = 0,9 x BB (Kg) x 60%
Perhitungan tersebut di atas tidak dapat digunakan pada keadaan
dijumpainya edema karena kemungkinan kesalahan sangat besar.

Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi


pada perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare dan puasa
preoperatif maupun perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis
yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum
tindakan anestesi dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar.
2.1.3. Kompartemen cairan tubuh
Cairan tubuh terdapat dalam dua kompartemen besar, yaitu cairan
intrasel (Intraceluler Fluid,ICF) dan cairan ekstrasel (Ekstraceluler Fluid).2
Diagram 1 distribusi cairan tubuh
Body 100%

Cairan Tubuh 60%

Cairan Ekstraseluler 20%

Jaringan 40%

Cairan Intraseluler 40%

Membran sel

a.
b.
a. Kompartemen Cairan Intrasel (ICF)
Cairan intrasel adalah cairan yang terdapat dalam sekitar 75 triliun

Plasma darah 5%
Cairan interstitial 15%

sel tubuh. Volumenya lebih kurang 40% BB (60% TBW).


Kandungan air intrasel lebih banyak dibanding ekstrasel.
Persentase volume cairan intrasel pada anak lebih kecil
dibandingkan orang dewasa karena jumlah sel lebih sedikit dan
ukuran sel lebih kecil. Cairan intrasel berperan pada proses
menghasilkan, menyimpan, dan penggunaan energi serta perbaikan

sel. Selain itu, cairan intrasel juga berperan dalam proses replikasi
dan berbagai fungsi khusus antara lain sebagai cadangan air untuk
mempertahankan volume dan osmolalitas cairan ekstrasel.2
Kandungan elektrolit dalam cairan intrasel bervariasi. Kation
utama adalah Kalium, sedangkan anion utama adalah fosfat dan
protein. Ion K +, Mg 2+ dan PO+42- merupakan solute yang dominan
untuk menimbulkan efek osmosis pada cairan intrasel. Ion K + juga
penting dalam biolistrik. Konsentrasi Ca 2+ intrasel sangat rendah.
b. Kompartemen Cairan Ekstrasel (ECF)
Jumlah seluruh cairan ekstrasel 20% BB (40% TBW) atau sekitar
14 liter pada orang dewasa normal dengan BB 70 kg. Dua
kompartemen terbesar dari cairan ekstrasel adalah cairan
interstitial, yang berjumlah lebih dari tiga perempat bagian cairan
ekstrasel dan plasma, yang berjumlah hampir seperempat cairan
ekstrasel, atau sekitar 3 liter. 2
Cairan ekstrasel berperan sebagai pengantar semua keperluan sel
(nutrien, oksigen, berbagai ion, trace minerals dan regulator
hormon/molekul) dan sebagai pengangkut CO2, sisa metabolisme,
bahan toksik atau bahan yang telah mengalami detoksifikasi dari
sekitar lingkungan sel.2
Komposisi bahan yang terlarut dalam sub kompartemen cairan
ekstrasel (plasma dan cairan interstisium) ternyata berbeda. Hal
tersebut disebabkan oleh pengaruh keseimbangan Gibbs-Donnan,
kadarnya tinggi pada cairan interstisium, kecuali untuk ion Ca

2+

dan Mg2+ karena ion ini banyak yang terikat pada protein plasma.
Perbedaan yang nyata antara cairan ekstrasel dan intrasel adalah

pada kationnya. Kation utama pada cairan ekstrasel adalah natrium


(Na+) dan dalam cairan intrasel kalium (K +). Kation ekstrasel
lainnya adalah kalium (K+), kalsium (Ca2+) dan magnesium (Mg2+).
Untuk menjaga netralitas listrik, di dalam cairan ekstrasel terdapat
anion klorida, bikarbonat,dan albumin. Natrium, kalium, klorida
dan bikarbonat merupakan elektrolit penting karena kontribusinya
sebagai daya osmotik untuk mempertahankan air dalam cairan
ekstrasel. Natrium dan kalium mempengaruhi tekanan osmotik
kristaloid cairan ekstrasel dan intrasel serta secara langsung
berhubungan dengan fungsi sel dalam proses biolistrik.2
Konsentrasi natrium merupakan kontribusi utama

dalam

osmolalitas serum dan penentu utama tonisitas plasma. Jumlah


natrium di dalam cairan ekstrasel merupakan hasil keseimbangan
dua faktor, yaitu uptake natrium di saluran cerna dan ekskresi
natrium di ginjal dan tempat lain. 2
Tabel 2 Elektrolit Cairan Tubuh3

Na+
K+
Ca2+
Mg2+
ClHCO3PO42protein
SO42+
Anion organik

Plasma
(mEq/L)
140
4,5
5,0
1,7
104
24
2,0
15
1,0
5,0

Intracelule
r (mEq/L)
13
140
1x10-7
7,0
3,0
10
107
40
-

Interstitial
(mEq/L)
148
5,0
4,0
1,5
115
27
2,3
8
1,2
5,0

Komposisi bahan lain adalah non elektrolit yang merupakan zat seperti
glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam cairan. Zat lainnya
termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.3
2.1.4

Volume Darah
Darah mengandung cairan ekstrasel (cairan dalam plasma) dan
cairan intrasel (cairan dalam sel darah merah). Akan tetapi, darah dianggap
sebagai kompartemen cairan terpisah karena darah terkandung dalam
ruangannya sendiri, yaitu sistem sirkulasi. Volume darah khususnya
penting dalam dinamika sistem kardiovaskuler. 2
Rata-rata darah orang dewasa adalah sekitar 7% BB atau sekitar 5
liter. Sekitar 60% darah berupa plasma dan 40% berupa sel darah merah,
namun persentase ini dapat bervariasi pada masing-masing orang,
bergantung pada jenis kelamin, berat badan dan faktor lainnya. 2
Nilai hematokrit pada pria normalnya 0,40 dan pada wanita kirakira 0,36. Penurunan nilai hematokrit terdapat pada anemia, sedangkan
peningkatannya terjadi pada kasus polisitemia.2

2.1.5. Keseimbangan Gibbs-Donnan


Keseimbangan Gibbs-Donnan adalah keseimbangan antara cairan
intra dan ekstrasel yang timbul akibat peran membran sel. Protein yang
merupakan suatu molekul besar bermuatan negatif, bukan hanya ukuran
molekulnya yang besar namun merupakan suatu partikel aktif yang
berperan mempertahankan tekanan osmotik. Protein ini tidak dapat
berpindah sehingga dapat mempengaruhi ion mempertahankan netralitas

elektrolit (keseimbangan muatan positif dan negatif) sebanding dengan


keseimbangan tekanan osmotik di kedua sisi membran. Pergerakan muatan
ion akan menyebabkan perbedaan konsentrasi ion yang secara langsung
mempengaruhi pergerakan cairan melalui membran ke dalam dan keluar
sel.2

2.1.6. Solut
Terdapat dua jenis solut (zat terlarut) yaitu solut permeable dan
impermeabel. Solut permeabel adalah solute di dalam tubuh yang bersifat
inefektif dalam mempertahankan tekanan osmotik. Solut permeabel bebas
melintasi seluruh membran sel, tidak efektif dalam mempertahankan
tekanan osmotik dan tidak menyebabkan perpindahan air. Solut permeabel
terdiri dari urea (blood urea nitrogen, BUN), etanol, methanol (zat toksik)
dan etilen glikol. Urea yang solut permeabel, mudah melintasi membran
sel, menyebar pada seluruh cairan tubuh. Solut impermeabel adalah zat
terlarut atau solut didalam tubuh yang bersifat efektif, tidak bebas
melintasi membran sel (dari ekstraseluler ke intra seluler atau sebaliknya),
namun efektif mempengaruhi tekanan osmotik dan dapat menyebabkan
perpindahan air. Solut impermeabel intrasel adalah kalium, magnesium,
fosfat, sulfat dan protein. Solut impermeabel ekstrasel adalah natrium dan
anionnya (Cl, HCO3-), glukosa, manitol, gliserol, sorbitol.2
Urea dan glukosa merupakan komponen non-ionik osmolalitas
plasma. Konsentrasi glukosa dan urea pada keadaan nonpatologik relatif

stabil dan merupakan petunjuk (indeks) osmolalitas plasma. Dalam


keadaan normal glukosa berdifusi ke dalam sel, sehingga tidak besar
pengaruhnya pada tonisitas serum. Glukosa adalah osmol efektif, bila
konsentrasi glukosa ekstrasel sangat tinggi dapat menimbulkan keadaaan
hipertonisitas sehingga air intrasel bergerak keluar, masuk ke dalam
kompartemen ekstrasel. Solut idiogenik adalah solut impermeabel instrasel
yang merupakan molekul osmoprotektif intrasel yang dibentuk pada
keadaan hipertonik. Pada keadaan hipernatremia, solut idiogeniknya
adalah natrium, asam amino, taurin, glutamate dan sorbitol. 2
2.1.7 Osmolalitas dan Osmolaritas
Osmolalitas dan osmolaritas adalah jumlah solut permeabel
ditambah solut impermeabel. Dalam keadaan normal, osmolalitas cairan
intrasel sama dengan osmolalitas cairan ekstrasel. Osmolalitas seluruh
kompartemen pada Steady State sama yaitu 290 mOsm/KgH2O, walaupun
konsentrasi partikel berbeda pada berbagai kompartemen. Osmolalitas
plasma efektif adalah jumlah konsentrasi solut impermeabel. 2
Cairan (solution) dikatakan isotonik bila volume sel yang terdapat
didalam cairan itu dapat dipertahankan dalam keadaan normal. Cairan
isotonik adalah cairan yang osmolalitasnya sama dengan plasma atau
bersifat isoosmoler. Terjadinya peningkatan tonisitas (hipertonisitas) cairan
ekstrasel

biasanya

disebabkan

oleh

hipernatremia.

Hipertonisitas

merupakan stimulus utama rasa haus dan pelepasan ADH, rasa haus
meningkatkan asupan air, ADH menyebabkan retensi air oleh ginjal.

10

Sebaliknya pada hipotonisitas, ADH akan ditekan sehingga ekskresi air di


ginjal meningkat. Seringkali disebabkan asupan air berlebihan.2

2.2 Gangguan kebutuhan cairan dan elektrolit


2.2.1 Gangguan keseimbangan air dan elektrolit
Gangguan keseimbangan elektrolit umumnya berhubungan dengan
ketidakseimbangan natrium dan kalium. Prinsip utama ketidakseimbangan
tersebut adalah :
Pemasukan dan pengeluaran natrium yang tidak seimbang.
Kelebihan natrium dalam darah akan meningkatkan tekanan osmotik

dan menahan air lebih banyak sehingga tekanan darah meningkat.


Ketidakseimbangan kalium jarang terjadi, namun lebih berbahaya.
Kelebihan
peningkatan

kalium

pada

frekuensi

pacemaker

dan

pada

otot

jantung

menyebabkan

jantung

menurunkan

kontraktilitas. Kekurangan kalium menyebabkan frekuensi denyut


a.

jantung melambat.
Gangguan keseimbangan air dan natrium2
Perubahan yang terjadi pada volume dan komposisi cairan tubuh serta
osmolalitas akan menimbulkan empat gangguan dasar didalam tubuh
sebagai hipovolemia, edema, hiponatremia dan hipernatremia.
Gangguan volume
a. Hipovolemia
Hipovolemia adalah suatu keadaan dengan volume cairan tubuh
berkurang. Hal ini menyebabkan hipoperfusi jaringan. Hipovolemia dapat
terjadi pada dua keadaan yaitu deplesi volume dan dehidrasi.

Deplesi volume

11

Deplesi volume adalah keadaan dimana cairan ekstrasel berkurang:


kekurangan air dan natrium melalui saluran cerna seperti muntah dan
diare, perdarahan atau melalui pipa nasogastrik. Hilangnya air dan natrium
juga dapat melalui ginjal misalnya penggunaan diuretik, melalui kulit dan
saluran pernapasan atau melalui sekuestrasi cairan misalnya trauma.

Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari
natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139
mEq/L)

atau

hipernatremik

(>150mEq/L).

Dehidrasi

isonatremik

merupakan yang paling sering terjadi (80%), sedangkan dehidrasi


hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus. Dehidrasi
Isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama
dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium
besarnya relatif sama dalam kompartemen intravaskular maupun
kompartemen ekstravaskular.4
Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
dengan kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan
hipertonis). Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih
banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum rendah,
air

di

kompartemen

intravaskular

berpindah

ke

kompartemen

ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular.


Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan

12

hipotonis). Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak
dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di
kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular,
sehingga meminimalkan penurunan volume intravaskular.
Tabel 3 Tanda-tanda klinis dehidrasi2
Tanda
Kesadaran
Perfusi jaringan
Membran
mukosa
Air mata
HR
Tekanan darah
Nadi
Turgor kulit
Fontanel
Mata
Urin out put

Dehidrasi ringan
Compos mentis
2 detik
Normal

Dehidrasi sedang
lethargi
2-4 detik
kering

Dehidrasi berat
obtunded
>4detik
Panas dan kering

Normal
Sedikit meningkat
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Menurun

menurun
meningkat
Normal tapi orthostasis
cepat
lambat
menurun
cekung
oliguri

Tidak ada
Sangat meningkat
menurun
Cepat dan lemah
Sangat lambat
Cekung
Sangat cekung
Oliguri/anuria

Tabel 4 Derajat Dehidrasi 2


Dehidrasi
Ringan
Sedang
Berat
Syok

Dewasa
4%
6%
8%
10-20%

Anak
4-5%
5%-10%
10%-15%
15-20%

Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat


puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan, mengganti perdarahan yang sedang berlangsung, dan
mengganti third space loss (ke rongga peritoneum, ke luar tubuh).

b. Euvolemia (normovolemia)
Meski dikatakan euvolemia, kondisi ini menjelaskan kadar natrium
yang normal disertai peningkatan jumlah air tubuh. Kondisi seperti ini
dijumpai pada keadaan:

13

o sekresi ADH berkurang


o sekresi ADH meningkat

c. Hipervolemia
Hipervolemia adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan volume
cairan ekstrasel khususnya intravascular melebihi kemampuan tubuh
mengeluarkan air melaui ginjal, saluran cerna dan kulit.2
a.Edema
Edema adalah suatu keadaan akumulasi cairan di jaringan interstisium
secara berlebihan akibat penambahan volume yang melebihi kapasitas
penyerapan pembuluh limfe. Edema juga merupakan refleksi dari
kelebihan natrium dan hipervolemia. Menurut lokasi edema dapat
dibagi:
o Edema generalisata disebabkan oleh penurunan tekanan osmotic
koloid pada hipoproteinemia
o Edema lokal disebabkan oleh kerusakan kapiler, konstriksi sirkulasi
(vena regional) atau sumbatan drainase limfatik.2

Gangguan Status Natrium


a. Hiponatremia
Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan
mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika
kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia

14

ini dapat disebabkan oleh euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik),


hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses,
diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi
dengan restriksi cairan (Na+ 125 mg/L) atau NaCl 3% sebanyak
(140-X) x BB x 0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg. Koreksi
hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan secara perlahanlahan, sedangkancuntuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk
menghitung Na serum yang dibutuhkan dapat menggunakan rumus :
Na= Na 1- Na0 x TBW
Keterangan :
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)

b. Hipernatremia
Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa
perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat
disebabkan oleh kehilangan cairan (diare, muntah, diuresis, diabetes
insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium
berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5%
dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140.4

15

b. Gangguan Keseimbangan Kalium


1. Hipokalemia
Jika kadar kalium <3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut
kalium dari cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan
kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat
berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen melebar, ST
segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria,
intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor
presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infus potasium
klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mildhipokalemia ; >2mEq/L) atau
infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh
EKG (untuk hipokalemia berat ; <2mEq/L disertai perubahan EKG,
kelemahan otot yang hebat). Rumus untuk menghitung defisit kalium :
K = K1 K0 x 0,25 x BB
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)

2. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena
insufisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs,
ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama

16

melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem


kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia
dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium
bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.

2.2.2. Gangguan Keseimbangan Asam Basa3


a. Gangguan keseimbangan asam basa respiratorik
o Asidosis respiratorik (pH < 7,35 dan PaCO2 > 45 mmHg)
Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder
untuk menurunkan ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut
merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk obstruksi
jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi
abdomen atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang
berlebihan. Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari
defek pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu.
Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif
adalah sangat penting.

o Alkalosis respiratorik (pH >7,45 dan PaCO2 <35 mmHg)


Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP,
dan ventilasi yang dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat
serum normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari penurunan
PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang

17

mendasari termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang


tepat dari ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang
terjadi.

b. Gangguan keseimbangan asam basa metabolik


o Asidosis metabolik (pH < 7,35 dan bikarbonat <2 1 mEq/L)
Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam
atau kehilangan bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk
gagal ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik ketoasidosis, dan
asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan
ventilasi dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok,
diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang berlebihan dan
keracunan metanol. Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi
kelainan yang mendasari. Terapi bikarbonat hanya diperuntukkan bagi
penanganan asidosis berat dan hanya setelah kompensasi alkalosis
respirasi digunakan.

o Alkalosis metabolic (pH >7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)


Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau
penambahan bikarbonat dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah
yang umum terjadi pada pasien bedah adalah hipokloremik,
hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang
digunakan

adalah

sodium

klorida

isotonik

dan

penggantian

18

kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus gradual selama perode


24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang
sering.

2.3.Terapi Cairan
Terapi cairan merupakan salah satu aspek terpenting dari perawatan
pasien. Pemilihan cairan sebaiknya berdasarkan atas status hidrasi pasien,
konsentrasi elektrolit dan kelainan metabolik yang ada. Secara sederhana
tujuan terapi cairan dibagi atas resusitasi atau pengganti yaitu untuk
mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kehilangan
harian. 3
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan
tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit)
atau koloid (plasma ekspander) secara intravena.3
Terapi cairan berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa
sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan yang
pindah ke rongga ketiga.3
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien,
konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan
parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi
medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek
terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.

19

Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai


2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu
merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat
dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 1824 jam
sesudah cedera luka bakar. 3
Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan
kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok
hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah,
mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping.
Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema
seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah. 3
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok
hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik.
Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan
ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada
pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik,
kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5%
digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan
insensibel.3
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat
metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal,
sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan
otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan

20

resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat
seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer
Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati
menjadi bikarbonat. 3
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk
mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan
harian
A. Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan
akut cairan tubuh atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk
memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada keadaan syok dan luka
bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian infus
Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL)
sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa
diberikan 2-3 L dalam 10 menit.

Dua cara yang lazim digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan pada
penderita luka bakar, yaitu :

Cara Evans. Untuk menghitung kebutuhan cairan pada hari pertama


hitunglah :
- Berat badan (KG) x % luka bakar x 1cc NaCl.
-Berat badan (KG) x % luka bakar x 1cc larutan koloid.
-2000 cc glukosa 5%.

21

Separuh dari jumlah diatas diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya


diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah
cairan hari kedua. Sebagai monitoring pemberian cairan lakukan
penghitungan diuresis.
Cara baxter (Parkland). Merupakan cara lain yang lebih sederhana dan
banyak dipakai. Jumlah kebutuhan cairan pada hari pertama dihitung
dengan rumus : % luka bakar x BB (KG) x 4cc
Separuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama,
sisanya diberikan dalam 16 jam. Hari pertama terutama diberikan elektrolit
yaitu larutan Ringer laktat karena terjadi hiponatremi. Untuk hari kedua
diberikan setengah dari jumlah pemberian hari pertama. Dengan
monitoring diuresis 50-100ml/jam, dan CVP (<+2cmH2O), Hb-Ht.

B. Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh
dan nutrisi. Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30 - 35
ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+ = 1 - 2 mmol/kgBB/hari dan
K+ = 1 mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan
yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat
(lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan Insensible
Water Losses.
Untuk anak digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, yaitu:

22

Berat Badan
10kgberatbadan pertama
10kg kedua
Subsequent kg

Kebutuhan cairan per hari


100ml/kg
50ml/kg
20ml/kg

Kebutuhan cairan per jam


4ml/kg
2ml/kg
1ml/kg

Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan


kandungan karbohidrat atau infus yang hanya mengandung karbohidrat
saja. Larutan elektrolit yang juga mengandung karbohidrat adalah larutan
KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer's dextrose, dll. Sedangkan
larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose
5%. Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi
ruang antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.3
Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu
diperhatikan karena seperti sudah dijelaskan kadar berlebihan atau
kekurangan dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya.
Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai
kalium sesuai kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium
sesuai kebutuhan harian. 3
Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang
ketiga, keruang peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya
tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu :
6-8 ml/kg untuk bedah besar
4-6 ml/kg untuk bedah sedang
2-4 ml/kg untuk bedah kecil

1. Dasar-dasar Terapi Cairan Elektrolit Perioperatif 5

23

Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi


pegangan dalam pemberian cairan perioperatif, yaitu :
a. Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari
dan elektrolit utama Na+ = 1-2 mmol/kgBB/hari dan K+ = 1
mmol/kgBB/hari.
Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat
pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit)
dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water
losses. Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus
(air lebih banyak dibandingkan elektrolit).

b. Defisit cairan dan elektrolit pra-bedah


Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada
penderita bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan
abnormal

yang

seringkali

menyertai

penyakit

bedahnya

(perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan


pada penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya
insensible water loss akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat
banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera
diganti sebelum dilakukan pembedahan.5

c. Kehilangan cairan saat pembedahan

24

1. Perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari:
Botol penampung darah yang disambung dengan pipa
penghisap darah (suction pump)
Dengan cara menimbang kasa yang digunakan sebelum dan
setelah pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4cm)
mengandung

10 ml darah, sedangkan tampon besar

(laparatomy pads) dapat menyerap darah 100-10 ml. Dalam


prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya
bisa

ditentukan

berdasarkan

kepada

taksiran

(perlu

pengalaman banyak) dan keadaan klinis penderita yang


kadang-kadang
hemoglobin

dibantu

dan

dengan

hematokrit

pemeriksaan

berulang-ulang

kadar
(serial).

Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih


menunjukkan rasio plasma terhadap eritrosit daripada jumlah
perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah bila pada
luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan
banyaknya darah yang mengenai kain penutup, meja operasi
dan lantai kamar bedah.

d. Kehilangan cairan lainnya


Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih
menonjol

dibandingkan

perdarahan

sebagai

akibat

adanya

25

evaporasi dan translokasi cairan internal. Kehilangan cairan akibat


penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan
dengan luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan
perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang
ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi defisit
cairan intravaskuler. Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi
atau infeksi dapat mengakibatkan sekuestrasi sejumlah cairan
interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa (ascites) atau
ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam
ruang ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yangterjadi tidak
dapat dicegah dengan cara membatasi cairan dan dapat merugikan
secara fungsional cairan dalam kompartemen ekstraseluler dan juga
dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler.

e. Gangguan fungsi ginjal


Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan:
Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate)
menurun.
Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan
oleh meningkatnya kadar aldosteron.
Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan
terjadinya retensi air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes
(collecting tubules) meningkat.

26

Ginjal tidak mampu mengekskresikan freewater atau untuk


menghasilkan urin hipotonis.

a. Penggantian Defisit Prabedah5


Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa,
lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa
pra-bedah sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan
pada jam pertama pembedahan, sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua
berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan cairan
hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita
yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya
diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang
dipuasakan karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan
penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena
perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali
menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan resusitasi
cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.5

b. Terapi cairan selama pembedahan5


Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan
kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan
(perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan

27

yang diberikan tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah darah


yang hilang.
1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya
bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja
selama pembedahan.
2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat
diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar
ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma pembedahan.
Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam seimbang
seperti Ringer Laktat atau Normosol-R.
3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2
ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk
pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.

Tabel 5. Rates of Fluid Administration to Replace Third Space Loss


Find Shift
Minor
Moderate
Major

Example of Operation
Tendon Repair
Tympanoplasty
Hysterectomy
Inguinal Hernia
Total hip replacement
Abdominal case with peritonitis

Rates (cristallid)
0-3ml/kg/hr
6ml/kg/hr
9ml/kg/hr

*includes 2ml/kg/hr maintenancce but not usual 3ml crystaloid/mlblood not replaced
with blood.

4. Penggantian darah yang hilang


Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV = Estimated Blood
Volume = taksiran volume darah), akan menimbulkan gejala hipotensi,
takikardi dan penurunan tekanan vena sentral. Kompensasi tubuh ini akan

28

menurun pada seseorang yang akan mengalami pembiusan (anestesi)


sehingga gejala-gejala tersebut seringkali tidak begitu tampak karena
depresi komponen vasoaktif.
Tabel 4 Perkiraan Volume Darah
Umur
Neonatus
*Prematur
*full aterm
Bayi
Dewasa
*laki-laki
*wanita

Volume darah
90 ml/kgBB
85 ml/kgBB
80 ml/kgBB
75 ml/kgBB
65 ml/kgBB

Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan larutan


kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan
pertimbangan berdasarkan:
a. Keadaan umum penderita (kadar Hb dan hematokrit) sebelum
pembedahan
b. Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi
c. Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum.
d. Keadaan hemodinamik (tensi dan nadi)
e. Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan
f. Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan
hematokrit.
g. Usia penderita
Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah:

29

- 1 unit sel darah merah (PRC= Packed Red Cell) dapat menaikkan
kadar hemoglobin sebesar 1 gr% dan hematokrit 2-3% pada
dewasa.
- Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar
hemoglobin 3 gr%. Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan
cairan secukupnya sehingga diuresis 1 ml/kgBB/jam.

c. Terapi cairan dan elektrolit pascabedah5


Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.
Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar
50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan
pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang
rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan,
akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan
retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak
perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan
trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari
cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan
pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan
melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan
hipotonis dan bila perlu larutan garam isotonis. Terapi cairan ini
berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:

30

- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan


1C suhu tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau
muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
humidifikasi.
3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama
pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr
%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut
oksigen.
4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan
tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi
tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil,
jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.
2. Pemilihan jenis cairan5
Terapi cairan intravena meliputi infus kristaloid, koloid, atau kombinasi
keduanya. Larutan kristaloid adalah larutan aquos dengan berat molekul
rendah, dengan atau tanpa glukosa, sementara larutan koloid terdiri dari
substansi dengan berat molekul besar seperti protein atau polimer glukosa
besar. Larutan koloid mempertahankan tekanan onkotik koloid plasma dan
sebagian besar berada dalam intravaskular, sementara larutan kristaloid dengan
cepat diseimbangkan dan didistribusikan di seluruh kompartemen cairan
ekstraselular.

31

Penggunaan cairan kristaloid dan koloid pada pasien bedah masih


kontroversi. Para ahli yang setuju terhadap penggunaan koloid berpendapat
bahwa dengan mempertahankan tekanan onkotik plasma, koloid lebih efektif
menyeimbangkan volume intravaskular yang normal dan cardiac output.
Pendapat lain mengatakan bahwa larutan kristaloid dapat sama efektifnya
dengan pemberian pada jumlah yang cukup. Dan berpendapat bahwa koloid
dapat menyebabkan edema paru karena meningkatnya permeabilitas kapiler
paru yang diakibatkan oleh tekanan onkotik interstitial paru paralel dengan
tekanan onkotik pada plasma.
Namun dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.Kristaloid sama efektifnya dengan koloid untuk mengembalikan volume
intravaskular bila diberikan dengan jumlah yang cukup.
2.Penggantian kehilangan cairan intravaskular dengan menggunakansejumlah
cairan koloid setara dengan tiga sampai empat kali jumlah cairan kristaloid.
3.Pasien yang menjalani operasi biasanya mengalami jumlah kehilangan cairan
extraselular yang melebihi kehilangan cairan di intravaskular.
4.Kehilangan cairan intravaskular yang berat dapat diatasi dengan cepat dengan
menggunakan cairan koloid.
5.Pemberian kristaloid yang cepat dalam jumlah yang banyak (>4-5L) dapat
menyebabkan edema jaringan.Beberapa kejadian, namun belum terbukti,
bahwa edema jaringan dapat mengganggu transport oksigen, penyembuhan
luka, dan mengganggu pengembalian fungsi saluran cerna pada bedah
mayor.

32

Berdasarkan fungsinya, cairan dapat dikelompokkan menjadi :


1.Cairan pemeliharaan, ditujukan untuk mengganti air yang hilang lewat urin,
tinja, paru, dan kulit (mengganti puasa). Cairan yang diberikan adalah cairan
hipotonik, seperti D5, NaCl 0,45%, atau D5 W.
2.Cairan pengganti, ditujukan untuk mengganti kehilangan air tubuh akibat
sequestrasi atau proses patologi lain, seperti fistula, efusi pleura, ascites,
drainase lambung. Cairan yang diberikan bersifat isotonik, seperti RL, NaCL
0,9%, D5RL, D5NaCl.
3.Cairan khusus, ditujukan untuk keadaan khusus, misalnya asidosis. Cairan
yang digunakan seperti natrium bikarbonat, NaCl 3%.

Berdasarkan berat molekul, cairan dapat dikelompokkan menjadi :


a.Cairan kristaloid
Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau
dekstrosa, tidak mengandung molekul besar (BM < 8000 Dalton). Kristaloid
dalam waktu singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga
volume yang diberikan harus lebih banyak 2,5-4 kali dari volume darah yang
hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular 20-30 menit.
Ekspansi cairan dari ruang intravaskuler ke interstital berlangsung selama 3060 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24-48 jam sebagai urine.
Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel
dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel. 2

33

Kristaloid harus dipertimbangkan sebagai resusitasi cairan yang


diberikan pertama kali pada pasien dengan shock hemorrhagic dan septic,
pasien

dengan

luka

bakar,

pasien

dengan

cedera

kepala

untuk

mempertahankan tekanan perfusi cerebral, dan pada pasien yang sedang


menjalani plasma pheresis dan reseksi hepar. Bila 3-4 L kristaloid telah
diberikan namun respon hemodinamiknya masih belum cukup maka koloid
dapat diberikan. Terdapat berbagai macam jenis cairan kristaloid yang
tersedia (lihat tabel). Pemberian cairan disesuaikan dengan jenis cairan tubuh
yang hilang. Bila kehilangan cairan secara primer adalah air, maka cairan
penggantinya adalah cairan hipotonis, disebut juga sebagai cairan
pemeliharaan. Bila kehilangan cairan meliputi air dan elektrolit, maka
pemberian cairan pengganti berupa cairan elektrolit yang isotonis, disebut
juga sebagai cairan pengganti. Glukosa terdapat pada beberapa jenis cairan
yang ditujukan untuk mempertahankan tonisitas atau untuk mencegah
terjadinya ketosis dan hipoglikemia karena pasien diminta untuk berpuasa
sebelum operasi. Hipoglikemia terjadi secara cepat pada anak-anak yang
berpuasa 4 sampai 8 jam dan hipoglikemia lebih cepat terjadi pada wanita
dibanding pria dengan berpuasa lebih dari 24 jam. Cairan pengganti lebih
banyak digunakan karena cairan yang hilang pada intraoperatif lebih banyak
bersifat isotonis. Cairan yang biasa digunakan adalah Ringer lactat. Meski RL
sedikit hipotonis, mengandung 100mL air bebas per liter dan cenderung untuk
menurunkan natrium sampai 130 mEq/L, namun RL menimbulkan efek yang
sedikit pada komposisi cairan ekstraselular dan merupakan cairan yang paling

34

fisiologis bila dibutuhkan dalam volume yang banyak. Laktat yang terdapat
pada RL akan diubah oleh hati menjadi bikarbonat.Bila diberikan dengan
volume yang banyak, NS akan menyebabkan asidosis hiperkloremik karena
NS mengandung natrium dan khlor yang tinggi (154mEq/L): konsentrasi
plasma bikarbonat menurun seiring dengan peningkatankonsentrasi khlor. NS
lebih dipilih pada keadaan alkalosis metabolik hipokloremik dan untuk
mencairkan packed-red blood cells sebelum transfusi. Dekstrosa 5% dalam
air (D5W) digunakan sebagai pengganti pada kekurangan air dan sebagai
cairan pemeliharaan pada pasien dengan pembatasan natrium. Cairan
hipertonik 3% Saline diberikan sebagai terapi simptomatik hiponatremia yang
berat. Cairan saline 3-7.5% diberikan sebagai resusitasi pada pasien dengan
shock hipovolemik.2
Tabel 7 Komposisi Cairan Kristaloid
Solution
5%

dekstrose

in

Tonicity

Na+

Cl-

K+

Ca2

Glucose

Lactate

(mosml/L)
Hypo

(mEq/L)

(mEq/L)

(mEq/L)

(mEq/L)

(g/l)
50

(mEq/L)

water (D5W)
Normal saline
D5 1/4NS
D5 1/2 NS

(253)
Iso (308)
Iso (330)
Hyper

154
38,5
77

154
38,5
77

50
50

D5NS

(407)
Hyper

154

154

50

(561)
Iso (273)

130

109

Hyper

130

109

Lactatcd

Ringers

Injection (RL)
D5LR

(525)

b.Koloid

28
50

28

35

Aktivitas osmotik pada zat dengan berat molekul yang tinggi pada
cairan koloid cenderung untuk mempertahankan cairan ini pada komponen
intravaskular. Meski waktu paruh cairan kristaloid di intravaskular adalah 2030 menit, tetapi waktu paruh cairan koloid diintravaskular dapat mencapai 3
sampai 6 jam. Harga dan komplikasi yang sering terjadi pada pemakai koloid
membuatnya jarang digunakan. 2
Indikasi umum yang diterima untuk pemakaian cairankoloid yaitu:
(1) resusitasi cairan pada pasien dengan kekurangan cairan intravaskular yang
berat (contoh: shock hemorrhagic) sebelum adanya transfusi darah yang
tersedia, dan (2) resusitasi cairan pada keadaan hipoalbuminemia yang berat
atau pada kondisi yang menyebabkan hilangnya protein dalam jumlah yang
besar seperti pada kasus luka bakar. Pada pasien luka bakar, pemberian cairan
koloid dapat juga dipertimbangkan bila luas luka bakar melebihi 30% dari
permukaan tubuh atau bila telah diberikan 3-4 L cairan kristaloid lebihdari
18-24 jam setelah terjadinya luka bakar.2
Banyak klinisi juga memberikan cairan koloid berbarengan dengan
cairan kristaloid ketika dibutuhkan cairan pengganti sebanyak 3-4 L sebelum
dilakukan transfusi. Perlu diperhatikan bahwa cairan ini tersedia dalam
normal saline (Cl-145-154 mEq/L) dan dapat menyebabkan asidosis
metabolik hiperkloremik. Beberapa cairan koloid yang ada merupakan berasal
baik dari protein plasma maupun polimer sintetik glukosa dan dimasukkan
dalam cairan elektrolit isotonis. Cairan koloid yang berasal dari darah berupa
albumin (cairan 5% dan 25%) dan fraksi plasma protein (5%). Keduanya

36

dipanaskan pada suhu 600C minimal selama 10 jam untuk mengurangi resiko
penyebaran hepatitis dan penyakit virus menular lainnya. Fraksi plasma
protein mengandung - dan -globulin sebagai tambahan dari albumin dan
sering menimbulkan reaksi hipotensif. Reaksi ini berupa reaksi alergi biasa
dan kemungkinan berkaitan dengan pengaktifan prekallikrein. Cairan koloid
sintetik berupa dextrose starches dan gelatin. Gelatin berkaitan dengan reaksi
alergi yang dimediasi oleh histamin. Cairan Dextran yang ada berupa dextran
70 (Macrodex) dan dextran 40 (Rheomacrodex), yangmemiliki berat molekul
70.000 dan 40.000. Meski dextran 70 merupakan cairan yang lebih baik
dibanding dextran 40, namun dextran 40 juga memperbaiki arus darah dalam
mikrosirkulasi dengan cara mengurangi viskositas darah. Efek antiplatelet
juga dapat terjadi pada pemberian dextran. Pemberian cairan melebihi 20
mL/kg per hari dapat mempengaruhi darah, dapat memperpanjang waktu
perdarahan (dextran 40), dan berhubungan dengan gagal ginjal. Dextran juga
dapat dianggap sebagai antigen yang menyebabkan reaksi anafilaktik atau
anafilaktoid yang berat. Dextran 1 (promit) dapat diberikan sebelum
pemberian dextran 40 atau dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaktik;
dextran 1 berperan sebagai hapten dan mengikat segala antibodi dextran yang
terdapat pada sirkulasi. Hetastarch (hydroxyethyl starch) terdapat pada cairan
6% dengan berat molekul 450.000. molekul kecil dibuang melalui ginjal,
dimana molekul yang lebih besar dihancurkan terlebih dahulu oleh amilase.
Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander dan tidak begitu mahal
dibanding albumin. Terlebih hetastarch tidak bersifat antigen dan reaksi

37

anafilaktoid sangat jarang terjadi. Koagulasi dan waktu pembekuan tidak


begitu terpengaruh dengan pemberian cairan di atas 0.5-1.0 L. Pemberian
hetastarch pada pasien dengan transplantasi ginjal masih kontoversi. Hal yang
sama juga terjadi pada pasien yang menjalani bypass cardio- pulmonal.
Pentastarch, cairan dengan berat molekul yang lebih rendah, memiliki efek
samping yang jarang dan kemungkinan menggantikan penggunaan hetastarch.
Tabel 8 Jenis Cairan Koloid
Jenis

Produksi

Tipe

BM

Koloid
Plasma

Human

Serum

rata
50.000

protein

plasma

consered

volume

human

albumin

hipoproteinemia

Dextran

Leucomostoc

D 60/70

mesenteroid B

rata-

60.000-

Waktu

Indikasi

paruh
4-15 hari

6 jam

70.000

gelatin

c hemodilusi
A hemodilusi
B

512

pengganti

gangguan

mikrosirkulasi

Hidrolisis dari

-modifien

kolagen

gelatin

binatang

-urea linked

35.000

2-3 jam

(stroke)
Substitusi
volume

-oxylopi
gelatin
hydroxyl
Starch

ethyl
Hydroxyl

Hidrolisis
asam

dan

450.000

ethyl

6 jam

substitusi

volume

ethylen oxyde

B hemodilusi

treatment dari
kedelai

dan

Polyvinyl

jantung
Sintetik

Subtosan

50.000

Substitusi

pyrrolidon

polimer vanyl

penston

25.000

volume

e (PVC)

pyrolidone

38

Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross
match. Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5
dan 2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60C
selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya.
Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga
mengandung alfa globulin dan beta globulin. Prekallikrein activators
(Hagemans factor fragments) seringkali terdapat dalam fraksi protein
plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infus
dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan
kolaps kardiovaskuler.
b. Koloid sintesis yaitu:
1. Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan
Dextran 70(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000
diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh
dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume
expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi
Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro
karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu
Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi
platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan

39

fibrinolisis dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran


melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu
perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan
memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.

2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)


Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000
1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L, dan tekanan
onkotik 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal
akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya
64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase
(walau jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (PentaStarch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma
hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12
jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar
dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi
maka Penta starchdipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada
penderita gawat.2

3. Gelatin

40

Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat


molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.
Ada 3 macam gelatin, yaitu:
- modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin
Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita
gawat. Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang)
terutama darigolongan urea linked gelatin.

3. Trasnfusi Darah5
a. Packed Red Blood Cells (PRC)

41

Transfusi darah sebaiknya diberikan packed red cell, dan dapat


mengoptimalkan penggunaan dan pemanfaatan bank darah. Packed Red
Blood Cell ideal untuk pasien yang memerlukan sel darah merah tetapi tidak
penggantian volume (misalnya, pasien anemia dengan congestive heart
failure). Pasien yang dioperasi memerlukan cairan seperti halnya sel darah
merah; kristaloid dapat diberikan dengan infuse secara bersama-sama
dengan jalur intravena yang kedua untuk penggantian volume cairan.
Sebelum transfusi, masing-masing unit harus diperiksa secara hatihati dicek dengan kartu dari bank darah dan identitas dari penerima donor
darah. Tabung transfusi berisi 170-J.m untuk menyaring gumpalan atau
kotoran. Dengan ukuran sama dan saringan berbeda digunakan untuk
mengurangi leukocyte isiuntuk mencegah febrile reaksi transfusi febrile
pada pasien yang sensitif. Darah untuk transfusi intraoperative harus
dihangatkan sampai 37C. terutama jika lebih dari 2-3 unit yang akan
ditransfusi; jika tidak akan menyebabkan hypothermia. Efek tambahan
hypothermia dan secara khas 2,3-diphosphoglycerate (2,3-DPG) konsentrasi
rendah dalam darah yang disimpan dapat menyebabkan suatu pergeseran ke
kiri ditandai hemoglobin-oxygen kurva-disosiasi dan,menyebabkan hipoxia
jaringan. Penghangat darah harus bisa menjaga suhu darah > 30C bahkan
pada aliran rata-rata sampai 150 ml/menit

b. Fresh Frozen Plasma

42

Fresh Frozen Plasma (FFP) berisi semua protein plasma, termasuk


semua factor pembekuan. Transfusi FFP ditandai penanganan defisiensi
faktor terisolasi, pembalikan warfarin therapy, dan koreksi coagulopathy
berhubungan dengan penyakit hati. Masing-Masing unit FFP biasanya
meningkatkan faktor pembekuan2-3% pada orang dewasa. Pada umumnya
dosis awal 10-15 mL/kg. Tujuannyaadalah untuk mencapai 30% dari
konsentrasi faktor pembekuan yang normal.
FFP boleh digunakan pada pasien yang sudah menerima transfusi
darahmasive. Pasien dengan defisiensi ANTI-THROMBIN III atau
purpurathrombocyto-penic thrombotic dapat diberikan FFP transfusi.
Masing-Masing unit FFP membawa resiko cepat menyebar yang
sama sebagai unit darah utuh. Sebagai tambahan, pasien dapat menjadi peka
terhadap protein plasma. ABO-COMPATIBLE biasanya diberi tetapi tidak
wajib. Seperti butir-butir darah merah, FFP biasanya dihangatkan 37C
sebelum transfusi

C. Platelets
Transfusi
thrombocytopenia

Platelet
atau

harus

diberikan

dysfunctional

kepada

platelets

pasien

dengan

dengan

pendarahan.

Profilaxis Transfusi trombosit dapat diberikan pada pasien dengan hitung


trombosit 10,000-20,000 oleh karena resiko perdarahan spontan.
Hitung trombosit kurang dari 50,000 x 109/L dihubungkan dengan
peningkatan

perdarahan

selama

pembedahan.

Pasien

dengan

thrombocytopenia yang mengalami pembedahan atau prosedur invasive

43

harus diberikan profilaxis transfusi trombosit sebelum operasi, hitung


trombosit harus meningkat diatas100,000 x 109/L. Persalinan pervaginam
dan prosedur bedah minor dapat dilakukan pada pasien dengan hitung
trombosit yang agak rendah tapi fungsi trombosit normal dan hitung
trombosit 50,000 x 109/L.
Masing-Masing unit

platelets

mungkin

diharapkan

untuk

meningkatkan 10,000-20,000 x 109/L dari trombosit. Plateletpheresis unit


berisi yang sejenisnya enam unit donor tunggal. Peningkatan lebih sedikit
dapat diharapkan pasiendengan suatu sejarah platelet transfusi. Disfungsi
dapat meningkatkan perdarahan pada pembedahan bahkan ketika trombosit
normal dan dapat didiagnosa preoperatif dengan memeriksa masa
perdarahan. Transfusi platelet diindikasikan pada pasien dengan disfungsi
trombosit dan meningkatkan perdarahan pada pembedahan. ABOcompatible platelet transfusi adalah diinginkan tetapi tidak

perlu.

Transfused Platelets biasanya survive hanya 1-7 hari yang mengikuti


transfusi. ABO kompatibel dapat meningkatkan platelet survival. Rh
sensitisasi dapat terjadi di Rh-Negative donor dalam kaitan dengan adanya
beberapa butir- butir darah merah di (dalam) Rh-Positive platelet Unit.
Lebih dari itu, anti-A atau anti-B zat darah penyerang kuman di (dalam)
yang 70 mL plasma pada setiap platelet unit dapat menyebabkan suatu
reaksi hemolytic melawan terhadap butir- butir darah merah penerima ketika
sejumlah besar ABO-incompatible platelet unit diberi. Administrasi Rh
immuno-globulin ke Rh-Negative Individu dapat melindungi dari Rh
sensitisasi yang mengikuti Rh-Positive platelet Transfusi. Pasien yang

44

kembang;kan zat darah penyerang kuman melawan terhadap HLAantigens


lymphocytes di (dalam) platelet berkonsentrasi) atau platelet spesifik
antigens

memerlukan

HLA-COMPATIBLE

atau

single-donor

unit.

Penggunaan plateletpheresis transfusi boleh ber/kurang kemungkinan


sensitisasi
.d. Transfusi Granulocit
Transfusi Granulosit,

yang

dibuat

dengan

leukapheresis,

diindikasikan pada pasien neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak


respon dengan antibiotik. Transfusi granulosit mempunyai masa hidup
dalam sirkulasi sangat pendek, sedemikian sehingga sehari-hari transfusi
1010 granulocytes padaumumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit
menurunkan

insiden

timbulnya

reaksi

graft-versus-host,

kerusakan

endothelial berhubungan dengan paru-paru, dan lain permasalahan


berhubungan

dengan

transfusi

leukosit,tetapi

mempengaruhi

fungsi

granulosit. Ketersediaan filgrastim (granulocytecolony-stimulating faktor,


atau

G-CSF)

dan

sargramostim

(granulocyte-macrophage

colony-

stimulating faktor, atau GM-CSF) telah sangat mengurangi penggunaan


transfusi granulosit.

BAB III
KESIMPULAN

45

Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular


dan kompartemen ekstraselular. Kompartemen ekstraselular dibagi menjadi cairan
intravaskular dan intersisial. Selain air, cairan tubuh mengandung elektrolit (Na +,
K+, Cl-, HCO3-, PO43-) dan non elektrolit (kreatinin, bilirubin). Proses pergerakan
cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara osmosis, difusi, pompa
natrium-kalium. Perubahan dalam cairan tubuh dapat terjadi karena perubahan
volume (defisit volume seperti dehidrasi dan kelebihan volume), perubahan
konsentrasi (elektrolit), perubahan komposisi (asidosis dan alkalosis).
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang
umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif,
perioperatif dan postoperatif. Oleh karena itu dasar terapi cairan dan elektrolit
perioperatif berdasarkan kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian, defisit
pra,saat, dan pasca pembedahan. Kebutuhan normal cairan orang dewasa rata-rata
30-35 ml/kgBB dan elektrolit Na+ = 1-2 mmol/kgBB/hari dan K+=1
mmol/kgBB/hari. Saat pembedahan harus dilihat banyaknya perdarahan untuk
digantikan. Selain mengganti cairan tubuh, perlu diperhatikan pula jenis cairan
yang digunakan untuk menggantinya. Cairan tersebut dapat berupa kristaloid atau
koloid yang masing-masing mempunyai keuntungan tersendiri yang diberikan
sesuai dengan kondisi pasien.
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh
dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid
(plasma ekspander) secara intravena. Terapi cairan dibutuhkan, kalau tubuh tidak

46

dapat memasukkan air, elektrolit dan zat-zat makanan secara oral misalnya pada
keadaan pasien harus puasa lama, karena pembedahan saluran cerna, perdarahan
banyak, syok hipovolemik, anoreksia berat, mual muntah tak berkesudahan dan
lain-lainnya. Dengan terapi cairan kebutuhan akan air dan elektrolit dapat
terpenuhi. Selain itu dalam keadaan tertentu adanya terapi cairan dapat digunakan
sebagai tambahan untuk memasukkan obat dan zat makanan secara rutin atau
dapat juga digunakan untuk menjaga keseimbangan asam-basa.

DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton, A.C. Buku Ajar Fisiologi, ed. 11. EGC, 2008. Hal.376-377
2. Utama, Hendra. 2008. Gangguan Keseimbangan Air Elektrolit dan Asam
Basa. Jakarta : FK UI.

47

3. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:


Penerbit buku kedokteran EGC. 2005.
4. Darwis D, Moenajat Y, Nur B.M, Madjid A.S, Siregar P,Aniwidyaningsih,
dkk, Fisiologi Keseimbangan Air dan Elektrolit dalam Gangguan
Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa, Fisiologi, Patofisiologi,
Diagnosis dan Tatalaksana, ed ke-2, FK-UI, Jakarta, 2008 : 29-30.
5. Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy .Oklahoma State University
Center

for

Veterinary

Health.

2006.

(http://member.tripod.com/~lyser/ivfs.htm, Diakses 05 april 2013).


6. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th
ed.Philadelphia: Lippincot williams and wilkins; 2006: 74-97.

Anda mungkin juga menyukai