Anda di halaman 1dari 9

STUDI KASUS KORUPSI

BUPATI SLEMAN
Posted on Mei 30, 2012 by Dali Telaumbanua
STUDI KASUS KORUPSI BUPATI SLEMAN
Oleh:
Dalinama Telaumbanua
Bernado Amaral

1. I.

PENDAHULUAN

Studi kasus yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu kasus korupsi yang dilakukan oleh
Bupati Sleman nonaktif Ibnu Subiyanto. Dimana bupati tersebut terbukti bersalah melanggar
Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31/1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No.20
tahuin 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Yang bersangkutan dinilai terbukti melakukan korupsi pengadaan buku ajar SD, SMP, dan SMA
Dinas Pendidikan Sleman senilai Rp 10 miliar. Dengan tuntutan 6 (enam) tahun penjara dan
denda senilai Rp 500 juta subsider 6 (enam) bulan penjara[1].
Hal ini menjadi persoalan karena pada akhirnya bupati Sleman tersebut hanya divonis 4 (empat)
tahun penjara oleh majelis hakim yang dipimpinan Heri Supriono dalam sidang di Pengadilan
Negeri (PN) Sleman di Jalan KRT Pringgodiningrat pada tanggal 14 Januari 2010. Dengan denda
Rp 200 juta subsider 3 bulan penjara, di potong masa tahanan dan memutuskan terdakwa tetap
ditahan.
Berbagai elemen penggiat antikorupsi ikut berperan dengan cara terus mendorong penuntasan
kasus yang melibatkan Bupati Sleman ini untuk dituntaskan. Dalam mengawasa kasus buku ini
membutuhkan waktu kurang lebih selama empat tahun. Oleh karena kasus ini terungkap sejak
tahun 2005 tapi baru diajukan ke pengadilan negeri pada bulan Mei 2009.
1. II.

PEMBAHASAN

1. A. Pendapat Teoritis
1) Jeremy Bentham[2]
Menurut Jeremy Bentham, manusia dikendalikan dua kecenderungan yakni mengejar
kenikmatan dan menghindari penderitaan. Teori ini ada hubungannya jika dikaitkan dengan
tindakan yang dilakukan oleh bupati Sleman nonaktif Ibnu Subiyanto yang memperkaya diri
sendiri menggunakan keuangan Negara yang bukan haknya, sehingga hal ini dapat dikatakan
sebagai perbuatan yang menghindari penderitaan dalam hal ini kemiskinan.
Setiap orang memang mempunyai kebebasan penuh untuk mengejar kepentingannya sepanjang
yang bersangkutan memberi kebebasan sama kepada orang lain untuk mengejar kepentingan
dirinya. Sehingga tindakan korupsi sebesar Rp. 29,8 miliar yang dilakukan oleh Bupati Sleman
ini tidak berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia (masyarakat).
2) Thomas Hobbes[3]
Manusia (sejak zaman purbakala) dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan
kepentingannya sendiri. Tidak ada pengertian adil atau tidak adil. Yang ada hanyalah nafsu-nafsu
individu, dalam keadaan seperti itu terjadilah omnium contra omnes dimana setiap orang selalu
memperlihatkan keinginannya yang sungguh-sungguh egoistis. Maka hukum merupakan pilihan
dasar manusia untuk mengamankan hidup masing-masing terhadap serangan orang lain agar
efektif maka hukum butuh tenaga yang kuat yaitu penguasa yang punya kekuasaan besar.
Itulah sebabnya bagi Thomas Hobbes kekuatan tidak kurang dari sarana yang ada sekarang untuk
mendapatkan kebaikan yang nyata dikemudian hari. Hukum yang dibutuhkan adalah hukum
alam (hidup terhormat tidak ganggun orang lain, beri apa yang menjadi hak orang lain).
Jadi, karena keegoisan manusia dalam hal ini bupati Sleman yang ingin menguasai sejumlah
uang yang bukan merupakan haknya, oleh karena itu hukum lahir untuk membatasi keinginan
manusia yang berlebihan supaya tidak merugikan masyarakat Kabupaten Sleman.
3) E. Durkheim[4]
Teorinya menekankan pada permasalahan hukum dan solidaritas sosial. Sistem pembagian kerja
menentukan solidaritas sosial. Sistem pembagian kerja dalam hal ini yaitu pengalokasian
anggaran yang seharusnya digunakan dalam pengadaan buku ajar SD, SMP, dan SMA Dinas
Pendidikan Sleman. Hukum merupakan unit empirik dan organik dari solidaritas sosial. Berarti
hukum merupakan bagian dari solidaritas masyarakat yang bertipe hukum menindak dan hukum
memulihkan suapaya terjadinya integrasi sosial.
4) Savingny[5]
Teori ini menekankan pada hukum dan jiwa rakyat selain itu juga hubungan organik antara
hukum dan watak atau karakter suatu bangsa (volkgeist). Menurut aliran sejarah ini, hukum tidak

dibuat tapi ditemukan terbentuk secara historis. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana
akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga negara.
Undang-Undang tentang korupsi lahir karena adanya nilai yang hidup dalam masyarakat yang
mengganggap bahwa perbuatan korupsi sama saja dengan pidana berat yang dapat merugikan
banyak korban dalam hal ini masyarakat Sleman yang seharusnya menikmati sejumlah dana
tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum positif dalam hal ini Undang-Undang tentang
korupsi cenderung raktif karena diciptakan setelah berbagai pengalaman buruk dan penderitaan
yang dialami manusia.
5) Von Jhering[6]
Inti hukum adalah kepentingan masyarakat yakni bersifat egositis adalah pahala dan manfaat,
bersifat moralistis adalah kewajiban dan cinta. Kekuatan yang bersifat egositis ini adalah
kekuatan-kekuatan yang membuat sesorang individu menuntut hak-haknya. Sedangkan
kekuatan-kekuatan moral yang membuatnya merasa sebagai anggota dari kelompok sosial yang
terikat pada berbagai kewajiban.
Teori ini memang berkaitan dengan kasus korupsi yang dibahas karena ketika bupati sleman ini
melakukan korupsi maka itu merupakan sifat egositis dia sebagai makhluk individu, akan tetapi
cara yang digunakannya untuk menuntut haknya malahan melanggar UU karena dianggap
berlebihan terhadap apa yang seharusnya dia dapatkan. Dengana adanya perbuatan korupsi
seperti ini maka kekuatan-kekuatan sosial masyarakat Sleman sebagai pihak yang
berkepentingan dalam pengusutan kasus ini, ikut ambil bagian dalam pengusutan kasus ini
sampai ke pengadilan.
6) Gustav Radbruch[7]
Menurut Gustav Radbruch hukum memiliki tiga aspek yakni keadilan, kemanfaatan dan
kepastian. Aspek kemanfaatan menunjuk pada tujuan keadilan yang memajukan kebaikan dalam
hidup manusia. Aspek kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum yang berisis keadilan
dan norma-norma yang memajukan kebaikan benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang
ditaati. Jika dilhat dari sisi nilai kepastian hukum dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh Ibnu
Subiyanto ini kemungkinan terpenuhi delik pidana yang diatur dalam UU tentang korupsi.
Selanjutnya jika dilihat dari segi kemanfaatan, diharapkan dengan bagi terdakwa yang akan
menjalani hukuman ini tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Akan tetapi tidak ada nilai kemanfaatan dari segi ekonomi oleh karena jumlah uang yang
dikorupsikan tidak sebanding dengan yang dikembalikan oleh Ibnu Subiyanto kepada Negara.
Sedangkan dalam kasus ini, belum memberikan rasa keadilan masyarakat oleh karena putusan
pidana tidak sebanding dengan akibat yang dirasakan oleh masyarakat, yang mana uang Rp.10
miliar tersebut seharusnya digunakan untuk pengadaan buku ajar SD, SMP, dan SMA Dinas
Pendidikan Sleman akan tetapi dengan tindakan korupsi tersebut maka menghambat akses
pendidikan yang layak atau berkualitas bagi pelajar di lingkungan Kabupaten Sleman.

Dengan fakta seperti ini maka diharapkan minimal ada tiga subyek yang hendak memajukan
kebaikan manusia yakni indivindu, kolektivitas dan kebudayaan.
7) Roscoe Pound[8]
Roscoe Pound berpandangan bahwa hukum merupakan alat rekayasa sosial. Teori ini
menekankan pada hukum dan kekuasaan.
Dikhotomi antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang dikuasai. Karena yang
memproduksi hukum adalah mereka yang ada dalam struktur kekuasaan, tidak mengherankan
jika hukum cenderung memihak dan melayani kaum pemegang otoritas itu. Kepentingan.
Status quo cenderung mempertahankan kekuasaannya, sedangkan pendukung perubahan
cenderung dianggap sebagai ancaman bagi ideologi kekuasaan ini.
Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest balancing, dan karenanya
yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat
kearah yang lebih baik. Bagi Pound antara hukum dan masyarakat terdapat hubungan yang
fungsional[9]. Oleh karena itu kehidupan hukum terletak pada karya yang dihasilkannya bagi
dunia sosial, maka tujuan utama dalam social engineering adalah mengarahkan kehidupan social
itu ke arah yang lebih maju.
Hukum sebagai sarana social engineering bermakna penggunaan hukum secara sadar untuk
mencapai tertib dan keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan, atau untuk melakukan
perubahan yang diinginkan. Sifat hukum sebagai produk by design intelektual ilmiah dalam
social engineering terlihat jelas dalam rincian persoalan yang menurut Pound wajib dilakukan
oleh seorang ahli hukum sosiologis agar hukum dapat benar-benar efektif sebagai alat perubahan
sosial.
8) Nonet-Selznick[10]
Nonet-Selznick ini menekankan pada model hubungan antara hukum, Negara dan masyarakat.
Tiga karakter hukum menurutnya yaitu
Pertama Jika hukum dikuasai oleh Negara maka akan tampil hukum yang represif yang
menindas masyarakat. Makna hukum berkarakter represif ini, merupakan suatu metode yang
digunakan oleh para pejabat, untuk bertindak sewenang-wenang, terutama untuk memperkaya
diri sendiri dan keluarganya. Tindakan tersebut berpijak pada hukum sebagai instrument yang
disusun sedemikian rupa, guna mengamankan tindakan-tindakannya.
Kedua Jika hukum menutup diri terhadap kekuasaan dan realitas masyarakat maka akan tampil
figur hukum yang otonom. Dalam hukum tipe ini aspek prosedural merupakan segala-galanya
sehinga keadilan substantif tidak pernah tercapai.
Ketiga Jika hukum secara proposional menyerap aspirasi sosial dan mendayagunakan kekuasaan
Negara secara efisien maka akan tampil figur hukum yang responsif[11].

Adapun ciri-ciri karakter represif, otonom dan responsife tersebut yaitu:


1. Hukum represif yaitu :
1. Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik, hukum
diidentifikasikan dengan Negara dan tunduk kepada raison detat.
2. Perspektif resmi mendominasi segalanya, dimana dalam perspektif ini penguasa
cenderung untuk mengidentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan
masyarakat.
3. Kesempatan bagi rakyat untuk mendapat keadilan, di mana mereka dapat
memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhan terbatas.
4. Badan-badan pengawasan khusus, seperti polisi, misalnya dibentuk untuk
memelihara tertib social untuk memaksakan kehendak penguasa.
5. Adanya suatu rejim hukum ganda, yakni melembagakan keadilan kelas dengan
mengkonsolidasikannya dan mengeahkan pola-pola subordinasi sosial; dan
6. Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan kesesuaian budaya,
yang merupakan fenomena yang dikenal sebagai moralitas hukum.
7. Hukum otonom yaitu:
1. Penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk
mengawasi kekuasaan resmi dan tidak resmi;
2. Terdapat pengadilan yang bebas yang tidak dapat dimanipulasi oleh dan
dari kekuasaan politik dan ekonomi, serta memiliki otoritas khusus untuk
mengadili pelanggaran hukum, baik pejabat maupun individu;
3. Terpisahnya hukum dari politik, yakni para ahli hukum dan pengadilan
adalah spesilisasi dalam menafsirkan dan menerapkan hukum.
4. Pengadilan tidak dapat menjamin hukum itu adil, melainkan dapat
mengusahakan agar hukum diterapkan secara adil.
5. Hukum responsif yaitu:
1. Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan
tujuan; dan
2. Pentingnya watak kerakyatan (populis) baik sebagai tujuan hukum
maupun cara untuk mencapainya.

9) Monntesquiteu
Sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan
manusia. Watak masyarakat menjadi salah satu penyebab suatu Negara memiliki seperangkat
hukum atau strutur sosial dan politik tertentu. Ada dua faktor utama yang membentuk watak
suatu masyarakat yaitu pertama, faktor fisik yang utama adalah iklim yang menghasilkan akibatakibat fisiologis mental tertentu[12]. Selain faktor iklim, keadaan daratan, kepadatan penduduk
dan daerah kekuasaan suatu masyarakat juga turut berpengaruh. Kedua, faktor moral yaitu
seorang legislator yang baik, bisa membatasi pengaruh faktor fisik sekecil mungkin dan bahkan
bisa membatasi akibat-akibat karena iklim tertentu. Dalam faktor moral ini terhimpun antara lain
Agama, adat-istiadat, kebiasaan, ekonomi dan pedagangan, cara berpikir serta suasana yang
tercipta dipengadilan.
Dalam tesis Montesquieu, faktor iklim dan lingkungan tidak saja berpengaruh pada watak
manusia/masyarakat, tetapi juga pada sifat dan bentuk kegiatan, cara hidup masyarakat, dan
lembaga-lembaga sosial[13]. Teori lain dari Montesquieu yang amat terkenal adalah trias
politica. Pengertian dasar trias politica adalah pengawasan (check and balances) dari suatu
lembaga ke lembaga yang lain. Ini merupakan mekanisme yang dapat menjamin terwujudnya
kehendak rakyat dalam sebuah masyarakat yang mempunyai pemerintah. Konsep Trias Politica
adalah adanya pembagian kekuasaan Negara ke dalam fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Pembagian kekuasaan dimaksud adalah untuk melakukan check dan balances antara ketiga
lembaga tinggi negara tersebut. Jika dikaitkan dengan korupsi yang dilakukan oleh Bupati
sleman, maka ini merupakan ketidak berfungsinya lembaga legislatife dalam melaksanakan hak
pengawasannya dengan baik sehingga terjadi penyalahgunaan kewenangan yang pada akhirnya
bermuara pada korupsi.

1. B. Kompleksitas Bekerjanya Hukum


Dalam pengusutan kasus korupsi ini, tentu saja ada hubungannya dengan kompleksitas
bekerjanya hukum dalam hal ini lembaga pembuat Undang-Undang, lembaga penegak hukum
dan pemegang peran serta pengaruh kekuatan sosial yang ikut mempengaruhi penegakkan
hukumnya. Teori bekerjanya hukum ini, secara jelas digambarkan oleh Robert B.Seidman[14]
yaitu

Lembaga pembuat Undang-Undang dalam hal ini yaitu eksekutif bersama-sama dengan
legislatif.
Lembaga Penegak Hukum yang tergabung dalam catur wangsa (Polisi, jaksa, hakim dan
pengacara) serta KPK.
Pemegang peran yakni DPRD. Kekuatan sosial dalam hal ini ialah masyarakat, lembaga
masyarakat. Berbagai elemen penggiat antikorupsi terus mendorong penuntasan kasus yang
melibatkan Bupati Sleman ini untuk dituntaskan. Dalam mengawasl kasus buku ini
membutuhkan waktu kurang lebih selama empat tahun. Oleh karena kasus ini terungkap sejak
tahun 2005 tapi baru diajukan ke pengadilan negeri pada bulan Mei 2009.

1. III.

PENUTUP

2. A. Kesimpulan
Dari analisa kasus diatas maka, perbuatan korupsi Rp.10 miliar yang dilakukan oleh Bupati
Sleman ibnu. Dimana dana tersbut seharusnya digunakan dalam rangka pengadaan buku ajar
SD,SMP dan SMA dikategorikan penyalahgunaan wewenang yang diakibatkan oleh kurangnya
pengawasan dari pihak yang berwenang dalam hak ini anggota legislatif DPR. Monntesquiteu
mengemukakan faktor pengawasan (check and balances) dari suatu cabang ke cabang yang lain.
Ini merupakan seharusnya mekanisme yang dapat menjamin terwujudnya kehendak rakyat dalam
sebuah masyarakat yang mempunyai pemerintah. Konsep Trias Politica adalah adanya
pembagian kekuasaan Negara ke dalam fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pembagian
kekuasaan dimaksud adalah untuk melakukan check dan balances antara ketiga lembaga tinggi
negara tersebut. Jika dikaitkan dengan korupsi yang dilakukan oleh Bupati sleman, maka ini
merupakan ketidak berfungsinya lembaga legislatif dalam melaksanakan hak pengawasannya
dengan baik sehingga terjadi penyalahgunaan kewenangan yang pada akhirnya bermuara pada
korupsi.
Akan tetapi perlu diketahui bahwa orang yang melakukan korupsi ialah orang yang memiliki
kesempatan karena kewenangannya. Apalagi sebagai seorang Bupati, tentu saja yang
bersangkutan memiliki otoritas dalam pengelolaan anggaran suatu daerah akan tetapi otoritas ini
seringkali disalahgunakan dalam pengelolaannya. Salah satunya penyelewengan dana yang
seharunya digunakan oleh dalam rangka pengadaan buku ajar para para pelajar dilingkungan
kabupaten Sleman.
Oleh karena itu, hendaknya ide pemiskinan korupsi ini perlu dikembangkan. Karena ketika
hanya teori pemidanaan Absolut atau Pembalasan (retributive) yang merupakan sesuatu yang
harus ada sebagai konsekuensi kejahatan sehingga orang yang salah harus dihukum. Maka hal itu
tidak terlalu efektif apalagi jarak antara tuntutan dengan putusan sangat berbeda dan cenderung
putusan atau vonis yang diambil lebih rendah dari tuntutan. Akan tetapi juga diperluka Teori
Relatif atau Tujuan (Utilitarian). Yang mana dalam teori ini tidak hanya bertujuan untuk
memuaskan tuntutan absolut (pembalasan) dari keadilan, tetapi pembalasan itu sebagai sarana

untuk melindungi kepentingan masyarakat, teori itu disebut teori perlindungan masyarakat, Teori
reduktif (untuk mengurangi frekuensi kejahatan) dan Teori tujuan.
Penjatuhan pidana terhadap bupati Sleman diambil bukan quia peccatum est (orang berbuat
kejahatan) melainkan ne peccetur (agar orang tidak melakukan kejahatan). Teori Gabungan
yang merupakan teori pemidanaan yang multifungsi) karena berguna dalam rangka sebagai
pembalasan agar pelaku menderita, merehabilitasi dan juga sekaligus melindungi
masyarakat[15].
Restorative justice juga diperlukan karena pelaku harus mengembalikan keadaan pada kondisi
semula, keadilan bukan saja menjatuhkan sanksi namun memperhatikan keadilan bagi
korban[16]. Pengembalian pada keadaan semula maksudnya ialah penyitaan semua harta benda
pelaku korupsi untuk dikembalikan ke kas Negara. Kemungkinan tidak semua uang hasil korupsi
Bupati Sleman ini bisa dikembalikan ke kas Negara karena mungkin sudah di gunakan sebagian
oleh si terpidana akan tetapi minimal mengembalikan sebagin. Dan harus bisa dipastikan ketika
uang hasil penyitaan itu sudah masuk ke kas Negara, maka harus segera dianggarkan kembali
proyek pengadaan buku ajar SD, SMP, dan SMA Dinas Pendidikan Sleman. Supaya hak para
pelajar untuk mendapatkan buku ajar yang berkualitas tidak terbengkalai terlalu lama.

1. B. Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan diatas maka disarankan agar supaya:
1) Memperbaiki faktor hukumnya dalam hal ini Undang-Undang Korupsi agar penjatuhan
pidanya lebih ditekankan pada aspek pengembalian kerugian Negara dengan cara penyitaan
semua aset terpidana korupsi. Sehingga ide pemiskinan koruptor ini menjadi penting karena
selain untuk pengembalian sebagian atau seluruhnya kerugian Negara, juga sebagai
pembelajaran bagi yang lain agar jangan ada yang mencoba-coba melakukan korupsi.
Selain dari pada itu, Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum tidak hanya dilihat sebagai alat
penyelesaian konflik atau sengketa melainkan terutama sebagai alat untuk merespons
kepentingan masyarakat. Sehingga diharapkan tugas hakim bukan hanya sebagai pewarta ajaran
melainkan merespons berbagai tantangan sosial dan personal. Sehingga pertimbangan moral
menggunakan nilai moral masyarakat setempat sebagai bagian dari pertimbangan hukum dalam
kasus berat menjadi penting.
2) Memperbaiki moralitas penegak hukum yaitu pihak-pihak yang membentuk hukum dalam
hal ini eksekutif bersama-sama dengan legislatif dan juga yang menerapkan hukumnya dalam
hal ini yudikatif.
3) Memperbaiki, menambah serta melengkapi sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakkan hukum dalam kasus-kasus korupsi seperti ini. Oleh karena seringkali karena
kelincahan atau kelebihan para koruptor, maka mereka bisa melarikan diri keluar negeri.
Kemudian karena kekurangan dana serta fasilitas yang dimiliki oleh para penegak hukum maka

tidak bias mengejar serta menangkap pelaku ke luar negeri, dan masih banyak hal-hal yang lain
yang masih harus dilengkapi sebagai upaya mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.
4) Faktor masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkannya
sanksi sosial terhadap para koruptor salah satunya dengan cara dikucilkan dari pergaulan seharihari.
5) Peran faktor kebudayaan yaitu sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia didalam pergaulan hidup dapat terus dimaksimalkan sebagai tindakan pencegahan.
Budaya anti korupsi harus terus dikembangkan dan dikumandangkan agar itu bias menjadi pola
hidup masyarakat.

IV.

DAFTAR PUSTAKA

Sosiologi Hukum, Magister Ilmu Hukum UKSW, Agustus 2010.


Bernard L.Tanya,dkk, Teori Hukum strategi tertib manusia lintas ruang dan generasi, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2010.
Warassih, Esmi, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang,
2005
http://bataviase.co.id/detailberita-10513087.html, 14 Jan 2010
http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/08/teori-teori-pemidanaan.html
http://www.rezaalf.co.cc/2009/04/pidana-dan-pemidanaan.html

Anda mungkin juga menyukai